Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22_words to believe

Barangkali ciptaan-Nya lupa, bahwa sifat bukanlah kemutlakan yang dapat digeneralisasi berdasarkan lelaki atau wanita.

***

Tidak ada yang lebih menyeramkan dari terpejamnya surya daripada memori yang mengubah hampir seluruh kehidupan Isy. Tenangnya ternyata tak abadi. Hangat yang terserap, secepat kilat digantikan gigil lagi.

Sebenarnya, sejak masih berada di atas motor, perasaan gadis itu sudah kembali tidak stabil. Namun, dia bisa bertahan, meyugesti diri dan mereduksi perasaan negatif dengan membiarkan sebuan angin membawanya pergi. Hingga kini, kekuatan yang dibangun menemui keruntuhan. Kaki yang berpijak di atas lantai teras, terasa lemas. Mesin sepeda motor sudah dimatikan dengan sempurna, tetapi masih ada getar yang dapat dirasa. Bukan dari benda besi itu, melainkan dari bibir Isy.

"Bunda ...."

Dibanding seruan, suara Isy lebih terdengar sebagai rintih. Terlalu lirih, entah seseorang di balik pintu sana dapat mendengarnya atau tidak. Tangannya bergerak memutar knop pintu, tetapi nihil, tidak ada yang terjadi.

"Bunda, tolong." Sekali lagi, bibir pucatnya berujar.

"Bun ...."

Melalui suara yang ketiga, hasil didapatkan. Isy dapat mendengar langkah kaki mendekat, disusul bunyi kunci yang diputar. Sedetik kemudian, sosok yang paling ingin dia temui, dapat dijangkau dengan mata.

"Aduh, Bunda nggak denger. Pintunya sengaja dikun ...."

Isy tidak menunggu kalimat ibunya selesai. Bahkan sebelum pintu terbuka sempurna, dia sudah menghamburkan diri ke dekapan paling nyaman. Katanya, ibu adalah penyedia tempat ternyaman untuk pulang, dan Isy tidak bisa lebih setuju lagi dengan kalimat ini. Tak ada ragu yang tersisa untuk menumpahkan sakitnya. Sejak dulu, hingga waktu yang tidak mengenal tenggat, rasa rengkuhan ini tetap sama. Satu-satunya yang bisa dipercaya.

"Bunda, mereka jahat banget." Belaian di rambut yang tak lagi mengenal kata rapi, dapat Isy rasakan. Raganya di dekap erat, diberi ruang untuk meruntuhkan sekat yang menghalangi bulir air mata dari kebas pipi yang dikecupi dingin. Hingga kini, basah yang ditemui. Air mata menganak sungai. Entah apakah mampu menghanyutkan lara dari hulu ke hilir, hingga menemui muara kesembuhan.

"Sayang ...."

Tak ada sangkal, tak ada pembenaran, apalagi tanya yang akan mengulik luka lebih dalam. Seperti biasa, sang ibu akan setia menenangkan, bahkan sebelum mengetahui keutuhan cerita.

"Isy ... Isy nggak ngelakuin apa pun, Bun. Isy nggak salah, kenapa dijahatin? Bunda, sakit."

Ingatan baru dan yang lebih lampau, bercampur menjadi satu. Isy sampai tidak bisa membedakan, sebab sakitnya terasa sama. Tanya yang sudah lama terpendam, kini kembali menemui permukaannya. "Apa emang Isy yang salah, Bun? Isy yang ... Isy ...."

"Sssttt. Isy nggak gitu, sayang."

"Tapi mereka ngomong hal yang sama, Bunda. Mereka ...."

Mata yang semula hanya menemui gelap, raga yang hanya mengenal hangat, serta napas yang bertemu tubuh berbalut baju tebal, kini dibebaskan. Di antara dirinya dan sang ibu, tercipta ruang yang cukup lebar kala wanita paruh baya itu melepas jalinan tubuh mereka. Isy masih menunduk, menyaksikan ujung sepatu yang tak begitu kuat menopang tubuh lemah di atasnya. Hingga perlahan, dagunya ditarik. Manik matanya yang dikaburkan air mata, diajak bertemu dengan keteduhan netra sang bunda.

Tangan lebar membelai pipi gadis itu, menghalau basah yang setia berpesta-pora. "Isy, kebenaran itu perihal persesuaian pernyataan dengan kenyataan, dan hakimnya Tuhan, bukan manusia. Isy nggak boleh bilang begitu. Kita lihat kenyataannya. Memangnya, apa yang salah dari anak bunda? Nggak ada, Nak."

"Nggak cuma mereka yang bilang Isy salah, Bunda. Lebih banyak lagi yang mikir gitu. Isy kurangnya di mana? Bunda kenapa nggak kasih tahu? Isy salah, ya, milih kerja lagi? Harusnya Isy dengerin Bunda, kan?"

Suara Isy masih sarat getar, dan rengkuhan kembali didapatkan. Katanya, kebenaran bukan semata yang datang dari mayoritas. Akan tetapi, bagaimana Isy bisa percaya begitu saja, saat setiap kali berada di situasi yang sama, kesalahan selalu dilimpahkan kepadanya?

"Isy duduk dulu, ayo." Tanpa melepaskan rengkuhannya, sang ibu menuntun anak gadisnya menuju sepasang kursi di teras rumah. Dua insan itu beranjak duduk beberapa detik kemudian, dengan pelukan yang berganti menjadi jalinan tangan yang saling menggenggam di atas meja yang memisahkan posisi mereka berdua.

Lengang mengisi ruang di antara mereka berdua. Sang putri menunduk dalam, mengatur napasnya yang tidak beraturan. Netra sembab itu menatap lurus pada cincin yang melingkar di jarinya. Bersamaan dengan pemandangan itu, hatinya mengingat banyak kesakitan yang telah dilalui hingga mencapai titik ini. Titik di mana kuat sudah didapat. Maka, bukankah semuanya akan sia-sia jika sekarang dia kembali membiarkan lemah menyerang?

Bibir yang masih kentara dengan getar, dia gigit perlahan, sebelum menggerakkan kepala menyambut raut yang baru dia beri kekhawatiran. "Maaf, Bunda."

Kernyitan adalah ekspresi yang Isy dapatkan. "Kenapa minta maaf?"

Isy menggeleng, menukar posisi tangannya dengan sang ibu. Kini, giliran sebelah tangan gadis itu yang menangkup punggung tangan hangat orang tuanya, sedang satunya dia gunakan untuk menyeka sisa air mata. Senyum tipis dia ulas, pembuka gelengan yang diberikan. "Nggak apa-apa. Maaf Isy mikir kayak gitu lagi, padahal semuanya udah clear kan, ya. Maaf, Bunda."

Bukannya jawaban, yang Isy terima justru remasan di tangan. Posisi organ penggenggam milik keduanya, kembali seperti semula. "Jangan minta maaf, jangan disangkal perasaannya. Ingat, kan, kata Dokter Ratih, kalau mengingkari perasaan negatif itu bukan hal yang baik? Bunda di sini buat dengerin, buat ngarahin kalau sekiranya Isy salah. Jadi jangan minta maaf."

Begini saja, perasaannya membaik. Isy tersenyum, lalu mengangguk setuju.

"Nah, gitu, dong. Mau cerita dulu? Siapa yang jahat sama kamu?"

"Nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa, asal Isy siap cerita. Bunda malah seneng."

Setelahnya, cerita mengalir. Sesekali, genggaman tangan sang bunda mengerat, terutama saat Isy sampai di bagian paling menyakitkan. Sampai pada kalimat yang tidak mau dia dengar lagi meski hanya sekali. Juga ... pada kehadiran Jaza, meski tidak ada nama yang Isy biarkan terdengar oleh rungu sang ibu. Hingga tiba di ujung cerita, diam melingkupi mereka.

Sebelum keheningan usai, Isy dapat merasakan tepukan-tepukan kecil di atas punggung tangannya, sebelum kehangatan itu dilepaskan dan membuat tangan Isy terbebas. Akan tetapi, sang pelaku sedang menatap lurus ke depan, membuat Isy melakukan hal serupa.

"Nak, entah bagian mana yang salah dari mata manusia, tetapi wanita memang selalu dipandang seperti itu. Kita adalah objek yang dibentuk oleh masyarakat, dinilai berdasarkan pemikiran mereka. Ketika hal buruk terjadi, yang disalahkan pakaian perempuan, aktivitas mereka. Tapi, Isy tahu nggak, apa yang lebih buruk?" Pertanyaan itu tidak menunggu jawabannya, Isy tahu. "Yang paling buruk, adalah ketika objektifikasi itu dilakukan oleh diri sendiri. Ketika wanita berusaha tampil sempurna, mengikuti kehendak masyarakat, juga ... menyalahkan diri sendiri atas hal buruk yang dilakukan orang lain kepada kita. Padahal, nggak ada yang salah dari kita. Kenapa Bunda bilang kalau itu lebih jahat? Karena pelakunya adalah diri kita sendiri, Sy, karena kita tidak membela kebenaran yang menjadi hak kita."

Isy menunduk. Benar. Apa bedanya Isy dengan orang-orang di masa lalunya, jika dia menyalahkan diri sendiri atas apa yang tidak dia lakukan? Bukankah sama artinya Isy menuding dirinya sendiri, padahal orang lain yang mencipta kesalahan?

Redup sinar jalanan menyapa lembut netra dua insan yang terikat jalinan erat itu. Tenang, hening. Berbagai pemahaman sedang diserap, setidaknya oleh yang paling muda.

"Bunda minta maaf, karena Isy harus melewati hal seperti ini. Maaf, kalau mengizinkan kamu bekerja lagi, malah bikin kamu kesulitan."

Setelah lama tak saling melontar kata, justru hal itu yang terdengar. Isy pun menolehkan kepalanya. "Kok Bunda bilangnya gitu? Kan Isy yang mau sendiri."

Tatapan sang gadis dibalas dengan senyum lembut, juga tangan yang menggapai surai hitamnya. "Iya, Bunda tahu. Bunda ... cuma mau minta maaf aja."

Perlahan, berat di kepala Isy menghilang, sebab sang pemilik telah kembali menatap lurus ke depan sana. "Sebenernya, Bunda senang waktu Isy bilang mau kerja lagi. Bunda merasa, itu akan menjadi satu langkah lain untuk Isy benar-benar nggak terikat sama hal-hal terdahulu. Tapi, di sisi lain Bunda khawatir, dan kekhawatiran itu jumlahnya lebih banyak. Sekarang tahu, kan, kenapa awalnya Bunda nggak ngizinin Isy?"

Pandangan keduanya bertemu. Memang, Isy mendaftar di LovALife tanpa meminta izin terlebih dahulu. Itu sebabnya, dia membutuhkan waktu lama untuk menandatangai kontrak freelance setelah resmi diterima, karena izin yang belum dia kantongi. Padahal, dia sudah mengatakan bahwa pemilik LovALife adalah kakak tingkat yang bisa dipercaya. Namun, merasa bahwa kalimat yang diungkapkan sang ibu belum tuntas, Isy memilih bungkam. Hingga keduanya kembali menatap ke luar gerbang sana, lagi.

"Bunda banyak nasihatin kamu, tapi Bunda sebenernya juga takut, Nak. Nggak ada jaminan kalau pemilik yang kamu bilang itu adalah orang baik-baik. Sampai akhirnya kamu nyebut satu nama. Jaza. Ingat, kan?"

Entah berapa kecepatan gerakan leher Isy jika diukur. Satu hal yang pasti, itu sangat cepat. Dia tidak mengerti mengapa tiba-tiba nama Jaza dibawa dalam percakapan, dan mengejutkannya lagi, menjadi sosok yang mendorong sang ibu mengambil keputusan.

"Jaza?" Isy mengulangi.

Namun, lagi-lagi, yang pertama dia terima adalah senyuman, sebelum kalimat panjang yang diucapkan ibu dengan mata menerawang. "Waktu Isy bilang ada kegiatan pengabdian itu, Bunda khawatir, Nak. Pengin rasanya ngelarang kamu, tapi itu artinya, Bunda membatasi lingkup sosial dan minat Isy. Sampai di hari tugas kamu yang pertama, Bunda lihat ada orang lain di belakang kamu. Berhenti di sana," sang ibu menunjuk ke arah kanan, "di deket taman komplek. Awalnya Bunda pikir cuma kebetulan. Tapi ternyata, kejadiannya nggak cuma sekali, Nak. Setelah hari itu, hampir setiap kamu pulang entah setelah tugas pengabdian atau kuliah biasa, orangnya tetep di sana, seolah nganterin kamu. Sampai Bunda punya kesempatan buat pulang tepat bersamaan dengan pulangnya kamu. Waktu itu hujan dan kayaknya kamu kesulitan cari kunci gerbang. Orang itu nggak pergi juga, nggak neduh, walaupun kehujanan. He stares at you. Tahu nggak, waktu Bunda buka kaca mobil dan tanya ke dia, dia bilang apa?"

Isy tidak bisa menggeleng, pun tidak memberikan respons lain. Dia memiliki asumsi sendiri, tetapi tidak ingin mengambil kesimpulan yang tak pasti.

"Nganterin temen, mau mastiin dia aman sampai rumah."

Ada ketidakpercayaan yang menjalari seluruh tubuh Isy. Untuk apa Jaza sampai melakukan hal ini? Di saat bisa jadi, kosnya dan Isy berada di arah yang berlawanan?

"Bunda tahu, yang dia maksud itu kamu, dan Bunda nggak percaya kalau cuma temen tapi memperlakukan sebegininya. Akhirnya, dia senyum, Nak. Malu-malu." Isy melihat senyum di wajah ibunya. Namun, mata gadis itu justru memanas. "Katanya, kalau bisa lebih, dia bakal bersyukur. Karena temennya ini baik. Sampai walaupun dia alergi kucing, tetep mau ngurus kucing di kampus. Lagi buru-buru pun, tetep mau bantu buka jalan buat ambulans yang bahkan nggak punya korelasi sama dia. Sampai akhirnya, dia nyebutin nama. Jaza, katanya. Bagus, namanya. Sama kayak nama yang kamu sebutin waktu Bunda tanya, siapa aja yang bakal kerja sama kamu kalau Bunda izinin." Ada jeda, memperjelas perasaan campur-aduk yang memenuhi dada Isy. "Orang yang bantuin kamu tadi ... dia juga, kan?"

Tidak ada jawab yang Isy berikan. Sebab kini, entah apa dan bagaimana caranya, air mata kembali jatuh dari pelupuknya. Disekanya perlahan, tetapi ia jatuh lagi, membuatnya menundukkan kepala semakin dalam. Hingga usapan di kepala, kembali dia rasakan.

"Kenapa, sayang?"

Isy saja tidak tahu, mengapa dia justru menangis. Dia hanya merasa, Jaza terlalu baik jika melakukan hal sejauh itu untuk dia yang tidak pernah memandang ke arahnya. Namun, di sisi lain, Isy bertanya-tanya ... bolehkah dia percaya? Pada seseorang yang memiliki kesamaan dengan penjahat di kehidupannya?

Isy menangkup tangan sang ibu yang ada di kepalanya, lalu menurunkan pencipta hangat itu. "Bunda percaya sama dia?"

"Nggak ada alasan buat nggak percaya, saat dia terlihat sangat tulus."

"Tapi ...."

Sang ibu seolah mampu membaca keraguan putrinya. "Nak, sifat manusia itu bukan hal yang bisa digeneralisasi. Sifat manusia itu bukan kodrat dari Tuhan yang mutlak sebagaimana adanya. Kalau kamu minta contoh nyata, Ayah orangnya. Ayah nggak pernah sekali pun ngecewain Bunda." Jemari mereka bertaut, sama-sama mengenang sosok yang telah tiada, meski yang lebih muda tidak pernah merasakan kehadirannya secara nyata. "Maaf, Ayah harus pergi terlalu cepat. Maaf juga karena Bunda nggak cukup banyak menceritakan tentang beliau. Tapi, Nak, Bunda saksi hidupnya, bahwa Ayah selalu baik. Dan di luar sana, pasti ada yang sebaik itu pula."

Tidak ada alasan untuk tidak percaya, saat kisah panjang itu keluar dari lisan sang bunda. "Jadi, Isy boleh percaya?"

"Tentu."

Mata gadis itu menuju arah yang sempat ditunjuk sang bunda, meski matanya hanya bisa menjangkau remang dan tak sampai pada letak yang dimaksud. Dia bertanya-tanya, apakah kali ini pun, Jaza ada di sana?

"Tapi, Bunda."

"Ya?"

"Memangnya, Isy berhak diperlakukan seperti itu?"

Untuk kesekian kalinya, senyum diberi dan Isy merasa amat disayangi. "Isy cantik. Hatinya, rupanya. Anak Bunda selalu cantik. Kamu berhak untuk itu, Nak."

Jaza, semua yang dikatakan Bunda ... bener, kan?

Panjang banget, ya? Maafff.

AN
June 9, 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro