Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27_people come and go, so you do

Everyone deserves to be loved, including you. No matter what.

***

Seharusnya, jika menilik bagaimana hubungan Jaza dan Isy yang membaik belakangan ini, berakhirnya FISIP Heroes bukanlah hal yang berarti. Meski mereka tidak lagi dipertemukan dalam kelompok tugas, jauh bukan kata yang patut lekat di antara keduanya. Seharusnya, mereka baik-baik saja. Toh, jika memang membutuhkan alasan untuk saling membuka percakapan, masih ada LovALife yang bisa menyatukan, pun mata kuliah yang diajar Prof. Agus meski hanya tersisa menyiapkan ujian pekan depan.

Namun, segala yang sewajarnya menjadi keharusan, justru menyandang kata kemustahilan. Isy tak mengerti, apa tepatnya yang terjadi. Satu hal yang dia pahami, netra Jaza tak terlalu banyak menatap ke arahnya. Senyum lelaki itu, tak terulas sesering hari-hari sebelumnya.

Ingatan gadis itu terlempar ke belakang, pada lima hari lalu saat sekumpulan orang dengan seragam serupa bertuliskan FISIP Heroes Crew, berjajar rapi di depan backdrop kegiatan. Senyum-senyum terkembang, gaya heboh dilakukan, dan semuanya tertangkap kamera tanpa blitz yang dihidupkan. Sekilas yang melihat, pasti dapat menyimpulkan bahwa mereka tengah diselimuti keceriaan. Akan tetapi, jika meninjau dengan lebih detail, ada satu senyum yang tertarik tak begitu lebar, dengan netra yang melirik ke ujung meski tak dihiraukan.

Isy pemiliknya, yang cukup kaget ketika Jaza berpindah posisi saat Isy berdiri tepat di sebelahnya, guna berpartisipasi dalam dokumentasi kegiatan. Juga Jaza yang tetap tersenyum lebar, tetapi tidak menjadikan Isy sebagai arah pandang. Sejak hari itu, mereka hanya bercakap seperlunya. Tidak ada lagi Jaza dengan kalimat panjangnya, atau Jaza yang keberadaannya dapat ditemui di mana-mana.

Bersama tangan yang penuh dengan rice box di atas nampan, Isy tersenyum tipis. Bodoh sekali dirinya, lebih percaya pada kalimat lelaki itu dibanding satu pepatah yang amat populer di dunia. Bahwa people come and go. Padahal, sampai sekarang pun, ia masih benar, masih dengan mudah mampu mengalahkan kalimat "berusaha untuk selalu di sini" yang Jaza lontarkan.

"Ini, Kak. Yang salmon masih proses, ya," ucap Isy seraya meletakkan nampan yang dia bawa ke meja kasir, membiarkan karyawan yang bertugas di sana menyerahkannya kepada pembeli.

"Oke. Thanks, Isy." Itulah jawab yang dia terima.

Setelahnya, Isy berbalik, hendak menuju dapur untuk melakukan sisa pekerjaan yang belum usai. Namun, langkahnya terhenti kala suara Ibra menginterupsi, membuatnya harus berdiri diam di sudut dapur. Tubuhnya dia bawa mundur sedikit, agar tidak menghalangi jalan.

"Iya, Kak, kenapa?" tanyanya, saat Ibra sudah berada tepat di hadapan.

"Lo kelas jam satu, kan? Balik dulu aja nggak apa-apa."

Mendapati kalimat seperti itu, secara refleks Isy menoleh ke sekitar, memperhatikan dapur kecil mereka yang tengah cukup sibuk beroperasi. Maklum, jam makan siang. Lalu, matanya dia bawa kembali untuk menatap Ibra. "Nggak apa-apa, Kak. Tiga puluh menitan lagi aja aku pergi, ini masih rame."

Ibra menggeleng tegas. "Lo butuh istirahat juga. Udah aja, biar diambil alih yang lain. Lusa lo juga dateng telat nggak apa-apa, jam enam sorean gitu. Kelas selesai jam lima, kan? Rehat dulu, nggak usah langsung ke sini."

Isy cukup kaget, karena Ibra terlampau hafal dengan jadwal kegiatannya. Akan tetapi, mengingat bagaimana lelaki itu memang peka sekitar, membuat Isy tidak lagi heran. "Kak, that's too much. Aku beneran nggak apa, kok. Oke, lusa aku masuk jam segitu, tapi sekarang aku di sini seenggaknya lima belas menit lagi. Boleh? Nggak enak sama yang lain."

Netra mereka beradu, membuat Isy dapat melihat sorot keberatan dari tatapan Ibra. Akan tetapi, dia tidak mengalah pun mengalihkan pandangan. Hingga akhirnya, satu hela napas terdengar. Sepertinya, Ibra selesai dengan pendiriannya.

"Oke. Lima belas menit."

Isy tersenyum. "Sip."

"Ya udah, gue tinggal, ya."

Baru saja Ibra berbalik dengan kekalahan yang dibawanya, Isy menahan lelaki itu dengan seruan. "Kak."

"Ya?" Ibra menoleh, membuat badannya kembali menghadap Isy.

"Lusa aku shift sore sama siapa aja, ya? Kayak jadwal biasa atau ...."

"Sama Mars yang di kasir, waitress sama Dina, Sy. Kalo lo ada apa-apa, bisa kabarin Mars aja, atau ke grup juga bisa."

Isy mengangguk, melayangkan respons bahwa dia memahami betul perkataan Ibra. Untuk niat pergi yang sempat ditunda sang lelaki pun, kini dapat terlaksana. Meski sebenarnya, ada banyak hal yang tidak dimengerti oleh gadis itu.

Malam Minggu. Seharusnya, Jaza yang bertugas di sana. Jaza yang akan diledek oleh Mars saat Mars menyelesaikan shift siang saat magrib hampir menjelang, bahwa Jaza tidak memiliki pasanggan seperti dirinya sehingga harus menghabiskan waktu dengan bekerja. Seharusnya, Jaza yang akan bersamanya hingga malam, membersihkan seluruh ruangan dengan kecerewetannya meminta Isy berhenti melakukan apa-apa. Begitulah, setidaknya jika ditilik dari jadwal selama mereka bekerja bersama hampir empat pekan lamanya.

Namun, sudah tiga kali, jadwal kerja lelaki itu berubah total. Jadwal yang seharusnya membuat Isy menjadi partnernya entah dalam shift siang maupun malam, kini tidak ada lagi. Dan lusa, adalah kali keempat pembagian shift Jaza tidak berjalan seperti sebelumnya.

Pada akhirnya, setelah tahu segalanya, lelaki itu memilih pergi juga.

Ponsel Isy bergetar, saat gadis itu hendak melangkah mengambil pesanan. Terlebih dahulu, dia menanyakan apakah pesanan tersebut sudah siap. Kala belum menjadi jawaban, dia memilih untuk mengecek ponsel terlebih dahulu.

Kak Dean Isy, I applied for study master abroad. Besok, aku berangkat ke Jepang dan menetap di sana. Wish me luck, ya. See you in another proper time. Sorry for not loving you in a good way. Kamu berhak dicintai oleh orang-orang baik di luar sana. Hope you the whole happiness, Isy.

Kak Dean Oh iya. Hampir semua orang di SMA, udah tahu kalau Harsa yang bersalah dari berbagai sisi. Lately, dia ngulangin kesalahannya, Sy. Maaf nggak ngomongin ini langsung, aku cuma takut, waktu itu bukan saat yang tepat. No worries, kamu nggak pernah buruk di mata siapa pun.

Isy tersenyum, mengetikkan beberapa kata untuk dikirimkan kepada Dean. Dia tidak mengatakan bahwa memaafkan adalah hal yang mudah. Bahkan, sampai sekarang, gadis itu masih mengingat banyak hal buruk ketika nama Dean mengusik ingatan, pun Harsa dan semua orang yang membuatnya kecewa di masa lampau. Akan tetapi, sebanyak yang Isy bisa, gadis itu mencoba damai, mencoba selesai.

Namun, ada satu kalimat yang membuatnya membaca berulang kali. Tangannya mengambang di atas layar, meski pesan untuk Dean sudah terkirimkan.

Does mentally unstable person deserve to be loved? Gadis itu tersenyum. Mungkin, sampai putaran bumi berakhir, "tidak" akan menjadi jawaban yang abadi. Bahwa cinta bukan untuk seseorang seperti dirinya. Seseorang yang selalu berusaha tenang, tetapi tekadnya segera runtuh hanya karena masa lalu yang terkenang. Seseorang yang mengulas senyum lembut, lalu kepada yang lainnya, cemberut diberikan. Seseorang yang dengan mudah menumpahkan tangisan, bahkan untuk ketakutan yang entah akan terjadi atau tidak.

Lagi pula, siapa yang akan dengan suka rela bersedia bertahan untuk gadis dengan masa lalu kotor seperti kamu, Sy?

Gumaman di hatinya, hanya Isy lengkapi dengan senyuman. Iya, yang pergi biarlah pergi. Toh, selama ini dia baik-baik saja meski tidak ada nama Jaza yang tergurat di harinya. Benar, kan?

***

Nyatanya, jawaban yang Isy peroleh sangat amat bertolak belakang dengan apa yang dia mau. Tidak. Dia tidak baik-baik saja. Entah apa yang amat berubah dari hidupnya setelah Jaza hadir sebagai asing yang menjelma bising di kepala. Sebagai sebaris nama yang jika dihitung berapa kali mengiringi detak di dada, akan menjelma jumlah yang tak lagi terbatas. 

Dia tiada sebelumnya, dan Isy baik-baik saja. Akan tetapi, setelah semua bersama yang menyapa, mengapa kala pergi digandrungi sang lelaki, sakitnya terasa luar biasa? Bahkan, menyadari Jaza yang tak membiarkan kesibukan usai dari tubuhnya pun, membuat Isy tidak fokus bekerja. Mendapati lelaki itu memperlakukannya seperti orang asing, membuat pekerjaannya harus salah di sana sini.

Kenyataannya, Jaza memang mengubah banyak hal. Tentang Isy yang kini jauh lebih terbuka, ia yang mudah dekat dengan Ibra, Mars, atau pekerja laki-laki lainnya, juga Isy yang bahkan sudah yakin untuk tidak lagi selalu melingkarkan anxiety ring di jemari. Jaza membawa banyak hal baru, dan Isy benci pada satu pertanyaan yang terus menggerogoti.

Apakah pada akhirnya, Jaza sadar bahwa bertahan untuk Isy bukan sesuatu yang dia inginkan? Jaza baik, sangat. Akan tetapi, dia masih seorang manusia yang memiliki hak untuk menjatuhkan pilihan. Dan tanpa sedikit pun hak yang dipunya, Isy  benci pada pilihan yang dia ambil saat ini. Menjauhinya, memberikan jarak tak kasatmata yang sulit sekali dilipat hingga menyempit tak tersisa. Ia benci, pada kenyataan bahwa Isy tidak ingin hal itu terjadi.

Bukankah awalnya, aku izinin dia tahu semuanya supaya dia bisa memilih untuk tetap tinggal atau berhenti saja? Bukankah seharusnya, aku siap dengan dua kemungkinan dengan persentase yang sama besar itu?

Namun, Isy tidak lagi bisa memegang kendali atas hatinya. Segala rencana itu runtuh. Ada harap yang masih saja tersemat, bahwa kalimat yang sempat dilontarkan lelaki itu, akan betulan menjadi sebuah selalu. 

Ingin rasanya, gadis itu menyapa lebih dulu, bersikap seolah mereka baik-baik saja dengan tidak tahu dirinya. Akan tetapi, Isy tidak yakin bahwa dia bisa. Silakan saja jika semesta ingin menyebut bahwa Isy keras kepala, bersikeras memenangkan ego dan gengsinya. Dia memang tidak bisa melakukan itu. Niat yang menyembul, segera urung.

Isy, bahkan dulu, Temen-temen yang kenal lama sama kamu aja nggak bisa nerima. Apalagi Jaza yang hadirnya masih teramat baru untuk dijatuhi segala harap tak masuk akalmu?

Benar, Isy tampaknya terlalu naif dalam memandang. Sebaik apa dirinya, hingga dengan berani dan tidak tahu diri, sudah mengharapkan seseorang seperti Jaza?

Pikirannya yang penuh, membuat Isy tanpa sengaja menyenggol ujung meja. Nampan berisi gelas bekas pelanggan, bergoyang hebat hingga sisa minum yang masih ada membuat pakaiannya tergenang. Isy memejamkan mata, menetralkan detak jantungnya.

"Isy, nggak apa-apa?" Seorang karyawan perempuan yang sudah siap pulang dengan tote bag di lengannya, menghampiri gadis itu.

Isy menggeleng perlahan, lalu menegakkan tubuhnya sebelum mengulaskan senyuman. "Nggak apa-apa, kok."

"Beneran?"

"Iya, Kak."

"Ya udah, aku tinggal, ya. Maaf banget, ada urusan."

Kali ini, anggukan diberikan dan gadis yang berusia dua tahun di atasnya itu, sudah melangkah keluar. Akan tetapi, tatapan Isy tidak mengiringi kepergiannya atau menatap ke depan untuk segera meletakkan benda di tangan ke dapur. Dia justru melirik ke ujung ruangan, pada Jaza yang seolah tidak memiliki ketertarikan untuk mencari tahu sedikit ribut yang dia cipta. Jaza yang mengelap meja dengan khusyuk, tanpa membagi tatapnya kepada Isy. Jaza yang sepertinya terpaksa masuk kerja di malam Minggu dengan Isy sebagai salah satu parternya, karena Mars memiliki kepentingan yang tidak bisa ditinggal.

Gadis itu menghela napas. Memangnya kamu berharap apa, Sy?

Belakangan, dia memikirkan. Di mana letak salah yang dia perbuat? Apa yang membuatnya pantas dijauhi tanpa penjelasan seperti ini?

Akan tetapi, pemikiran itu kemudian berhenti. Bukankah fakta yang diketahui Jaza, sudah menjelaskan segalanya?

Rasanya, tidak ada detik tanpa berisik sejak beberapa hari lalu. Hingga kini pun, Isy tidak merasa telah menghabiskan waktu yang lama untuk menyelesaikan shift malam dan berada di parkiran. Pikirannya tersita sepenuhnya, oleh banyak hal yang lama-lama membuatnya muak. Karena semakin ia melekat, semakin banyak kemungkinan yang mendekat, semakin membuat sesak di dada sulit untuk reda.

Isy hendak mengeluarkan kunci motor dari tote bag-nya, ketika satu tangan terulur di depannya. Tangan itu menggenggam hoodie hitam yang aromanya cukup familier. 

"Pakai."

Namun, Isy belum bereaksi. Matanya setia menatap pemandangan di depannya yang terkesan amat tiba-tiba. Entah segila apa jantungnya bekerja saat ini, memompa darah dengan amat cepat hingga dadanya terasa sakit. Akan tetapi, dia masih tidak bergerak. Matanya justru memburam seiring detik yang berjalan.

Mungkin, karena Isy tidak kunjung merespons, sang pemilik kehilangan sabarnya. Dia meraih tangan Isy, kemudian meletakkan kain tebal itu ke atasnya.

Tidak ada kata yang terucap. Dia segera pergi setelahnya, berbalik ke arah yang berlawanan dengan Isy. Tampaknya, dia sama sekali tidak memiliki keinginan untuk berbalik barang sebentar. Hingga tangan Isy meremas kuat hoodie di genggaman. Seperseribu detik setelahnya, dia membalikkan badan. Cepat, dengan gigi yang menggeretak hebat.

"Buat apa?" ucapnya lirih. Meski begitu, ia mampu membuat langkah lelaki di depan sana terhenti. Punggungnya tegap, tenang, tidak seperti milik Isy yang ditahan keras agar tidak bergetar.

Merasa tidak memperoleh jawaban, Isy mengulanginya lagi. "Buat apa ngasih ini? Buat apa peduli?"

Sekali lagi, tidak ada jawaban. Bahkan kali ini lelaki itu memilih mengangkat kakinya, terlihat hendak melanjutkan langkah. Lelaki dengan senyum indah, yang belakangan tak terlihat singgah. Lelaki bernama Niscala Jaza Ariga.

"AKU TANYA, NGAPAIN MASIH PEDULI?"

Itu suara Isy. Kencang, lantang. Akan tetapi, bertolak belakang dengan tubuhnya yang beranjak akrab dengan getar. Meski pada akhirnya, ia mampu membuat Jaza berhenti.

"Buat apa peduli lagi, saat kamu udah mutusin pergi, udah ingakarin janji, udah bikin aku sadar bahwa segala hal dalam diri aku nggak layak buat diterima oleh orang sebaik kamu?" Isy berujar defensif, pada punggung lebar Jaza yang masih dibiarkan menghadap ke arahnya. Meski begitu, tanpa ada seorang pun yang tahu, tangannya tidak berhenti meremas kuat.

"Buat apa ...." Kali ini, napasnya tercekat. Tanpa permisi, satu bulir air mata jatuh dan bertemu sapa dengan angin malam yang terasa dingin. "Buat apa kamu bilang bakal di sini, padahal kamu juga sama kayak mereka yang natap aku kayak sampah. Bahkan setelah tahu semuanya, lihat aku aja kamu nggak mau, kan?"

Isy menunduk dalam. Entah racauan apa yang dia ungkapkan, rasanya Isy tidak begitu sadar. Dia tidak mengira bahwa rasanya akan semenyakitkan ini, sampai rasa lain benar-benar tersamarkan. Entah dingin, entah pening, entah perih di bibir yang dihasilkan setelah ia memberikan gigitan untuk menahan tangisan.

"Bodohnya, aku justru gantungin harapan tinggi-tinggi. Kalau kamu beda, kamu bisa jadi satu per seribu orang yang bakal percaya bahwa aku layak ditemani. Tapi kenyataannya, di mata siapa pun, aku memang cuma gadis kotor yang nggak bisa jaga diri. Gadis yang nggak lagi menyandang kata suci. Ah, aku ... aku bahkan bukan lagi seorang gadis. Aku harusnya sadar, that I don't deserve to be loved ever, aku ...."

Segala ucapan yang menyesaki kerongkongan, tertelan begitu saja. Satu rengkuhan lebar Isy terima tanpa aba-aba, membungkam gadis itu secara sempurna. Tangisnya pecah, dengan rintihan yang tidak lagi tertahankan. Namun, kala segala isi kepalanya perlahan menyembul keluar, Isy berontak. Tangannya mendorong tubuh Jaza agar lelaki itu melepaskannya. Akan tetapi, rengkuhan lelaki itu jauh lebih kuat.

"Lepas." Isy berucap di sela tangisnya, masih dengan tubuh yang berontak. "Lepasin."

Namun, keinginan itu tidak dikabulkan.

"Lepasin. Jangan lakuin apa pun, kalau akhirnya bakal sama. Pergi aja, kayak kemarin."

Kali ini, Jaza yang sedari tadi diam, akhirnya membiarkan suara lepas dari tenggorokannya. "Nggak akan. Nggak akan pergi lagi, nggak akan lepasin kamu."

Perlahan, Isy meredakan gerakannya. Tubuhnya melemas mendengar hal itu. Benci sekali, karena sekali lagi dia memiliki keinginan untuk memercayai.

Baru saja dia hendak kembali melepaskan diri, Jaza justru semakin mengeratkan pelukannya, menjatuhkan kepala di bahu Isy. "Maaf. Maaf karena kemarin udah biarin kamu sendiri lagi. Maaf."

Isy merasakan basah menyapa bahunya. Blues yang dia kenakan menempel di kulit dengan sempurna.

Apakah Jaza menangis?

Perlahan, perlawanan Isy melemas lagi. Tubuhnya diam, meski isakan belum sepenuhnya teredam.

"Maaf," lirih Jaza.

Lalu, entah untuk detik keberapa, tangan gadis itu melingkar ke tubuh Jaza, membalas pelukannya. Hangat, sangat. Isy bahkan merasa rela menukar apa pun agar rengkuhan ini tidak pergi dari dirinya.

Jaza mah, bikin ovt kenapa deh

ANJune 27, 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro