Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23_his existence

Your existence is just like a blitz of camera, picturing things I didn't find also care about before.

***

Tidak perlu menunggu hitungan minggu untuk sampai pada puncak acara FISIP Heroes. Implikasinya, semua panitia baik dari pihak BEM FISIP maupun delegasi dari organisasi mahasiswa se-FISIP lainnya, mulai disibukkan dengan persiapan menuju ke sana. Meski memang, BEM FISIP-lah yang banyak mengambil peran dalam planning dan organizing, sedangkan mahasiswa delegasi mengambil posisi actuator yang akan membantu dalam hal pelaksanaan.

Meski begitu, mau bagaimanapun peran dibagikan, seluruh bagian FISIP Heroes memiliki kewajiban yang sama untuk menghadiri rapat besar sore hari ini. Tanpa terkecuali, membuat ruang sekretariat BEM FISIP dipadati oleh kurang lebih lima puluh orang mahasiswa. Mayoritas mendudukkan diri di lantai, sedang beberapa berada di depan sebagai pemandu rapat dan manajemen logistik. Isy dan Jaza tentu berada di dua kubu yang berbeda. Sang gadis duduk paling belakang dengan dua orang teman himpunan--Nawang dan Tiara--sedang si lelaki menggenggam microphone sebagai alat bantu agar suaranya menyebar ke sepenjuru ruangan.

"Presensinya sampe mana, ya?" Jaza berucap jelas, membuat Isy yang semula menatap lurus ke arah lelaki itu--memerhatikan informasi yang keluar dari mulutnya--kini turut mengitarkan mata, seperti yang dilakukan sebagian besar peserta rapat. Matanya mencari-cari, kiranya sampai mana kertas presensi yang dimaksud Jaza, karena dia pun belum mengisi.

Hingga seseorang yang berada dua baris di depannya, mengangkat tangan dengan suara yang turut mengudara. Tawa menjadi bumbunya. "Di akuuu. Maap, maap, malah aku jadiin kipas."

Sorakan terdengar, Isy pun turut menarik bibirnya. Namun, tampaknya Jaza tidak rela jika atensi semua orang tak tertuju padanya. Setelah menggeleng-gelengkan kepala dan menanggapi persoalan kertas presensi, lelaki itu kembali membiarkan kalimat meluncur dari bibirnya.

"Nanti yang terakhir, tolong kasih presensinya ke aku, ya. Kalau dari temen-temen nggak ada yang mau disampein lagi, rapatnya aku cukupin sampe di sini. Feel free buat tanya apa pun ke aku atau anak BEM lain walaupun di luar forum. Dijaga komunikasi dan kekompakannya sampe akhir, supaya kita bisa bareng-bareng buat nuntasin FISIP Heroes periode ini. Thank you, semua."

Riuh tepukan tangan menutup dialog Jaza, sekaligus menyambut kembalinya hak berbicara kepada MC.  Kalimat-kalimat khas penutup kegiatan, menyesaki rungu dengan tetap. Akan tetapi, mata Isy tidak tertuju pada sumbernya, sebagaimana saat Jaza yang berada di posisi itu tadi. Sebab netra gadis itu tertuju kepada satu tubuh yang bergerak ke pojok depan ruangan, menyambangi seseorang yang tengah sibuk dengan laptopnya. 

Jaza--lelaki yang menyita fokus Isy--mendudukkan diri, menggeser laptop itu hingga menghadap ke arahnya. Beberapa detik kemudian, musik mengalun. Sepertinya, karena ulah lelaki itu. Barisan lirik Youth yang dilantunkan Troye Sivan pun menjadi pengiring suara MC yang menggelegar. 

And when the lights start flashing like a photo boot.

Sekilas, awal pertemuan mereka yang disadari Isy, bukanlah apa-apa. Akan tetapi, setelah segalanya, kehadiran Jaza serupa blitz kamera yang membuat Isy mampu mengabadikan banyak hal. Mayoritas di antaranya, adalah sebuah kebaruan yang sederhana. Tentang Jaza yang selalu mengerti harus bertindak bagaimana. Tentang sudut-sudut yang sejak bertahun lalu, abai Isy terima.

And the stars exploding, we'll be fireproof.

Senyum Jaza tertangkap. Lebar, menular. Menggenggam erat-erat keyakinan untuk bertahan. Sadar atau tidak, ia selalu meletup di waktu yang tepat, membuat Isy mampu melalui satu, dua, dan lebih banyak lagi kesakitan.

"Sy, presensi."

Isy terkesiap kala sikunya disenggol lirih. Lamunannya buyar, begitupun dengan kepala yang diubah arahnya. Kini, dia memandang bergantian wajah Tiara dan kertas yang disodorkan kepadanya. Dia juga menyadari, bahwa orang-orang mulai beranjak dari duduknya untuk meninggalkan ruangan ini, karena MC sudah menutup rapat dan menyilakan semua orang pergi. "Oh ... iya," katanya patah-patah.

Kini, kertas itu sudah beralih ke tangannya, begitupun dengan sebatang bolpen. Namun, niatnya untuk menggoreskan tinta di sebuah kolom kosong, terhenti. Tiara menginterupsi. "Isy, kamu naksir Jaza, ya?"

Refleks, pelototan dia berikan. Kepalanya menoleh ke kanan kiri, menyadari bahwa suara Tiara berada di volume normal. Hal itu membuat rekannya terkekeh. "Takut banget, Sy. Beneran naksir?"

"Nggak, mana ada. Ngaco banget Tiara."

Namun, jawaban itu tidak digubris. Tiara tetap pada dugaannya. "Yeh, kalo nggak suka, ngapain dari tadi liatin dia terus?"

"Kan dia lagi ngomong? Diperhatiinlah. Emangnya kamu, malah sibuk ngobrol." Isy menyahut diplomatis, berharap bisa memenangkan argumen.

"Orang pas dia udah nggak ngomong aja, kamu tetep liatin dia terus, tuh." Akan tetapi, ternyata Tiara juga tidak mudah menyerah.

Isy mendengkus dibuatnya. "Terserah kamu, deh." Gadis itu mengabaikan kekehan di sebelahnya, mengembalikan fokus pada benda di tangan.

"Tuh, kan, beneran suka Jaza."

"Hah? Siapa suka sama Jaza?"

Untuk kedua kalinya, Isy melotot. Kali ini, gerakan kepalanya lebih cepat menoleh ke sebelah kanan. Suara yang baru didengar, meluap dengan volume yang cukup keras. Gadis itu bahkan secara refleks menoleh ke arah di mana Jaza berada. Untung saja, lelaki itu--sepertinya--tidak mendengar. Buktinya, dia tidak menoleh ke arah Isy.

"Nawang, kenceng banget ngomongnya." Yang diperingati, hanya menyunggingkan senyum dan mengangkat dua jari.

Nawang memberikan ringisan, sedangkan Tiara menahan tawa. "Ya kan nggak tahu," ucap Nawang.

Isy merotasikan bola mata, lalu bergegas menekuk kaki, menjadikan lutut sebagai tumpuan menuliskan nama, tanda tangan, dan sepatah pesan. Seharusnya, pekerjaan ini akan selesai dengan cepat. Yah, kalau saja suara kawannya itu tidak terdengar lagi.

"Eh, tapi beneran. Siapa yang suka sama dia? Isy?" Nawang berujar penuh penasaran. Kali ini, volume rendah yang dia putar.

Kepala yang semula menunduk, diangkat oleh pemiliknya. Isy buru-buru menjawab sebelum Tiara yang melakukannya. "Nggak ada. Tiara ngaco."

"Masa?"

"Terserah, deh." Ujungnya, Isy menyerah lagi, dan dua orang sisanya tertawa kecil. Tampaknya, Nawang hanya sengaja mengoda saja.

Kini, Isy benar-benar bertekad menyelesaikan pekerjaannya, mengabaikan dua gadis itu. Kepalanya memutar gerigi di dalam sana, berpikir harus menuliskan apa di kolom pesan.

"Tapi kalau diliat-liat, kayaknya Jaza yang suka sama kamu, sih, Sy." Suara Tiara memasuki telinga. Ujung bolpoin mengambang di atas kertas, tetapi Isy tidak menggerakkan kepala, tidak pula memotong pembicaraan. Dia mendengarkan tanpa mengubah posisi sedikit pun. "Dia kan orangnya emang baik banget gitu, ya. Waktu itu aja dia pernah--out of nowhere--bantuin aku print ulang file, waktu liat hasil print-ku jatuh gitu, kena air sisa ujan. Padahal bukan tanggung jawab dia sama sekali? Tapi kalo ke kamu tuh beda banget asli, Sy. Kayak ... keliatan pengen open convo sama kamu, terus put you first banget. Ya, nggak, Na?"

Isy tidak mendengar sahutan dari Nawang. Mungkin, gadis itu mengangguki atau entah memberikan respons apa dengan simbol nonverbal. Satu hal yang pasti, ada perasaan aneh yang menjalar di dada Isy. Namun, dia masih tidak memberikan reaksi, melainkan bergegas menuliskan dua kalimat yang entah datang dari mana.

Kemudian, Isy mendongak, mengarahkan pandangan ke arah Tiara dan Nawang yang entah kenapa, terlihat berbinar menantikan respons Isy. Namun, gadis itu pura-pura tidak mengerti. "Aku mau ngasihin kertas presensinya. Kalian duluan aja."

"Yeh, nggak direspons itu, omongan aku tadi?" Tiara menurunkan bahunya. Diam-diam, Isy merasa geli. Gadis di depannya ini selalu ekspresif dan antusias atas banyak hal. Akan tetapi, Isy menahan keinginan untuk mengekspresikan perasaan itu.

"Apa?" ujarnya, dengan ketenangan.

"Ah udahlah. Isy nggak asyik."

Kali ini, Isy betulan terkekeh. Namun, kalimat Nawang berikutnya membuat gadis itu sedikit terpaku. 

"Ih, jarang-jarang liat Isy ketawa gitu."

Sejarang itu, ya?

Akan tetapi, tidak ada respons berarti yang Isy berikan. Dia hanya perlahan memudarkan tawa, tetapi senyumnya masih ada. Hingga dapat dia lihat, Tiara menggerakkan siku ke arah lengan Nawang.

Tiara terlihat mengalihkan pembicaraan. "Kamu mau ngasihin presensinya? Ditemenin, nggak?"

Isy tersenyum, lalu menggeleng. "Nggak usah, kalian duluan aja. Aku ada urusan dikit sama Jaza."

Senyum penuh arti memancar di wajah kedua temannya, membuat Isy lagi-lagi terkekeh. Meski begitu, mereka setuju dengan perkataan Isy, mulai menggantungkan tas di lengan dan beranjak berdiri, sedang Isy masih bergeming di atas lantai.

"Ya udah, kita duluan, ya, Isy." Itu suara Nawang.

"Kalo udah suka sama Jaza, kita siap twenty four per seven buat denger ceritanya." Kali ini, Tiara yang berujar.

Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Isy terkekeh, lagi. Sepertinya, ini adalah waktu terbanyak dia mengumbar senyum dan tawa kepada mereka. "Makasih, ya."

Tiara dan Nawang tampaknya tidak menganggap penting ujaran itu. Mereka melambaikan tangan dan membalikkan bada, bergerak menjauh dari Isy. Namun, berbeda dengan Isy. Gadis itu mengucapkannya dengan sepenuh hati. Dengan segenap makna yang dibiarkan menyertai. Terima kasih, untuk menjadi orang yang tidak memberikan tatapan tidak suka, padahal Isy tidak cukup memberi sikap bersahabat. Juga untuk hangat yang diberikan, yang membuat Isy merasa ditemani oleh dua orang bernama kawan kala kesedihan bertandang.

Dua orang itu sempurna menghilang, tetapi tidak dengan senyum Isy. Gadis itu hanya mengubah arah pandangnya, pada Jaza di depan sana, yang tengah berdiri dan berbincang dengan seorang lelaki. Di tangannya, sebuah rol kabel tergenggam. Hingga beberapa detik kemudian, lelaki itu menolehkan kepala ke arah Isy. Entah dorongan dari mana, sang gadis sama sekali tidak mengalihkan tatap. Dia pasrah memberikan atensi kepada lelaki itu, padahal sang pemilik raga menyadarinya.

Perlahan, senyum Jaza terulas. Lelaki itu terlihat menepuk pundak rekannya, sebelum bergerak ke arah Isy. Kini, gadis itu beranjak berdiri, menyambut kedatangan sang lelaki.

"Nggak langsung pulang?" tanya Jaza kala tubuh mereka tepat berhadapan.

Isy menggeleng. "Mau ngasih ini," katanya sambil menyodorkan kertas di tangan.

"Oh, oke. Makasih, Isy."

Anggukan diberikan oleh Isy. Namun, kemudian mereka diam. Isy juga tidak tahu, mengapa dia dengan senang hati ingin memberikan kertas itu seorang diri. Lalu ... ada urusan? Kini dia menyadari, bahwa tidak ada hal pasti yang bisa dia katakan. Karenanya, kini dia hanya bisa merapatkan bibir. Setidaknya, sampai Jaza membuka suara.

"Sorry."

Isy mengernyit. "Buat?"

"Yang semalem."

"You didn't do something wrong."

Jaza menggaruk tengkuk. Seharusnya, di sini Isy yang mati gaya karena spontanitasnya. Lalu, mengapa justru lelaki itu yang terlihat tidak tahu mau bertingkah seperti apa?

"Ya ... just sorry, it had to happen to you."

Isy tidak menjawab. Dia diam, bahkan hingga Jaza yang semula membawa mata ke sana kemari dengan salah tingkah yang jelas terlihat, kini telah sepenuhnya menatap gadis itu. Mereka diam cukup lama. Hanya berhadapan, tidak melakukan hal lain. Sampai Isy menunduk dan menggerak-gerakkan jarinya yang berada di samping badan, memainkan cincin yang melingkar di sana.

Lima detik, sepuluh, hingga satu menit berlalu. Akan tetapi, Isy masih meyakinkan diri untuk mengatakan apa yang menggema di dadanya. Sampai akhirnya, lirih suara Jaza terdengar.

"Isy ...."

"Don't you wanna ask something?" Namun, Isy terlebih dahulu memotong. Gadis itu mendongak, bertemu mata dengan Jaza dan membuat sang lelaki kebingungan.

"About?"  Jaza balik bertanya, dengan kernyit di dahinya.

Jujur, ada getar yang terasa, tetapi Isy berusaha menyembunyikannya. Dia mencoba tenang, meski ada kekhawatiran. Diangkatnya kedua bahu acuh, sebelum memberikan jawaban. "Me?"  Nada tanya menyertai. "I guess, you know  some things about me."

Diam tercipta. Kali ini, Isy tidak berani menatap Jaza. Dia mengedarkan pandang ke sana kemari, sesekali pada kakinya yang bergerak-gerak tidak tenang. Berkata demikian, memang merupakan keputusannya. Akan tetapi, tetap ada kekhawatiran saat satu langkah dia ambil untuk membiarkan seseorang masuk ke dunianya, mengerti kisah tentangnya, setelah bertahun-tahun dia tutup semua akses masuk untuk siapa pun itu.

"Boleh? I mean, is that ok?"

Satu kata dari Jaza menghentikan gerakan kaki Isy. Ada satu kesempatan mundur yang diberikan Jaza, tetapi Isy tidak mengambilnya. Dia justru mendongak, meremas udara kosong, lalu berkata mantap. "Go ask Dokter Ratih. Anything you wanna know, just ask. You get my permission."

Jaza mengulas senyum. Menenangkan. Amat.

"Will do, Isy. And ... thank you for trusting me."

Isy tidak menjawab. Dia hanya menekan bibirnya, menahan senyum keluar dari sana. "Aku duluan, Jaza."

"Mau dianter ke parkiran, nggak? I've something to do, nggak bisa nganter kalau sampe rumah."

Rotasi mata menjadi respons Isy. "Dari sini ke parkiran nggak sampe lima puluh meter, nggak usah lebay. Lagian, kamu udah terlalu sering nganterin aku, absen dulu biar nggak buang bensin lebih banyak lagi. Gunain buat hal yang lebih bermanfaat, jangan kebanyakan dimubazirin."

Melalui mata telanjangnya, Isy dapat melihat Jaza yang membulatkan mata. Lelaki itu terlihat kaget, mungkin karena dia mendapati bahwa Isy mengetahui kegiatannya itu. Kali ini, Isy tidak bisa menahan senyumnya, meski tipis.

"Duluan, Za." Isy menggenggam tali tote bag yang menggantung di lengan. "Dan ...." Dia menunjuk kertas di tangan Jaza dengan dagu, bermaksud meminta lelaki itu membaca pesan di presensi yang dia tuliskan, entah lelaki itu paham atau tidak. Satu hal yang pasti, Jaza turut membawa mata ke benda yang dimaksud Isy. "Makasih."

Setelahnya, Isy benar-benar meninggalkan Jaza. Dia berbalik dan bergerak pergi, meninggalkan Jaza dengan pesan yang dia tuliskan di kertas.

Thanks for coming and letting me in, FISIP Heroes. Let's do our best.

Lalu, ada satu kalimat yang tidak dia goreskan. Kalimat yang hanya untuk Jaza.

Should I thank to you to for existing in my live, my youth, Jaza?

Halooo. Kita udah seminggu nggak ketemu, ya :(( Sorryyy. Hope you're enjoying this part hihi.

AN
June 16, 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro