11_memory caller
Oleh pemiliknya, beberapa ingatan yang disenangi, tidak selalu ingin dikenang lagi.
***
Tidak seperti terakhir kali tempat ini disambangi, kini tinggi air sudah jauh lebih rendah. Isy bahkan tidak perlu repot-repot mengangkat tinggi straight pants berbahan jeans yang dia kenakan. Hanya satu lipatan dua sentimeter yang dia buat, sehingga celana tersebut menggantung lima senti di atas mata kaki.
Perhatian yang dia berikan kepada sekitar, tanpa sengaja membawa gadis itu menatap ke bawah sana, pada kakinya yang berdiri tegak di bagian belakang kelas. Sejenak, dia terdiam, kala pantulan cahaya jatuh ke matanya hingga bentuk sempurna sandal jepit yang dia kenakan dapat diidentikasi dengan nyata. Saraf-saraf rumit serebrum di kepalanya mencuatkan ingatan yang jauh dari kata ingin untuk dia kenang. Meski kenyataannya, tidak bisa dia enyahkan begitu saja.
Isy bahkan kini meneliti bekas luka kecil yang beberapa hari lalu dia rasakan, yang sayangnya sama sekali tidak dia lihat karena memang tak seberapa. Akan tetapi, bekas luka yang bahkan tidak bisa dia lihat bentuknya sekarang juga itu mampu membuat ingatannya terlempar ke hari di mana Jaza memberikan atensi di sana. Isy perlu mengeratkan pejaman matanya untuk mengusir bayangan acak itu, sebelum diangkatnya kepala yang semula tertunduk. Tentu itu adalah pilihan yang salah, karena dia melupakan realitas bahwa lelaki yang menjadi objek ingatannya kini tengah berdiri di depan sana, dengan media pembelajaran berupa roda putar untuk mengundi pengambilan soal di tangan.
Jaza khusyuk dengan senyumnya, setelah meminta satu orang siswa lagi untuk mendekat ke arahnya dan memutar papan shuffle itu. Perlahan, Isy menghela napas saat menyadari telah memandang sang lelaki terlalu lama. Dia memilih mengangkat kamera membidikkannya ke depan sana untuk keperluan dokumentasi.
"Wah, udah dapet soalnya, nih. Intan jawab, ya. Proklamasi kemerdekaan Indonesia dilangsungkan pada tanggal berapa?"
Kalimat itu terlontar dari bibir Jaz pada bidikan pertama Isy. Selanjutnya, gadis itu memilih mendekat, berjalan di ruang antar bangku siswa sementara mereka saling memberi kode agar temannya yang berada di depan memperoleh jawaban yang benar.
Bidikan lainnya Isy tujukan kepada sekeliling kelas, juga pada anggota FISIP Heroes lain yang turut bertugas di ruangan ini. Hingga, fokus kedua yang dia tujukan kepada Jaza pun mencipta satu potret yang tampak manis dilihat melalui lensa.
"Bener. Pinter banget, sih, Intan." Momen itu, kala Jaza mengusak rambut Intan, menjadi momen yang diabadikan Isy melalui benda digital di tangan. Entah mengapa, dia merasa hatinya meringan.
Isy tahu betul, dari dulu dia memang menyukai tempat-tempat seperti ini, di mana pekerjaan sosial dilakukan. Sehingga, dia tidak perlu berpikir pusing tentang perasaan yang selalu terasa lebih baik, apalagi saat berinteraksi dengan keluguan anak-anak kecil. Dia pun tidak berniat melunturkan senyum, membiarkannya tetap mengembang bersamaan dengan Jaza yang menutup kelas hari ini.
Dibawanya langkah kaki ke depan sana, untuk berbaris dengan kelompok tugas FISIP Heroes lainnya, mempermudah para siswa menjabat tangan mereka sebelum meninggalkan kelas. Jaza berada di ujung paling dalam, sedangkan Isy berada di sisi berlawanan dengannya.
Sebenarnya, Isy menyadari bagaimana hari ini dia banyak melirik ke arah lelaki itu. Bukan perihal Jaza yang berhasil menyita atensinya, tetapi tentang keraguan yang menjalar di dada Isy, tentang ingatannya pada tawaran Jaza di gedung dekanat kala itu, juga tentang ibunya yang semakin hari terlihat semakin gila kerja. Sebagian dari dirinya sangat ingin mendekat ke arah Jaza, bertanya apakah tawaran itu masih berlaku untuknya. Akan tetapi, di sisi lain ada kekhawatiran yang tidak bisa dia sembunyikan. Tidak ada keyakinan penuh yang dia miliki tentang kesanggupan yang dipunya. Dia tidak yakin bahwa segala ketakutan itu telah hilang.
Isy tidak mau egois dengan membiarkan sang ibu bekerja sendirian, tetapi dia terlalu takut untuk mengulang salah satu momen yang selamanya tak pernah hilang. Momen yang hingga kini terus membuatnya refleks menggeser elemen kecil di cincin yang melingkar di jarinya untuk mengusir kecemasan.
"Kakak, boleh temenin aku ke kamar mandi, nggak?"
Kalimat itu muncul tanpa aba-aba, membuyarkan lamunan Isy yang berkelana. Posisi di antara sadar dan tidak, membuat gadis itu harus membungkuk dan mendekatkan diri ke arah gadis kecil sang sumber suara. Dia yang terakhir, dan rekan di sampingnya pun turut memberikan atensi pada siswi mungil itu.
"Gimana, Dek?" tanya Isy, dengan tubuh yang sudah direndahkan.
"Temenin aku ke kamar mandi, Kak. Mau pipis, tapi takut kalau sendirian. Mau, nggak?"
Isy tersenyum, seraya memperhatikan gestur gadis tersebut yang jelas tengah meminta kandung kemih agar bertahan sebentar lagi.
"Ayo, Kakak temenin." Isy berucap, yang diangguki berkali-kali oleh gadis itu. Sebelum melangkah keluar, Isy terlebih dahulu berucap kepada rekan di sebelahnya. "Biar aku anterin dulu, ya. Kalau yang lain mau balik ke posko dulu nggak apa-apa."
Setelah mendapatkan anggukan, Isy bergegas mengikuti tarikan siswi tersebut pada tangannya, berjalan tergesa hingga sampai di depan toilet. Entahlah. Hal seperti ini yang terlihat sederhana, selalu menyenangkan baginya. Banyak memori serupa di masa lalu yang dia miliki, meski kini saat mengingatnya, rasa senang tak banyak mendominasi.
Kalau boleh jujur, keputusan Isy mengambil departemen sosial dan kemasyarakatan sejak masuk kuliah adalah untuk menciptakan kenangan baru yang dia sukai tentang dunia ini. Sekaligus menimbun ingatan lampau tentang hal serupa yang sangat dia senangi, tetapi tidak ingin dikenang lagi. Sebab, dalam kenangan itu ada satu senyum yang tak pernah dia percaya dapat menghancurkan dengan sebegitu hebatnya.
Isy menggelengkan kepala. Untuk apa mengingat hal-hal yang hanya akan mencipta perasaan buruk? Maka, dia memilih mengangkat kamera yang tergantung di leher. Dihirupnya oksigen di sekitar sebelum mengarahkan lensa ke depan sana, pada pemandangan hutan bakau yang belum terlalu lebat, membuat kapal-kapal kecil masih bisa tertangkap mata. Di sisi lainnya, terdapat rumah-rumah panggung warga yang sebelah kaki penopangnya terendam air pantai. Pemandangan itu terlihat dengan jelas melalui bagian belakang sekolah dasar ini.
Sekali, dua kali, Isy menekan tombol shutter dengan pasti. Indah, tetapi di sisi lain juga menyimpan resah. Desa yang disebut sebagai desa nelayan ini dikenal sebagai desa yang paling sering tergenang banjir, salah satunya karena naiknya air pantai. Oleh karenanya, di samping ketidakmauan Isy berada dalam forum yang besar, dia juga tertarik mengikuti program FISIP Heroes, memberikan kontribusi untuk desa yang mendapatkan dua sisi kausalitas dari air laut. Yakni berkah, juga musibah.
Lalu, tiba-tiba sebuah rengekan membuat fokus Isy buyar. Gadis itu melangkah mengikuti suara hingga ke belakang sekolah dasar. Di sana, di tempat sepi yang tak banyak dihuni, sepasang bocah kecil berlawan gender berada di posisi yang amat dekat. Bukan dekat lagi, tetapi amat menempel dalam rengkuhan. Kaki Isy kelu. Ada getar yang dia rasakan bibirnya. Bayangan itu datang lagi. Tepukan, rengkuhan, serta rontaan, menjelma film lama penuh ironi yang tak ingin dia saksikan.
Ada rasa penuh di pelupuk matanya, hingga rengkuhan bocal laki-laki terhadap gadis kecil yang merengek minta dilepaskan itu memudar sama sekali. Isy dapat melihat wajah memerah dari sang gadis, dan detik itu pula dia sadar harus keluar dari keterkejutannya.
"Kaaak." Gadis kecil itu merengek panjang, membawa kakinya berlari dan memeluk pinggang Isy.
"Kak ...."
Isy tak membiarkan kalimat gadis kecil itu usai atau menunggu sang lelaki menyuarakan klarifikasi. Dia segera berbalik dan membawa gadis yang merengkuhnya itu turut serta. Jari jemarinya bergerak memankain cincin di tangan, sembari menggandeng tangan mungil di sebelah.
"Loh, Kakak dari mana? Tadi aku ditinggal?" Suara itu hadir saat Isy sampai di depan kamar mandi, disambut gadis lain yang dibawanya kemari.
Tanpa mengungkapkan satu kata pun, tangan yang kosong dia gunakan untuk menuntun gadis itu kembali ke halaman depan sekolah dasar. Mungkin, kebingungan mereka rasakan, begitupun dengan tangan dingin yang dia rasakan dari gadis kecil yang dia temui di belakang sekolah.
Hingga entah di langkah keberapa, sebelum dia sampai ke tujuan, seseorang menghentikannya tepat di depan mata. Lelaki itu tersenyum, seperti biasa, tetapi segera mengaburkannya entah karena apa.
"Isy ... udah?" Terlihat keraguan dari pertanyaan itu, yang berasal dari Jaza. Akan tetapi, Isy tidak memberikan atensi lebih.
Pandangan lelaki itu turun, pada dua gadis di samping kanan dan kiri Isy. Isy menyadarinya, tetapi yang dia lakukan hanya melepaskan kedua genggaman ringkih itu dan mendorong bahu keduanya kepada Jaza.
"Tolong anterin mereka ke depan." Begitu saja, Isy berjalan cepat ke arah dia datang tadi, bersama jemarinya yang tak henti memainkan logam khusus yang melingkar di jari.
Mengapa setelah banyak tahun yang berganti, kesedihan dan ketakutan itu tak mau meninggalkannya sendiri?
Hai, haiii. Ada yang masih baca? Hehe. MAAF yaa aku jarang nyapa :( my badd.
Ada yang punya tebakan tentang Isy? Mau denger donggg. Feel free buat menuhin kolom komentar, yaa. You'll be more appreciated with your votes and comments hehe. Terima kasih sudah membacaaa.
AN.
April 21, 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro