Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29_she's the present

Dia tidak pernah sederhana, melainkan satu kemewahan yang patut disyukuri untuk waktu yang teramat lama.

***

"Mampir dulu?"

Malam selalu sama, identik dengan legamnya hitam yang menjadi selimut bumi dan seisinya. Akan tetapi, jika dipandang dari sisi yang lain, banyak yang berbeda dari malam ini dan malam-malam kemarin bagi Jaza. Dia yang terbiasa memperhatikan Isy dari jauh, memastikan punggung gadis itu selamat sampai ke dalam rumah, lalu pergi setelah semuanya usai tanpa sedikit pun membiarkan sang gadis mengetahui kegiatannya, kini justru berdiri di depan sang objek dengan motor yang terparkir tepat di depan pagar rumah Isy.

Mesin motornya mati total dan tidak langsung dinyalakan. Jaza juga tidak menunggu lebih dari sepuluh meter jauhnya hanya untuk mengamati gerak Isy ditelan daun pintu. Kini, lelaki itu mengantarkan Isy tanpa sibuk dengan sembunyinya.

Rasanya, tadi dia seperti maling yang tertangkap basah ketika Isy mengatakan bahwa dia mengetahui kegiatan Jaza yang sering membuntutinya, mengantarkan gadis itu diam-diam hingga sampai ke rumahnya. Sedang Jaza tidak memiliki ancang-ancang apa pun untuk menghadapi kemarahan Isy. Akan tetapi, untungnya, gadis itu tidak banyak mempermasalahkan. Bahkan, tanpa dapat diduga, Isy justru mengizinkan Jaza untuk mengantarkannya lagi dan kali ini secara terang-terangan. Perasaan lelaki itu sudah tidak karuan karenanya. Namun, ternyata ada yang lebih ampuh mengundang keterkejutannya, yakni ucapan sang gadis yang terasa amat ringan, padahal hampir membuatnya jantungan.

Jaza berdeham, mengusap tengukuknya. Sementara Isy masih menenggerkan tangan di atas pintu gerbang setinggi dada yang baru sedikit terbuka, dengan gestur menyilakan Jaza untuk turut masuk bersamanya. Apakah Isy tidak tahu betapa tidak ada yang baik-baik saja dari diri Jaza karena perbuatannya itu?

Sebagai respons pertama, Jaza berdeham, menyambut raut wajah Isy yang masih menunggu jawaban darinya. "Nggak, deh, udah malem. Nanti jadi omongan tetangga."

"Bener? Bundaku di rumah, kok."

Kali ini, Jaza melotot. Sungguh, ada apa dengan Isy? Mengapa dia bisa sesantai itu? Katakanlah Jaza berlebihan, tetapi jika menilik bagaimana tertutupnya Isy selama ini, baginya, memasuki rumah gadis itu merupakan hal yang besar. Maka, secara tidak sadar, dia berbicara dengan nada yang lebih tinggi. Bukan berupa bentakan, melainkan sebagai ekspresi ketidakpercayaannya. "Pelan-pelan, dong, Isy. Stop driving me insane."

Sementara di depannya, Isy hanya memberikan kernyitan. "Apa, sih? Orang aku ngajak mampir doang."

"You don't usually act like this. Isy's stuff is about pushing me away."

Jaza dapat melihat Isy memutar bola matanya. Tampaknya, gadis itu tidak menganggap bahwa perlakuannya terhadap Jaza merupakan sebuah anomali yang amat langka. Sebagai respons verbal, Jaza hanya mendapati Isy yang berujar dengan nada malas. "Was my stuff. Wajar kalau dulu aku males banget lihat kamu. Nyebelin, mana sok kenal dan sok tahu urusan orang."

Jika mendengar, siapa pun dapat menangkap kekesalan dari nada bicara Isy. Namun, hal itu justru membuat Jaza yang semula masih lekat dengan gugupnya, kini tak kuasa menahan senyum. Semata karena perkataan gadis itu yang entah disadari atau tidak oleh pelafalnya, memiliki celah yang mampu membuat Jaza besar kepala.

"Berarti sekarang udah nggak males urusan sama aku?" Benar, kali ini Jaza mengungkapkannya dengan senyum tertarik. Entahlah apakah kekakuannya atas perilaku Isy sudah benar-benar hilang, atau semata samar. Satu hal yang pasti, gigi rapinya dipamerkan apalagi saat Isy menatapnya dengan kernyit di dahi.

"Apaan, sih? Masih males, ya, kamu cerewet." Isy tampak tersulut.

"Masa?" Dan Jaza tidak mau mundur.

Hingga akhirnya, Isy berhasil dibuat berdecak. Tangannya terlihat bersiap mendorong pagar agar terbuka lebar. "Udahlah sana, pulang aja."

Kekehan Jaza udarakan. Nyatanya, yang dia perlukan adalah membuat diri sendiri relaks, menerima segala penuh yang dirasa tanpa menyangkalnya sedikit pun. "Iya maaf. Bercanda itu."

"Nggak lucu."

Respons sewot Isy membuat Jaza kembali eksis dengan kekehannya. "Iya, iya. Nggak lagi. Ya udah gih, kamu masuk. Udah malem."

Isy masih konsisten dengan ekspresinya, tetapi kalimatnya tidak. Ia kembali menyinggung apa yang membuat mereka berdialog panjang malam ini. "Kamu beneran nggak mau mampir?"

Untungnya, Jaza sudah lebih relaks. Meski tidak menutup kenyataan bahwa sisa keterkejutan dan keheranan masih nyata di dalamnya, lelaki itu bisa merespons dengan lebih tenang. "Ini kamu bukan basa-basi aja?"

Isy mendengkus. "Menurut kamu aja, deh."

"Kamu kedengeran serius. Tapi nggak tahu."

Kali ini, Isy menghadapkan tubuh sepenuhnya ke arah Jaza. Wajahnya menatap Jaza datar. "Cuma mampir doang. It's not a big deal."

"Ya ... but I think, this," Jaza membentangkan tangannya sedikit, memberi gestur bahwa this yang dia maksud adalah rumah Isy, "is a sacred place for you. At least, as far as I know you, it must be a big thing."

Saat itu juga, Jaza dapat melihat Isy yang terdiam. Mungkin menyadari kebenaran ucapan Jaza? Entahlah.

Sampai akhirnya, gadis itu berkata lirih. "Exception."

"Hah?" Jaza mendengarnya, tetapi tidak jelas dan ia ingin memastikan bahwa tidak ada yang salah dengan pendengarannya.

"You."

"Maksudnya?"

"Ck. Kalo kamu mau mampir bentar nggak apa-apa. I told you, Bunda di rumah. But if you wanna go, it's up to you," ungkap Isy kesal.

Jaza tersenyum. Entahlah. Dia hanya bahagia. "Nggak usah, deh. Aku belum siap ketemu sama Bunda kamu."

"Kamu udah pernah ketemu sama dia." Santai sekali Isy mengatakan hal itu, padahal Jaza sangat asing dengan fakta yang dia ungkapkan.

"Hah? Kapan? Waktu di klinik, kamu nyuruh aku pergi, in case kamu lupa. We haven't met before."

Remang, memang. Akan tetapi, Jaza dapat melihat Isy merotasikan netranya. "Emangnya kamu pikir, aku tahu kamu suka ikutin aku tuh dari siapa?"

"Dari siapa?" Jaza menjawab polos.

"Dari Bunda. Beliau udah ketemu kamu. Bahkan tahu nama kamu, tahu kalau kamu suka anaknya."

Sontak, Jaza melotot. Gadis ini benar-benar penuh kejutan dan mampu mengungkapkannya seolah itu bukan apa-apa. "Maksudnya?"

Namun, kala Jaza belum selesai dengan dirinya, suara lain terdengar dari dalam sana, dari seseorang yang tepat berada di depan pintu rumah Isy.

"Isy, sama siapa? Lama banget, nggak masuk-masuk."

Seketika, tubuh Jaza seolah berubah menjadi boneka kayu yang tak memiliki persendian di alat geraknya.

***

"Maaf, ya, di teras gini."

Di tempat duduknya, Jaza mengulas senyum, meski wajahnya terasa kebas. Kini, dia benar-benar duduk berdua dengan ibunda Isy, sebab sang gadis tengah memasuki rumah setelah mendapat titah untuk mengambilkan minum.

Lelaki itu memusatkan pandang kepada lawan bicaranya. "Nggak apa-apa, Tante. Saya yang minta maaf, malah ganggu waktu Tante malem-malem gini."

Bunda Isy tersenyum tipis, menatap Jaza yang mencoba tengah tenang meski perasaannya sangat sulit dikendalikan. "Loh, nggak ganggu. Sebenarnya Bunda udah lama pengin ketemu kamu lagi. Syukur, deh, sekarang kamunya mampir. Eh, udah nggak diem-diem nganter Isy-nya?"

Jujur, Jaza sudah mempersiapkan diri jika nantinya topik ini akan disinggung, meski hal itu dia lakukan sesaat sebelum Isy dan sang ibu menyilakannya mampir barang sebentar. Akan tetapi, nyatanya hal itu tidak membantu banyak. Ia harus berusaha keras agar tidak tampak kaku di depan seseorang yang telah melahirkan Isy ke dunia.

"Errr ...." Jaza mengusap tengkuknya. "Tante, saya minta maaf karena sudah lancang mengikuti Isy seperti yang sudah-sudah. Saya tahu betul, itu mencederai privasi Isy."

Di luar dugaan, Jaza yang masih sibuk dengan degupan di jantungnya justru dihadiahi kekehan oleh wanita paruh baya yang duduk dipisahkan meja dengan dirinya. "Kok minta maaf?" ujar perempuan itu. "Bunda malah makasih sama kamu, udah jagain Isy. Sebenernya Bunda khawatir waktu Isy minta izin buat kerja. Tapi Bunda percaya kalau ada kamu, ya walaupun kita baru ngobrol sekali dan itu singkat sekali. Terima kasih, ya, Nak. Oh, iya. Panggil Bunda aja, ya, terus nggak usah serius banget begitu kalau ngobrol sama Bunda."

Senyum itu damai sekali, menyiratkan semua kata yang diungkapkan adalah tulus adanya. Perlahan, seperti sihir yang dihantarkan peri tak kasatmata, Jaza turut tersenyum bersama mata yang mengantarkan sejuta tenang itu. Perlahan, ketegangannya beranjak samar, digantikan hangat sebab kasih sayang sang ibu untuk anaknya terasa amat pekat di dinginnya malam yang mencoba mengalahkan.

Jaza mengangguk. "Iya ... Bunda. Jaza yang harusnya terima kasih, karena Bunda udah percaya sama Jaza buat sedikit jagain Isy."

Lagi, perempuan yang amat identik dengan kata tenang meski baru kali ini Jaza berinteraksi dengannya dengan keadaan dia tahu identitas perempuan itu, menebarkan senyumnya. Kali ini tatapan itu bertahan lama, tidak langsung disertai kata. Jaza bertanya-tanya, apa kiranya yang akan dia dengar dari bibir perempuan kuat di depannya ini.

Hingga kemudian, jantungnya berdebar hebat kala satu tanya keluar dari sana.

"Jaza ... serius sayang sama Isy?"

Lelaki itu membatu di tempat. Dulu, dia mengatakan intensinya untuk Isy dalam keadaan tidak tahu bahwa perempuan di depannya merupakan ibu dari pemilik nama. Kali ini, keadaannya berbeda. Secara sadar Jaza mengetahui siapa perempuan itu. Tentu saja, suara yang dulunya keluar dengan lancar dan disertai senyuman, kini hanya bisa tertahan di tenggorokan.

Detik demi detik berganti, sampai lelaki itu tidak lagi merasa mampu membuat ibunda Isy menunggu lebih lama lagi. Bibirnya hendak terbuka, tetapi kali ini ada hal lain yang menghentikannya.

Isy mendekat ke arah mereka, lebih tepatnya pada meja yang memisahkan kedua manusia berbeda generasi itu.

"Diminum dulu, Za," ungkapnya sembari meletakkan secangkir teh di sana.

"Iya. Makasih, Isy."

Jaza dapat melihat senyum tipis Isy. Secara otomatis, kalimat yang hendak dia ucapkan tertelan kembali.

"Diminum, Za. Motoran malem, biar nggak masuk angin."

Anggukan diberikan Jaza, sembari meraih cangkir teh yang dibawakan Isy. "Iya, Bunda."

"Bunda beneran nggak mau dibikinin teh juga?"

Pandangan ibunda Isy beralih ketika suara sang gadis terdengar. Dapat Jaza lihat, sang ibu mengelus lengan putrinya lembut. Hangat, mendapati interaksi seperti ini.

"Nggak usah, Nak."

Isy mengangguk dan gerakannya sama sekali tidak lepas dari mata Jaza. "Ya udah. Isy masuk dulu, nggak apa-apa?"

"Gih, bersih-bersih dulu. Biar Jaza Bunda yang temenin."

Sekali lagi, anggukan Isy tertangkap netra. Namun, baru saja gadis itu hendak berlalu ke dalam, suara sang ibu menghentikannya.

"Eh, Isy ada jaket yang bisa dipakai cowok, nggak?" Bukan hanya Isy, tetapi Jaza juga menatap ke arah perempuan itu kala tanya terlontar dari bibirnya. Sedetik kemudian, ibunda Isy mengarahkan tatap pada Jaza. "Jaza nggak pakai jaket. Nggak bawa, ya? Pinjam punya Isy dulu."

Lalu, refleks motorik membuat Jaza mengarahkan netra kepada Isy, membuat lelaki itu segera bertemu pandang dengan gadis yang ternyata juga tengah menatap ke arahnya. Keduanya diam. Entah apa yang dipikirkan Isy, tetapi Jaza dapat melihat gadis itu yang perlahan menundukkan kepala, menatap pada jaket yang membalut tubuhnya. Sampai akhirnya, keterdiaman mereka terpecahkan.

"Loh, Isy pakai jaketnya siapa? Kayaknya Bunda nggak pernah lihat."

Sontak, Jaza dapat melihat gadis itu menolehkan kepada ke arah ibunya.

"Hah?" Spontan, sepertinya. Lalu, Isy kembali menoleh ke arah Jaza sehingga lelaki itu dapat melihat raut lucu yang ditampilkan sang gadis. "Oh, ini ...." Isy tampak salah tingkah, dan perlahan Jaza berusaha menahan senyumnya.

"Punya Jaza?"

Kalimat itu membuat Jaza yang semula menatap Isy, kini menjatuhkan tatap ke arah perempuan yang lebih tua. Sisa senyum masih ada di bibirnya, dan lelaki itu tidak sama sekali berusaha memudarkan. "Iya, Bunda."

Segera, decakan terdengar. "Isy kebiasaan nggak bawa jaket gitu. Kasian ini Jaza-nya."

"Nggak apa-apa, Bunda. Jaza mah bisa ini lawan angin. Kalau Isy kasihan, takut kebawa terbang gara-gara kedinginan."

Itu candaan pertama yang dilontarkan Jaza malam ini, di hadapan seseorang dengan perlakuan yang amat hangat. Ibunda Isy tertawa kecil, sementara pemilik nama yang dijadikan bahan bercanda, melotot lebar ke arah Jaza.

"Nggak usah body shamming." Isy memprotes dengan tatapan kesal.

"Loh, kenyataan itu. Kamu kehujanan dikit aja flunya berhari-hari." Tentu saja, protes itu terpatahkan karena sang ibunda justru berada di sisi Jaza.

Kini, kedua orang yang setia dengan duduknya, mengumbar tawa kecil, menikmati Isy yang berdecak kesal.

"Udahlah. Isy masuk dulu." Tanpa menunggu persetujuan, gadis itu melenggang pergi.

Sedang masih dengan sisa tawanya, ibunda Isy melongokkan kepala ke arah kepergian sang putri. "Pinjemin jaket Jaza-nya. Gantian."

"Iya, ih, Isy udah denger."

Lagi, dua manusia berbeda generasi itu berbagi tawa, seolah tidak ingat bahwa ini kali pertama dialog intens tercipta di antara keduanya.

Sampai sebuah suara yang sarat akan kehangatan di dalamnya, menghentikan kekehan Jaza.

"Jaza." Sang lelaki menoleh, kemudian menerima tepukan ringan di pundaknya. "Makasih, ya, sudah mau berteman atau mungkin lebih? Dengan Isy." Ada kekehan di sana, dan Jaza hanya mampu mengimitasi hal itu guna menyamarkan kegugupannya. "Kamu orang pertama yang diundang Isy ke rumah setelah sekian lama. Makasih, sudah membuat dia sedikit-sedikit menerima orang lain untuk masuk ke dalam hidupnya. Bunda senang."

Padahal, bagi Jaza, seharusnya dia yang banyak berterima kasih untuk hadirnya Isy. Berterima kasih atas baik yang diudarakan gadis itu hingga horizon mampu menangkapnya sebagai salah satu cercah cahaya yang ada di dunia, yang mengabarkan bahwa gelap dapat dikalahkan dengan satu titik terang saja. Sebab menjadi seorang Isy bukan sebuah hal biasa, melainkan keluarbiasaan yang Jaza syukuri sebab dia menemukannya di antara manusia yang berjuta. Isy ... adalah entitas yang layak disyukuri semesta.

Siap nggak, kalau aku bilang, pekan depan kisah ini selesai? Hahaha. Terima kasih nggak akan pernah berhenti aku ucapin, karena Temen-temen udah mau nemenin Isy sembuh sampai sejauh ini. Tetep di sini sampai akhir, oke? See youuu.

AN

July 7, 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro