30_his world is hers
My world ... is also completely yours.
***
"Kenapa?"
Tidak lebih dari lima langkah jarak yang terbentang antara Isy dan Jaza. Sang gadis yang beberapa saat lalu entah sadar atau tidak begitu tenang memperhatikan pergerakan Jaza hingga sampai di depannya, kini mengerjap singkat. Kesadarannya pulih, sehingga ia berdeham sekali. Dia pun menjadi lebih peka, bahwa banyak keluarga FISIP Heroes yang mulai meninggalkan ruangan, tersisa beberapa saja yang masih menjalin obrolan dengan sesamanya.
"Kenapa apanya?" Begitu yang dia ungkapkan. Lirih, tetapi cukup terdengar meski dentuman musik Trigger the Fever memenuhi seluruh ruang sekretariat BEM FISIP, seolah memiliki kekuatan luar biasa untuk merobohkan semua dinding pembatas di dunia. Di depan sana, microphone bak piala bergilir, berpindah-pindah tangan dan mengantarkan suara lantang pemegangnya yang tengah mengikuti lirik lagu tersebut.
Sementara di depannya, Jaza tersenyum. "Staring at me?"
"I'm not?" Spontan, sangat. Sebab Jaza tidak pernah memilih untuk berpura-pura seolah dia tidak melihat apa pun. Lelaki ini pandai sekali membuat orang kesal dengan menangkap basah hal-hal demikian.
Seperti tidak ada cukupnya, Jaza kini melontarkan kekehan yang dianggap Isy sebagai sebuah ejekan. Sang gadis yang semula terbawa euforia kemenangan setelah pembubaran acara FISIP Heroes, kini harus menggeser gemuruh menyenangkan itu. Kesal menggantikan takhta perasaan itu.
"Siapa tahu mau ngucapin sesuatu ke aku?"
Isy menghela napas. "Buat apa? Orang tadi udah isi form apresiasi dan evaluasi. Udah ada buat ketua panitia, kan, tinggal baca nggak usah males."
"Loh." Entah pura-pura atau bagaimana, Jaza membubuhkan ekspresi kaget di wajahnya. "Kan yang in person belum. Maybe you wanna say something special, kan?"
Tentu saja, Isy tidak tahan lagi untuk menahan hasrat dari memutar bola mata. Jaza memang tidak pernah berubah, selalu menyebalkan. "Kalo mau spesial, ke tukang martabak sana, atau nasi goreng, atau apa pun itu aku nggak peduli."
Sontak, Isy dapat mendengar suara tawa dari lelaki di depannya, bersamaan dengan lagu yang berganti, sehingga kini karya musik berjudul We Young terputar, dengan pelantun serupa dengan lagu sebelumnya--NCT Dream. Entahlah, siapa kiranya yang amat menyukai lagu milik boyband asal Korea Selatan itu. Setidaknya, dentuman semangat yang datang dari sana, mampu membuat suara Jaza sedikit teredam dan Isy tidak perlu terlalu malu karena tak banyak pasang mata yang menatap ke arah mereka.
"Lucu banget."
Isy hendak membuka mulutnya, menanggapi ketidakjelasan Jaza, tetapi suara dari sisinya membuat gadis itu mengurungkan kata yang sudah siap menemui indera semesta.
"Halooo, Bapak Ibu. Ini semua orang disuruh ngontrak atau gimana, ya, mohon maaf?"
Seolah ditarik dari ruang tak bernama di mana yang dia rasa hanya kehadiran Jaza, Isy segara menoleh, mendapati Tiara yang mendekatkan kepala ke arah Isy, penyebab nyata mengapa suara gadis itu terdengar keras di telinga. Sedang di sebelahnya, Nawang tertawa kecil.
"Kalo lagi lovey dovey gini emang suka nggak sadar sekitar, Ra." Nawang menambahi, membuat Isy mendelik ke arahnya dan dibalas oleh gadis itu dengan jari telunjuk dan tengah membentuk simbol damai. Sementara tawa, semakin keras saja gemanya, datang dari orang di sekeliling Isy itu, tidak terkecuali Jaza.
"Ya gimana, ya. Mau juga nggak, Na, Ra? Temenku banyak yang jomlo."
"Nggak, deh, makasih. Ntar lo pasang tarif lagi. Cukup lo berdua aja ngasih asupan uwu-uwu ke kita yang jomlo." Candaan Jaza dibalas demikian oleh Tiara, membuat satu-satunya lelaki di lingkaran itu kembali asyik dengan tawanya. Sedang Isy, justru semakin kesal.
"Kamu ngapain nyuruh aku nunggu, Za? Kalau nggak penting, aku pergi aja." Isy memutus keseruan mereka. Biar saja. Lagi pula, siapa suruh meledeknya seperti ini?
"Eh, jangan, dong. Penting, kok. Ini dua orang emang ganggu aja, bikin kedistrak." Jaza menjawabnya dengan melibatkan Nawang dan Tiara, sedang respons berikutnya dari dua bersahabat itu membuat Isy kebingungan.
"Yeh, orang lo yang nyuruh kita nunggu juga. Gue kira mau bagi-bagi beras buat di kos, ternyata disuruh liatin orang ngebucin."
Ucapan Tiara dihadiahi kekehan oleh Jaza, tetapi Isy tidak mengimitasi. Dia justru menatap kedua gadis di sebelahnya dengan bingung. "Loh, kalian disuruh nunggu Jaza juga?"
"Ya iya? Masa kita dengan suka rela mau menyaksikan urusan rumah tangga kalian berdua. Males banget nggak, sih, Ra?" Kali ini, Nawang yang memberi respons verbal.
"Apa, sih? Rumah tangga, rumah tangga. Ngaco banget." Yah, pada akhirnya Isy jadi ikut terdistraksi karena ketiga orang ini sepertinya ditakdirkan bersekongkol untuk membuat Isy kesal dengan istilah-istilah demikian.
Seolah bekerja secara otomatis, tawa kembali hadir, tentu saja kecuali dari Isy. Tidak lama, sebab Jaza angkat bicara setelahnya. Mungkin karena menyadari wajah Isy yang semakin lama semakin tertekuk saja. "Udah, yuk, nanti juga tau sendiri. Ini pada bawa kendaraan, kan?"
"Bawa."
"Gue sama Nawang."
Tiara dan Nawang menjawab hampir bersamaan.
"Sip. Isy?"
"Bawa." Gadis itu menjawab saja, meski tidak tahu alur seperti apa yang hendak dibangun Jaza.
"Oke kalo gitu, let's go." Jaza mengangkat satu tangannya, menunjuk ke depan sedikit ke atas, persis seperti tingkah anak kecil. Hal itu sukses membuat Isy mengernyit karena keanehan lelaki ini.
Sepertinya, Nawang dan Tiara juga berpikir serupa, karena kerutan tercipta di dahi mereka ketika Isy menoleh ke sana, lalu tawa tertahan turut eksis. Meski begitu, mereka berjalan mengikuti Jaza saja.
"Ini mau ke mana?" tanya Isy ketika sampai di parkiran dan mendengar arahan Jaza agar tiga orang gadis itu mengikuti motornya saja. Sedang dua orang yang dituju dan diharap dapat memberi informasi, hanya menggeleng. Tampaknya, mereka sama clueless-nya dengan Isy.
***
Isy masih bisa menangkap dengan pasti, bahkan ketika dia sudah duduk di salah satu kursi LovALife, bersama enam orang lainnya. Biasanya, gadis itu berdiri melayani, tetapi tidak dengan hari ini. Di meja reservasi dengan nama Jaza ini, masih tersisa empat kursi kosong lagi. Sementara lelaki yang mengumpulkan mereka di sini, justru pergi entah ke mana. Tadi, setelah sampai di LovALife dan berpesan agar Isy, Nawang, dan Tiara duduk di meja reservasi atas nama Jaza, lelaki itu langsung pergi lagi.
"By the way, gue beberapa kali denger nama lo, Sy. Kata Piyo, si Jaza kalo urusannya udah nyangkut lo, gak inget aturan lagi." Itu suara Cisca, gadis cantik yang duduk tepat di depan Isy. Di sampingnya, duduk satu lelaki yang sudah Isy kenal sebelumnya. Piyo, koordinator mata kuliah Prof. Agus.
Tepatnya, formasi mereka saat ini adalah Isy yang duduk berderet dengan Nawang dan Tiara, membuat kursi di sisi mereka sempurna kosong. Di depan mereka, ada Cisca yang merupakan kekasih Piyo, Piyo, lalu Maya--koordinator mata kuliah yang diampu Prof. Agus juga. Sementara masing-masing dua kursi di sisi yang membentuk sudut sembilan puluh derajat dengan Isy, masih kosong hingga kini.
Isy mengerjap sedikit, tidak mengerti maksud Cisca. "Nggak inget aturan ... gimana, ya?"
Seketika itu juga, Nawang dan Tiara yang sibuk dengan obrolan masing-masing pun berhenti, begitupun dengan Mela yang melongokkan kepala ke arah Cisca.
Bukannya langsung menjawab, Cisca justru menepuk lengan Piyo ringan. "Itu, loh, By. Yang katamu Jaza ngasih cokelat ke Isy tapi bilangnya dari temen kamu. Siapa itu ... aku lupa."
"Maya?" Kini, Maya yang menyergap, membuat pandangan Isy beralih ke sana.
Cisca menjentikkan jari. "Nah, iya. Eh ... lo nggak, sih, berarti?"
"Iya." Kemudian, keduanya tertawa.
Sementara di tempatnya, Isy tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Dia sudah menebak hal ini, tetapi mendengar kebenarannya secara langsung, cukup membuat perasaannya tak karuan.
Namun, tidak berselang lama, tawa dua orang itu dan tatap kebingungan yang diberikan Nawang dan Tiara karena mereka memang tidak tahu apa-apa, segera diinterupsi oleh ucapan Piyo. "Eh, By. Ini kayaknya nggak buat dibocorin, deh," cicit lelaki itu.
"Alah, biarin. Biar Isy tau tuh, seberapa bucinnya Jaza." Cisca menjawab santai, justru terkikik setelahnya, diiringi dengan Nawang, Tiara, dan Maya yang turut tertawa kecil. Sementara Piyo tampak menggaruk kepalanya.
"Emang bucin banget tau, Cis. Waktu itu aja, gue dipersilakan ngangkut seisi mini market, dibayarin, asal mau nemenin Isy. Sayang gue nggak kepikiran minta bangunan mini market-nya sekalian."
Kali ini, Isy mendelik ke arah Tiara yang mengucapkan hal tersebut, seolah Isy tidak ada di sana. Bagaimanapun, dia dapat merasakan panas yang menjalar di seluruh tubuhnya, yang memusat sempurna di area wajah. Tentu saja, dia tidak berniat menikmati perasaan itu lebih lama, yang turut diwarnai malu karena notabene dia belum akrab dengan Piyo, Cisca, maupun Maya. Namun, tampaknya hanya Isy yang keberatan dengan hal tersebut. Sebab Piyo yang semula serba salah pun, kini turut larut dalam tawa dan keriuhan mereka.
Bahkan, kini lelaki satu-satunya di antara mereka itu turut membuka mulutnya. "Jaza kalo ... aduh!"
Akan tetapi, kalimatnya belum selesai ketika tanpa benar-benar disadari, Jaza sudah berjalan di belakang lelaki itu sembari mengetukkan kunci motornya dengan cukup keras ke kepala Piyo, yang menjadi penyebab lelaki itu mengaduh. Lelaki itu bergerak pasti ke kursi di samping Isy, dan geraknya tidak luput dari pergerakan sang gadis. Hingga Jaza duduk tepat di sebelah Isy, membuat posisi mereka membentuk sudut siku-siku.
"Ngomongin gue, ya, lo, Yo? Nggak jadi gue traktir." Jaza mengatakannya tanpa beban.
Sementara Piyo sudah bersiap dengan protesnya. "Anjir. Gue baru nyebut nama lo, ya, Za. Ni cewek-cewek yang ngulah, asal lo tau. Kenapa jadi gue yang salah?"
"Lah, lo napas aja udah salah, Yo."
Sontak, tawa menguar di meja itu ketika Maya memelontarkan kalimat tersebut. Isy tidak turut menyumbang kerusuhan di sana, tetapi diam-diam dia menarik senyuman, memperhatikan semua orang dengan perasaan yang menghangat. Rasanya, melihat semua tawa itu amat menyenangkan baginya.
Hingga kemudian, dia dikejutkan oleh kehadiran satu orang yang mendekat ke arah Jaza. "Eh, duduk sini, Pak Deri." Benar, itu suara Jaza, yang dilontarkan sembari berdiri dan menarik kursi di sebelahnya.
Secara otomatis, atensi Isy tercipta. Tatapannya jatuh pada lelaki paruh baya yang tidak lagi asing bagi Isy. Seorang satpam fakultas yang sudah terlalu sering gadis itu repotkan, apalagi jika berkaitan dengan kucing fakultas yang beberapa waktu lalu dibawa Jaza ke pet cafe. Sedetik kemudian, tatapan mereka beradu dan Pak Deri tersenyum, kemudian berkata kepada semua orang.
"Ini Bapak gabung di sini nggak apa-apa? Nang Jaza ada-ada aja, Bapak suruh ikut gini, lho, keliatan sepuhnya."
Serentak, semua orang tertawa lalu menyerukan kesetujuan agar Pak Deri menjadi bagian dari mereka siang ini. Piyo memperpanjang obrolan dengan membawa topik basa-basi dengan pria itu. Sedang Isy justru menatap Jaza, yang tidak membutuhkan waktu lama untuk dibalas.
Tatapan tanya Isy layangkan, kemudian seolah mengerti maksud Isy, Jaza memberikan senyum. "He helped us a lot," bisiknya lirih, lalu kembali menatap semua orang yang ada di sana, membiarkan Isy yang masih bertahan menjatuhkan pandang ke arahnya. "Udah pada pesen belum?" tanya sang lelaki.
"Udah sih ini, tinggal lo sama Pak Deri ...." Piyo yang menjawab, yang kemudian terhenti karena kehadiran sepasang manusia yang tampak serasi berjalan berdampingan.
"Eh, sorry telat," kata sang lelaki. Keduanya kemudian mendudukkan diri di bangku yang kosong. "Ody milih sendal aja lama banget."
Terlihat tidak setuju, sang gadis melotot kepada pasangannya. "Enak aja. Orang Kakak yang ada aja barang ketinggalannya."
Isy menatap mereka dengan bingung, mungkin Nawang dan Tiara juga, karena mereka tampak hanya bisa memberikan ringisan. Sebenarnya, Jaza mengundang siapa saja dan untuk apa?
"Ribut aja pasangan baru, heran." Piyo yang menanggapi lebih dulu.
Respons santai yang diberikan sang lelaki, membuat Isy dapat sedikit menilai bahwa Piyo sudah mengenal keduanya. Namun, yang lebih menyita perhatian Isy adalah kekehan Jaza yang disertai dehaman. "Udah, udah. Kalian mending tulis dulu mau pesen apa, biar gue yang ngasih ke kasir ntar."
Pasangan itu menurut, tetapi Isy masih belum mengalihkan tatapannya dari Jaza, menuntut tanya dari sorot mata. Sampai akhirnya, Jaza menyadari dan menatap lembut gadis itu. Tak memberi penjelasan secara personal, Jaza justru kembali menatap ke depan, pada semua orang yang ada di sana.
"Oh, iya, sambil Pak Deri, Reyga, sama Ody pilih menu, barang kali belum kenal. Buat Cisca, anak luar FISIP satu-satunya, ini Pak Deri, pahlawan keamanan FISIP." Tawa kecil terlontar ketika Jaza mengungkapkan hal itu.
"Pahlawan, kayak apa aja to, Za." Pak Deri menjawab demikian, disahuti penentangan yang mengungkapkan bahwa Pak Deri memang pahlawan.
Kala riuh mereda, Jaza kembali berucap, "Ini Reyga sama Ody, Sy, Ra, Na." Jaza menspesifikkan ucapannya untuk Isy, Tiara, dan Nawang, seolah tahu bahwa mereka belum mengenal dua orang itu. "Dua-duanya aktivis Sospol BEM FISIP, tuh. Maya udah kenal, ya, setahu gue. Terus ini Isy, Nawang, sama Tiara, Ga, Dy. Partisipan FISIP Heroes. Sebenernya ada satu orang lagi, sih, yang mau gue undang, namanya Dipta. Cuma anaknya lagi pulang kampung."
Sebelum melanjutkan ucapannya, Jaza menatap Isy, tersenyum, kemudian kembali mengitarkan pandangan lagi. "Sebenernya gue ngajakin Temen-temen terus Pak Deri juga, nggak dalam rangka apa-apa, sih. Mau bilang makasih aja, karena udah jadi orang-orang baik yang udah banyak bantu gue."
"Waduh, bantu apa, nih. Yang ituuu nggak, sih?" Itu Tiara, yang berkata sambil bergerak-gerak di kursinya. Isy sadar betul, bahwa gadis itu menunjuk dirinya dengan sudut mata. Tentu saja, hal itu membuat Isy mencupit paha Tiara kecil, membuat gadis itu mengaduh.
Sementara yang lainnya, tertawa. Tidak terkecuali Jaza. Isy ingin tenggelam saja rasanya.
"Nggak usah iseng, deh, nanti anaknya ngambek." Isy lebih dari sekadar sadar kalau yang dimaksud Jaza adalah dirinya, sehingga tanpa aba-aba dia menendang tulang kering Jaza di bawah sana. Ringisan sang lelaki pun menjadi sumber tawa yang lainnya.
Tawa itu bertahan lama, sampai akhirnya mereda dan Jaza kembali berbicara, "Ya, pokoknya gitu. Makasih buat apa aja, deh, ya."
"Lah, nggak makasih ke gue juga lo, Za? Ke Mars juga, tuh, yang lagi shift." Tiba-tiba, sebuah suara datang dari belakang Isy, membuat gadis itu menoleh. Di sana, ada Ibra yang langsung membuat Isy kikuk, hendak berdiri saat itu juga. "Eh, ngapain berdiri, Sy, duduk aja, lo pelangan hari ini," kata Ibra sembari menekan pundak Isy agar tetap duduk. Lelaki itu bergerak ke samping Jaza. "Parah lo, gue nggak diajak."
"Males, lo udah tua nggak bakal nyambung sama obrolan kita." Jaza membalas seolah tidak sadar akan sesuatu.
"Loh, ini Bapak lebih sepuh, jadi gimana, Za? Mulih aja, to?"
Itu suara Pak Deri, yang kontan membuat tawa kembali menguar, sementara Jaza menggaruk kepalanya. "Eh, nggak, Pak, itu bercanda aja saya."
Kali ini, Isy turut bersama mereka. Apalagi ketika melihat wajah Jaza yang serba salah dan memerah, membuat kelucuan momen ini semakin bertambah di mata Isy.
Kemudian, interupsi tercipta dari Ibra. "Ini udah pilih menu semua? Biar sekalian gue bawa aja kalo udah. Kapan lagi, kan, dilayani sama yang punya langsung."
Sorakan terdengar, dan semakin menyadari bagaimana santai dan hangatnya situasi saat ini, perasaan Isy terasa ringan. Dialog terus tercipta, bahkan hingga Ibra pergi dari sana.
Kecanggungan masih dirasakan oleh gadis itu. Tentu saja, berbincang panjang dengan banyak orang dalam hitungannya ini, bukan merupakan hal yang mudah. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa Isy amat sangat menikmati momen ini. Entah untuk keberapa kalinya, senyumnya terkembang. Ada bahagia yang membuncah dengan amat sangat. Sudah lama sejak dia menikmati waktu-waktu seperti ini.
Mata sayu gadis itu tidak lepas dari semua orang, dari gerak mulut mereka, dari segala canda yang dilempar hingga nasihat-nasihat yang diberikan oleh Pak Deri. Hingga getar terasa, hadir dari dalam sling bag yang dia pangku. Tanpa menunggu lama, Isy meraih benda pipih multifungsi miliknya itu.
Ada satu pesan di sana. Nama pengirim yang tertangkap mata, membuat gadis itu mengangkat wajah dan menghadapkannya kepada Jaza yang tersenyum kepadanya, sebelum dia kembali menunduk dan membuka pesan tersebut.
Jaza Mereka bisa jadi temen-temen kamu. From now on, my world is yours, Isy. Because you deserve the world, including mine. Thank you for being strong most of the time.
Lama sekali Isy memandangi kalimat itu. Dalam dadanya, seolah hadis selimut paling tebal yang mampu membuat suhu di musim dingin tidak ada artinya lagi. Ia merasa penuh, sampai-sampai tidak mampu menahannya, membuat air mata terasa menggenang dan membuat pandangannya memburam. Di sela usahanya membuat bulir bening itu tidak jatuh dari tempatnya, ada sentuhan yang dia rasakan. Jatuh tepat di atas sebelah tangannya yang tersimpan di atas meja. Dua tepukan lembut, tiga, lalu empat, dan Isy tahu siapa pemiliknya.
Jaza, what did I do to deserve you?
Bentar, masih ada satu chapter lagi buat malam ini. Akuuuu mau tarik napas duluu
AN
11 July, 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro