Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16_thank you in silence

Ada masa lalu yang terlampau jauh dari pekatnya indah, dan ia yang berhasil melampaui selalu berhak atas ribuan terima kasih dari sepenjuru galaksi.

***

Jika mayoritas mahasiswa masih terduduk di tempatnya dengan muka lesu penuh rasa tak puas, Jaza, Isy, Piyo, dan Maya melakukan hal lain. Mereka sudah berdiri dan menghampiri satu per satu meja untuk mengambil kertas folio yang telah penuh dengan coretan tinta. Pun tak sekali dua kali Jaza melihat raut keberatan dari teman sekelasnya ketika kertas hasil pekerjaan mereka harus diambil secara "paksa". Namun, dia tidak begitu peduli, sebab sesekali tatapannya justru beralih ke barisan mahasiswa Statistika Lanjutan. Ah, tepatnya pada Isy yang juga melakukan pekerjaan serupa dengannya.

Jika biasanya, perasaan lelaki itu akan penuh dan senyumnya segera terkembang kala mendapati Isy di sekitarnya, maka kali ini ada yang berbeda. Perasaan bersalah mengerubungi, mengingat hal-hal yang diceritakan Dokter Ratih kepadanya. Tidak banyak, memang. Akan tetapi, sudah mampu membuat Jaza menerka betapa kacaunya kondisi Isy saat itu. 

That must be rough. Sorry, Isy. 

Hampir saja Jaza kehilangan arah pandang dengan sepenuhnya, jika tidak segera fokus pada pekerjaan semula. Matanya kembali menatap satu per satu mahasiswa yang harus segera menyerahkan pekerjaannya.

"Kalau sudah terkumpul semua, tolong bawakan ke ruangan saya, ya. Semoga Anda semua mendapatkan hasil yang memuaskan untuk kuis kali ini. Saya tinggal dulu. Selamat siang." Suara Prof. Agus menghentikan kegiatan keempat koordinator kelas yang tengah bertugas, membuat mereka menghadap ke depan barang sebentar untuk mengantar kepergian sang guru besar.

Bersamaan dengan itu, sepenjuru ruangan kompak membentuk paduan suara, menyuarakan kata "siang" sebagai respons sapaan sang dosen. Tak berbeda jauh dengan bangku sekolah dasar maupun sekolah menengah, keributan serta merta tercipta, meminta agar kertas mereka tidak diambil dahulu, dan lain sebagainya. Untung saja ada Piyo dan mulut ceplas-ceplosnya, yang entah bagaimana mampu membuat mereka diam meski harus menyoraki Piyo terlebih dahulu.

Hingga kini, keempat orang yang telah diberi amanah itu dapat berkumpul di depan kelas dan siap menuntaskan tugas hari ini.

"Buset. Udah kayak anak SD aja, bocah-bocah. Ditinggal guru mendadak jadi kawanan lebah." Itu suara Piyo, mengudarakan celetukan sembari merapikan kumpulan kertas di tangan dengan cara menetukkan sisinya ke atas meja dosen.

"Belagu, lo. Mentang-mentang nggak panik gara-gara udah dapet bocoran soal dari kating." Maya membalas dengan tatap meremehkan. Kalau saja Jaza tidak menengahi, dua orang ini pasti sudah melanjutkan perdebatan.

"Udah. Ribut mulu. Jodoh baru tahu rasa." Begitu ungkap Jaza, yang segera dihadiahi kedikan keberatan oleh kedua objeknya.

Sedang Jaza dapat melihat senyum dari satu-satunya orang yang sama sekali tidak memberikan komentar. Perlahan, gurat itu menular ke wajahnya. Ada rasa syukur yang diam-diam dia langitkan ketika melihat pemandangan itu. Tentang betapa Tuhan mau membuat Isy bertahan, dan betapa gadis itu bisa kuat hingga sekarang.

"Mau dibawa ke ruang dosen sekarang?" Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan Isy. Segera saja, Jaza memberikan atensi.

Namun, belum sempat dia memberikan respons, Piyo sudah lebih dulu berucap, "Yok. Gue ada rehearsal juga habis ini."

Jaza dapat melihat Maya yang merotasikan bola mata. "Sok sibuk banget. Emang lo aja yang ada urusan? Gue habis ini juga ada rapat, ya, buat kepentingan fakultas. Nggak kayak lo yang gebukin drum tiap hari, tapi masih aja bikin sakit telinga."

Tidak sulit untuk membaca bahwa perdebatan ini akan berlangsung lama jika tidak dihentikan dengan segera. Oleh karenanya, Jaza cepat-cepat menyenggol lengan Maya yang berada tepat di sebelahnya.

Awalnya, kemarahan seperti akan tercipta, sebab Jaza melakukannya dengan sedikit keras. Akan tetapi, hal itu segera teredam saat Jaza membolakan mata ke arah Maya dengan kening dikerutkan. Jaza yakin, Maya mampu menangkap maksud yang secara tersirat dia berikan, terbukti dari Maya yang mengubah ekspresi dan membolakan mulut seolah menyadari sesuatu.

"Oh, eh, bentar dulu. Gue lupa mau ngasih sesuatu buat Isy. Bentar, ya." Maya berkata cepat, kemudian berlalu ke meja mahasiswa paling depan di mana tasnya berada.

Sedang di tempatnya, Isy memasang wajah bingung dan bertanya, sekaligus mengikuti pergerakan Maya. Saat gadis pencipta kebingungan itu kembali, Jaza dapat semakin jelas melihat tanda tanya di wajah Isy. Lelaki itu menahan senyumnya, meski takut jika respons yang akan diberikan sang gadis berada jauh di luar ekspektasi. Lalu, tatapan Isy yang jatuh kepadanya membuat Jaza segera mengalihkan mata. Untung saja Maya cepat mengalihkan fokus Isy dengan menyodorkan sabuah kotak ke arah Isy.

Lagi-lagi, Isy tak segan mengungkapkan ketidakmengertian melalui tatapan. "Ini apa, May?"

Maya tersenyum menampilkan giginya. "Ini buat kamu, Sy. Bukan apa-apa, sih. Aku cuma mau bilang makasih ke kalian bertiga, udah mau direpotin sama Prof. Agus buat jadi koordinator matkul beliau. Daaan, setelah ini kemungkinan juga bakal diminta tolong buat input nilai dan ini itu lainnya. Pokoknya sampe kelar semester, pasti kalian disuruh bantuin ini itu. Jadi, nih, aku apresiasi dulu biar habis ini lebih semangat. Ambil ini, Sy. Aku nggak nerima penolakan."

Dalam ukuran acting, Jaza berani memberikan nilai sempurna kepada Maya. Antusiasme di suara gadis itu tidak dapat diingkari. Bahkan, Jaza dapat melihat bagaimana Isy terkekeh sebagai tanggapan. Gadis itu hendak menyambut box berisi cokelat yang diberikan Maya, jika saja Piyo tidak lebih dulu menyerobot dengan nada menjengkelkan.

"Halah. Segala apresiasi. Paling juga duitnya dari om lo."

Begitu saja, fokus Maya terdistraksi. Gadis itu membalas perkataan Piyo dan menarik kembali box yang dia ulurkan. "Eh, gue bilangin Om Agus, ya, lo udah nuduh dia nyuap mahasiswa buat jadi koordinator."

Tentu saja, kalimat itu mendapat sahutan, sehingga Jaza hanya bisa menggelengkan kepala. Diraihnya sekotak cokelat di tangan Maya tanpa persetujuan gadis itu. Setelahnya, Jaza menengadahkan telapak tangan Isy dan meletakkan benda itu di sana. Hal itu sekaligus menghentikan percekcokan dua manusia lain.

Jaza sadar, Isy memusatkan tatap ke arahnya, tetapi dia memilih tidak membalas. Kenapa? Tentu saja karena gugup. Bagaimanapun sikap Jaza di depan Isy biasanya, sebenarnya selalu ada gugup yang dia simpan rapat-rapat.

"Lo, sih, Yo. Jadi orang ngajak ribut aja, kan gue jadi kedistrak," ucap Maya ketika mendapati pergerakan Jaza itu.

Jaza tahu, Piyo akan segera membalas jika dia tidak lebih dulu menginterupsi. "Udah, May, Yo. Ini kita nggak jadi ke ruang dosen lama-lama."

Keduanya segera bungkam, dan kali ini Isy yang lebih dulu menyumbangkan suara guna memulai perbincangan. "Ini buat Jaza sama em ... Piyo juga, kan? Nggak apa-apa, dibawa mereka aja. Aku gampang." Gadis itu berucap dengan mengulurkan box di tangan kepada Maya. Perkataannya sedikit tersendat ketika mengucapkan nama Piyo. Mungkin karena merasa tidak begitu kenal, pikir Jaza.

Namun, yang paling menyita perhatian adalah respons Isy. Jaza segera menatap Maya, memberikan kode seperti sebelumnya. Gadis itu pun segera bereaksi.

"Eh, ini ...."

Maya belum sempat berbicara, tetapi Piyo sudah lebih dulu memotong. "Gue sama Jaza udah dapet duluan, Sy."

"Nah, tuh bener. Mereka--apalagi Piyo kan perut karet. Makanya nih, yang punya kamu aku kasih belakangan, dimakan sendiri aja biar tu dua bocah nggak asal comot."

Jaza menghela napas lega setelah mendapati reaksi responsif Maya dan Piyo. Senyumnya terkembang, bersama Piyo dan Maya yang saling lirik dengan bangga kala Isy mengangguk-anggukkan kepala.

"Oh, ya udah. Aku terima, ya, May. Makasih banyak." Isy berucap dengan senyum yang diumbar secara sempurna. Cantik, pikir Jaza.

Ya, benar. Cokelat itu sebenarnya bukan dari Maya dan Piyo pun tidak mendapatkan makanan manis itu. Jaza hanya meminta bantuan dua orang itu untuk bersandiwara, lagi, seperti saat dia membuat Isy pergi berdua dengannya menemui Prof. Agus. Dia tidak bermaksud membohongi Isy, tetapi lelaki itu dapat dengan jelas membaca bahwa Isy tidak akan mudah menerima jika pemberian itu adalah dari dirinya. Jaza tidak tahu bagaimana harus mengatakan bahwa Isy telah melakukan berbagai hal dengan baik jika tidak melalui cara ini.

Bersama kelegaan yang melekat tanpa dapat disangkal, Jaza mengingatkan ketiga orang di ruangan itu pada sesuatu yang harus mereka lakukan. "Ya udah ayo. Kita kasih sekarang ini kertasnya, biar bisa langsung pulang."

Namun, di luar prediksi, Isy justru menanggapi hal itu dengan hal yang sama sekali tidak bisa dia mengerti. "Ini kita semua yang mau ngasih ke ruang dosen? Atau biar aku sama Jaza aja? Katanya tadi kalian habis ini  ada kegiatan, kan? Biar lebih efektif aja, sih."

Pantas saja jika Jaza kaget, karena ini kali pertama Isy dengan suka rela menghabiskan waktu dengan Jaza saja. Oh, sepertinya istilah menghabiskan waktu terlalu berlebihan, sebab mereka hanya akan berjalan sebentar ke ruang dosen. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri, Jaza merasa senang. Dia segera berdeham, bermaksud mendahului Maya dan Piyo, takut-takut jika mereka menolak usulan Isy itu.

"Iya, gitu aja, deh. Nggak enak juga ke ruang dosen ramean, kayak mau demo IP aja."

Kalau Piyo sih, sudah tentu mengerti maksud Jaza. Bahkan lelaki itu menahan senyum dengan hiperbolis.

"Oh, oke deh kalau gitu. Aku nitip, ya, Sy." Itu Maya.

"Sip, emang lo pengertian banget nggak kayak nih si dumay." Sedang kali ini adalah Piyo, dengan perkataan yang menaikkan emosi Maya.

Dari sudut matanya, Jaza dapat melihat Isy yang hanya bisa tersenyum lebar ketika Maya mencoba menendang tulang kering Piyo dan sang lelaki yang berusaha menghindar.

Dengan kekehannya, Isy berkata, "Mau dikasih sticky note, nggak, buat batas per mata kuliah? Biar nanti waktu di ruang dosen nggak ribet misahin lagi."

Usulan itu mendapat persetujuan, yang berimbas pada keempat orang tersebut yang segera sibuk dengan bolpoin dan masing-masing sticky note dari Isy. Mereka menuliskan nama mata kuliah masing-masing untuk ditempelkan di kertas kuis paling atas, sebagai pembatas satu mata kuliah dengan lainnya.

Diam-diam, bersama tinta yang diguratkan, Jaza tersenyum dengan alasan yang masih sama. Isykarima Java Sephora. Nama indah yang menjadi tempatnya memberikan terima kasih yang dihantarkan sebagai keheningan, hingga sang pemilik kemungkinan tidak bisa mendengarnya.

Obat-obatan, psikoterapi, dan pendampingan psikiater lainnya tentu bukan hal yang mudah, meski Dokter Ratih tidak memberikan detail kondisi Isy pada saat itu. Rasanya, tidak ada terima kasih yang cukup untuk membalas kuatnya Isy menjalani hampir dua tahun masa sulit di hidupnya. Maka, biarkanlah Jaza memberikan satu demi satu rasa terima kasih itu, setidaknya, nantinya, untuk membuat sang gadis ingat, bahwa kakinya pernah menapaki bumi dengan amat berat, hingga kini di setiap sel tubuhnya tersemat ribuan kuat.

Jaza, I think I've to tell you that I love you in every universe :)))

AN.

Mei 16, 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro