18_with you, always
You don't need to tell him how you'd like to be treated. He'll do it for you, patiently, passionately.
***
Isy terlihat kalut bukan main. Satu panggilan masuk yang menghampirinya, mengubah keseluruhan emosi yang melingkupi. Senyuman lebar yang semula Jaza saksikan dengan penuh damba, kini hilang tak bersisa. Lelaki itu kontan melakukan hal yang sama, menghapus senyum seraya menurunkan kamera yang semula berada di depan mata, siap membidik objeknya. Namun, netra lelaki itu sama sekali tidak beralih. Dia justru semakin awas mengikuti pergerakan gadis yang sukses merampas fokus.
"Eh." Kata seru itu meluncur tanpa sadar, tepat ketika Isy berlari keluar kelas tempat mereka membersihkan sisa-sisa banjir yang sempat menggenang. Pertanyaan yang bermunculan tidak dia tanggapi, mungkin karena orang-orang dapat melihat kepanikan di rautnya.
"Bentar, nitip." Hanya itu yang kemudian dikatakan Jaza. Kini dia benar-benar tidak mengindahkan seruan yang memanggil namanya, penuh tanda tanya mengapa lelaki itu bergegas ke luar ruangan dengan langkah lebar.
Gerakannya yang tergesa, membuahkan hasil juga. Kaki panjangnya dapat dengan cepat menemukan Isy yang tengah memasukkan kunci motor, sepertinya hendak menyalakan kendaraan roda dua tersebut. Akan tetapi, Jaza dapat melihat getaran di tangan itu, sehingga pekerjaan Isy tidak segera terselesaikan. Bahkan, benda kecil yang menjadi syarat utama berjalannya kendaraan milik Isy tersebut, terjatuh ke tanah dan bergabung dengan air yang menggenang, meski sama sekali tidak tinggi.
Jaza kebingungan, tetapi dia lebih dulu melakukan kontrol diri, sehingga tubuhnya dengan cepat berpindah ke sebelah Isy. "Isy, kenapa?"
Namun, tidak ada sahutan yang diperoleh. Gadis itu tampak sekali tidak fokus, terlihat dari tangannya yang tak kunjung mampu meraih benda yang baru saja jatuh di tanah.
Maka, sekali lagi Jaza berkata dengan suara yang lebih lantang. "Isy."
Barulah Isy menolehkan kepalanya, setelah usai dengan pekerjaan yang entah mengapa harus membutuhkan waktu begitu lama untuk selesai. "Hah?"
Kali ini, Jaza-lah yang tertegun. Dialah yang kehilangan fokus saat melihat wajah memerah gadis di depannya. Jelas sekali, kekhawatiran menganak-pinak di sana, seolah dengan sengaja menjadikan wajah elok itu sebagai rumah.
"Kenapa? Kalau ini soal agenda hari ini, aku minta tolong yang lain buat handle dulu. Udah. Tolong, permisi. I have to go."
Kalimat itu terlontar dengan tergesa, sampai susunannya tidak sempurna. Hal yang segera membuat Jaza tersadar. "Mau ke mana? Aku anter aja, ya. I'm not sure you are ok."
Isy menggeleng. Kalau biasanya Jaza akan mendapati kekesalan di sana, kali ini situasinya berbeda. Tidak ada yang berubah dari sana. Hanya kalut yang sama. "You exactly know my answer. Minggi aja, itu udah bantu banyak. Aku buru-buru."
Namun, bukannya mengindahkan permintaan Isy, Jaza justru bertindak lain. Dia tidak bisa membiarkan gadis itu pergi dengan kondisi seperti ini, dan perasaan itu membuat kedua tangannya secara refleks meraih bahu Isy dan membuat gadis itu menatap hanya kepadanya. "Aku anter. Beneran, ini nggak aman kalau kamu pergi sendiri. Ya? Kali ini aja."
Mata sang lelaki bergerak acak, meraup ekspresi sang gadis yang meski sebentar, terdapat perbedaan. Raut itu melemah, seolah tengah menjeritkan permintaan tolong. Netra indah yang semula teguh menyembunyikan tangis, kini justru berkaca-kaca. Air mata menggenang, jelas akan berjatuhan hanya melalui satu kedipan.
Tuhan. Jaza tidak tahu apa yang terjadi, tetapi dia sangat ingin membawa gadis itu dalam dekapan, menawarkan aman, menyembunyikannya dari segala luka yang menghadang.
Akan tetapi, dia tidak bisa. Sama sekali tidak, sebab sedetik kemudian Isy menjerit dengan cukup keras sembari menyentak kedua tangan Jaza. "Stop! Nggak usah ikut campur dan biarin aku pergi. I swear to God, what can you do but put me in difficult situation?!"
Jaza amat sangat terkejut. Entah karena suara keras nan lantang milik Isy, atau kalimat tajam yang terasa pekat akan amarah. Satu hal yang pasti, kini lelaki itu mundur selangkah. Matanya masih mengawasi Isy, bertatapan dengan bola mata merah sang gadis. Dia membiarkan gadis itu memalingkan wajah, lalu duduk dengan tergesa di atas kendarannya.
Deru motor menjauh dan Jaza masih tertegun. Akan tetapi, entah gadis itu tahu atau tidak, Jaza melihat bulir air matanya yang berjatuhan.
Suara langkah-langkah kaki mendekat, tetapi satu-satunya yang Jaza dengar hanya teriakan frustrasi milih Isy. Hingga sedetik kemudian, sebuah tanya dan tepukan di bahu mampu membuat lelaki itu tersadar dari ketertegunannya.
"Kenapa, Kak?" Itu suara Thea, membuat Jaza menoleh. Akan tetapi, lelaki itu bahkan tidak merasa perlu untuk mengartikan tatapan penuh ketidaktahuan adik tingkatnya itu. Sebab tanpa menunggu detik berganti, Jaza segera membawa langkahnya pergi, berlari ke titik di mana motornya terparkir.
***
Ini adalah 45 menit terpanjang yang pernah ada di hidup Isy. Dia bahkan masih mengingat dengan jelas bagaimana klaksonnya tidak pernah berhenti menyala saat kemacetan mencegatnya tanpa ampun. Meski begitu, selama apa pun terasa, waktu tersebut tidak mampu menyamarkan ketidaktenangan yang bersarang.
Kini, dengan tergesa, gadis dengan PDL Himpunan Mahasiswa Sosiologi yang sebelah lengannya sudah tergulung tinggi itu memasuki ruangan dengan tulisan "Ruang Penanganan" di atasnya.
"Bunda." Kata itu yang pertama kali keluar dari mulut Isy kala mendapati tubuh sang ibu terbaring di atas ranjang, turut membuat seorang berjas putih yang tengah sibuk mengatur aliran infus menoleh ke arahnya.
Sedang wanita paruh baya yang menjadi fokus, tersenyum teduh ke arah gadis semata wayangnya. "Isy kok ke sini? You have things to do, right?"
Ungkapan sang ibu seiring langkahnya mendekat, semakin mengimpit dadanya, mencipta sesak berlipat. Wajah itu amat pucat, sungguh. Dan Isy baru menyadari ketika beliau sudah berbaring lemah dengan selang cairan yang tertancap di punggung tangan.
"Bunda kenapa?" Isy tidak menghiraukan kalimat ibunya. Ia justru mendekat dan menggenggam tangan dingin yang turut meremas tangannya.
"Tangan kamu kenapa dingin banget? Nggak pakai sarung tangan, ya, naik motornya?"
Isy tidak tahu bagaimana harus mendeskripsikan perasaannya saat ini. Satu kata saja dia paksa keluar, sepertinya akan menjadi pemantik bagi air mata untuk eksis bersama. Maka, kini yang dia lakukan hanya menunduk. Dia takut. Sangat takut.
"Nak, udah makan belum? Sana ke kantin ...."
"Bunda tahu nggak, sih, kalau Isy takutnya bukan main?!"
Sungguh, Isy tidak sadar. Nada tinggi yang dia lontarkan sama sekali tidak berada di bawah kendalinya. Bahkan, kini tubuh gadis itu bergetar sebelum membuncahkan tangisan.
"Nak ...."
Tanpa menunggu wanita yang paling ia sayangi menyelesaikan kalimatnya, Isy sudah lebih dulu membawa tubuhnya berdiri dan meninggalkan ruangan itu tanpa permisi.
***
Keterkejutan menjelma nyata di wajah Jaza, tetapi lelaki itu tidak bisa melakukan apa-apa. Dia hanya mampu menatap punggung Isy yang berlari menjauh sembari menutup bagian bawah wajahnya. Gadis itu tidak baik-baik saja. Dan meski tidak tahu apakah kehadirannya berguna atau tidak, Jaza bersyukur bahwa dirinya mengambil langkah untuk mengikuti Isy. Setidaknya, meski tidak membantu sama sekali, Jaza ada di sekelilingnya, mampu melihat Isy menumpahkan sedihnya dan memanjatkan doa kepada semesta agar luka pada diri gadis itu segera dihapuskan saja.
Sebagian diri Jaza ingin melongok ke dalam ruangan tempat Isy keluar tadi, tetapi bagian yang lebih besar memintanya mengejar langkah sang gadis saja. Maka, kini lelaki itu bergerak cepat menyusul Isy. Dia tahu, gadis itu tidak akan suka, tetapi setidaknya dia bisa mengamati dari jauh dan memastikan bahwa Isy dalam keadaan baik-baik saja.
Di tengah pijakan kaki yang dia bawa menyisir sepenjuru klinik yang tidak seberapa luas ini, Jaza berhenti pada satu pojok yang dengan tumpukan air mineral kemasan gelas. Lelaki itu mengambilnya, berpikir bahwa Isy barang tentu membutuhkan air minum untuk menenangkan diri.
Pada gerakan kepala ke kanan dan kiri yang kesekian, juga pendar matanya yang awas menyusuri tiap jengkal bangunan, Jaza menemukan Isy. Dia lega, tetapi rasa yang lebih besar adalah remasan di dada. Gadis yang jarang dia temui ekspresinya itu, kini tengah duduk di samping klinik. Dia membelakangi Jaza dengan tubuh yang pasrah menyentuh puncak tangga kecil yang memisahkan klinik dengan halaman berpaving. Punggung itu bergetar, tampak rapuh dan kesakitan.
Jaza perlu meremas udara kosong di tangannya untuk tetap bisa menyaksikan pemandangan ini. Hal menyakitkan apa lagi yang dibiarkan bertumpu di bahu gadis itu.
Lalu, di detik kesekian Jaza memperhatikan Isy dari jauh, langkahnya perlahan bergerak mendekat ke arah tubuh itu. Isakannya semakin nyaring terdengar, dan Jaza tidak sanggup lagi membayangkan betapa sesaknya. Maka, dengan terlebih dahulu memandang benda di tangan, dia memutuskan untuk menghampiri Isy.
"Minum dulu." Bersamaan dengan kalimatnya itu, isakan Isy memelan, seolah memang dihentikan oleh pemiliknya.
Sejemang menunggu, kepala Isy mendongak, membuat matanya bertemu dengan milik Jaza yang tengah dibawa menunduk. Namun, hal itu hanya berlangsung sebentar, karena setelahnya, Isy memandang air mineral kemasan yang diulurkan Jaza.
Lelaki itu mendorong tangannya sekali lagi, mendekatkannya kepada Isy agar gadis itu mau mengambil benda di genggamannya. "Nanti dada kamu sesak. Minum, ya."
Jaza tidak tahu lagi harus membujuk dengan cara apa jika Isy menolak. Akan tetapi, sepertinya gadis itu tidak ingin Jaza memutar otak kali ini. Sebab, tangannya dengan gamang menyambut uluran Jaza. Sang lelaki tersenyum. Syukurlah.
Baru saja Jaza hendak beranjak dan kembali membiarkan Isy mengusaikan sedihnya, gerakan lelaki itu justru terhenti. Bukan karena kehendaknya sendiri, melainkan karena cekalan dingin di telapak tangannya. Jaza terkejut, tentu saja. Sebab, kala dia menoleh, Isy tengah memberikan tatapan yang tidak bisa dia maknai dengan mudah.
Jaza diam, dengan asumsi bahwa kemungkinan Isy sedang mengambil waktu untuk mengatakan sesuatu. Dan benar saja, setelah beberapa detik berlalu, gadis itu baru berbicara.
"What if I want you to stay?"
Kaget? Tentu. Akan tetapi, hal yang lebih besar adalah sakit tak berupa kala rungunya menangkap suara sang gadis. Seberapa sakit, hingga permintaan itu muncul dari bibir mungilnya?
Namun, tidak ada satu kata pun yang dilontarkan Jaza. Lelaki itu hanya bergerak dan mengambil duduk di sebelah Isy, membuat sang gadis melepaskan cekalannya. Mereka diam, hingga suara sedotan dan plastik penutup air mineral yang beradu pun terdengar melampaui kata jelas.
Setidaknya, sampai isakan kembali terdengar, hingga membuat Jaza harus sekuat tenaga menahan diri agar tidak menarik Isy ke dalam rengkuhan.
I'll stay. With you, always.
AN.
May 23, 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro