Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10_silly perspectives and thoughts

Tidak ada yang bener-bener baik dari mereka. Sebagian sudah ketahuan jahatnya, sebagian lagi sekadar ahli menutupi. Akan tetapi, bukankah tidak ada yang tahu jika kenyataan itu hanya muncul karena kepala yang teramat sok tahu?

***

Hening rumah semakin terasa, kala kaki sang pemilik menjejak lebih dalam ke ruang yang ada. Telinganya otomatis mencoba mengenali dari mana sumber suara yang menyambutnya kala membuka pintu tadi. Meski dia tahu betul bahwa dapur adalah tempat yang harus dia tuju tanpa susah-payah mencari tahu.

Benar saja, ibunya di sana, berdiri di depan kulkas yang terbuka. Hal itu membuat sang pemilik raga--seorang Isykarima Java Sephora--melarikan mata ke atas meja makan. Ada dua boks bening yang tidak asing di matanya sejak mereka pindah ke rumah ini. Napasnya terhela, sebelum raut tak mengenakkan segera dia enyahkan ketika sang ibu membalikkan badan.

"Loh, Isy udah pulang?"

Isy tersenyum, bergerak menyambut sang ibu yang memberikan atensi sepenuhnya kepada gadis itu, mengabaikan kudapan yang harus dia simpan untuk digoreng esok pagi. "Udah, Bunda." Gadis itu mencium tangan yang terasa semakin keriput, meski kuatnya sama sekali tidak mengerut. "Maaf, ya, Bunda pulang Isy belum di rumah terus."

Entahlah, apakah wanita paruh baya itu tidak mengenal kata lelah atau bagaimana. Sebab, kala Isy mendongak, yang dia temui adalah wanita itu yang mendorong kepala ke belakang, memberikan raut tidak mengerti. "Loh, kok maaf?"

Isy bungkam. Jika menyuarakan apa yang ada di hati, tentu ibunya tidak akan senang. Oleh karenanya, dia membiarkan sang ibu bergerak dari hadapan, dengan apron kusam tetapi bersih yang menggantung di lehernya. Satu kursi kosong ditarik, dan sang ibu kembali menghampiri anak gadisnya untuk menyentuh lembut bahu yang selalu kecil di netranya.

"Duduk dulu, Bunda ambilin minum. Infuse water-nya masih?"

Namun, Isy tidak menuruti. Badannya tidak kooperatif untuk dibawa duduk di atas kursi. Dia justru menukar posisi dengan sang ibu dengan gerakan lembutnya. "Bunda yang duduk. Habis pulang kerja, langsung kerja lagi. Kalau pegel-pegel, Isy nggak mau pijetin pokoknya."

Kekehan terdengar, membuat Isy turut mengembangkan senyumnya sembari meraih container berisi risol yang siap digoreng. Tangannya cekatan membawa benda itu untuk dimasukkan ke kulkas. Tidak ada yang ringan tentang hatinya, setiap kali melihat ibu harus menggunakan waktu luang untuk mencari penghasilan sampingan. Bahkan, botol berisi infuse water yang sama sekali tidak berat pun cukup membuat tangannya kaku untuk digerakkan. Meski bagaimana pun, kala tubuhnya berbalik, raut itu tak boleh eksis di wajahnya.

Setelah mengambil dua gelas kosong, gerak selanjutnya mengantarkan gadis itu tepat ke samping sang ibu yang sedang khusyuk memperhatikan anak semata wayangnya. Dia menyadari senyum di wajah cantik ibunya, tetapi Isy memilih fokus menuangkan air ke salah satu gelas. Entah mengapa, senyum tulus itu menimbulkan dua efek berbeda yang amat kontradiktif. Bahagia, juga sesal.

Isy mati-matian menahan diri agar tidak menghela napas di sana. Didistraksinya perasaan berat itu dengan menggeserkan gelas berisi air rasa jeruk dan stroberi ke arah ibu. "Ibu juga minum yang banyak," ucapnya seraya menuangkan segelas lagi untuk diri sendiri. "Kemarin-kemarin kepalanya pusing, kan?" Sejenak, Isy melirik, menyambut pemandangan ibu tercinta yang tengah menyesap minumannya. Gadis itu tersenyum tipis. "Itu gara-gara minumnya kurang, Bu."

Isy masih ingat. Dulu, posisinya terbalik. Dirinyalah yang sering kena omel ketika tidak mau minum, makan buah, atau sekadar tidur tepat waktu. Namun, kini lihatlah. Ibunya justru mengingkari semua arahan yang diberikannya kepada Isy dahulu.

"Iyo, iyo, cah ayu. Cerewet banget anak Bunda." (Iya, iya, gadis cantik.)

Cerewet? Isy tersenyum tipis, sedangkan satu sudut hatinya berdebat dengan sudut yang lain. Tubuh itu beranjak jatuh ke atas kursi, mencipta diam di antara dua insan yang hanya tinggal berdua sejak belasan tahun lamanya. Ibu entah dengan pikiran apa, sedang Isy yang melayangkan ingatan pada segala hal yang telah dia lakukan. Refleksi.

Tidak ada yang akan percaya kalau Isy cerewet, pun jika ada yang mengatakan jika dia identik dengan senyum di wajah. Dan bersamanya, dia menemukan sepatah kalimat yang mengganjal. Bukannya aku egois? Egois, karena dia memilih lari dari berbagai hal, bersembunyi di balik topeng asing yang dia sendiri pun tak cukup mengenal. Satu-satunya tempat yang berani dia sambangi hanyalah sang ibu, itu pun dengan kebohongan yang tak terungkap sedikit pun.

"Bunda pengin buka catering, deh, Sy."

Kalimat itu mencuat di antara hening yang menginvasi. Apa respons Isy? Tentu terkejut bukan main, tetapi yang lebih dominan adalah efek mencelus di dalam sana.

Bersama gelas dengan isi yang sisa separuh, suara Isy mengudara. Ada sesak yang harus dia telan, sebelum berhasil menyuarakan penyangkalan. "Nggak usah, Bunda. Emang Bunda lagi butuh uang, ya? Kan Bunda udah ke kantor dari pagi sampe sore. Capek, loh."

Teman bicaranya tidak menjawab, bahkan tidak menatap sang anak. Isy menghela napas, kala melihat wanita kesayangannya sibuk bermain dengan bibir gelas, seolah di sanalah distraksi gelisah bisa didapat. Hingga akhirnya, senyum menyambutnya, bersama gerakan leher yang dibawa menoleh.

"Bunda nggak sendiri. Bareng Bu Neneng, terus Budhe Sulis mamanya Ilham juga. Lumayan, Sy, latihan wirausaha."

Mungkin, sang ibu mencoba untuk bersikap sebiasa mungkin, bahkan raut sumringah sudah coba ditampilkan. Akan tetapi, Isy tidak semudah itu dibohongi. Dia tahu, ada tanggungan finansial yang tengah dipikul. Pada akhirnya, gadis itu kembali menghela napas. "Mau buat apa, sih, uangnya?" tanyanya untuk kali kedua.

Namun, kali ini sang ibu terkekeh. "Loh, Bunda mau latihan aja buat wirausaha. Siapa tahu besok-besok udah capek ngantor, kan bisa kerja di rumah. Bukan lagi butuh uang, Isy."

Bohong, Isy tahu. Isy bukan anak kecil yang tidak menyadari bahwa posisi ibunya di kantor saat ini bukanlah posisi dengan gaji besar, tidak seperti dulu sebelum mereka kembali ke kota ini. Sedang apa yang terjadi tahun-tahun lalu cukup mampu mengambil materi mereka secara perlahan, tetapi penuh kepastian. Isy juga tidak buta tentang rumah ini yang masih dalam status gadai sejak mereka pindah tiga tahun lalu. Untungnya, pihak pegadai mau berbaik hati membiarkan mereka tinggal di sini meski uang yang dipinjam belum sepenuhnya dikembalikan.

Dia tahu, tetapi menyakitkannya, dia tidak bisa banyak membantu. Hingga satu pemikiran menghampiri. Pemikiran yang bahkan dia sendiri tidak yakin akan dia terima bahkan oleh nol koma satu milimeter hati.

Apa aku coba kerja lagi, ya?

Gadis itu teringat kejadian siang tadi, tentang Jaza, Ibra, dan usaha kafe mereka. Namun, sama sekali tidak ada keyakinan di hatinya. Dia justru perlu memejamkan mata untuk mengusir sekelebat bayangan di kepala.

"Nggak usahlah, Bunda. Kalau mau belajar, selama ini kan udah belajar dari jual kudapan." Isy membantah sekali lagi.

Akan tetapi, kalah sepertinya bukan kata yang ingin didapatkan oleh sang ibu. "Ya beda, Isy. Kalau catering ...."

"Lebih berat, apalagi pasti terima pesenan. Produksinya lebih makan waktu dan tenaga walaupun bareng sama yang lain. Iya, emang beda, Bunda. Jadi, nggak usah."

"Kamu, nih."

Ibu mengubah arah tubuhnya. Arah pandang wanita itu dibawa saling tegak lurus dengan milik Isy.

Isy tahu, ibunya tidak benar-benar kesal. Itu hanya trik agar Isy lengah dan menyerah dengan pasrah. Akan tetapi, tentu saja itu tidak berhasil. Apa pun, asal bukan ibunya yang kelelahan untuk mereka berdua.

Isi kepala gadis itu juga berlari pada laman iklan tempat mereka memasang gambar rumah mereka, dengan harga yang ditetapkan untuk ditawar atau syukur-syukur jumlah yang dipatok langsung diterima. Namun, meski sudah sejak lama iklan itu terpasang, status terjual belum juga didapatkan.

Aku kerja aja kali, ya? Ada Jaza, pasti nggak akan masalah. Lagian dia baik ....

Isy tersentak. Tangannya di atas meja bahkan bergerak spontan tanpa diminta. Segera, dia menggeleng-gelengkan kepala. Apa-apaan itu tadi?

"Astaga." Hingga Isy melisankan kata hati tanpa sengaja.

Hal itu membuat sang ibu menoleh, lalu memberikan kernyitan ke arahnya. "Kenapa? Kamu pusing?"

Tersisa beberapa senti lagi sebelum tangan sang ibu mampu mendarat di dahi Isy, tetapi gadis itu menghindarinya. Dia justru memberikan tatapan penuh ancaman, meski bising di kepala belum mampu diusir juga.

"Nggak usah baik-baikin Isy, deh. Pokoknya Isy nggak setuju kalau Bunda buka catering. Udah, ah, Isy mau ke kamar."

Begitu saja, Isy beranjak dari duduknya, bergerak cepat menuju ruang privasi yang menjadi tempat favoritnya.

"Loh, suuzon banget kamu itu. Bunda khawatir beneran ini. Kamu sakit? Sini dulu bunda cek suhunya."

Semakin lama, suara sang ibu mengeras, tetapi langkah Isy tak lepas dari arah yang dituju. Fokusnya seolah tidak bisa didistraksi, padahal bersama langkah kaki yang bergerak pasti, dia tengah mengusir pemikiran yang sempat mampir barang sekelebat.

Nggak ada yang bener-bener baik dari mereka, Isy. Sebagian udah ketahuan jahatnya, sebagian lagi sekadar ahli menutupi.

AN.

April 18, 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro