Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19_belief

Katanya, percaya bukan sesuatu yang selalu muncul karena rencana. Itu sebabnya, segala tawa, luka, jatuh dan tumbuh, serta cinta dan kecewa, bisa muncul tanpa satu pun kira.

***

Seiring bulir air mata berhenti turun dan basah di pipi mulai mengering, perasaan canggung juga semakin mendominasi. Isy merasa amat konyol, sampai untuk bergerak barang sedetik saja, dia harus menahannya. Oh, bagaimana bisa dia menangis di samping orang lain seperti ini? Jangan lupakan bahwa orang itu adalah Jaza. Orang yang selalu dia tepis kehadirannya. Akan tetapi, beberapa waktu lalu .... Argh! Bagaimana mungkin Isy menarik tangan lelaki itu agar tetap tinggal?

Gadis itu memejamkan mata erat, tidak tahu harus berbuat apa kecuali menghilang sekarang juga. Mungkin, satu-satunya hal yang bisa dia syukuri karena spontanitasnya ini, adalah mengaburnya perasaan takut yang sempat bersarang pekat dalam diri. 

Bagus. Saat ini, bahkan dia harus mencuri pandang ke arah Jaza yang hanya diam dan memandang ke depan. Isy jadi memikirkan ... bagaimana kalau dia langsung berdiri dan bersikap seolah tidak ada yang terjadi? Namun, seditik kemudian dia menggigit bibir karena hal konyol itu. Air mineral kemasan di tangannya bahkan terlalu nyata untuk dianggap tiada. Pada akhirnya, dia kembali menunduk dalam-dalam, sembari menyemogakan keberakhiran situasi ini tanpa dia yang harus mengambil langkah barang seinci.

"Mau minum lagi?"

Apakah ini jawaban dari semoga yang Isy pinta? Sebab, dia bukan orang pertama yang memecah keheningan. Namun, tampaknya tidak. Sebab, setelah spontan dia menoleh ke arah Jaza, dia sadar bahwa gadis itu pasti sangat berantakan. "Hah?" Hingga hanya itu yang mampu keluar dari kerongkongan.

Entahlah bagaimana rupa wajahnya saat ini. Satu hal yang pasti, Jaza tersenyum saat ini. Bukan meledek, lebih pada ... entahlah, Isy tidak tahu maknanya. Hanya saja, untuk pertama kalinya, dia ingin berlama-lama berada di dalam kuncian netranya.

"Bentar, aku ambilin minum."

Isy baru membuka mulut, tetapi suaranya belum berhasil lolos ketika Jaza sudah beranjak meninggalkannya. Sehingga, yang bisa dia lihat hanya punggung lelaki itu yang menjauh, memasuki klinik.

Sedang yang ditinggalkan, hanya mampu terdiam. Tubuhnya menghadap ke arah semula, sebelum menjatuhkan mata kepada dua tangan yang saling bertaut. Gelas plastik yang telah kosong isinya, berada di antara dua telapak kecil itu.

Perlahan, Isy menyusuri permukaan luarnya dengan jemari. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Di satu sisi, meski belum mendengar bagaimana keadaan sang ibu sebenarnya, tetapi ketakutan terus saja mengiringi. Di sisi lain, dia heran dengan dirinya sendiri. Heran dengan pemikiran yang sempat melintas kala Jaza mencegatnya saat hendak pergi dari sekolah dasar tadi. Bahwa, untuk beberapa detik, dia berharap lelaki itu mampu meminjamkan ketenangan kepadanya.

Isy menggeleng, mencoba mengusir asumsi itu. Bisa jadi, dia hanya terbawa kesedihan saja. Bukankah wajar, jika seseorang menginginkan sebuah genggaman saat hampir habis ditelan jurang kegelapan?

"Nih, minum dulu." Itu suara Jaza, yang hadir tepat setelah Isy usai meninjau ulang keanehan dalam dirinya.

Gadis itu tidak banyak bicara. Hanya mengambil air mineral yang disodorkan Jaza setelah dia mengambil tempat duduk di sebelahnya. "Makasih."

"Never mind."

Lalu, keduanya diam. Isy yang tidak tahu harus berbuat apa, memilih membiarkan segarnya air mengaliri tenggorokan.

Namun, ternyata lengang yang tercipta terlalu lama. Isy memang bukan orang yang gemar dengan keramaian, hanya saja bukan berarti dia akan tahan menghadapi situasi seperti ini. Dalam diam, Isy berpikir, kenapa Jaza tidak merasa terganggu dengan bungkam yang seolah hendak mengekal.

Alhasil, Isy berdeham, entah untuk apa. Dia sama sekali tidak berpikir banyak, bahkan untuk kalimat yang dia lontarkan setelahnya. "Kamu nggak mau tanya apa-apa?"

Begitu saja, Jaza menolehkan kepala. Sekilas, ada raut bingung yang Isy tangkap, membuat gadis itu gelagapan sendiri, meski dengan cepat, bisa langsung mengendalikan diri. "Maksudnya ... aku ninggalin FISIP Heroes." Oh, apakah hal itu cukup masuk akal untuk menjadi pengalihan pertanyaan ambigunya tadi?

Entah, Isy tidak mengerti. Satu hal yang dia tahu, Jaza hanya tersenyum. Amat teduh. Rasanya, meski melihat lelaki itu tersenyum berkali-kali, baru kali ini Isy dapat melihat ketenangan yang dia tawarkan. Sebelum akhirnya, lelaki itu membawa pandangannya menerawang ke depan sana, pada taman kecil yang diamankan dari lalu lalang kendaraan dengan pagar tembok setinggi orang dewasa. Mau tidak mau, Isy melakukan hal yang sama.

Lalu setelah beberapa detik diserahkan sepenuhnya pada desau angin, suara dari samping dapat tertangkap rungu gadis itu.

"It won't be that easy for someone to tell someone else about their problems, fears, and another bad feelings. Perasaannya aja udah sulit, kan? Nggak perlu diperjelas dengan bagiin cerita ke aku atau siapa pun itu. Tapi, kalau kamu butuh cerita, I'm right by your side and will be proudly all ears."

Isy memainkan kuku-kuku jari yang bertaut rendah di depan lutut. Dia menunduk, tetapi sadar betul bahwa Jaza membagi tatap ke arahnya meski sebentar.

Sedang kalimat lelaki itu seolah memiliki sihir dahsyat yang mampu dengan cepat menyatu dengan sistem respirasi, menyediakan oksigen yang lebih dari cukup kepada otaknya, juga aliran darah yang mengisi setiap lini diri. Ada dorongan dalam dirinya untuk menumpahkan segala kesah, tetapi kemudian dia membenarkan perkataan Jaza. Itu tidak mudah, dan saat ini Isy belum sanggup melakukannya. Pun, dia tidak tahu apakah Jaza akan memahami ketakutannya pada sesuatu yang belum pasti dan mungkin bagi sebagian orang bukan hal yang amat berarti.

Maka, dia menelan kembali keinginan itu, membuat hening kembali menggantung rendah di atas kepala, memayungi mereka dengan riuh lain yang beragam sumbernya. Ujung kuku Isy yang beradu dengan tipisnya gelas plastik pun mampu terdengar, beradu dengan suara kendaraan dan burung pipit yang mampir di dahan pohon.

Hingga hal lain menghampiri kepalanya. Dia menggigit bibir. Tidak tahu apakah benar atau tidak mengatakannya, tetapi dia terlalu lelah untuk berpikir. Dia hanya tahu benar dan salah yang tampak kasatmata tanpa memikirkan kesamaran kontradiksi di dalamnya.

"Jaza." Isy memanggil lirih, masih tanpa menjatuhkan tatap pada sang pemilik nama yang dia lisankan.

"Ya?" Sedang sang lelaki sudah mengubah arah pandangnya.

Isy harus mengambil napas sekali, sebelum mengangkat kepala untuk membalas tatapnya. Dia tahu, apa yang akan dia katakan setelah ini, bukan perkara sebaris kalimat saja, tetapi juga sebuah gerbang yang dia buka. Meski begitu, ada ragu yang masih bersisa. Maka, gadis itu memberi kesempatan pada diri sendiri untuk mundur jika saja setelah menyelami netra Jaza, ragunya semakin tercipta.

Akan tetapi, bukannya memberi sempat untuk satu hal itu, Isy justru semakin yakin. Seolah keraguan sebegitu asing bagi dirinya. Mata itu sama sekali tidak memaksanya, hanya mempersilakan masuk dengan segenggam harap yang entah dibisikkan dari mana, tetapi nyata betul di telinga Isykarima Java.

"Tempat kamu kerja waktu itu ... masih butuh karyawan?"

Jaza mengangguk, dan gerakan itu tidak lepas dari pengamatan Isy. "Masih, tapi cuma buat waitress. Kemarin posisi kasir sama cook helper udah keisi. Kenapa?"

Isy merapatkan bibir bawah dan atasnya. Dia paham betul, semuanya tidak akan seratus persen sama setelah dia menjawab pertanyaan Jaza. "Mau apply di situ, masih bisa?"

Mungkin, hari ini dia sudah terlalu banyak berasumsi. Hingga ketika Jaza menyambut kalimatnya dengan senyuman yang masih seteduh tadi, dia merasa ada ucapan selamat datang tak kentara. Ada pintu yang dibukakan untuknya. Dan di atas segala ketidakpastian itu, hatinya memilih untuk percaya. "Bisa."

Katanya, percaya bukan sesuatu yang selalu muncul karena rencana. Itu sebabnya, segala tawa, luka, jatuh dan tumbuh, serta cinta dan kecewa, bisa muncul tanpa satu pun kira. Akan tetapi, entah sengaja atau tidak, Jaza memberikan beribu karena kepada Isy untuk memberikan hal yang telah dia kurung rapat-rapat di ruang terdalam hatinya kepada seseorang yang dia temui tanpa sengaja. Seseorang yang untuk pertama kalinya setelah berlembar-lembar kalender berganti, dimintanya untuk tinggal dan menemaninya menyilakan serbuan air mata yang berebutan mengecupi pipi.

Semoga saja, percayanya tak berujung luka.

Sampai jumpa di bulan Juniii. Makasih, ya, udah mau bacaa. ( ^◡^)っ ♡

AN.
May 26, 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro