25_stay stay stay
Menetap, bukan sesuatu yang bisa dijanjikan, karena Tuhan bisa kapan saja meleburkan. Akan tetapi, ia selalu bisa diusahakan.
***
"Benar, Kak, kata orang. Bahwa kesakitan terbesar datang dari harapan yang sama besarnya pula."
Entah apa harapan yang sudah menghancurkan Isy. Dalam Duduknya yang tidak lagi menyisakan kata tenang, dia sangat menjadi harap yang Isy genggam itu, dan tidak akan pernah membuatnya menjadi rudal penghancuran. Namun, lagi-kagi hanya andai yang dia punya. Lelaki itu hanya bisa diam dengan kondisi yang sudah cukup tenang, mencoba mengangkat wajah untuk bertemu mata menerawang milik sang tante. Jelas sekali, di sana juga ada luka.
"Bulik sudah bilang, kan, pacarnya Isy itu baik sekali. Nggak salah kalau Isy menaruh harapan sama dia, buat jadi salah satu orang yang percaya sama Isy. Tapi, dia justru jadi orang yang paling mengacuhkan. Katanya, hubungan mereka baru seumur jagung, dia belum mengenal Isy lebih jauh. Sementara si pelaku, memiliki reputasi yang amat baik, teman baiknya pula. Mungkin kalau bukan dia orangnya, bukan seseorang yang paling Isy percaya, gadis itu tidak akan sehancur itu. Tapi, dunia sepertinya memang ingin Isy menjadi sosok yang sekuat sekarang, Kak."
Tangan Jaza di atas meja bergeser, karena perempuan di depannya hendak mengambil berkas yang ada di bawah lengan lelaki itu. Jaza tidak banyak berkata, tetapi matanya mengikuti arah gerak sang dokter. Turut membersamai satu demi satu lembar yang terbalik, hingga selembar foto muncul dari sela-selanya.
Dokter Ratih memandangi kertas foto itu hingga mengangkatnya ke depan wajah, sedang Jaza masih bertanya-tanya potret seperti apa yang ada di balik selembar kertas kekuningan itu. Sampai akhirnya, Dokter Ratih menyodorkan kertas itu ke arah Jaza.
Di sana, terlukis cantik wajah seseorang dengan rambut yang diikat tinggi, menampilkan leher jenjangnya dengan percaya diri. Anak-anak rambut seolah berebut menampakkan eksistensi, membuat wajah sang pemilik terhiasi. Sedang senyuman, tertarik amat lebar. Gigi putih nan rapi dapat dengan mudah diamati, begitupun dengan mata yang sedikit menyipit. Ah, sepertinya, itu lebih pas disebut tawa dibanding senyuman. Hal yang amat asing, jika disandingkan dengan pemiliknya, yakni Isykarima Java Sephora.
"Cantik, ceria sekali. Dulu, dia anak yang mudah bergaul, Kak. Sebelum semua mata menatapnya dengan pandangan mencemooh."
Jaza berusaha mati-matian agar tidak meremas foto di tangannya. Benar, kini tawa lebar itu tak pernah dia temukan.
"Sebelum memberi tahu kekasihnya, Isy sudah sepakat dengan sang ibu untuk melaporkan kejadian ini ke sekolah. Bagaimanapun, tidak ada korban yang akan baik-baik saja melihat pelaku berkeliaran di sekeliling mereka dengan aman, tenang, tanpa beban. Psikis korban nggak bisa menerima itu. Namun, sebelum komite sekolah menggelar sidang kedisiplinan, kasus itu sudah menyebar luas ke sepenjuru sekolah. Tentu saja dengan fakta yang sama sekali tidak sesuai. Dia yang awalnya adalah korban, justru dicap menjadi perempuan tidak bermoral. Kenyataan bahwa Isy sering pulang malam, menjadi bumerang. Entah fakta seperti apa yang disebarkan pelaku dengan kuasa dan nama baik yang sudah terbangun sebelumnya. Satu hal yang pasti, Isy tidak punya siapa-siapa yang mempercayainya. Kecuali sang ibu."
Jaza ingin di sana, menjadi seseorang yang akan berada di garis terdepan untuk berteriak keras, bahwa percayanya penuh kepada Isy. Beribu kesaksian akan dia berikan, untuk menantang dunia yang terus menudingkan kesalahan. Sekali lagi, air mata mentes dari mata Jaza. Akan tetapi, kali ini dia segera menghalaunya, pun tidak meminta sang dokter untuk berhenti.
"Bagaikan tidak mengenal pendidikan, mayoritas dari mereka menghakimi Isy dengan hukum rimba. Siapa yang punya alibi dan kesaksian lebih kuat, dialah pemenangnya. Kak, saat Isy terlalu kelu untuk berbicara, lelaki itu--kekasihnya--justru melontarkan kalimat yang membuat Isy semakin tersudut. Bagaimana Isy berpakaian, bagaimana mereka berinteraksi, dan hal lain yang mendukung tuduhan yang penuh kecacatan itu. Siapa yang tidak akan percaya, kalau kenyataannya dia memang orang yang amat dekat dengan Isy?"
Jaza. Jaza akan menjadi orang pertama yang akan percaya sampai akhir.
"Kasus pelecehan seksual itu bukan hal yang mudah untuk dipecahkan, Kak. Pelaku bisa bertingkah selayaknya korban, begitupun sebaliknya. Kasus yang betulan ada, bisa ditiadakan karena saksi dan kesaksian yang tak memadai. Sementara dalam prosesnya, ada perasaan korban yang dipertaruhkan. Membawa kasus pelecehan seksual ke meja penghakiman, sama seperti meminta korban untuk terluka satu kali lagi. Untuk mengingat hal yang paling mereka benci. Pada akhirnya, Isy yang berada di atas nilai benar, harus mengalah. Harus mundur, harus pergi sejauh orang-orang tidak akan menemukannya. Karena terlalu menyakitkan untuk bersama mereka yang memandangnya tak bernilai, terlebih di antara mereka ada seseorang yang amat dia sayang."
Bagaimana mungkin saat ini Isy masih berdiri dengan tegapnya? Bagaimana dia bisa memasang wajah seolah dunia bukan hal keras untuk ditantang? Jaza tidak tahu, sepanas apa bara yang melingkupinya dahulu, sehingga gadis itu menjadi baja seperti yang dia jumpai hari ini.
"Mereka, Isy dan ibunya, memilih pergi dan menetap di kota ini. Bukan karena mereka pengecut, tetapi karena bagi ibu Isy, tidak ada yang lebih penting dari kesembuhan putrinya. Mereka hanya punya satu sama lain, Kak."
Jaza tidak akan pernah bisa datang ke masa tersulit itu dan menggenggam erat tangan Isy. Akan tetapi, bisa kan, dia menjadi seseorang yang akan menghapuskan kalimat bahwa hanya ibunya yang Isy punya di dunia?
Untuk entah keberapa kali, disuguhkan di depan Jaza kertas dengan satu frasa yang dicetak tebal. Sang dokter menyodorkan kertas itu, dan menyentuh frasa dengan aksen bold, seolah meminta Jaza membacanya. Sang lelaki menurut. Matanya jatuh ke ujung jari tantenya.
Social anxiety disorder, disebabkan oleh gangguan stres pascatrauma.
Tuhan, berapa banyak sakit yang harus Isy emban untuk sampai di waktu sekarang.
"Isy yang dulu easy going, sudah hilang karena kejadian itu, Kak. Dia justru memiliki kecemasan yang luar biasa untuk berinteraksi dengan orang, bahkan untuk sekadar berada di tengah-tengah mereka. Dia harus menunda melanjutkan sekolah di awal masa treatment. Saat sudah mengantongi izin Bulik dan tim kejiwaan di sini, Isy mulai pergi ke sekolah lagi. Dengan terus mengantongi obat, datang kemari dengan rutin, sesekali dengan menangis dan bergetar hebat. Juga memakai cincin anxiety. Bulik kira, salah satunya adalah yang kamu temukan dan tanyakan kepada Bulik."
Benar. Tebakan perempuan di depannya sama sekali tidak meleset. Cincin yang pernah Jaza tanyakan atas dasar kecurigaan yang dia punya, memanglah milik Isy.
"Satu hal yang Bulik syukuri, Kak. Isy tidak mau kalah dengan kekejian yang menimpanya. Setidaknya, jika tidak bisa menghukum pelaku di meja hijau, dia tidak ingin memenangkan pelaku atas hidupnya. Tidak untuk kedua kalinya."
"Bulik, dia hebat sekali."
Di depannya, Dokter Ratih mengangguk. Bibirnya ditekan ke dalam, tersenyum juga menahan tangisan. "Iya, hebat sekali, Za."
Kemudian, hening dibiarkan mengambang. Di kepala Jaza, hanya bayangin Isy yang terputar. Dia yang bersikeras memberikan penolakan, berdecih, mendengkus, juga tersenyum lembut ke arah Pak Deri, kucing fakultas, anak-anak di desa binaan. Dia hebat.
Kemudian, entah setelah berapa lama, bungkam di antara mereka terpinggirkan, digantikan dengan percakapan yang kembali terlaksana.
"Waktu Bulik lihat kamu sama Isy di seminar, Bulik kaget, Kak. Isy sangat antipati dengan spotlight, sementara kamu dikenal sana-sini. Minggu ini kamu cerita bakal ada proyek dengan profesor ini, bulan depannya ikut lomba itu. Sebelum akhirnya Bulik ingat, kamu baik. Kamu selalu bisa bikin orang nyaman. Sampai kemarin, waktu Isy bilang untuk memberi tahu semua tentang dia sama kamu, kalau kamu mau, Bulik nggak kaget lagi."
Tersanjung? Tidak. Jaza justru merasa buruk, karena Isy harus memiliki masa lalu yang mengharuskannya membenci sesuatu.
"Kak." Kali ini, tangan Jaza digenggam. Kepala yang semula dibawa menunduk, kini terangkat perlahan. Mata kedua insan yang masih terikat darah itu, seolah dihubungkan oleh garis tak kasatmata. "Boleh nggak, Bulik minta tolong supaya kamu tetap menjadi orang yang Isy percaya? Boleh nggak, Bulik minta supaya kamu nggak bikin Isy menyesal untuk kedua kalinya karena meletakkan pengharapan kepada orang yang salah? Sudah cukup sakitnya, Isy, Kak. Ajari dia bahagia, ya?"
Tanpa diminta pun, Jaza akan melakukannya. Semampu yang dia bisa. Maka, tidak ada hal lain yang akan dia lakukan kecuali menganggukkan kepala dengan mantap.
"Bantuin Jaza, ya, Bulik."
Senyum terkembang di dalam ruangan yang menjadi saksi tercurahkannya segala cerita. Merambat melalui partikel renggang udara, hingga perlahan, hangat mulai terasa.
***
Mengizinkan Jaza menginjak dunia yang tidak dia biarkan dimasuki oleh siapa pun, memang merupakan keputusan Isy. Akan tetapi, bukan tidak mungkin dia menyimpan keresahan tersendiri. Bagaimana jika Jaza memilih pergi? Sama seperti mereka yang memandangnya sebagai sampah, sebagai pihak yang bersalah.
Jujur, Isy merasa tidak memiliki muka untuk menatap lelaki itu. Dia malu. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana dengan kenyataan bahwa Jaza tahu, Isy tidak bisa menjaga diri dan kehormatannya.
Lalu, ujung pemikiran itu adalah pemakluman, jika pada akhirnya yang dia terima adalah kepergian. Sebab Jaza, punya alasan masuk akal untuk itu. Siapa pula yang mau berurusan dengan gadis sepertinya. Kenyataan pahit yang harus dia telan, dan kini, perlahan dia coba terima dengan lapang.
Kalaupun pergi adalah kata yang menjadi pilihan, setidaknya Isy berhasil mempercepatnya. Agar tidak ada harap yang bersemi rindang, bahwa selamanya Jaza akan berada di jarak pandang. Setidaknya, dengan cara ini, Jaza juga tidak perlu semakin banyak melakukan hal-hal yang di akhir hanya mencipta sesal.
Tidak apa. Kalaupun Jaza pergi, Isy tidak akan menyalahkannya.
"Hai."
Isy menolehkan kepala, pada arah suara yang teramat dekat di telinga. Gadis itu mundur sedikit, setelah mendapati Jaza yang berdiri amat dekat dengannya, mengagetkan gadis itu yang baru saja selangkah memasuki ruangan.
"Ngagetin," responsnya sembari membenarkan posisi berdiri.
Sementara di seberang, Jaza terkekeh. Seolah tidak ada yang terjadi, tidak ada hal baru yang dia ketahui. Lelaki itu bersikap sebagaimana biasanya.
Aku boleh berharap, kalau kamu nggak masalah sama semua cerita itu, nggak, Za?
Isy mengeratkan pejaman mata, mengusir kesimpulan yang amat dini dia ambil.
"Yuk, masuk," ajak Jaza ringan, sebelum lelaki mengeluarkan sesuatu dari waist bag di punggung, yang dia putar hingga berada di bagian depan tubuh. "Nih. Pakai maskernya."
Isy memandang sebuah masker sekali pakai yang diulurkan Jaza dengan gamang. Detail sekecil ini, masih saja Jaza perhatikan. Detik berganti, Isy tidak kunjung menerima uluran itu. Hingga dari hadapannya, suara Jaza semakin terdengar.
"Kamu alergi, kan?" Isy tidak menjawab, sementara Jaza sudah terlebih dahulu meraih tangan Isy dan meletakkan masker itu di telapakannya. "Pakai. Nanti jangan deket-deket banget juga."
Alhasil, Isy menuruti. Dia memasangkan masker di wajah, hingga mulut dan hidungnya tertutup sempurna. Setelahnya, langkahnya dia bawa untuk mengekori Jaza.
Saat ini, mereka sedang berada di sebuah cat cafe, jadi tidak heran jika suara mengeong terdengar dari segala penjuru. Jujur, ini pertama kalinya Isy mendatangi tempat ini. Saat ini pun, dia tidak tahu harus berbuat apa, karena di saat Jaza mendekat dan mengelus satu dua kucing yang ada, Jaza hanya bisa memperhatikannya, tidak bisa mengimitasi gerakan itu.
Pandangan gadis itu tidak diam di satu tempat, melainkan menelusur ke sana kemari. Hingga tanpa disadari, dia menabrak punggung Jaza, membuat pemiliknya berbalik.
"Eh, sakit, nggak?" Jaza tampak panik, dengan gestur mendekatkan tangan ke dahi Isy yang tertutup tangannya dendiri.
Sang gadis menggeleng. "Nggak." Bukannya fokus pada keningnya, Isy justru kembali menelusuri ruang dengan mata. Karena dia menyadari, bahwa mereka semakin bergerak masuk. "Ini kita mau ngapain?" Bukan pertanyaan aneh, karena memang, Jaza-lah yang mengajak Isy datang ke tempat ini.
"Ada, pokoknya. Yuk, ikut. Ke ruang perawatan kucingnya."
Isy hanya menurut, karena memang tidak memahami apa pun.
Sampai entah di langkah keberapa, mereka berhenti. Kali ini, Isy menyadari kondisi ruangan yang menjadi tempatnya berdiri, tanpa harus terlebih dahulu menubruk punggung Jaza.
Di depannya, terdapat banyak sangkar dengan beragam kucing di dalamnya, dengan keadaan yang berbeda-beda pula. Beberapa di antaranya tampak baik-baik saja, sisanya mengalami luka baik ringan atau berat. Sepertinya, ini ruangan untuk merawat kucing yang tidak cukup sehat?
Lamunan Isy buyar, saat Jaza menepuk pundaknya, membuat gadis itu menghadap ke arah si pelaku. "Itu," Jaza menunjuk ke satu arah, dan Isy refleks mengikutinya, "kucing yang di fakultas. Aku pindah ke sini."
Hal itu membuat Isy refleks mendekat, hingga Jaza kini berada di belakangnya. Benar, kucing itu. Isy sangat mengenalinya.
Dari balik masker, dia tersenyum saat mendapati kucing itu berada di tempat yang lebih layak.
"Isy?"
"Hm." Isy hanya bergumam, atensinya jatuh penuh pada si kucing.
Sedang Jaza, tetap melanjutkan kalimatnya. "Terima kasih, buat nggak pergi dan tetep peduli sama kucing itu, di saat orang lain nggak melakukannya."
Detik itu pula, Isy tertegun. Kalimatnya sama, seperti yang dia gaungkan untuk sang bunda, meski tidak melalui kata.
Perlahan, dia membalikkan badan. Ditemuinya senyum Jaza yang tampak tulus, membuat jantung gadis itu berdetak dengan ritme lain. Jujur, saat ini dia membenci diri sendiri, yang menjatuhkan harapan besar sebelum melontarkan sebuah ucapan. Bahwa Jaza ... memilih tinggal.
"Jaza, kamu boleh pergi." Sungguh, ada rasa tidak rela yang melingupi suaranya.
Matanya tidak terlepas dari Jaza, yang tak sedikit pun menanggalkan senyuman. Dia justru mengangkat tangan, membuat Isy mengikuti gerakannya lewat sudut mata. Hingga jari sang lelaki, jatuh di keningnya, menyelipkan anak rambut ke belakang telinga.
"Isy, aku nggak bisa janji buat nggak pergi, tapi aku bakal selalu berusaha tetep di sini. Sama kamu. Sama kayak kamu yang tetep nemenin kucing itu. Jadi, izinin, ya?"
Perasaan Isy membuncah, tak terdefinisi dengan mudah. Hangat, lega. Bahkan, dia tidak sadar saat satu bulir air mata lolos dari tempatnya.
Sekali lagi, Jaza mendekatkan jemari ke arahnya, kali ini untuk menyeka air yang menetes tanpa aba-aba.
"Makasih, ya, Isy, udah bertahan sampai saat ini."
Panjang banget :((( capek, gak, kalau satu part sampe sepanjang ini?
Huhu, maaf, yaaa. Dan terima kasih sudah membaca.
AN
June 20, 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro