1.5_choices
Bagai raga yang terpisah dari segala rasa yang dipunya, Isy masih bingung kenapa dia bisa berada di sini. Tidak ada penjelasan memuaskan yang akan dia berikan, jika saja tanya tentang alasan gadis itu mengambil keputusan ini dilontarkan. Sebab Isy tidak mengerti. Dia hanya kebingungan dan kakinya bergerak tanpa panduan.
"Isy udah makan?"
Sang gadis menolehkan kepala ke titik di mana pintu ruangan berada. Di sana, dia menemukan Dokter Ratih dengan jas yang sudah dilepas, disampirkan ke salah satu bahu. Wanita paruh baya itu tersenyum, sedang Isy membalasnya dengan kikuk.
"Em ... sudah, Bulik." Sejujurnya, dia cukup ragu dengan jawaban itu. Sebab belakangan ini, jiwanya seolah pergi, tidak memiliki kemampuan meski sekecil itu untuk mengingat kegiatan makannya.
Ternyata, efek kehadiran Jaza memang sebesar ini. Memanggil seseorang yang menemaninya sembuh dengan panggilan yang lebih akrab pun, membuatnya mengingat sang lelaki. Jika menghitung masa, mungkin Jaza belum begitu lama berada di hidupnya. Akan tetapi, berbeda lagi dengan makna. Lelaki itu sudah berdiam terlalu dalam.
Isy mengikuti arah gerak Dokter Ratih melalui netranya, hingga wanita itu terduduk persis di depannya, di ruangan sang dokter yang sudah Isy diami selama beberapa belas menit lalu.
Mungkin Dokter Ratih sempat terkejut ketika mendapati Isy di lobby klinik beliau kala jam operasional hampir berakhir. Namun, sebenarnya, Isy juga sama terkejutnya kala mendapat sapaan dari wanita itu. Nama Dokter Ratih terlintas begitu saja, setelah sekian hari dia habiskan dengan hati tak nyaman.
Sedikit lamunan itu buyar, kala sang dokter mengulurkan satu cup jus buah ke arahnya. Sekaligus membuatnya menyadari bahwa wanita ini membawa mini paper bag di tangan saat memasuki ruangan. "Diminum dulu, Sayang."
Isy menuruti, setelah melontarkan senyum dan sebait terima kasih kepadanya. Namun, perlahan, senyum gadis itu beranjak masam, sampai dia menundukkan wajah untuk menyembunyikan hal itu. Banyak orang yang menyayangi Isy sejak perkenalan dengan Jaza dimulai. Akan tetapi, jika yang membawanya justru pergi ... bagaimana bisa gadis itu bersikap biasa saja?
"Mau cerita?"
Kenyataan bahwa Jaza teramat terbuka dengan Dokter Ratih, membuat Isy tidak kaget jika pertanyaan itu dilontarkan bahkan sebelum sang gadis berbicara sepatah kata pun. Atau mungkin ... karena kondisi Isy memang begitu kentara untuk diabaikan.
Isy meletakkan cup di tangan, sebelum dengan ragu menjawab, "Boleh, Bulik?"
Yang pertama Isy temui bukanlah jawaban, melainkan senyum dan uluran tangan hingga punggung tangan gadis itu dilingkupi kehangatan. "Boleh, selalu."
Namun, yang hadir justru gamang. Apa yang harus diceritakan, saat Isy tidak tahu betul, di mana letak permasalahan yang sedang dia hadapi? Rasanya, jika dia mengeluhkan Jaza, syukur berhambur hilang dari dirinya. Sebab, lelaki itu banyak memberi, dan tidak satu pun di antaranya perihal buruk dan sakit. Mungkin, ini yang membuatnya kesusahan menemukan jalan keluar, padahal hampir hitungan minggu percakapan paling dia benci itu datang.
Di tengah ketidaktahuannya, Isy memainkan tulang jari yang dekat dengan kuku ibu jarinya. Tampaknya, hal tersebut dapat dirasakan oleh Dokter Ratih yang masih setia melingkupi tangan Isy, terbukti dari usapan lembut yang wanita itu berikan hingga aktivitas yang dapat menyakiti jari itu terhenti. Dari kepala yang ditundukkan, gadis itu mengangkat rahang, lagi-lagi menemui senyum yang menenangkan.
"How did you feel?"
Pertanyaan itu terlontar. Familier, karena sepertinya sudah hampir ratusan kali Isy mendengar hal tersebut, terutama di masa terapinya dulu. Dan kali ini, pertanyaan itu menjadi amat sulit menemukan jawabannya. Semuanya tentang perasaannya begitu mengambang. Tidak ada satu kata yang teramat tepat untuk mendefinisikan ragam itu.
Dia marah, karena tidak pernah memberi yang serupa untuk Jaza. Dia sedih, karena semua perkataan lelaki itu pada kali terakhir mereka berbicara, memang benar adanya. Dia ingin melepaskan Jaza, karena tidak pernah cukup untuk lelaki itu. Dia ingin membiarkan Jaza pergi, agar tak ada lagi yang lelaki itu korbankan untuk dirinya. Akan tetapi, di atas segalanya ....
"Isy takut, Bulik."
Suaranya bergetar demi mengatakan satu kalimat singkat yang dapat membawa tangisan keras. Dia takut menghadapi hari esok dan tidak ada lagi Jaza di sana. Dia takut, kepergian memang sudah di depan mata. Akan tetapi, menahan lelaki itu lebih lama lagi, juga membawanya pada ketakutan lain, bahwa itu hanya akan memperpanjang jarak mereka dari perpisahan yang niscaya. Sedang semakin lama bertahan, segala hal sudah pasti akan membebani keduanya. Terutama Jaza.
"Kenapa? Apa yang buat Isy takut?"
Isy meremas tangan dengan kuat, tetapi Dokter Ratih melakukannya dengan lebih baik. Hingga sekali lagi, tenang disalurkan.
"Bulik, Isy udah banyak nerima, tetapi sekali pun, Isy nggak pernah memberi." Napas gadis itu tercekat. "Isy takut kalau semakin lama Jaza bareng sama Isy, dia bakal kehilangan banyak hal. Tapi di waktu bersamaan ... jangankan lepasin Jaza sekarang ...." Dia mengakui lemahnya, takutnya, padahal sudah menjadi informasi terkemuka bahwa tidak ingin lagi ada rapuh yang dia tampilkan. Akan tetapi, di depan wanita ini, dengan suara tersendat, Isy mencurahkan semuanya. "Bertahun-tahun ke depan pun, Isy tetap nggak siap, Isy nggak mau."
Dalam konseling, tahap awal yang tidak boleh dilanggar adalah pendefinisian masalah. Tentu saja, Dokter Ratih sudah hafal perihal ini, juga tentang penarikan kesimpulan yang tidak boleh keliru karena masalah yang sudah terburu dirangkum padahal jauh dari kata selesai untuk diutarakan. Oleh karenanya, alih-alih langsung memberikan jawaban, wanita itu semakin dalam mengajukan pertanyaan. Dan Isy sudah menghafal hal ini di luar kepalanya.
"Apa yang bikin Isy yakin kalau Jaza bakal banyak kehilangan kalau sama tetep sama kamu?"
Banyak. Amat sangat banyak. Berbagai kejadian terputar di kepalanya. Tentang Jaza yang kehujanan karena mengiringi Isy pulang, juga Jaza yang absen dari kelas karena untuk pertama kali Isy memimpin sebuah forum kekerasan seksual, atau Jaza yang menelan cake stroberi buatan Isy dengan terpaksa karena lelaki itu tidak menyukainya dan fakta tersebut abai dari pengetahuan Isy. Kalau dijabarkan satu per satu, semalaman mulut Isy tidak akan berhenti bergerak. Bahkan Jaza berkali-kali mempertaruhkan nasib skripsinya demi mendatangi Isy, padahal dia tahu betul bahwa alasan Jaza selalu mengambil semester pendek adalah agar lelaki itu bisa menamatkan studi dengan lebih cepat.
Maka sekali lagi, dengan hati teriris, Isy berkata, "He puts me on top. Di atas banyak hal, tetapi Isy nggak melakukan hal serupa. Entah Isy yang kurang keras mencoba, atau Jaza yang menutup sempatnya." Dan bagi Isy, hanya hitungan waktu sampai Jaza menyerah pada lelah. "Dia ...." Sedang langit-langit di atas sana, sepertinya memang bergerak mendekat, membuat pasokan oksigen menipis berkat ruang yang menyempit. Mata sang gadis terpejam, menjemput gelap sekaligus mencari lelap, yang sayangnya sama sekali tidak bisa didapat. "Dia udah jadi Jaza buat aku. Jadi Jaza buat banyak orang sampai menghitungnya jadi perkara yang amat sulit. Tapi, dia nggak punya Jaza untuk dirinya sendiri."
Kini, tubuh gadis itu bergetar. Sakit sekali mengatakan hal tersebut, menegaskan bukti bahwa dalam hubungan ini, memang hanya Jaza yang mencoba. Hubungan ini ... tampaknya memang bukan milik mereka berdua, seperti yang dikatakan Jaza.
"Isy ...." Kali ini, bukan hanya usapan yang Isy terima, melainkan juga usaha Dokter Ratih untuk benar-benar dekat secara fisik dengan gadis itu. Sang dokter beranjak duduk di sampin Isy, merengkuh pundaknya dengan hangat.
Usapan terus dirasakan, sampai nada rendah nan tulus menghampiri rungu sang gadis. "What if, ... he already knew it, tapi dia nggak permasalahin itu karena dia emang nggak butuh." Wanita paruh baya yang sedari tadi menjadi pendengar itu tahu, tidak ada yang tidak sakit dari mereka berdua. Ketakutan amat enggan lepas, berkelindan seperti sebatang pohon dan inangnya. "Gimana kalau yang dia butuh itu kamu. Isy as Isykarima Java, bukan yang mencoba menjadi Jaza?"
Dahi Isy mengernyit, kesulitan untuk menemukan kebenaran dari kata-kata tersebut. Gadis itu menoleh, tetap pada pendirian untuk menahan tangisan meski kali ini, usaha yang dikerahkan harus lebih keras lagi. "Kenapa harus butuh Isy, Bulik? Nggak ada yang Isy kasih kecuali beban untuk dia tanggung." Jika sedari tadi, getar memang sudah akrab dengan bibir Isy, maka kali ini hal tersebut bertambah berkali lipat. Ada kalimat yang sudah berada di ujung lidahnya, tetapi sangat sulit mengudara. Hingga perlahan, mulutnya terbuka. Amat kecil, hingga yang muncul juga suara lirih. "Bahkan ... kalau Isy nggak ada, Bunda nggak perlu pergi secepat ini."
Tetes pertama air matanya jatuh. Sosok Dokter Ratih menjadi kabur dari matanya. Tidak ada lagi yang bisa dia lihat selain gelap karena kelopak mata yang otomatis menutup erat. Sampai dengan sigap, Isy merasakan rengkuhan.
"Cantik, jangan bilang begitu."
Tangis Isy semakin menjadi. Dia tidak ingin seorang pun lagi pergi dari hidupnya, terutama Jaza. Akan tetapi, dia lebih tidak ingin jika seperti sang ibu, Jaza juga harus kelelahan tanpa bantuan. Isy mendekat erat tubuh sang dokter yang sudah dia anggap sebagai ibu kedua.
Dentang waktu terus berjalan, dan usapan halus di punggung Isy tidak kunjung memburam. Lihatlah, gadis itu teramat banyak menerima cinta. Sedang di kepalanya, dia tidak pernah membalas apa-apa.
"Isy ... dengerin Bulik."
Kalimat itu terdengar kala tenang sedikit menjalar, meski sesak masih terus dirasakan. Sang dokter melepaskan pelukannya, menggantikan lingkupan hangat itu dengan remasan di kedua bahu yang lebih muda. Sedang Isy hanya bisa menunduk.
"Nak, Bulik nggak bohong sewaktu bilang kalau bisa jadi, Jaza memang tidak membutuhkan balasan. Lelah, mungkin iya. Akan tetapi, Jaza nggak pernah keberatan." Isy masih setia dengan gemingnya, masih sulit menerima kalimat demi kalimat itu. "Kalau Isy butuh bukti autentik, Bulik bakal bilang kalau itu memang sebuah kondisi psikologis yang tidak selamanya merugikan. Isy pernah dengar soal altruisme?"
Istilah itu asing di telinga Isy, hingga mampu membuatnya membawa wajah terangkat. Diberikannya tatapan tanya, dan Isy mendapatkan seulas senyum manis sebagai balasan.
Dokter Ratih beralih menggenggam tangan Isy, meremasnya lembut. "Empati Jaza teramat tinggi, Nak. Dari dulu, terhadap siapa pun. Benar kata kamu, he puts everyone on top, di atas dirinya sendiri. Dan dia bahagia dengan itu, merasa cukup ketika dirinya berguna. Sederhana, dan sudah mampu mewakili balasan yang mungkin menurut kamu, seharusnya didapatkan oleh Jaza. Bulik nggak akan menutupi, kalau kondisi ini memang bisa merugikan Jaza ketika berlebihan. It's called altruism. Baik? Iya. Buruk? Bisa jadi juga iya. Tapi nggak ada yang bisa disalahkan atas hal ini. Sama seperti kamu yang nggak perlu menyalahkan diri atas kasih sayang Bunda dan juga Jaza. They did it with love, secara suka rela. Hal yang menurut kamu melelahkan, justru menjadi kebutuhan untuk mereka."
Isy terdiam. Segala yang Dokter Ratih katakan tentang Jaza, segera mendapat validasi dari kepalanya.
"Isy ... mungkin orang-orang akan memandang Jaza sebagai seorang mulia. Akan tetapi, kalau boleh jujur, Bulik juga sempat sama khawatirnya dengan kamu. Sampai akhirnya ... Bulik menemukan dia yang mulai tahu, what he does. Dan itu ... adalah setelah kalian bertemu."
Tatapan bingung dipancarkan, sebab Isy sama sekali tidak mengerti maksud Dokter Ratih. Sampai sekali lagi, ada senyum yang dia terima, sebagai awal sebelum kalimat lain tercipta.
"Kamu selalu tegas untuk mengatakan tidak, berbanding terbalik dengan Jaza. Dia belajar dari kamu ... for letting some things go tanpa campur tangannya, ketika dia merasa hal itu tidak pantas untuk diberikan uluran. Dia mulai tahu apa yang dia lakukan, juga tahu tentang konsekuensinya. Tapi Isy, seperti yang kamu lihat, dia belum sempurna. He puts you on top, dan bisa jadi kehilangan kendali dirinya jika sudah soal kamu. Tapi kamu punya pilihan, for letting him go, atau membuat hubungan kalian sama-sama dijalankan oleh dua orang. Tidak berat sebelah, seperti yang sedang kamu rasakan, meski tentu Jaza tidak akan memberikan validasi atasnya."
Benarkah kalimat terakhir yang dikatakan Dokter Ratih? Isy ragu.
"Bulik nggak mau memberikan keputusan untuk persoalan kalian. Silakan, Isy boleh memilih apa yang menurut Isy paling baik. Satu hal yang pasti, jangan bertahan di kubangan luka hanya karena kamu takut atas luka lainnya. Lihat lagi, mana yang lebih bisa kamu tangani."
Isy terjebak dalam dua ketakutan akan luka, dan kalimat terakhir tersebut secara ajaib membuatnya dapat menyimpulkan, luka mana yang akan paling lama bertahan dalam dirinya. Gadis itu masih diselimuti resah, tetapi kini ada titik jelas yang membuatnya tidak begitu buta arah. Perlahan, bersama usapan di punggung tangan, Isy menitikkan lagi air matanya. Keputusannya sama-sama akan mencipta luka, tetapi jika tetap pada kegamangan, dia justru akan menyakiti tak hanya dirinya, tetapi juga Jaza.
Yang bersemayam dalam hati gadis itu hanyalah kepasrahan. Maaf ... Jaza.
Bisa nangkep permasalahan mereka nggak? Guys, berbuat baik itu nggak ada salahnya. Tapi bukan cuma ke orang lain. Ke diri sendiri juga. Ok?
See youuu. Terima kasih sudah membaca. Part depan, sepertinya bakal jadi penutup kisah mereka hehe. Menurut Temen-temen, Isy mutusin apa cobaa?
Agustus 11, 2022
AN
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro