Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

26_apology

Mereka yang terlampau jahat, mungkin amat tidak pantas diterima maafnya. Akan tetapi, kamu selalu pantas untuk memberikannya.

***

Hampir seminggu ini, rasanya setiap detik dalam hari Isy terasa penuh. Kosong yang dahulu selalu datang dan enggan bergeming, kini seolah menjauh dan berdiam dalam sembunyinya. Tak menampakkan rupa di depan gadis itu.

Setiap membuka mata, ada pesan yang dia temui. Panjang, sampai Isy pusing harus membalas dengan cara apa. Alhasil, hanya bubble terakhir saja yang dia beri tanggapan. Tidak familier memang, tetapi sangat menyenangkan untuk disandang--menjadi teman bagi seseorang yang amat menyebalkan. Ah, Isy tidak bisa mendefinisikannya dengan kata yang tepat. Akan tetapi, kadang kehadiran Jaza memang amat bising untuk dunianya yang semula hening, setidaknya untuk kurang lebih lima tahun ke belakang.

Haha, tersebut juga namanya. Jaza. Isy sampai harus menggelengkan kepala saat menyadari nama lelaki itu menyelip di ingatannya. Lelaki yang tengah mendekatkan handy talkie ke mulut, mengorganisir pergerakan di aula kelurahan yang dipadati oleh insan dari berbagai usia. Lelaki yang berada di depan ujung, sementara Isy mengawasi seisi ruangan dari belakang.

Hingga perlahan, mata lelaki itu menyapu ke sekitar, dan berhenti pada milik Isy. Refleks, sang gadis mengangkat kamera yang tergantung di lehernya, membidik ke segala arah asal tidak pada titik di mana lelaki itu berada. Namun, pandangan Isy tidak seterbatas itu. Dia masih bisa menangkap tarikan bibir lelaki itu dari sudut matanya. Ya, gadis itu tertangkap basah tengah mencuri pandang.

Pejaman mata yang dia lakukan untuk menghalau rasa malu yang menyerang, segera terinterupsi oleh getar di saku. Dengan cepat, Isy kembali menurunkan kameranya, yang sebenarnya memang tidak sedang dia gunakan untuk menangkap apa pun. Fokus gadis itu beralih pada ponsel yang sudah berada di genggaman.

Jaza: Kamu di mana? Dari tadi nggak kelihatan.

Isy mendengkus. Tentu saja, lelaki itu hanya menggodanya. Sebab kini pun, saat Isy mengangkat wajah, Jaza tengah menatap ke arahnya dengan senyum lebar yang lebih terlihat seperti ejekan. Guliran bola mata diberikan oleh Isy, sebelum dia mengetikkan balasan melalui benda elektronik di tangannya.

Isy: Diem.

Jaza: Hahaha. Iya, deh, lain kali aku pura-pura nggak tahu aja kalau lagi diliatin.

Kali ini, Isy tidak membalas, melainkan memberikan pelototan kepada lelaki itu, yang masih belum mau menanggalkan raut menyebalkannya. Untung saja, Jaza memberikan gestur menunjuk ke luar ruangan, kemudian menggerakkan bibirnya tanpa suara. Aku ke sana dulu. Begitulah pesan yang ingin disampaikan.

Ya. Isy membalas dengan cara serupa. Masih tenang, hanya kesal sisa tadi yang bersarang.

Namun, memang sudah tabiat Jaza yang sepertinya terlalu enggan membiarkan orang bernapas lega, kini kembali menggerak-gerakkan bibirnya. Jangan kangen.

Sudah dapat ditebak, Isy tidak senang hati menyambut hal itu. Matanya melebar, diikuti kedikan bahu khas seseorang yang geli karena sesuatu. Sedang Jaza tidak peduli, masih setia dengan tawa lebarnya sampai ditatap aneh oleh panitia lain yang ada di depan sana. Wajar. Jaza memang aneh. Sambil berjalan keluar pun, senyumnya sama sekali tidak dilunturkan.

Meski bagaimanapun menyebalkannya, Isy tidak dapat menangkis bahwa dia tidak keberatan jika harinya dikunjungi Jaza. Kehadiran lelaki itu memperbaiki segala hal, termasuk sesuatu yang kini kembali muncul setelah kepergian sang lelaki.

Wajah kesal gadis itu, beranjak datar. Suasana hatinya yang semula tenang, kini digantikan gelisah. Ada mendung yang melingkupi, apalagi ketika Isy menatap lurus ke depan sana, pada backdrop yang menampilkan detail acara pada hari ini. Sekuat yang dia bisa, Isy berusaha fokus pada tema besar yang akan mereka bahas, sebagai bentuk pembekalan kepada masyarakat.

Own the Present, Shape the Future, and Lead Change. Harusnya Isy fokus pada kalimat itu, memberikan segala yang dia bisa untuk menyukseskan acara. Akan tetapi, dia tidak sepandai itu untuk berbohong dan berlaku seolah tidak ada yang salah. Tepatnya, seolah tidak ada hal mengganggu dari sebuah foto dan data pribadi singkat yang turut eksis di sana. Milik sang pembicara. Dean, mantan local committee president AIESEC sekaligus founder sebuah komunitas environment community. Dean, kekasih Isy semasa SMA.

Sejak awal, sekitar lima hari lalu saat poster kegiatan dirilis, dia tidak sepenuhnya yakin bahwa mengikuti puncak acara FISIP Heroes hari ini merupakan hal yang mudah. Akan tetapi, banyak hal yang ia ingat. Tentang jalan panjang yang dia ukir untuk sampai di titik sembuh yang meski tidak sempurna, tetap amat berharga. Tentang untaian percaya yang dirangkai sang ibu, bahwa Isy mampu melalui segala gelap dalam hidupnya. Juga tentang baris-baris terima kasih yang dilayangkan Jaza, untuk waktu berat yang telah dibabat habis oleh Isy sebelumnya.

Dia merasa memiliki kekuatan, memiliki tangan-tangan tak kasatmata yang siap menangkapnya untuk tetap bertahan. Maka, haruskah ia berlari lagi, saat apa yang sudah dia kalahkan, datang mendekati? Bukankah itu artinya, dia justru memenangkan pecundang yang telah menghancurkan satu susunan dalam hidupnya?

Isy menghela napas. Tidak akan ada yang terjadi. Kalaupun ada, dia tidak akan runtuh kembali.

Maka, setelah pergulatan kecil yang tercipta di kepala untuk menangkis ragu, Isy memejamkan erat kelopak matanya. Sekali, sebelum tangannya bergerak mengambil kembali ponsel yang disimpannya ke saku. Jemari lentik gadis itu seolah bergerak sendiri, tetapi sampai pesan yang dia ketikkan terkirim pun, Isy sama sekali tidak memiliki penyelasan.

Isy: Nanti sambutannya di depan masyarakat, petinggi desa juga. Ngingetin aja, soalnya kamu suka senyum-senyum gak jelas, terus ngomong ngalor-ngidul.

Jaza: Hahaha, siap. Besok-besok pake teknik ekstemporan aja, deh. Terus kamu yang bikin teksnya.

Isy: Males banget.

Jaza: Bayarannya, aku temenin ke pet cafe tanpa diisengin.

Isy: Deal.

Jaza: Hahaha, got you!

Kali ini, Isy tersenyum lebar.

***

"Isy, please. Aku mau ngomong, sebentar aja."

Bertahun-tahun Isy bersembunyi dan raganya seolah sukses tertelan bumi. Tidak dia temui satu pun sosok yang sempat mengiringinya pergi memasuki gerbang penuh gelap dan mengurungnya di sana. Tidak satu pun dari insan yang dia kenal, menemukan keberadaan lelaki itu. Padahal, Isy tidak mengisolasi diri sepenuhnya. Selama ini, dia selalu berpikir bahwa semesta berbaik hati untuk mengaburkan kehadirannya dari mata mereka begitupun sebaliknya. Akan tetapi, sepertinya dia salah. Semesta hanya menunggu waktu yang tepat saja, untuk kembali mengguratkan kata jumpa untuk Isy ... dan salah satu di antara mereka, atau bahkan mungkin mereka semua.

"Isy!" Kali ini, tangan gadis itu dicekal. Langkahnya yang bergerak ke belakang aula agar tidak menjadi pusat perhatian dan agar--dengan harap besar--lelaki yang mengejarnya memilih diam, kini sempurna ditahan. Langkah gadis itu terhenti, meski badannya enggan berbalik.

Bukannya semua hal sudah membaik, ya? Isy bingung, kenapa harus ada momen yang ia benci di antara hari-hari ke belakang yang amat dia senangi. Gadis itu sekuat tenaga menahan getar di tubuhnya. Tangan yang bebas, dia gunakan untuk menggerak-gerakkan cincin di tangan.

Aku bisa, kan?

"Isy .... I owe you apologies, a million apologies." Kali ini, suara itu melembut. Isy juga merasakan bahwa pemiliknya bergerak mendekat, seiring cekalan di pergelangan yang merenggang.

Mata sang gadis terpejam, amat rapat. Kilasan peristiwa di masa lalu, kembali menerjang kepalanya. Tatapan tak percaya, ungkapan yang mengundang kecewa, juga jemari menuding alih-alih menggenggam dan menenangkan. Segala tentang lelaki itu terputar, berikut bahagia yang kini amat sakit untuk dikenang. Isy bahkan harus menggigit bibirnya kuat, sampai perih menjalar perlahan. Namun, gadis itu tidak peduli, bahkan justru berharap bahwa perih di bibirnya itu dapat mendistraksi hal serupa yang berkali lipat dahsyatnya di dalam sana.

Napasnya tersengal, hingga suara yang dia keluarkan sarat akan ketercekatan. "You are unforgiveable."

"I know, dan aku emang nggak punya pembeaan, nggak berniat mencarinya."

Mendengar hal itu, emosi Isy memuncak. Perih yang sedari tadi dia redam, kini tak ingin lagi dikendalikan. Tubuhnya menoleh cepat, menangkis jemari yang masih melingkar di tangannya.

"Then, how dare you apologize to me?!" Kalimat itu sarat akan sentakan, hingga dada Isy naik turun sebab setelah menyuarakan kemuakannya pun, emosinya tak bisa redam. Tidak kencang, tetapi siapa pun dapat merasakan kemarahan yang besar.

Gadis ini bukan lagi gadis yang hanya bisa memandang lelaki di depannya dengan tetesan air mata yang berlinang, merintih agar percaya diberikan. Isy bahkan tidak sudi untuk menjatuhkan satu bulir pun air mata di hadapannya.

Sedang Dean, tampak kehilangan suara. Isy tidak berkeinginan untuk membaca apa pun di mata lelaki itu. Dia tidak peduli. Kakak kelas yang dulu amat dia kagumi ini, kini tak lebih dari seorang monster yang sangat ingin dia hilangkan dari bumi.

"Isy ...." Lelaki itu mengulurkan tangannya lagi, mencoba meraih tangan gadis di depannya. Namun, Isy lebih cepat memberikan tangkisan, membuat kulit mereka tak perlu lagi bersentuhan.

Isy benci, sangat. Dia benci harus menatap lelaki ini dan melihat keputusasaan di sana. Isy benci melihat Dean yang tetap dengan mata sayunya, selama gadis itu melayangkan tatapan nyalang penuh kemarahan.

Perlahan, Isy dapat melihat dari sudut matanya, lelaki itu menarik kembali tangan yang tak berhasil menggapai apa pun. "Let's talk," katanya.

"Ngomong betapa brengseknya kamu, atau betapa murahannya saya?" Isy membalas cepat, membuat Dean terperangah. Namun, gadis itu tidak peduli. Pun jika Dean kaget dengan Isy yang sekarang, karena memang, gadis pemohon belas kasihan yang dulu lelaki itu kenal tidak lagi ada di dunia. "Yang mana? Mau melontarkan caci maki, atau sekarang udah sadar kalau kamu yang lebih pantas nerima semua kalimat sampah itu?"

Suara Isy naik beberapa oktaf, sedang tangannya mengepal erat untuk mengumpulkan segala kuat. Dia sama sekali tidak berpaling dari lelaki di hadapannya, mata gadis itu seolah siap menantang apa pun yang akan disajikan. Namun, ada satu hal yang membuatnya secara perlahan melonggarkan kepalan. Tetes air mata yang dengan pasrah jatuh ke bumi. Satu, dua, dan sang pemilik belum mau mendongakkan kepala.

"I've hurt you." Dean berkata dengan kepala yang sama sekali tidak dia angkat.

Entah apa penyebabnya, Isy tidak menyerobot kalimat itu. Dia diam. Membiarkan angin berembus perlahan dan mengantarkan suara yang amat lirih, kalah dengan sayup-sayup peserta atau panitia yang masih berkegiatan di depan sana atau mungkin di dalam aula.

Hingga perlahan, Dean mengangkat kepalanya, membiarkan netranya beradu dengan milik Isy. Jejak basah ada di sana. "And I realize, I'm still hurting you, even though I'm not physically beside you."

Iya. Meski dalam ingatan pun, kehadiran lelaki itu masih amat menyakitkan. Namun, untuk apa Dean mempertegas lagi, kalau dia sendiri bukan tokoh super yang mampu dengan sekejap mata menghapuskan bayangannya sendiri dari kepala Isy.

"I can't erase my existence in there, Isy."

"You just have to get out of my sight! Stop being manipulative, it won't ever work on me!" Sungguh, Isy sama sekali tidak ingin mendengar penyesalan palsu dari lelaki itu hanya agar maaf dia terima. Suaranya naik lagi. Lunak yang sempat hinggap, kini tertutup lagi dengan muak yang menyergap.

"But you can."

Isy mengangkat sebelah alisnya. Ayolah, dia teramat benci berlama-lama di depan lelaki ini, mendengarkan omong kosong yang tak tahu ke mana ujungnya.

"You can erase me."

Isy menarik seringai saat Dean mengatakan hal itu. Menghapus segala hal mengerikan tentang dirinya? Mudah sekali lelaki itu memberikan instruksi.

"Not for me, tapi buat kamu." Dean berucap lagi, seolah membantah apa yang dikekalkan Isy dalam pikirannya.

"Can you please stop talking about this whole bullshit?"

Namun, sepertinya Dean enggan mendengarkan. Dia justru kembali berujar dengan nada rendahnya, "Bukan buat aku, Isy, tapi buat kamu. I swear to God, aku rela dihukum seberat apa pun karena meragukan seseorang sebaik kamu. Tapi, you never deserve to be punished too, dengan kebencian yang kekal dan berakhir membuat kamu terus-terusan digerogoti kesakitan. I know, I was too much hurting you, but I don't want you to get hurt anymore."

Isy bungkam. Jika sedari tadi, kemarahan membuncah tanpa dapat ditahan, kini ada remasan lain yang membuatnya terdiam. Bahwa meski tak ingin lagi mendengar selirih apa pun suara dari lelaki di depannya, Isy mengakui bahwa Dean benar.

"Aku tahu, aku nggak pantas buat bilang ini. Tapi, kebencian nggak menyisakan hal lain kecuali kerusakan, Isy. Biar Tuhan yang hukum aku, biar dunia yang berhenti ngasih tempat baik buat aku. I've been looking for you, to ask for your apologies. Bukan karena aku pantas untuk dimaafkan, tetapi karena kamu pantas memaafkan. Isy, live your life, tanpa ada aku, tanpa ada that fucking Harsa dan semua orang jahat di masa lalu. Hidup dengan utuh, damai. I'm asking too much, I know. But, Isy, please."

Dibanding sebatas permintaan, kalimat Dean lebih seperti rintihan, dan air mata yang sedari tadi dibendung, kini terlampau liar hingga semuanya berjatuhan. Mata Isy tidak berkedip sama sekali, tetapi pipinya jelas sudah basah dengan air mata yang membanjiri. Isy, mereka yang salah, kenapa kamu justru menyiksa dirimu sendiri? Bahkan sampai kini pun, gadis itu belum sampai pada tahap memaafkan, masih berdiri di atas segala hal untuk menyalahkan.

Bahkan, tidak hanya Dean atau Harsa, atau orang-orang di masa lalunya. Isy dulu memandang Jaza dengan serupa, kini masih melihat lelaki sebagai makhluk yang sama bejatnya, pun sekat yang belum sepenuhnya dia angkat di antara dirinya dan Nawang serta Tiara.

Mau sampai mana Isy membiarkan dunianya tidak sama dalam artian tidak baik-baik saja?

Pikirannya kalut, sampai dia tidak sadar bahwa sebuah rengkuhan mendarat di punggungnya, menenggelamkan isakan dan tangis membuncah yang tidak bisa lagi ditahan.

***

Kaki jenjang dibawa melangkah cepat, sedang kepala pemiliknya sibuk menoleh ke sana kemari untuk mencari eksistensi seseorang. Entah kenapa Jaza harus merasa panik hanya karena melihat Isy dari kejauhan, yang tiba-tiba melangkah ke luar ruangan dengan tergesa. Kalau saja Isy hanya butuh ke kamar mandi atau hal-hal remeh lainnya, sepertinya Jaza akan dengan senang hati mengamini label yang diberikan oleh Piyo kepadanya. Bulol.

Bersama tapak-tapak kaki yang semakin banyak tercipta, Jaza menarik senyumnya. Konyol.

Ya, setidaknya sampai sebuah pemandangan membuat kaki lelaki itu melemas, bergerak semakin perlahan sampai berhenti sepenuhnya. Seriously, Isy?

Halooo. Just wanna say thank youuu. Seneng banget kalian mau baca sampai sini. Mind to share your opinion (or emotion maybe hehe) about this chapter?

AN

June 23, 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro