Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20_closer

Sooner or later, someone will find you. Maybe vice versa.

***

Isy keluar dari kamarnya setelah siap dengan setelan yang dia rasa akan memberikan kenyamanan saat bekerja. Dia memilih kulot jeans dengan panjang sekitar lima senti di atas mata kaki, lalu memadukannya dengan kaus lengan pendek berwarna olive. Sederhana, tetapi Isy memang tidak berpikir untuk mengenakan busana macam-macam. Asal tertutup, itu sudah cukup.

Rencana awalnya, dia akan pergi setelah menunggu sang ibu pulang dari kantor. Akan tetapi, sepertinya dia harus bertolak sekarang juga karena hari sudah semakin sore, tetapi ibu belum juga sampai. Isy menghela napas ketika membawa mata ke ruang keluarga. Pasti akan menyenangkan, jika bisa mendapati perempuan yang amat dia cintai sudah terduduk di sana di waktu ini, bukannya bekerja keras padahal kesehatannya belum begitu bagus.

Namun, Isy juga tidak bisa berbuat banyak.

Dulu, hidupnya jauh lebih baik, meski saat ini pun tidak pantas rasanya jika mengeluh kekurangan. Akan tetapi, setidaknya dulu sang ibu tidak perlu mencuri waktu untuk jualan. Posisi manager sudah didapat, tidak seperti sekarang di mana beliau hanya sebatas staff akuntan internal.

Isy tahu, kalau saja dia lebih kuat, kalau saja dia tidak terlalu dini menyerah atas segala bisik yang membuat kepalanya tak pernah tenteram, tidak akan ada kondisi seperti ini yang akan mereka hadapi. Sang ibu tidak perlu pindah ke kota ini dan memulai karier sejak awal. Remasan erat dia berikan pada udara kosong di genggaman. Ah, dia tidak seharusnya menyalahkan diri sendiri jika yang timbul hanyalah kecemasan, bukan penyelesaian.

Oleh karenanya, kaki jenjang itu segera dia bawa ke luar rumah. Waktu tidak pernah menunggunya, sedang Ibra dan Mars—pemilik restaurant selain Ibra dan Jaza—sudah teramat baik membiarkannya memilih waktu part time yang tidak bertabrakan dengan agenda lain. Tidak seharusnya kemudahan yang diberikan justru dibalas dengan kelalaian.

Hanya dalam waktu kurang dari dua puluh menit, Isy sudah sampai di area parkir LovALife yang cukup penuh. Baru tiga hari dia bekerja di sini, dimulai sejak tiga hari setelah percakapannya dengan Jaza di klinik. Akan tetapi, tidak banyak kecemasan yang tersisa dalam dirinya untuk menghabiskan waktu di tempat ini. Padahal, sebagian besar orang yang bekerja adalah laki-laki.

Ajaib. Bahkan, berpikir untuk kembali bekerja paruh waktu saja, dia tidak pernah. Namun, hanya dalam hitungan hari, dia seolah melupakan bagaimana inginnya untuk menghindari pekerjaan ini.

"Kok nggak masuk?"

Isy terkejut. Suara itu datang tiba-tiba dari belakangnya, membuat gadis itu refleks membawa kepala menghadap ke sumber suara. Di sana, ditemuinya senyum lebar dari seseorang yang belum lama dia kenal, tetapi tak pernah sedikit pun membuatnya tidak nyaman. Ibra, sang pemegang puncak manajemen LovALife.

"Eh, ini mau kok, Kak." Isy menjawab dengan sedikit terbata, tetapi tidak luma menarik senyum meski terkesan kikuk.

Ibra mengangguk kecil. "Ya udah. Nanti langsung aja, ya." Isy mengangguk, melihat pula gerakan Ibra yang hendak berbalik meninggalkannya. Akan tetapi, gerakan itu diurungkan, membuat Isy bertanya-tanya. "Oh iya. Kayaknya malem ini LovALife tutup rada malem, ada yang booking buat acara. Lo masalah, nggak, kalo bantuin sampe akhir? Ada satu waitress yang izin soalnya."

Isy mengangguk mantap. "Nggak masalah, kok, Kak."

"Oke, deh. Thanks, ya. Gue masuk duluan." Lagi-lagi, senyum dikembangkan, sebelum lelaki itu menyajikan kepergian.

Senyum adalah hal yang identik pada diri Ibra. Bahkan, giginya tidak pernah absen menyertai. Isy tidak akan membantah jika sesorang mengatakan bahwa lelaki itu memiliki aura yang positif. Sama seperti Jaza, meski senyum mereka tentu jauh berbeda. Ibra tersenyum lebar seolah menawarkan kegembiraan, sedang Jaza menyuguhkan nyaman dan aman.

Sebentar. Isy merasa ada yang salah, saat mendapati pipinya sedang tertarik sembari memikirkan sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana. Apa-apaan coba? Kenapa dia malah membawa Jaza dalam guliran cerita yang terbangun di kepala?

"Apaan, sih!" Bersama gelengan keras yang dia lakukan, matanya justru menangkap sosok Jaza yang menyembul dari arah dapur. Gadis itu segera memalingkan wajah, saat merasakan keanehan di dalam dirinya yang sama sekali tidak bisa dideskripsikan. "Aneh banget."

***

"Waduh, sumringah bener itu muka."

Senyum yang tertarik lebar, sama sekali tidak dikaburkan meski kepala sang pemilik sudah dibawa berganti arah. Tidak ada lagi Isy dengan nampan di tangan yang mengisi netranya, melainkan Ibra dengan kedua tangan yang tengah dikeringkan dengan lap bersih.

"Yeeeh, gila ni bocah." Ibra kembali berucap, tetapi Jaza tidak menolaknya sama sekali. Dia justru memperlebar cengiran.

"Makasih, ya, Bang," katanya tiba-tiba dan kini membuat Ibra mengernyit bingung.

"Apaan? Nggak jelas lo."

"Makasih udah nerima Isy."

Setelah perkataan itu, Jaza dapat melihat putaran bola mata milik Ibra. "Najis banget lo kalo bucin." Terakhir, Ibra melemparkan lap di tangannya kepada Jaza. Memang dasarnya sedang dirundung asmara, Jaza hanya tertawa menanggapi hal itu.

"Cuti ajalah, Za. Ngeri lama-lama liat lo makin hari makin gila gini."

Tawa Jaza semakin lebar. Untung saja, pengunjung sudah semakin sepi, kecuali segerombolan orang yang sudah memesan tempat ini untuk acara mereka. Jadi, tidak ada yang memandang Jaza aneh karena tertawa tanpa lawan dengan apron kotor yang mengalung di leher. Benar, dia tertawa sendirian. Sebab Ibra memilih mengabaikan.

"Jangan sampe LovALife ancur pas gue tinggal, gegara kerjaan lo senyam senyum najis tanpa sebab gitu, ya, Za." Ibra sudah menanggalkan apron di tubuhnya, sedangkan Jaza belum beranjak dari kursi di belakang meja resepsionis LovALife.

Kali ini, lelaki itu terkekeh. "Kenapa, sih, Bang? Lo aja suka nahan senyum nggak jelas depan Mbak Acel."

Tampaknya, Jaza sukses mengultimatum, sebab kini Ibra melotot hingga matanya seperti hendak copot. "Nggak usah fitnah lo!"

Jaza hanya tertawa. Dasar korban friendzone! Begitu batinnya.

Namun, gelak tawa dan kekesalan Ibra itu terputus saat satu suara halus menyambangi telinga mereka.

"Permisi, Kak. Ini yang booking, mau nambah varian chicken black paper dua bisa nggak, ya?"

Jaza segera menoleh dan membawa tubuhnya berdiri, bahkan sejak kata pertama keluar dari mulut Isy. Mata gadis itu memang terarah pada Ibra, tetapi Jaza-lah yang menyambar tanyanya dengan teramat cepat. "Bisa, kok. Itu aja? Atau ada lagi?"

Setelahnya, Isy beralih ke arah Jaza. "Kombucha satu, sama lemon tea juga satu."

Jaza mengacungkan jempol, hendak bergegas menuju ke dapur. Akan tetapi, ucapan Ibra membuatnya berhenti sejenak.

"Gue sekalian pamit, Za. Lo yang nutup, ya."

Jaza juga memberikan jempolnya kepada Ibra, yang segera ditangkis oleh lelaki itu dengan wajah malas. Jaza tidak peduli, dia tetap konsisten dengan senyum lebarnya, bahkan kini mengarahkan senyum itu kepada Isy sembari berlalu pergi. Memang, yang dia terima adalah tatapan datar dan kernyitan, tetapi itu tidak masalah.

Alat-alat dapur segera disentuhnya, membuat lelaki itu siap berkutat membuat dua porsi rice box. Satu detail yang tidak boleh dilupakan, adalah tentang senyumnya yang terus terkembang.

Tidak dapat dipungkiri, banyak hal yang berubah antara dirinya dan Isy. Tidak signifikan memang, sebab pada dasarnya Isy memang bukan orang yang ekspresif. Akan tetapi, paling tidak gadis itu bersikap lebih kooperatif. Tidak banyak menolak tawaran Jaza, meski beberapa hal masih tidak bisa dia terima. Mengantar pulang dan berjalan bersama di ranah publik, misalnya. Tidak masalah. Jaza pun tahu betul, Isy tidak begitu suka menjadi pusat perhatian.

Hadirnya Isy di LovALife benar-benar Jaza syukuri. Dia bisa melihat Isy lebih lama, terlebih lagi dia berada di sekitar gadis itu saat gugup menyerang entah karena apa. Jaza juga bisa melihat punggung Isy setiap gadis itu berada dalam perjalanan pulang. Bukan maksud menguntit, tetapi Jaza hanya ingin memastikan bahwa Isy pulang dengan selamat.

Awalnya, kecanggungan menjadi-jadi seusai tragedi tangisan Isy di klinik. Jaza bahkan sempat khawatir bahwa Isy akan membatalkan niatnya bekerja di LovALife, sebab butuh waktu dua hari sampai Isy mengonfirmasi bahwa dia jadi mengambil pekerjaan paruh waktu ini atau tidak. Selama itu pula, Isy sangat terlihat sedang menyembunyikan eksistensinya dari hadapan Jaza.

Namun, hari berjalan dan yang terjadi justru amat menyenangkan. Meski sebenarnya, Jaza khawatir kalau Isy akan kelelahan. Apalagi semester antara akan usai tidak lebih dari dua pekan dan mereka akan menjalani ujian. Akan tetapi, Jaza tahu bahwa dia tidak memiliki kapasitas untuk melarang sang gadis.

Mungkin karena bahagia yang terus mengiringi, pekerjaan yang dilakukan Jaza usai tanpa terasa, pun waktu yang berganti tanpa permisi. Kini, LovALife telah kosong dari pengunjung. Lelaki itu pun mulai menaikkan kursi, meski membersihkan ruangan bukanlah pekerjaannya karena tugas utama Jaza adalah memasak bersama satu orang lain dan dua cook helper.

"Udah, pada pulang aja. Tinggal dikit ini, biar aku yang selesain," ungkapnya yang ditanggapi guyuran terima kasih oleh dua karyawan yang patuh dan bergegas untuk pulang. Isy tidak termasuk di sana, sebab gadis itu masih saja melakukan pekerjaannya mengepel sudut ruangan.

Melihat hal itu, Jaza tersenyum. Dia sangat senang berada satu ruangan dengan Isy, tetapi dia lebih senang jika gadis itu tidak terlalu kelelahan. Maka, yang meluncur melalui bibirnya adalah, "Isy, pulang aja. Biar aku lanjutin."

Isy menoleh sekilas, tetapi kemudian berlanjut pada pekerjaannya. "Nggak usah."

"Beneran, kamu pulang aja. Ini ...."

"Dibilang nggak apa-apa." Kali ini, nada kesal terdengar kental pada kalimat Isy.

Jaza terkekeh. Begitulah gadis itu ketika hendak menghentikan seseorang. Lucu, pikir Jaza. "Oke, oke." Dia pun kalah dan membiarkan Isy fokus menyelesaikan pekerjaan yang sebenarnya bisa dia lepaskan.

Hampir sepuluh menit berlalu dalam diam. Jaza mau saja membuka percakapan, tetapi dia tahu bahwa bekerja cepat adalah pilihan yang lebih baik. Agar Isy pun bisa segera bertolak dari tempat ini.

"Duluan aja, Sy. Biar aku yang mati-matiin lampu."

Isy mengangguk, sembari mencangklong tote bag yang baru dia ambil dari ruang karyawan, sementara Jaza tengah mengenakan jaketnya.

Baru saja lelaki itu hendak menekan sakelar, sebuah suara menghentikannya.

"Jaza."

Jaza segera menoleh, dan mendapati Isy tengah menatap ke arahnya. "Ya?"

"Makasih."

Sang lelaki mengernyit. "Buat?"

Namun, bukannya mendapatkan jawaban, Jaza justru disuguhi diam. Lima detik habis dengan Jaza setia menunggu, tetapi ujung dari penantian itu justru gelengan.

"Nggak. Lupain."

Begitu saja, Isy menghilang dari pandangan, sedang Jaza tersenyum lebar. Lagi-lagi, tanpa alasan. Karena pada kenyataannya, senyum bukanlah hal yang aneh jika objeknya adalah Isykarima Java Sephora.

AN
Juni 2, 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro