Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14_with you, again

Apa pun niatnya, segala tindakan akan menemui dua cabang penerimaan, entah membantu atau justru mengganggu. Maka, sudahkan kata siap digenggam?

***

Meski turut berdiri di belakang antrean peserta seminar yang hendak meminta tanda tangan kepada speaker dalam buku karangannya, Isy justru berkali-kali meminta orang yang baru datang dan berdiri di belakangnya untuk maju lebih dulu. Hal itu membuat pergerakannya tidak signifikan sedari tadi. Namun, tak apa. Sebab memang itu tujuannya, berdiri di barisan paling akhir agar nantinya bisa mengobrol lebih lama dengan Dokter Ratih.

Sedang perkara Jaza, sebenarnya berkali-kali dia melirik lelaki itu sepanjang keberlangsungan seminar. Bukan tatapan sinis yang diberi, sebab Jaza benar-benar menepati ucapannya untuk tidak mengganggu Isy sama sekali. Akan tetapi, gadis itu justru mengingat kali terakhir dia berinteraksi dengan Jaza sebelum ini. Yakni kala lelaki itu mengirimkan Nawang dan Tiara untuk menemaninya, yang tanpa sadar mampu mengambil peran untuk mendistraksi pikiran Isy yang tidak karuan.

Namun, tidak ada sepatah kata pun yang dibiarkan memasuki rungu sang lelaki. Keingintahuan Isy tentang mengapa langkah tersebut yang diambil Jaza, juga apa yang mungkin dia ketahui, tertelan kembali. Dia lebih memilih menarik kesimpulan sendiri, menghubungkan satu dua hal yang pernah dia temui untuk memprediksi tingkah partnernya di FISIP Heroes itu. Isy tidak ingin mengelak bahwa di balik tingkah ikut campurnya yang menyebalkan, Jaza bukan tipe pemaksa. Bukan sekali dua kali Jaza menyerah kepada keputusan Isy, meski harus melewati sahut penuh perdebatan hingga hampir mencapai batas kesabaran.

Maka, biarkanlah saja. Toh, dia tidak seharus itu berterima kasih untuk hal untung-untungan yang dilakukan Jaza. Mengapa Isy menyebutnya untung-untungan? Karena pada kenyataannya, tindakan tanpa persetujuan itu akan menemui dua cabang penerimaan. Sebagai sebuah hal yang membantu atau justru mengganggu, dengan sang penerima perlakuan sebagai hakimnya. Sebut saja Jaza sedang beruntung, niatnya tepat sasaran. Lalu, untuk apa Isy berterima kasih untuk keberuntungan itu di saat dia bisa saja melontarkan kemarahan karena ruang pribadinya dimasuki tanpa izin?

Isy juga menelan mentah-mentah pemikiran yang bersarang singkat di kepala, tentang kafe tempat Jaza bekerja. Kejadian tempo hari membuatnya kembali meninjau ulang keadaan, yang membuatnya menilai bahwa bekerja seperti dulu belum menemui waktu yang tepat untuk kembali dilakukan.

Dia baru saja hendak melangkahkan kaki ke depan, dengan seberkas syukur karena Jaza tidak lagi di dekatnya dan membuat gadis itu lebih leluasa. Namun, kepergian Jaza ke kamar mandi beberapa menit sebelum acara usai, yang menjadi sebuah hal baik untuk Isy, kini harus sirna begitu saja. Sebab sang pemilik nama sudah kembali, menyejajari langkahnya tanpa sedikit pun memberi atensi, seolah hal di depan sana membuat Jaza tidak menyadari bahwa matanya dan Isy hanya berjarak beberapa senti.

Sang gadis mengembuskan napas, membiarkan saja. Hingga hanya satu antrean lagi yang tersisa di depan mereka, tetapi posisi Jaza masih tepat di sampingnya.

Dia mengalah, lebih dulu bersuara. "Duluan," ungkapnya, dengan gerak mundur barang sejengkal. Akan tetapi, bukannya menuruti, Jaza justru mengimitasi pergerakan Isy. Tali tas yang menggantung di lengannya, menjadi sasaran kekesalan Isy. Gadis itu mengenggamnya erat, kemudian menghadapkan badan ke samping untuk menatap Jaza yang seolah menjelma patung saja.

"Isy, ngapain masih berdiri di situ?"

Hampir saja sebait kalimat dilontarkan dengan nada kesal, sebelum sebuah suara terlebih dahulu menyapa. Kalimat teguran ramah itu, yang membuat Isy kembali mengatupkan rahang dan kembali pada posisi semula. Bedanya, kini, di depan sana ada sesuatu yang membuatnya tersenyum lebar. Senyum Dokter Ratih yang tertuju kepadanya.

Sang gadis pun tersenyum kikuk, sampai menyelipkan anak rambutnya yang tak begitu berantakan ke belakang telinga.

"Sini." Suara Dokter Ratih terdengar lagi, kali ini membuat sensor motorik Isy bekerja lebih banyak dengan mendekat ke arah wanita paruh baya itu.

Isy sedikit merendahkan badannya seusai tiba di depan wanita itu, membuat posisinya tidak jauh berbeda dengan Dokter Ratih yang tengah terduduk di sofa. Isy menyodorkan buku karya Dokter Ratih, membuka halaman pertama. Gestur itu membuat sang wanita tertawa kecil.

"Ngapain minta tanda tangan, Sy. Berasa sama siapa aja."

Isy ikut tersenyum hingga tiupan angin tipis dapat menyentuh gigi rapinya. "Isy fan nomor satunya Dokter Ratih, loh. Harusnya malah dapet tanda tangan paling besar."

Gelengen kepala diterima Isy, dari sosok wanita yang sepertinya sudah melihat semua ekspresi yang Isy punya. Tangis, frustrasi, risau, marah, lalu senyum kecil hingga tawa kegembiraan yang lebih lebar. Wanita itu sudah menyaksikan semuanya, menemaninya menjemput penerimaan secara perlahan. Meski bagaimanapun, utuh belum bisa dia tempuh. Layaknya sebuah kaca, Isy adalah yang hancur berkeping-keping.

Namun, lamun penuh ketenangan itu segera terdistraksi karena satu gerakan yang tercipta. Sama sekali tidak menyentuh Isy barang seujung kuku, tetapi dapat ditangkap netra dengan jelas. Sebab gerakan itu tercipta di depannya, pada space kosong di sebelah Dokter Ratih. Bahkan, wanita yang tengah sibuk dengan bolpoinnya itu sampai memejamkan mata karena terkejut. Sangat berbeda dengan Isy yang menatap dua orang di depannya dengan pandangan bingung. Karena Dokter Ratih mengangkat tangan ringan dan mendaratkannya keras-keras ke bahu kiri Jaza, juga karena lelaki itu yang tanpa beban mengambil posisi di sana.

"Kakak nggak usah grasah-grusuh bisa nggak, sih? Udah gede, masih aja nyilik kayak gitu."

Isy semakin bingung. Omelan Dokter Ratih itu tentu saja bukan hal yang lumrah bagi peserta seminar dan speaker-nya. Lalu, apa tepatnya hubungan yang membuat mereka bisa sesantai ini? Bahkan, kini Jaza mengangkat jari telunjuk dan tengahnya sebatas mata, memamerkan gestur damai yang tentu saja jauh dari kata formal.

Sampa berdetik berikutnya, Dokter Ratih kembali pada pekerjaan yang tertunda. Wanita itu menggerutu, dengan bolpoin yang menggantung beberapa senti di atas buku. "Tuh, kan, lupa mau nulis apa."

"Waduh, faktor U itu, Lik." Itu suara Jaza, dengan raut tanpa dosanya. Yang sedetik kemudian berubah menjadi ringisan, sepertinya karena gerak tangan Dokter Ratih yang mencubit paha lelaki itu tanpa mengubah arah pandangnya.

Jaza tertawa, sedang Isy semakin bingung dibuatnya. Mata kedua insan itu sempat bertemu, tetapi Isy segera menoleh di saat tawa di wajah Jaza bahkan belum pudar. Kalau benar kedua orang itu saling mengenal dekat, tampaknya dunia benar-benar sedang menunjukkan sesuatu kepada Isy. Sebab, sedari awal dia menyadari eksistensi Jaza, dia dapat merasakan betapa lelaki itu semakin sering berada di sekitar titik edarnya. Padahal, sebelumnya menangkap sosok lelaki itu dari sudut mata pun tidak pernah. Atau mungkin, Isy tidak menyadarinya.

Lamunan itu kembali buyar, ketika Dokter Ratih mengangkat kepala, selesai dengan urusannya. Senyum tenang wanita itu segera tertampil. Ekspresinya berubah 180 derajat dengan yang ditampilkan untuk Jaza tadi. Wanita itu menyodorkan buku milik Isy, yang segera diterima oleh pemiliknya.

"Terima kasih, Dokter," katanya ramah, sembari membawa badan berdiri dengan lebih tegak.

Dokter Ratih belum menjawab, tetapi seberkas suara sudah lebih dulu masuk ke telinga Isy. "Harusnya aku jualin tanda tangan sama quotes Bulik aja, ya. Lumayan, laku keras."

"Sini, kamu aja yang Bulik jual."

Isy tersenyum kikuk, tidak tahu mau menanggapi seperti apa, terutama pada sinisan yang diberikan Dokter Ratih. Namun, untungnya percakapan itu tidak berlanjut, sebab Jaza hanya tertawa dan Dokter Ratih memilih mengabaikannya.

"Ini anak memang kayak gitu, Sy. Nggak di rumah, nggak di umum, sukanya godain buliknya. Tapi kalau di acara formal, sok-sok keren kayak tadi itu, bikin orang ketipu." Dokter Ratih berkata panjang seolah objek pembicaraannya tidak berada di sana. Sementara Isy tidak tahu harus menanggapi seperti apa.

"Gini-gini juga ponakan kesayangan Bulik." Jaza tidak mau kalah, menujukan kalimat itu kepada Dokter Ratih yang dipanggil bulik olehnya. Akan tetapi, mata lelaki itu  melirik ke arah Isy, membuat tatapan kedua netra itu bertemu dalam satu titik yang sama. Sebentar, sebab lagi-lagi Isy lebih dulu mengubah arah binar bolanya.

"Ngaco." Isy melihat Dokter Ratih melirik ke arah Jaza, tetapi hanya itu yang dilontarkannya, sebelum kembali pada Isy dan secara otomatis mengubah raut wajahnya dengan senyum menyenangkan. "Isy kenal, ya, sama Jaza? Tadi juga duduk bareng. Deket?"

Tarikan bibir Isy terasa kaku. Sekuat tenaga, dia mencoba untuk tidak melirik Jaza, tetapi dari sudut mata, dia bisa melihat lelaki itu tengah memfokuskan atensi ke arahnya. Hal itu membuat Isy semakin tidak nyaman, apalagi mengingat ada orang lain di antara mereka.

Gadis itu mengangguk tipis. "Kenal aja, kok, Dokter. Nggak deket."

Dokter Ratih membulatkan mulut. "Bagus, deh, nggak usah deket-deket sama dia. Bikin pusing." Kali ini, perempuan itu berkata sembari memegangi kepalanya, seolah mengadapi Jaza memang sememusingkan itu.

Tak ayal, Isy tertawa kecil. Bagaimanapun, dia setuju kalau Jaza memang menyebalkan. Tawa yang sirna dengan segera, ketika dia menyadari tatapan dari sang objek saat tanpa sengaja menggerakkan bola mata ke arahnya. Senyum di bibir Jaza membuat gadis itu berdeham. Hubungan Dokter Ratih dengan Jaza memang belum diketahui pasti olehnya. Akan tetapi, kedekatan yang terlihat membuat gadis itu memutuskan satu hal, yakni pergi dari sana dengan segera. Lagi pula, dia tidak akan nyaman berbicara dengan Dokter Ratih saat ada orang lain di sana. Apalagi orang tersebut adalah Jaza. Maka, dia berniat membuka mulut, mengucap pamit. Bertemu Dokter Ratih bisa kapan-kapan lagi.

Namun, gagal. Niatnya lebih dulu dibungkam tanpa menunggu bergantinya menit.

"Eh, berhubung kalian saling kenal, Isy ikut saya aja, yuk. Makan siang bareng sama Jaza. Sekalian ngobrol-ngobrol. Saya juga udah lama nggak ketemu sama kamu, Sy."

Lantas, bagaimana Isy harus menolak tawaran itu? Dia tidak pandai membuat alasan, apalagi dengan sebuah kebohongan karena pada kenyataannya dia tidak ada acara seusai ini. Tidak mungkin juga, kan, dia berkata bahwa keberadaan Jaza membuatnya keberatan?

"Mau, kan?" Dokter Ratih kembali bertanya karena Isy tak kunjung memberikan respons.

Maka, dengan menangkis segala yang bersarang di dada, Isy akhirnya menyunggingkan senyum tipis dan mengangguk. "Boleh, Dokter." Sambutan yang dia peroleh adalah senyum lebar dari Dokter Ratih. Dari Jaza? Dia tidak tahu dan tidak berniat mencari tahu.

"Kalau gitu, saya ke ruang transit dulu, ya. Pamitan ke panitianya. Kalian tunggu di sini--eh, boleh nggak, ya, tunggu di dalem? Siapa tahu mau langsung diberesin."

"Di luar aja, Bulik. Nanti chat Jaza aja kalau udah selesai, biar disamperin sama kita." Jaza memotong, membuat Dokter Ratih menolehkan kepala ke arahnya lalu memberikan anggukan beberapa kali.

"Ya udah, ditinggal, ya. Sebentar, kok."

Dengan kepergian Dokter Ratih, dua insan yang tak begitu akrab itu membagi hening. Si gadis memasang wajah serba salah, sedang sang lelaki terlihat menyunggingkan senyum tipis.

Benar saja, panitia acara mulai berlalu-lalang membersihkan tempat itu, membuat Isy merasa harus beranjak sekarang juga. Maka, dengan pasrah dia mematuhi ajakan Jaza untuk beranjak keluar. Dalam hati, Isy melirih. Lagi. Lelaki itu menjadi bagian dari hari yang dia jalani, entah untuk kali keberapa.

Hai. Selamat lebaran, ya, Temen-temen. Maaf banget udah kelewat banget baru ngucapin. Taqobbalallahu minna wa minkun, minal aidzin wal faizin. Semoga segala maaf masih tercurah, ya, karena aku nggak tahu ucapanku yang mana yang udah tanpa sengaja ngasih efek gak menyenangkan. Semoga berkenan memaafkan. hehe

AN
M

ay 9, 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro