Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24_she and her past

Kamu tidak bisa memilih untuk datang lebih cepat atau lambat ke hidup seseorang. Akan tetapi, selalu ada sempat untuk membuat waktumu bersamanya, menjadi tepat.

***

Sudah berganti hari, tetapi perasaan campur aduk dalam diri Jaza belum juga mau pergi. Jujur, awalnya dia terkejut--ah, bukan, dia bahkan amat terkejut--dengan penuturan Isy. Entah apa yang menjadi sebabnya, hingga gadis itu melontarkan rangkaian kata yang tak pernah dia sangka akan ada. 

Senang, karena setelah sekian kesendirian yang dia lihat dari sosok Isy, kini dia menjadi orang yang diizinkan datang menemani. Namun, takut juga turut mneyertai. Takut mendengar segala hal tentang Isy yang Jaza duga, tidak akan mudah. Dalam hatinya, ada sebuket tanya, tetapi yang paling menonjol adalah tentang bisakah ia menjadi tangan yang selalu terulur untuk sang gadis. Bisakah ia menggantikan segala susah di masa lalu dengan senang di hari-hari kemudian.

Bahkan kini, dia mengambil napas dalam-dalam, meremas telapak tangan untuk meyakinkan diri memutar tuas pintu di depannya.

I'll do my best, Sy, like you early told. 

Sekali lagi, Jaza meraup oksigen sebanyak yang dia bisa, kemudian membuka tabir yang membatasinya dengan sumber informasi tentang Isy. Dia tidak bisa mundur lagi, dan memang tidak memiliki kemauan untuk mundur. Isy pernah melewati banyak kepayahan, dan yang akan dihadapi Jaza tidaklah seberapa. Dia bahkan tidak mengalaminya secara langsung.

Pintu terbuka, berikut Jaza yang telah mengubah ekspresi di wajahnya. Kini, senyum mengembang di wajah lelaki itu.

"Assalamu'alaikum, Bulik-nya Jaza yang paling cantik." Jaza berseru ceria, mengaburkan segala ketakutan yang ada di dalam sana.

Sementara di dalam ruangan, di balik meja kerja yang cukup rapi meski beberapa berkas masih terbuka dan terlihat sedang dipelajari, Dokter Ratih terlihat sedikit terkejut. Wanita paruh baya itu kemudian mengangkat wajah, kemudian memberikan pelototan untuk Jaza.

"Mbok ya, nggak usah suka ngagetin gitu, Kak. Dipikir Bulik punya cadangan jantung seribu?"

Jaza berjalan mendekat, mendudukkan diri di depan Dokter Ratih. Tawa kecilnya menghiasi ruangan serba putih yang kini dia tempati. "Kalau Bulik mau cadangannya jantung pisang, bisalah Jaza cariin."

Seusai kalimat itu, tangan Dokter Ratih yang memegang gulungan kertas, terangkat. Jelas hendak difungsikan untuk memukul kepala Jaza. Namun, sang keponakan bergerak lebih cepat. Dia mengangkat plastik bawaannya ke depan wajah, seraya mengambil gerakan untuk memundurkan wajah. "Eits, lutisannya Jaza bawa pulang lagi kalau sampe Bulik mukul."

Ampuh. Dokter Ratih membiarkan tangannya mengambang, sebelum menarik kembali dan beralih merebut kantung plastik bening di tangan Jaza. Lelaki itu memang selalu tahu bagaimana cara menang dalam perdebatan. Sepertinya, ada sejuta lembar kartu AS yang dia pegang untuk mengontrol gerak lawan.

Dialog yang kemudian tercipta adalah topik-topik ringan seputar kegiatan Jaza, kabar orang tua lelaki itu, juga perkembangan akademik, yang dibumbui dengan keusilan sang mahasiswa. Meski begitu, tangan Dokter Ratih tidak diam begitu saja. Beliau sibuk membuka buah potong dengan sambal gula merah yang dibawakan Jaza, kemudian memakannya dengan khidmat.

Jaza? Tangannya sudah ke sana kemari menjamah benda-benda di atas meja, dengan mulut yang aktif berbicara.

Hingga Dokter Ratih selesai dengan makanannya. Wanita itu mengambil tisu untuk membersihkan tangannya, juga hand sanitizer untuk memastikan telapak itu kembali steril. Melihatnya, Jaza tersenyum tipis. Setidaknya, kini dia bisa lebih santai setelah dialog ringan yang tercipta di antara mereka.

"Bulik nggak ada appointment, kan, sore ini?" tanyanya saat Dokter Ratih usai meneguk air putih dari gelas yang memang tersedia di sana sedari tadi.

"Nggak ada, makanya Bulik ngabarin kamu dan izinin kamu ke sini." Wanita bergelar psikiater itu menjawab. Sepertinya, dia tahu bahwa kini Jaza kembali merasa gugup.

Sedang yang diberi jawaban mengulas sebuah cengiran. "Ya ... kan siapa tahu."

"Nggak usah tegang, Kak. She's fine, seenggaknya sekarang." Benar ternyata. Dokter Ratih mengerti posisi Jaza.

Jaza tersenyum, menundukkan kepalanya. Kedua tangan yang bebas, dibiarkan bertaut di bawah meja.

"Kak, sebelum Bulik ceritain semuanya, kamu harus janji, ya?" Jaza mengangkat kepala, bertemu pandang dengan tantenya. Akan tetapi, tidak ada yang dia ucapkan, menyetujui dalam diam seraya menunggu kelengkapan hal yang hendak diungkapkan. "Janji buat nggak ngecewain dia. Dia percaya sama kamu, Kak, dan Bulik seneng banget denger hal itu. She wants me not to hide anything from you. Bisa, kan, janjiin?"

Jaza mengangguk perlahan. "Bulik mau bantuin Jaza buat jaga janjinya, kan?"

Dokter Ratih mengangguk, mengulas senyum. "Pasti."

"Jadi, aku boleh minta cerita tentang Isy?"

Anggukan diterima oleh Jaza. "Sure." Dokter Ratih berkata seraya menarik sebuah map dari laci meja. Perempuan itu membukanya, menampilkan halaman depan yang berisi identitas umum pasien. Tidak berselang lama, berkas itu sepenuhnya menghadap ke arah Jaza, membuat lelaki itu dapat membaca nama yang sangat dia kenal di sana.

"Social Anxiety Disorder. Hampir lima tahun lalu, Bulik harus menjatuhkan diagnosis itu ke Isy, gadis kelas dua SMA yang sulit sekali diminta berbagi cerita. Dia kacau, Za. Ditanya sedikit, yang keluar air mata."

Begini saja, dada Jaza terasa diremas kuat. Dia mengepalkan tangan yang berada di atas meja, sedang matanya masih mengarah pada titik yang nama, kertas usang dengan torehan tinta membentuk nama Isykarima Java Sephora.

"Bisa Bulik lanjutin, nggak, Kak?"

Namun, pertanyaan itu berhasil membuatnya mendongak.

"Bisa, bisa, Bulik."

Senyum diberikan, sebelum cerita kembali mengalir dan mampu Jaza dengarkan.

"Isy dari kecil tidak pernah berinteraksi dengan ayahnya. Dia tidak bisa mengenal bagaimana sosok lelaki secara langsung, tidak juga dari paman atau kakeknya. Kalau katanya, cinta pertama anak perempuan itu ayahnya, maka Isy kehilangan cinta pertama terlalu dini. Sampai dia tumbuh menjadi remaja SMA. Waktu itu, dia duduk di bangku kelas dua saat jatuh cinta dengan kakak kelasnya, sekaligus pertama kali menjalin hubungan romantis dengan seorang laki-laki. Isy bilang, dia baik. Sangat amat baik. Kata Isy, orang yang memiliki maksud untuk mendapatkan sesuatu dari seseorang, tentu akan berbuat baik kepada orang tersebut. Akan tetapi, lelaki ini tidak demikian. Dia memang baik jauh sebelum mereka dekat. Dengan siapa saja, kapan saja."

Dalam kepala Jaza, tergambar raut Isy dengan usia yang lebih muda. Tersenyum, menyambut bayangan lelaki yang dia puja. Pasti cantik sekali.

"Tapi, Kak, waktu dia bercerita tentang lelaki itu, Bulik bisa melihat ribuan luka di sana. Tatapannya kosong, tetapi air mata mengalir deras dari sana. Dia kecewa, sangat. Laki-laki pertama yang dia kenali dengan sangat, yang mengajarnya cinta yang tidak pernah dia dapat, ternyata menjadi luka terbesarnya."

Lagi, Jaza mengepalkan tangannya. Dia bersumpah, jika saja lelaki itu berada di depannya, tangan Jaza akan melayang ke wajahnya dengan keras. Tanpa ampun.

"Isy bekerja paruh waktu di kafe. Pulang larut, sudah menjadi rutinitas sehari-harinya. Dia anak baik, Kak. Nggak neko-neko. Malam itu, motornya mogok di tengah jalan. Hujan, katanya. Sampai sebuah mobil menghampiri dia, menawarkan tumpangan. Kakak kelasnya, Kak, sekaligus teman pacarnya Isy. Isy bersyukur, tidak harus terlalu lama berada di kegelapan malam sendirian, dengan kondisi motor mogok. Akan tetapi, syukur itu ternyata fatamorgana semata. Rasanya, Bulik marah sekali, gadis sebaik dia harus mengalami hal ini."

"Bulik, sebentar." Jaza menginterupsi. Sungguh, dia seolah bisa menebak ke mana arah cerita ini dan itu sangat amat menyakitkan.

Setelahnya, dia diam. Lama. Tidak melakukan apa pun selain menunduk dan meremas-remas udara kosong di tangannya.

Andai saja. Andai saja Jaza datang ke hidup gadis itu lebih awal. Isy tidak perlu melewati hal-hal demikian.

"Za, don't blame yourself. Seperti yang Bulik bilang, Isy udah nggak apa-apa sekarang."

Jaza mengangguk-angguk, tetapi belum mau mengangkat kepalanya. Semenit, dua menit. Mereka saling diam, sampai Jaza mengambil satu napas dan membawa kepalanya menghadap Dokter Ratih. "Dilanjutin aja, Bulik."

Dokter Ratih tersenyum, mengangguk. Tangannya menggapai milik sang keponakan dan memberikan usapan halus.

"Bulik nggak tega mengulik lebih detail, Kak. Yang pasti, Isy dilecehkan di dalam mobil. Dipukul sampai kesadarannya sedikit hilang dan terlalu lemas untuk melawan. He did that to Isy, tanpa rasa kemanusiaan. Kejinya lagi, dia memvideo kejadian itu dan mengancam Isy untuk menyebarkannya kalau saja melapor. Setelahnya, lelaki itu mengantarkan Isy ke rumah, berlaku bak pahlawan yang menyelamatkan anak orang dengan motor mogok di tengah perjalanan. Isy hanya berani cerita ke ibunya, itu pun setelah seminggu lebih. Dia takut, sangat. Takut menyakiti hati sang ibu, takut ancaman kakak kelasnya itu menjadi nyata."

Kali ini, Jaza tidak bisa menahannya. Air matanya tumpah ruah membasahi kertas di bawah wajahnya. "Bulik, sebentar. Jangan dilanjutkan dulu."

Tuhan, kenapa ada manusia sekeji itu di hidup perempuan sebaik Isy?

Sungguh, rasanya dia ingin memberikan segala kebahagiaan di dunia kepada gadis itu, tidak ingin sebutir pasir pun melukai matanya barang sekali. 

Kelas dua SMA. Astaga, Isy terlalu muda untuk itu.

Jaza tahu, ini mungkin baru setengah cerita, atau mungkin seperempat, atau bahkan lebih sedikit dari itu. Dia tahu, bahwa sakit yang Isy yang dulu terima masih jauh dari kata usai untuk diceritakan. Oleh karenanya, dia mengambil napas dalam.

"Udah, Bulik. Jaza mau dengar lagi."

How? Hehe. Aku bagi jadi dua, ya, buat cerita tentang Isy ini. Jujur, nggak kuat hehe. Sampai jumpa di Hari Seninnn.

AN
June 16, 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro