epilog
Ada satu hal yang tidak bisa dijawab oleh cinta. Yakni perihal kenapa ... ia ada.
***
"Oke, sudah setuju, ya, untuk ikut projek ini. Sementara itu dulu pengantar dari saya, nanti saya infokan lagi untuk kelanjutannya. Saya minta tolong dibuatkan grup supaya lebih mudah dalam berkoordinasi."
Isy hanya bisa mengangguk dan tersenyum mendengar kalimat itu, sementara Jaza yang memberikan respons verbal atasnya. Jujur, gadis itu masih ragu, takut tidak bisa mengimbangi ritme kerja Prof. Agus dan juga Jaza dalam projek penelitian yang ditawarkan oleh sang dosen itu. Akan tetapi, di sisi lain dia tidak memiliki alasan yang cukup untuk menolak. Prof. Agus tidak menerima alasan terkait kompetensi, karena menurut beliau, beliau bisa menilai Isy dan gadis itu cukup mampu untuk ini.
"Kalian ada agenda setelah ini?"
Tanya yang dilontarkan Prof. Agus dijawab oleh Jaza dengan santun. "Belum ada, Prof. Ada yang harus kami kerjakan, kah?"
Prof. Agus mengibaskan tangan di depan wajahnya, memberi gestur bahwa Jaza salah menyimpulkan. Lalu, kekehan lolos dari sana. "Ndak. Siapa tahu mau apa itu istilah anak zaman sekarang." Prof. Agus tampak berpikir. Akan tetapi, karena Isy dan Jaza sama sekali tidak memahami maksud dosen senior itu, tidak satu pun dari mereka yang membantu. Sampai Prof. Agus menemukan jawabannya sendiri. "Ah, quality time. Kalau baru jadi kan biasanya nempel terus." Tawa Prof. Agus menguar kemudian.
Tentu saja, Isy dibuat kaget bukan main karenanya. Ini Prof. Agus, seorang dosen yang terkenal disiplin serta perfeksionis. Ditambah lagi, Isy sama sekali belum akrab dengannya. Mendengar beliau berkata demikian, membuat degup jantung gadis itu beranjak cepat, hingga perutnya mulas bukan main. Entah bagaimana dengan Jaza di sampingnya, yang pasti untuk tersenyum saja Isy merasa kaku.
Dari sudut mata, Isy dapat melihat Jaza menggaruk belakang kepalanya. Salah tingkah? Entahlah.
"Aduh, nggak, kok, Prof." Suara Jaza terdengar sumbang, tetapi Isy tidak berani melirik ekspresinya.
Sementara Prof. Agus, kembali melejitkan tawa di ruangannya yang menjadi awal mula Jaza dan Isy berinteraksi. "Ya sudah. Asal yang sehat, ya, kalau pacaran. Kamu ingat terus, Za, dapatinnya susah. Jangan disia-siakan. Ingat dulu gimana kamu cerita sama saya, perempuan itu bukan cuma hiasan yang kamu terima indahnya saja, tetapi seluruh yang ada dalam diri dia."
Jaza tersenyum, mengangguk, dan memberikan respons positif atas kalimat itu. Tidak ada bantahan sama sekali. Sementara Isy yang duduk di sebelahnya, mati-matian mengontrol ritme jantung yang tanpa jeda memompa darahnya. Prof. Agus bahkan tahu tentang Jaza dan dirinya. Dari percakapan yang dia bangun pun ... tampaknya ada campur tangan beliau dalam hal ini. Bagaimana mungkin Isy bisa bersikap biasa saja?
Hingga mereka pamit dan keluar dari ruangan itu pun, perasaan Isy masih tidak karuan. Benarkah Jaza sampai sejauh ini?
Tanpa hitungan, di bawah langit yang siang ini membiru seolah menyisakan banyak ruang bahagia bagi siapa saja yang menginginkannya, Isy menghentikan kakinya. Gedung dekanat sudah berada jauh di belakang. Kini, yang menaungi tubuhnya dan Jaza hanya langit dan dahan pohon yang meliuk tertiup angin.
"Kenapa? Ada yang ketinggalan?"
Entah mengapa, mendengar suara Jaza menghadirkan sensasi lain hari ini. Tubuh yang berhenti dan dihadapkan kepadanya serta raut lelaki itu yang murni terlihat ingin tahu, membuat Isy semakin bertanya-tanya, mengapa lelaki sebaik Jaza bisa berada di dekatnya, memberikan banyak hal kepadanya.
"Kenapa, Za?"
Jaza mengernyit. "Apanya?"
"Semuanya. Why did you treat me this well even I did nothing?"
Perasaan Isy campur aduk. Dia merasa tidak pantas, tetapi di sisi lain dia tidak ingin dari tangannya ... Jaza lepas. Namun, sebagaimana Jaza, selalu ada tenang yang dia hadirkan. Lelaki itu mengulas senyum, menatap dalam ke sorot sayu milik Isy. Langkahnya dia bawa mendekat, hingga secara sempurna, mereka berhadapan.
"If you ask me what did you do, then I've to answer that you did a lot, walaupun itu bukan untuk aku. Tapi, Isy, kalau itu tentang kita, you just made me fall in love as simple as you are you. You made me fall in love without even trying. That's it."
Isy diam, lama. Tatapnya tidak beralih sedikit pun dari Jaza, bahkan kala buram menjemputnya detik demi detik. Is that real? Dan ya, segalanya nyata. Angin yang berembus, terik yang entah mengapa tidak terasa menyengat, terang yang benderang, pun senyum Jaza yang menenangkan, segalanya nyata.
Jaza bukan Harsa, bukan pula Dean, atau siapa pun laki-laki yang membuatnya memberikan nilai kepada kaum itu secara general, yang membuat Isy membenci laki-laki hingga membatasi diri. Kehadiran lelaki ini membuatnya tahu, bahwa pengalaman buruknya tidak lantas menjadi patokan nilai untuk mengeneralisasi sifat semua laki-laki.
Begitupun dengan Jaza yang membuka matanya untuk melihat dunia, membuka diri atasnya, dan menemui bahwa kebaikan selalu ada di mana-mana.
Isy tersenyum, sedang tangannya bergerak cepat menyusut air mata yang hampir jatuh. Jaza tidak berkomentar apa pun. Dia hanya tersenyum, kemudian mengulurkan tangannya ke depan Isy.
"Holding hands?"
Tanpa penolakan, gadis itu menyambutnya, membuat senyum terkembang di bibir keduanya. Rasanya, genggaman ini terasa tepat, membuat langkah mereka menuju parkiran terasa amat sangat ringan.
"You don't wear your ring."
Isy menoleh ke sebelah saat mendengar satu kalimat dari lisan Jaza, membuat pandangan mereka beradu, tetapi langkah yang diambil tidak berhenti sama sekali. Bukannya menjawab, dia justru membawa tangannya terangkat, otomatis milik Jaza pun juga. Dengan senyum yang sepertinya menjadi salah satu yang terlebar setelah bertahun-tahun, Isy berkata ringan, "No need. I have this."
Lengkungan di wajah dua insan itu tampak serasi, mampu membuat semesta bahkan iri. Tatap yang tidak berniat dilepas, dijalin dengan lebih kuat oleh kapas-kapas awan yang berarak meneduhkan. Sama seperti kasih di antara mereka, yang menaungi keduanya hingga hanya sejuk dan nyaman yang terasa.
"Alright. It's yours."
Jaza ... he did, does, and will always repeat his action to protect Isy from every sorrow. He tried, tries, and will always try his best to pay anything for Isy's happiness. Without any hesitation, he'll protect her at all costs.
Isy ... untuk sedihmu di masa lalu, kamu bisa berhenti. It's completely over.
Hellooo. Months ago, I introduce you to this story for the first time. Sekarang, giliran aku bilang ke Temen-temen kalau perjalanan di kapal ini sudah usai.
Ada satu kalimat yang sangat aku suka di buku It Ends With Us, karya Collen Hoover. Temen-temen bisa cari buku ini, I'm sure, it's worth reading. Kalimat yang aku maksud ada di bagian paling akhir. "You can stop swimming now, Lily. We finally reached the shore."
Jujur, kalimat itu pengin banget aku ucapin ke Isy. Bahwa laut luka yang harus dia tempuh, udah tertinggal jauh di belakang sana. Dia sampai ke pantai, tempat untuk mengeringkan segala pedih yang sempat menenggelamkannya, membuatnya kesulitan bernapas. Dia udah sampai, ditemenin Jaza, ditemenin banyak orang yang sayang sama dia.
I know, she's just a fictional character, tetapi aku selalu percaya bahwa banyak Isy di luaran sana yang juga berjuang untuk memaafkan, untuk menyembuhkan. And I wanna say this to them all too.
Sebenernya, tujuan aku nulis cerita ini nggak muluk-muluk. Semata karena aku pengin bilang, segala sakit selalu ada obatnya. Sepanjang apa pun jalannya, pasti ada titik sampai yang bisa dicapai. Aku juga pengin bilang, kejahatan itu bukan sebuah kemutlakan. Isy bisa jadi disakiti dengan sangat oleh seorang laki-laki, tetapi kejahatan itu bukan mutlak milik laki-laki. Akan ada sosok Jaza di luar sana, sosok Ibra, Pak Deri, Piyo, semuanya. Dunia ini luas, begitupun dengan kebaikan.
I just wanna say that hehe.
Oke, kayaknya udah panjang bangettt. Terakhir, aku mau bilang makasih ke Temen-temen yang udah nemenin sejak awal sampai aku tiba di fase ini. Nggak bohong, adanya Temen-temen bikin aku bersyukur banget. You guys mean a lot for me. Maaf, ya, kalau ada hal yang nggak berkenan di hati Temen-temen selama kita berinteraksi nggak langsung di cerita ini.
Selalu, aku berharap kebahagiaan buat kalian. Sehat selalu, Orang-orang Baikkk. Heheheh. Sama kayak lagu di part ini, meski aku nggak berharap, tapi kalau Temen-temen nggak baik-baik aja, jangan ditepis, ya, perasaannya. Nggak apa-apa buat nggak baik-baik aja, Temen-temen juga manusia. Kapan pun, boleh dateng ke cerita ini lagi kalau ada di fase itu hehe
Mau nyampaiin sesuatu tentang cerita ini, nggak?
Ke Jaza, mungkin?
Atau Isy?
Atau Dean yang walaupun muncul sebentar, aku cukup seneng sama kehadiran dia (hehe)?
Atau ke Bunda, Dokter Ratih?
Atau ke akuuu? wkwkwk
Sampai jumpa lagi, yaaa. Semoga ini bukan akhir dari interaksi kitaaa hehe. (Semoga bukan akhir dari kisah Jaza-Isy juga upsieee)
_____________________________________
PROTECT AT ALL COSTS
Start: March 15, 2022
End: July 11, 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro