1.4_messed up
Tidak ada kata keberatan untuk mengangkat telepon jika itu tentang Isy. Kapan pun, di mana pun. Secara naluriah, Jaza selalu merasa demikian. Akan tetapi, lagi dan lagi, sesuatu tentang Isy tidak datang langsung dari pemiliknya. Melainkan selalu ada orang lain yang menyampaikan, berperan sebagai perantara, membuat Jaza jarang sekali menjadi orang pertama yang mengetahui kabar Isy, entah kabar baik atau buruk.
Kali ini pun, kenyataan bahwa Isy tengah terbaring di ruang kesehatan fakultas, harus Jaza ketahui melalui mulut Tiara. Dia tidak keberatan jika harus berlarian agar bisa segera menyambangi gadis itu. Berapa ribu kali pun harus melakukannya, Jaza tidak peduli. Akan tetapi, tidak bolehkah jika dia menjadi yang pertama? Setidaknya, jangan membuat dia sebodoh ini atas kondisi kekasihnya sendiri.
"Awalnya kenapa, Ra?" Jaza benci menanyakannya, memvalidasi bahwa dia memang tidak tahu apa-apa. Dia benci, ketika orang lain harus memberikan penjelasan panjang lebar agar sedikit tentang Isy menjadi transparan di matanya.
Namun, di atas segalanya, kepanikan lebih mendominasi. Lelaki itu membungkuk di samping brankar Isy dengan ketenangan yang jauh dari genggaman. Tangannya dia gunakan untuk menangkup sebelah pipi Isy, menyeka anak-anak rambut yang bandel mengganggu tidur kekasihnya. Tatapan Jaza tidak mau berpisah lama-lama dari wajah pucat di hadapannya.
"Demam, Za. Sebenernya, dari kemarin udah kelihatan lemes pas mau bimbingan. Pusing dikit katanya. Sempet gue suruh istirahat di sini juga, tapi nggak sampe pingsan. Tapi sekarang gini."
Dan Jaza sama sekali buta akan informasi itu. Padahal, meski intensitas pertemuan mereka memang menurun sebab keduanya disibukkan dengan skripsi yang sedang digarap, mereka masih terus berkomunikasi. Jaza rutin menghubungi Isy bahkan hingga pagi tadi. Namun, tidak ada satu hal pun yang gadis itu katakan, kecuali pesan terkait vitamin untuk Jaza yang dia titipkan kepada Ibra semalam.
Pikiran itu amat mengganggu, tetapi Jaza buru-buru mengusirnya. Saat ini, bukan itu yang terpenting. Jaza memilih mengangguk, lalu memberikan usapan halus pada rambut Isy sebelum menegakkan tubuhnya dan berbicara kepada Tiara.
"Oh, makasih, ya, Ra. Gue ngerepotin lo terus kayaknya."
Tiara hanya terkekeh. "Halah, repot apaan. Isy juga temen gue. Asal bayarin two sets Kintan aja, biar gue sama cowok gue hemat budget nge-date."
Jaza menggelengkan kepala, tak ayal bibirnya tertarik hingga gigi lelaki itu tampak. Lain dengan Tiara yang sudah tertawa cukup lebar. Setidaknya, ketegangan dalam diri Jaza sedikit melunak.
"Karena lo udah di sini, gue duluan, ya, Za. Udah ada janji," kata Tiara setelah tawanya usai, sembari memindahkan tas Isy dari atas kursi ke atas nakas tempat tidur pasien.
Anggukan Jaza berikan. "Iya, Ra. Sekali lagi makasih, ya. Sampein makasih gue juga ke temen lo yang udah mau bantuin bawa Isy ke sini."
"Sip." Itu adalah kata yang dilontarkan Tiara sembari mengangkat jempolnya, sebelum betulan membalikkan badan dan keluar dari ruang kesehatan. "Duluan, Za."
Kini, tersisa Jaza dan Isy di ruangan bernuansa dominan putih tersebut. Sang lelaki menarik kursi, mendekatkannya agar sejajar dengan dada Isy, sebelum mendudukkan diri di sana. Wajah itu tampak pucat, sangat jelas bahwa kondisi kesehatannya sedang tidak baik. Jaza mengangkat tangan, menyeka peluh yang menghiasi dahi Isy.
Tak banyak detik berganti, ketika kemudian Jaza menangkap pergerakan lain dari Isy. Dahi sang gadis mengernyit, membuat Jaza buru-buru mengangkat tubuh dan mendekatkan diri ke arah Isy.
"Isy," panggilnya, saat menyadari bahwa tanda-tanda siuman sudah terlihat.
Tidak ada sahutan dari lisan dari seseorang yang baru direnggut sadarnya itu. Hanya gerakan kepala gelisah, serta erangan ringan. Hingga kesadaran mengiringinya. Kini, Isy sepenuhnya membuka mata.
"Hei, udah bangun?"
Isy tidak menjawab, masih terlihat sibuk beradaptasi dengan terang yang sempat absen dari pandangan. Dehaman tak nyaman terdengar darinya. Sedang sang lelaki teramat cekatan untuk membaca situasi. Tangannya bergerak terampil untuk meraih segelas air putih di atas nakas.
"Minum dulu."
Tidak ada perlawanan yang Jaza dapatkan. Isy mengikuti titahnya untuk sedikit menegakkan tubuh, bersandar di kepala ranjang.
Sungguh, Jaza tidak tega melihat kondisi Isy. Hari-hari sebelumnya pun demikian, tetapi ini adalah puncaknya. Mata tanpa sinar yang ditampilkan sejak kepergian sang bunda, kini diperkeruh dengan pucat yang enggan redam. Akan tetapi, Jaza tidak banyak membantu untuk mengembalikan sinar itu, tidak juga dengan senyum yang selalu manis jika terulas di wajah pemiliknya. Jaza disibukkan dengan urusannya sendiri, hingga tidak banyak perhatian yang dia berikan kepada Isy.
Atau mungkin ... sebenarnya memang Jaza yang menutup akses informasi tentang kondisi Isy, bukan semata karena gadis itu yang enggan berbagi? Jaza menatap Isy yang kembali berbaring setelah usai meneguk air kemudian memejamkan matanya. Pemandangan tersebut membuatnya menunduk.
Bad boyfie. Jaza melirih dalam hati.
"Kamu nggak ada bimbingan?"
Suara itu yang mampu membuat Jaza mengangkat wajah, membuyarkan bising di kepala. Kini, yang bisa dia lihat adalah wajah Isy dengan kelopak mata sepebuhnya terbuka. Tampaknya, gadis itu sudah bisa menyesuaikan diri.
Jaza tersenyum. "Gampanglah nanti." Entah untuk yang keberapa kali, tangannya terangkat menyentuh rambut Isy, menyelipkan beberapa helai ke belakang telinga. "Laper, nggak? Aku pesenin makan, ya? Kamu mau apa?"
Lembut sekali kalimat Jaza, tetapi bukan penerimaan yang dia hadapi.
"Nggak usah." Isy berkata sembari menyingkirkan tangan Jaza dari kepalanya. Perlahan, gadis itu mengangkat tubuh dan membuat Jaza secara otomatis ingin membantu. Akan tetapi, lagi-lagi Isy menepis pertolongan itu. Dia mendudukkan diri tanpa menerima bantuan Jaza, meski lelaki itu bahkan sudah membawa tubuhnya berdiri dan membungkuk di depan Isy.
Nada itu jelas bukan nada yang bersahabat, sehingga Jaza mengernyitkan dahinya tak mengerti. Apa yang salah?
"Kamu mau berapa kali lagi, Za, ninggalin jadwal bimbingan gini?" Kalimat itu amatlah tajam. Bahkan netra Isy sangat pekat dengan keseriusan.
Entah apa yang membuat Isy tampak tersulut emosi seperti itu. Satu hal yang pasti, Jaza memilih untuk tetap mempertahankan dingin, membalas dengan lembut. Benar, senyumnya terulas lagi. "Bisa re-schedule, kok. Tenang aja."
Namun, yang ditemui Jaza adalah dengkusan. "Mau re-schedule sampe berapa kali emangnya, Za? Sampe yang lain udah daftar sidang dan kamu masih diribetin sama revisi?"
Jaza diam. Jika menanggapi dengan kepala dingin masih tidak mempan, maka membiarkan Isy meluapkan semuanya adalah pilihan yang lebih tepat. Karena selembut apa pun Jaza berbicara, tampaknya Isy tetap tidak akan menerimanya. Meski sebenarnya, lelaki itu tidak tahu betul, apa akar dari persoalan yang sedang mereka perdebatkan.
Kini, Jaza dapat melihat Isy mengurut pangkal hidungnya. Gadis itu tampak frustrasi, sebelum kembali membuka mata dan menatap Jaza seolah lelaki itu adalah satu-satunya hal yang ada di dunia ini. Sayangnya, yang dia berikan bukanlah tatapan memuja, melainkan amarah yang entah tercampur dengan apa. Satu hal yang pasti, itulah yang paling mendominasi.
"Bisa nggak, sih, stop ngedepanin hal nggak penting kayak gini di atas sesuatu yang harusnya kamu prioritasin?"
Namun, detik itu segala tenang yang ditanamkan Jaza berhamburan menjauhi dirinya. Ada genderang yang seolah ditabuh keras-keras di kedalaman dadanya. Sedari tadi, Jaza berusaha menahan perasaan kecewa yang membubung tinggi, memilih tetap tenang karena tidak pernah suka dengan keributan. Dia tidak memikirkan bimbingin skripsi, materi yang akan dia bawakan di sebuah seminar kepemudaan, atau cash-flow LovALife yang harus segera dikerjakan. Fokusnya diberikan penuh untuk Isy, diakumulasi agar dia bisa memperlakukan gadis itu sebaik yang dia bisa. Akan tetapi, sekarang pertahanannya runtuh. Jantungnya teremas kuat sekali.
"Apa maksudnya?" Dingin. Tidak ada lagi Jaza yang setia dengan senyumnya. Dia menatap lurus pada netra Isy yang juga tidak dialihkan dari miliknya. "Apa yang kamu maksud 'hal nggak penting kayak gini'? Kamu nyebut diri sendiri nggak penting buat aku, Sy?"
Sedang sang gadis justru mengembuskan napas, sarat lelah. Jaza tidak lagi dapat mengunci tatapan Isy, karena gadis itu sudah mengalihkan wajahnya.
"Kamu balik aja, kejar jadwal bimbingannya. Nggak usah kebanyakan mangkir." Isy menyingkap selimut yang menutupi setengah badannya. "Aku mau pulang."
Jaza tidak membiarkan Isy bergerak terlalu jauh. Dengan segera, dia menahan pergelangan tangan gadis itu, membuat pemiliknya menoleh dengan raut keberatan. "We haven't done yet."
"Apanya?" Isy menghela napas, terlihat enggan diajak bicara.
"Kamu tuh nganggep kita apa, sih?" Lirih, teramat lirih. Jaza bahkan tidak percaya jika kalimat tanya itu mencuat dari lisannya. Bukankah ini akan menyakiti Isy?
Perasaan bersalah muncul saat Jaza mendapati Isy yang tertegun di tempatnya, menatap lelaki itu dengan makna tak terbaca. Akan tetapi, baru saja Jaza hendak kembali membuka suaranya, Isy mendahului. Tangannya bergerak memutar, melepaskan cekalan Jaza.
"Aku mau pulang," katanya.
Di detik itu, Jaza hanya bisa mengembuskan napas. "Aku anter. Motor kamu tinggal di sini, biar aku yang bawa nanti."
Final, Jaza tidak menerima bantahan. Lelaki itu bahkan beranjak keluar ruang kesehatan terlebih dahulu. Kepalanya meradang.
***
Mesin mobil telah dimatikan dengan sempurna, membuat benda besi itu berhenti tepat di depan pagar rumah Isy. Akan tetapi, kedua penumpangnya tidak kunjung mengatakan apa pun. Kondisi mereka masih sama seperti lima belas menit ke belakang, di mana roda kemudi bekerja tanpa ada dialog yang meramaikan.
"Makasih. Aku masuk dulu."
Dan ternyata, kalimat pertama yang hadir justru kalimat perpisahan dengan nuansa yang jauh dari kata hangat. Suara yang keluar dari mulut sang gadis. Sementara Jaza masih diam di tempatnya, masih membiarkan tangannya bertengger di atas kemudi, bahkan sampai Isy melepas seat belt, membuka pintu, dan keluar dari sana.
Jaza setia dengan gemingnya, meksi di dalam sana, kepala lelaki itu berisik bukan main. Lalu, entah di detik keberapa setelah kepergian Isy, Jaza memejamkan mata erat. Ada basah di bulu mata lentiknya, meski tidak sampai menetes menghiasi wajah yang kebas.
"Argh!"
Erangan itu mengudara, membentur ruang sempit di sekitar, beradu dengan suara cukup keras yang berasal dari benturan kepalan tangan Jaza dan setir di hadapannya. Kepala yang semula tegak, kini sepenuhnya tunduk. Jaza merapatkan bibir teramat erat, mengambil napas sedalam yang dia bisa, berharap hal tersebut dalam mengembalikan kontrol atas dirinya sendiri yang sempat diambil alih fluktuasi emosi.
Setelah merasa tenang, Jaza tidak merasa perlu menghitung sampai tiga untuk membuka pintu mobil dan keluar dari sana. Tingkahnya tersebut membuat Jaza dapat melihat punggung Isy yang sudah berada di dalam pagar, terus bergerak mendekati rumahnya. Kali ini, Jaza mengepalkan tangan, berharap tekadnya tidak padam.
"Isy," panggilnya lirih. Akan tetapi, masih cukup terdengar oleh angin yang berembus, karena Isy pun bereaksi dengan membalikkan badannya.
Wajah mereka berhadapan, netra bertemu dalam satu titik yang sama.
"We need a break."
Dan akhirnya, kalimat itu keluar juga ... dari mulut Jaza.
"Aku rasa, hubungan ini bukan milik kita berdua lagi, Sy." Perih sekali, kala mengatakannya. Jaza bahkan harus menguatkan diri untuk tetap mampu menatap Isy yang mematung di depan sana. "You don't need me, and I'm the one who keeps on trying." Bagaimana jika perkataannya menyakiti Isy? Bagaimana jika Jaza tidak sadar, bahwa mengatakan hal ini adalah sesuatu yang berlebihan?
Akan tetapi ... bagaimana jika diam justru membuat mereka berada dalam lingkar sakit tak berkesudahan?
Jaza memejamkan matanya barang beberapa detik. "Sorry if it hurts you. Tapi kalau dengan kita yang terikat, kamu justru merasa berat, lebih baik istirahat dulu, Sy."
Ternyata, mereka memang sama-sama lelah, bahkan untuk menatap cermin di pagi hari dan menemukan pantulan senyum di sana. Mereka lelah dengan kehilangan yang menyiksa, karena pada nyatanya Jaza juga amat terpukul atas kenyataan bahwa bunda Isy telah tiada. Lelah, dengan kejaran masa depan yang hampir tak berjarak. Lelah, dengan target kelulusan yang bisa kapan saja terancam.
Mereka terlalu kehabisan tenaga, untuk sekadar menyapa lautan gemintang yang semula bertambah berkali lipat indah saat dinikmati bersama. Pekat dan kelam terlalu dominan, dan mereka hanya sepasang yang masih mengenal kerapuhan.
Mata keduanya berair, tetapi sang penutur tahu betul, bahwa memaksakan hanya akan mempercepat perpisahan.
"Istirahat dulu, Sy." Maka, dia memilih berbalik sebelum tekadnya benar-benar lebur.
Halo lagiii. Nggak mau ngomong banyak. Just wanna ask, masih mau lanjut baca extra chapter-nya, nggak? Feel free juga, ya, kalau mau kasih aku saran atau masukann <333
August 6, 2022
AN
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro