Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1.6_turning point [END]

Jika biasanya, bagian kota yang paling sering Isy nikmati adalah bising kendaraan dan gedung-gedung pencakar, maka detik ini adalah pengecualian. Sudah sejak beberapa ratus meter ke belakang matanya dimanjakan hamparan sawah, kebun, dan pematang yang tiap jengkalnya segera tertinggal di belakang kala mobil yang dikendarai melaju meski tak cukup kenjang. Hingga kini, pemandangan yang mengepung sepenuhnya diam. Kendaraan justru hampir absen total.

Kala netranya memilih atensi ke luar, berbagai tanaman khas sawah dan perkebunan menghampar. Lalu di depan sana, ruas jalan tol menggantung cukup tinggi, menopang kendaraan yang bergerak cepat tanpa peduli ada satu manusia yang memandanginya dengan perasaan tidak tepat. Atau mungkin ... justru ada sepasang manusia yang tengah bergulat dengan perasaan dan kepalanya.

Mesin mobil sudah dimatikan hampir sepuluh menit ke belakang. Akan tetapi, bahkan Isy yang sempat kebingungan karena sang pengemudi membawanya ke tempat tak terduga seperti ini, belum juga berniat membuka percakapan. Meski hening hanya tercipta secara fisik di mobil itu, tidak dengan kepalanya.

Memori sang gadis terlempar ke belakang. Entah karena baru terjadi beberapa puluh menit lalu, atau karena memang satu situasi itu memiliki pengaruh besar, kini mengingatnya saja membuat keberaniannya menciut tajam.

"Jaza, boleh bicara?"

"Tentang?"

"Kita."

"Boleh, tapi nggak sekarang."

"Jaza, please."

Enggan. Begitulah tatapan yang diberikan oleh Jaza kala Isy menghentikan geraknya di depan kantor dosen Jurusan Administrasi Bisnis, setelah menghabiskan berpuluh menit guna menunggu lelaki itu menyelesaikan bimbingan skripsi. Mereka perlu berpandangan lama, sampai akhirnya Jaza menjadi pihak yang lebih dulu menyerah, berimplikasi pada keberadaan mereka di sini.

Bagaimana Isy akan mengungkapkan hal-hal yang sebelumnya ada di kepala? Ketika belakangan, dia mulai menyadari, bahwa berbincang mendalam dengan Jaza merupakan hal yang teramat jarang dia lakukan. AbangetJazamunculndiisa menerima salah yang selama ini dia langgengkan.

Perlahan, suara Dokter Ratih kemarin lusa kembali mengalun di telinganya. Kata beliau, Isy selalu tegas untuk menolak, dan semakin lama berpikir, dia tidak punya alasan untuk menyangkal pernyataan tersebut. She knows her right. Namun, perihal kebaikan hal tersebut untuk Jaza, Isy meragukan benarnya. Dia sering meninggalkan lelaki itu tanpa penjelasan, mengajukan penolakan tanpa menerima bantahan. Isy berkata tidak tanpa bait-bait sebagai dasar. Sedang mereka ... bukanlah orang asing. Sedang Jaza ... memiliki kepribadian teramat baik untuk menjadi sosok yang abai.

Mungkin benar, hubungan ini tidak dijalankan dengan seirama oleh dua orang yang awalnya ... merupakan pemilik tunggal. Namun, bukan berarti keduanya tidak mencoba. Hanya saja, arahnya berbeda. Isy tidak ingin terus menjadikan Jaza sebagai tumpuan, sedang Jaza tidak berkenan meliburkan bahu untuk kekasihnya meski sedetik saja. Dayung pada kapal ringkih yang mereka tumpangi, tidak menghendaki kayuhan yang serupa.

Isy meremas tangan di atas paha, menguatkan diri kala tekadnya muncul untuk menghadapkan kepala ke arah Jaza dan memecah hening di antara mereka. Akan tetapi, belum sempat niatnya terjadi, dia merasakan pergerakan dari samping. Hal yang kemudian Isy temukan adalah pintu mobil yang ditutup, dihiasi dengan tubuh Jaza yang sudah berada di luar dan melangkah beberapa meter ke depan sana.

Perlahan, melalui netranya, Isy dapat menyaksikan angin meniup ujung kemeja dan rambutnya. Punggung lelaki itu tidak terlihat setegap biasanya. Apakah kepala Jaza sedang sama berantakannya dengan rambut lelaki itu? Sama berisiknya dengan apa yang dipunya Isy?

Sang gadis merapatkan bibir, sebelum memutuskan untuk beranjak dari duduknya untuk menghampiri Jaza. Dari jarak yang terus dikikis, Isy tetap tidak merasa puas. Dia merasakan jauh tak terkira, bahkan sampai tubuhnya tepat berada di samping Jaza, menghadap ke luasnya tanaman yang masih jauh dari fase panen, juga bangunan yang menyembul kerdil di kejauhan.

"Kamu mau bicara apa?"

Biasanya, Jaza akan menatap Isy, membubuhi senyuman di setiap kata yang dilontarkan. Akan tetapi, saat ini tidak lagi. Tidak apa, tidak masalah. Isy memang sudah bersiap untuk apa pun yang akan ditemuinya.

Sang gadis tersenyum, menguatkan diri. "Kamu bener. Di hubungan kita, cuma kamu yang mencoba." Semilir angin menerpa. Tidak kuat, tetapi rasanya, mampu menerbangkan tubuh Isy yang kehilangan tenaga. "Kamu yang selalu ada buat aku bahkan tanpa diminta, tanpa aku bilang apa-apa." Betapa beruntungnya dunia memiliki seseorang seperti Jaza?

"Kayaknya, aku bisa disetarakan dengan garis tangan kamu, saking hafalnya kamu tentang segala hal di diri aku." Isy terkekeh, menampilkan deretan giginya yang mengintip sedikit. "Dari dulu sampai sekarang--bahkan saat kita nggak baik-baik aja, selalu ada motor atau mobil yang ngikutin aku dari belakang. Kotak P3K di rumah selalu penuh, bahkan di pencil case-ku selalu ada plester luka karena kamu tahu aku masih harus banyak belajar buat nggak pakai cincin tanpa ngorbanin jari-jariku. Di tas kamu selalu ada iket rambut, permen, bahkan botol minum ganda. Semuanya ... tentang aku." Jeda tercipta dan pandangan Isy semakin jauh melanglang buana. "Sampai aku takut suatu saat kamu sadar ... kamu cuma dapet capeknya aja."

Bibir Isy bergetar. Senyum yang diajukan kepada semesta sebagai jaminan agar ia mengizinkannya tenang, sepertinya sudah tidak lagi diterima. Matanya terpejam erat, menggapai sisa-sisa kuat yang mungkin abai dari prasangkanya. "Suatu saat bisa jadi kamu sadar kalau aku nggak ngasih apa pun setelah semuanya. Padahal ...."

"Jadi selama ini, itu yang ada di pikiran kamu?"

Ucapan Isy dipotong, membuat sang gadis seperti dikendalikan oleh kanvas rem. Mulutnya berhenti terbuka, bahkan kini dia justru meremas kuat udara kosong untuk menahan diri dari sesak yang mendesak untuk ditumpahkan. Suara Jaza terdengar berat, geram, seolah sengaja ditahan agar nada tinggi tidak terlontar. Isy tahu, kini lelaki itu sudah membawa badan untuk menghadap ke arahnya, tetapi dia tidak memiliki keberanian untuk berhadapan dengan Jaza. Dia hanya diam, bahkan tidak menginterupsi ketika Jaza kembali berbicara, padahal kalimatnya masih jauh dari kata selesai.

"I didn't do it to get any reply. Berhenti menganggap kalau hubungan ini sebatas untung dan rugi, give and take, seolah kita sedang menjalankan bisnis. Masalahnya nggak sama aku yang kata kamu melakukan ini itu padahal aku nggak ngerasa itu hal yang besar, karena aku nggak peduli. Lelahku bukan masalah. I'm doing my things without even thinking about  returns." Isy dapat mendegar deru napas Jaza meski mereka berada di luar ruangan. Angin senja tidak mampu mengaburkan suara itu dengan sepenuhnya. Mungkin, karena memang terlalu banyak hal yang lolos dari sana, hingga sulit disembunyikan. Dari sudut mata, Isy juga dapat melihat Jaza membalikkan tubuh dan mengacak rambutnya frustrasi, sebelum kembali pada arah pandang semula. "Please ... jangan bilang kayak gitu dan bikin aku ngerasa jadi orang asing yang kebaikannya harus selalu dibayar."

Kali ini, suara Jaza melirih. Rendah, putus asa. Nada bicaranya tidak sedikit pun mengenal kontradiksi dengan kalimat yang disuarakan. Hal itu membuat Isy kesusahan menahan air matanya, hingga dia berpasrah, mempersilakan angin mengukir arah jatuhnya sang air.

Dia merasa cukup ketika dirinya berguna. Iya, Isy kini tahu bahwa Jaza tidak membutuhkan balasan. Akan tetapi, harus sejauh apa dia menjadikan Isy yang pertama, sedang dirinya di urutan terakhir tak peduli sepenting apa?

"Aku tahu, Za." Lirih sekali. Isy tidak memiliki cukup energi untuk berbicara dengan lebih keras, atau bahkan untuk sedikit mengangkat wajahnya. "Aku tahu kamu bukan orang picik yang akan meminta balasan. Tapi, aku nggak mau lihat kamu sekuat tenaga untuk orang lain, untuk aku, sedang untuk diri kamu sendiri, nggak ada lagi yang tersisa. Aku nggak mau kamu ngorbanin mimpi, ngerusak rancangan kamu sendiri."

"Kamu ragu kalau aku bisa bertanggung jawab atas diriku?"

Isy menggeleng cepat, masih enggan menatap Jaza. Tidak. Isy tahu kalau Jaza tetap menggarap mimpinya, tetap merevisi skripsi sesuai target meski dia melewatkan banyak hal untuk Isy, sebagaimana di semester lalu saat yang mereka hadapi adalah tumpukan tinggi tugas. Jaza bisa melakukannya. Akan tetapi, karena diri sendiri berada di urutan terakhir, sumber daya yang Jaza punya adalah sisa. Yang dia berikan untuk diri sendiri adalah sesuatu yang dipaksa bisa untuk memenuhi segala.

"Enggak. Aku cuma tahu kalau manusia ada batasnya. Kamu ada lelahnya, Za. Seperti kata kamu, aku juga pengin terlibat dalam hubungan kita. Pengin jadi kamu yang selalu sebaik itu untuk aku. Supaya kamu nggak capek sendirian." Lelah sendirian, dan Isy baru menyadari kalimat ini belakangan. Selama ini dia terlalu abai, hingga Tuhan mengajarkannya tentang kehilangan. Leher Isy seperti dicekik, sistem respirasinya seolah dihentikan paksa kala kalimat itu berdengung di kepala. Susah payah dia mencoba kembali berbicara. "Aku nggak mau kamu capek sendirian, terus pergi kayak Bunda." Pecah sudah. Isy tidak bisa menahan linangan air mata. Satu isakan lolos, lepas dari dinding yang dia bangun.

"Sy ...."

Dan sekali lagi, Jaza tidak pernah kuat menyaksikan tangis dari netra itu, isak dari lisan  mungil sang gadis. Isy dapat merasakan sentuhan dibahunya, usapan menenangkan. Akan tetapi, gadis itu masih teguh di posisinya. Masih ada hal yang harus dia bicarakan, dan menatap Jaza hanya akan membuatnya kehilangan keberanian.

"Aku nggak mau kamu kayak Bunda yang menjamin kebaikan dalam hidup aku, mempersiapkan banyak hal sampai aku nggak percaya sama angka-angka yang dia kumpulkan buat masa depan aku. Aku nggak mau kamu bertanggung jawab atas nyamanku, sampai kamu kayak Bunda ... yang nggak menemukan nyamannya sendiri. I'm not worth it for those things. Aku ...."

Bahu Isy bergetar, lalu sedetik kemudian dia dapat merasakan tarikan dari tangannya. Lihatlah, bagaimana di keadaan marah sekali pun, Jaza tetap luluh dengan tangis Isy. Lelaki itu selalu menerimanya kembali, padahal sudah menyakiti. Bukankah hanya tinggal menunggu waktu sampai Jaza sadar bahwa yang dia terima hanya lelah dan kesakitan?

Maka Isy tidak berpasrah. Dia menarik diri, bergeser beberapa langkah hingga mencipta kembali jarak yang sempat dikikis oleh Jaza. 

"Isy ...."

Isy tidak menurut. Dia justru melepaskan genggaman Jaza di lengannya. Sekali lagi, dia belum selesai berbicara dan tidak ingin goyah sebelum menyelesaikan seluruhnya.

"Za, aku belakangan ini pergi biar kamu fokus sama diri kamu aja. Maaf, if what I was doing makes you feel unnedeed. Maaf, kalau kesannya aku nggak menghargai kamu yang udah menempatkan aku di posisi penting. Aku cuma takut kamu lelah. Aku takut kamu pergi. Padahal ...." Lagi, Isy harus berhenti jika tidak ingin isaknya lepas. "Padahal aku nggak bisa kalau nggak ada kamu."

"Isy, hei." Tidak seperti sebelumnya, di mana Isy berhasil menghindari tatapan Jaza, kali ini sang lelaki berhasil membawa Isy menghadap ke arahnya. Lelaki itu sedikit menunduk, merendahkan tingginya agar netra mereka sejajar. Isy kini dapat menemui tatapan serius Jaza melalui mata yang memerah. "Isy, denger. Aku nggak akan ke mana-mana. Maaf, maaf buat ucapanku kemarin. Maaf karena abai sama perasaan kamu. Tapi aku tetep di sini."

Mata Jaza menjelajah ke kedalaman bola berkaca milik Isy. Rasanya, ingin sekali Isy menghambur ke pelukan lelaki itu. Akan tetapi, yang dia lakukan justru sebaliknya. Gadis itu justru memundurkan badan dan membuat kedua tangan Jaza mengambang di udara.

Isy menggeleng kala sudah mencipta jarak yang menurutnya cukup. Diselipkannya senyum tipis di sana, meski genangan air mata sama sekali tidak mengering, justru mencipta kontradiksi yang kentara. "Jangan minta maaf, kamu nggak salah." Jaza menurunkan tangannya, tetapi tidak dengan pandangannya, yang membuat Isy juga bisa menyelam ke kedalaman netra bersih Jaza. "Jaza, bener lagi. Masalahnya bukan kamu yang udah lakuin banyak hal, tapi aku yang takut buat nerima itu."

Dibiarkannya angin berembus, mengantarkan mentari yang sebentar lagi angkat tangan atas tugas hari ini. Sedang tatapannya dia arahkan dengan lebih intens kepada Jaza, karena kali ini, ada keputusan yang akan dia berikan. "Jaza, aku nggak mau kamu pergi, karena itu pasti bakal sakit banget. Tapi, nahan kamu tetep di sini dengan aku yang masih belum sanggup memperbaiki kurangku, justru bakal nyakitin lebih banyak lagi." Kali ini, Isy memperlebar senyumnya. Sedang tenaganya terlalu tidak bersisa untuk menahan satu genangan panjang akibat air mata yang meluruh sebelum kalimat menyakitkan yang dia ucapkan. "Jadi, Za ... aku lepasin kamu."

***

Tubuh Jaza membeku, terkejut bukan main. Tidak ada yang terlintas di kepalanya selain bergerak secepat kilat ke arah Isy dan memeluk raga gadis itu erat. Rasanya, dia tidak pernah menemui denyut yang sesakit ini, kecuali kala mendegar Isy mengatakan hal-hal menyesakkan yang tidak akan lagi dia izinkan untuk keluar dari lisan gadis berharga di hadapannya.

Betapa banyak hal yang sudah terjadi pada Isy, betapa banyak kehilangan yang membuatnya takut untuk merasakannya lagi. Tuhan, Jaza tidak ingin mendengar satu pun kata pergi yang muncul lagi dalam hidup Isy. Gadis itu terlalu lembut hatinya, hingga sesering apa pun ditinggalkan meski tidak melakukan kesalahan, dia tidak terbiasa.

Jaza merengkuh erat tubuh Isy, merasakan getar dari insan mungil di pelukannya, meski tanpa balasan. Dan dia pun tidak kuasa menahan air mata. "Isy, jangan bilang gitu. Nggak ada yang pergi, nggak ada yang harus dilepasin kecuali semua sakitnya kamu."

Isy masih diam di pelukan Jaza. Hanya isak tipis yang terdengar.

"Kita sama-sama kurang, sama-sama pembelajar yang ternyata punya banyak kesalahan." Belaian hangat Jaza berikan, merangkum rambut Isy dalam genggaman. "Sy, sekarang kita udah tahu di mana kurangnya. Kalaupun ada yang kelewat, bisa kita cari sampai dapat. Jadi, solusinya bukan pergi, jalan keluarnya bukan soal melepaskan. Tapi belajar lagi, sampai waktu yang nggak terbatas. Dan selama itu pula, aku bakal terus di sini."

Barulah setelah kalimat lirihnya, dia dapat merasakan sepasang tangan melingkar di punggung, meremas kemejanya dengan erat seolah dengan begitu ada sakit yang dapat diusir menghilang. Jaza melakukan hal serupa, mempersempit jarak di antara mereka. Dibiarkannya Isy menuntaskan tangisan, menumpahkan segala isak yang bisa jadi dapat mengusir sesak. Sesekali, dia berikan kecupan sayang di kepala sang gadis. Terus begitu. Hingga di atas sana, mega senja yang semakin menggelap dengan suka rela menghadiahkan warna pekatnya untuk mengikat kekuatan yang tengah dijalin oleh mereka berdua. 

Hingga perlahan, ketenangan menjemput. Isakan mereda, membuat Jaza perlahan melepaskan jalinan hangat yang mereka untai bersama. Bibirnya menyunggingkan senyum, membersamai jemari yang diangkat untuk mengusap air mata sang gadis dan menyelipkan helaian rambutnya yang tertiup angin.

"Makasih, ya, udah bilang semuanya." Netra Jaza dibawa mengikuti arah gerak jemari, menghalau helai rambut yang menghalangi pandangan Isy karena angin yang bertiup tanpa henti. Sampai kemudian, seperti sudah menjadi titik ternyaman, mata Isy kembali menjadi pelabuhan. "Makasih udah buat aku sadar, kalau aku banyak menciptakan dominasi sampai kamu takut kalau aku kelelahan. Iya, aku jadi tahu kalau aku nggak ngasih ruang yang besar supaya kamu juga ikut andil. Mulai sekarang, ayo kita lalui semuanya sebagaimana sore ini kita lalui dengan percakapan panjang yang bisa mengantar kita pada satu titik terang."

Sebagaimana cahaya oranye yang menghampar semakin luas, senyum di wajah Jaza dan Isy juga. Keduanya saling menikmati paras masing-masing, sampai Jaza dapat menangkap bulan sabit Isy yang perlahan memudar.

"Kenapa?" tanya sang lelaki sembari menegakkan badan, melepaskan tangan dari tubuh sang gadis.

"Am I worth for this?"

Jaza mengernyit. "What do you mean about that 'this'?"

Sedang Isy mengangkat kedua bahunya. "Baiknya kamu, baiknya orang-orang yang kamu bawa ke hidup aku. Maksudku, walaupun aku juga nggak mau, tapi jujur, you can find someone better than me. Kamu ...."

Jaza memutus ucapan Isy, menghentikannya dengan satu sentuhan tanpa memberikan aba-aba sebelumnya. Sekilas, teramat cepat. Akan tetapi, langit yang menaungi mereka sudah lebih dari mampu untuk memotret dua labium indah yang saling bersentuhan. Jaza segera menjauhkan wajahnya setelah satu kecupan dia berikan, lalu menarik senyum yang berganti dengan kekehan kecil saat melihat bola mata Isy yang melebar.

"Cantik, I wish you could see yourself the way I do."

"Ke-kenapa?"

Jaza mengulurkan telapaknya, memberikan usapan halus di pipi ranum yang  berkilau ditempa sinar senja. Lirih, dia bisikkan di depan wajah sang gadis tanpa memutus kontak intens di bola mata mereka. "Supaya kamu bisa tahu, gimana rasanya jatuh cinta sama seorang Isykarima Java Sephora."

This is the turning point of their relationship. Perhaps, day by day, everything  will go like water on the river. Sesekali, ada batu besar yang menghadang, bendungan panjang yang menghambat perjalanan, atau hujan deras yang membuat banjir menggila. Akan tetapi, sebagaimana sifat air, mereka akan menjadi satu sampai tiba di muara, bagaimanapun sulitnya.

Sayyy alhamdulillaah. Hahahaha this story is unofficially completed! Official-nya sih udah di part epilog.
Nggak tahu ini yang keberapa, tapi aku mau bilang makasih lagi, karena Temen-temen bahkan mau nemenin sampe sini. It's an honor for me. MAKASIIIH udah mau sayang sama Jaza dan Isy (harapannya sih sayang sama aku juga ya hahaha). Best wishes for youuu.

Oh, iya. Mungkin Temen-temen udah tahu, ya, kalau cerita ini--khususnya kepribadian Jaza--terinspirasi dari seseorang. Yeaaa, it's Jaemin Na--today birthday boy!!!

Sebenernya aku mau up ini di tanggal 13, tapi nggak kekejar hahaha. Jadi it's ok, anggep aja ini masih momen ultahnya Nana. You can share your best wishes for him, and I'll be one hundred percent happy to read that hehehe

Hehehehe happy Jaemin Dayyy, everyone!!! 

Udaaah, ya. Bubayyy. Sampai jumpa lagiii

Pssttt, bocoran! Kayaknya kita bakal ketemu lagi di waktu yang dekat, soalnya aku mau nyeritain ke Temen-temen kisahnya salah satu temen Jaza di sini xixi. Bisa tebak, gak, siapa orangnya? CLUE: Muncul di epilog (ini tidak membantu si, soalnya banyak banget yg muncul di epilog hahaha)

August 13, 2022
AN

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro