Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1.1_you're not alone

Apa yang biasa manusia rasakan ketika menemui sebuah keasingan? Normalnya, mereka terheran. Mereka membutuhkan waktu yang panjang untuk memahami apa yang terjadi, untuk menerima sesuatu yang kurang familier. Senada dengan kernyitan di dahi Isy yang sejak tadi tidak sekali pun abai dari pandangan Jaza. Keramaian ini teramat asing untuk Isy, Jaza tahu. Gadis itu tampak kesusahan memahami, kesusahan menerima. Hingga dari sedikitnya ekspresi yang tertampil di sana, keheranan sering kali tampil mengambil tempat.

Sementara dengan yakin, Jaza mengambil kesimpulan bahwa satu yang paling mendominasi gadis itu adalah perasaan sepi. Sepi, karena nyatanya ramai yang tercipta adalah untuk mengantar seseorang pergi ... dari dunia.

Dengan badan yang masih berada beberapa langkah dari bingkai pintu, Jaza memfokuskan matanya kepada gadis itu. Gadis dengan selendang hitam yang disampirkan di kepala, membuat sebagian rambut cantiknya tertutup meski tidak secara sempurna. Sedang netra yang selalu cantik meski kini dihiasi sembab, tak jarang berlarian ke sepenjuru ruangan. Ia diam dalam duduknya, sesekali tersenyum saat ada sapa, pun menanggapi obrolan entah apa yang dibuka oleh teman-temannya. Sementara itu, yang paling sering Jaza temui adalah tatapan tak terbacanya yang diarahkan kepada tamu yang dengan kebaikan hati mereka, berkenan melaksanakan salat Ghaib di ruang tamu rumah Isy.

Tidak ada air mata yang Jaza lihat dari sang gadis, bahkan sejak pagi tadi kala dia menerima kabar kematian ibunda kekasihnya itu. Akan tetapi, sembabnya nyata, sedihnya terlihat tak terkira.

Jaza mengembuskan napas. Seharusnya, dia tidak sekali pun meninggalkan rumah sakit untuk alasan apa pun, sehingga Isy tidak perlu merasa sendiri bahkan meski sedetik. Langkahnya dia bawa menuju posisi gadisnya. Diremasnya udara kosong di kedua tangan, memberikan kekuatan untuk diri sendiri agar ia pantas menjadi sandaran bagi Isy. Karena meski tidak dikatakan, Jaza sama terpukulnya. Sosok wanita yang baru saja dikebumikan itu, tak kalah berarti untuk dirinya.

"Isy." Sapa lirih dia udarakan kala tubuhnya tepat berada di depan sang gadis, membuat netra cantik yang semula terarah pada saf salat Ghaib, kini beralih ke arahnya.

Gadis itu tersenyum, meski teramat tipis. Sama seperti senyum-senyum lain yang dia tampilkan untuk para tamu. Sedang di tempatnya, Jaza kesulitan untuk membalas ulasan itu.

"Udah selesai, ya?" Yang dimaksud Isy adalah pekerjaan Jaza merapikan halaman, menumpuk kembali kursi-kursi plastik untuk dikembalikan ke kantor sekretariat RT. Maka, dengan pemahaman atas pertanyaan yang sudah dimiliki, Jaza mengangguk, membuat Isy kembali meluncurkan kalimat dari lisannya. "Aku ambilin minum bentar, ya, Za. Aku tinggal dulu, Na, Cis."

Gadis itu tidak menunggu jawaban, ia langsung berdiri dan berjalan memutar dengan melewati saf salat yang sudah usai untuk bisa mencapai dapur. Sementara Jaza tidak bisa berbuat apa pun, saat menyadari bahwa gadis itu bahkan menghindari tatapannya.

"Za." Satu panggilan membuat Jaza yang semula membawa pandangannya mengikuti pergerakan Isy, kini menoleh kebelakang. Ditemukannya Cisca di sana, sedang duduk di atas sofa yang di-setting dalam satu garis lurus, persis menempel ke tembok untuk memberikan space yang luas bagi pelayat. Di sampingnya ada Nawang yang juga sudah berada di rumah ini sejak pagi, menemani Isy.

"Kenapa, Cis? Eh, gue boleh minta tolong lo jangan pulang dulu boleh, nggak? Sorry banget kalo ngerepotin, gue takut Isy sendirian." Belum apa-apa, Jaza sudah berkata panjang lebar, bahkan melupakan kenyataan bahwa Cisca yang lebih dahulu memanggilnya.

Jaza tidak sadar, bahwa mungkin kekhawatirannya terlampau kentara hingga membuat Cisca terkekeh karenanya. "Santai, gue emang mau di sini dulu. Nanti Nawang pulang bentar, ada acara. Lo nggak usah khawatir, Za." Jaza mengembuskan napas. Lega, sangat. Namun, atensinya kembali terambil kala Cisca kembali berujar, "Tapi gue bukan mau ngomong itu, Za." Tentu saja, Jaza mengernyit penasaran. Isi kepala lelaki itu terlalu berantakan, terlalu penuh atas khawatirnya kepada Isy. "Lo samperin Isy sana. She's obviously not fine, but she's pretending to be strong. Gue nggak tega lihatnya, Za."

Cisca benar. Tidak ada yang baik-baik saja dari sebuah perpisahan, apalagi ketika kata temu sangat amat mustahil ditemukan di dunia yang sama. Maka, tanpa bantahan, Jaza menuruti titah itu. Dilangkahkan kakinya menuju arah Isy pergi. Sesampainya di ruang tengah, dia dapat melihat sanak-saudara Isy yang masih berdiam di bangunan ini. Sapanya mengudara, menampilkan senyum yang dibalas dengan keramahan pula meski wajah-wajah lelah nan sembab tidak sepenuhnya kabur dari sana.

Rumah ini ramai, benar. Akan tetapi, senyap sama sekali enggan dikalahkan. Ia mengambang di seluruh sudut, di setiap udara yang terhirup. Kalau Jaza saja dapat merasakan sesak yang sedemikian rupa, lalu bagaimana dengan Isy?

Namun, kala tapak kakinya tepat berada di dapur, tidak sosok Isy yang Jaza temui. Lelaki itu hanya bertemu kosong, membuatnya harus membawa netra berkeliling demi menemukan gadis itu.

"Isy." Tak ada sahutan. Langkahnya dia bawa menuju pintu kamar mandi luar yang ada di dapur. Diketuknya pintu itu. "Isy ... are you there?" Akan tetapi, diamlah yang kembali dia temui.

Hingga tanpa sengaja, bola matanya jatuh pada satu sudut, di mana pintu lemari pendingin tampak terbuka dengan cukup lebar. Tanpa menunggu detik berganti, Jaza mendekati titik itu, melongok ke dalam dan menemukan beberapa botol kaca dengan air dan potongan buah di dalamnya. Infused water. Satu setengah tahun menjalin hubungan dengan Isy, Jaza tidak lagi asing dengan minuman favorit almarhumah bunda Isy. Maka, dia segera tahu apa yang terjadi. Ditutupnya pintu itu, sebelum kakinya bergegas memindai semua spot di rumah yang sudah cukup dia hafal desainnya itu.

"Isy, di mana?" Jaza berkata sedikit keras. Di mana-mana, sosok Isy tidak ditemukan, hingga dia berpikiran untuk menyambangi lantai atas, yang menjadi tempat kamar Isy berada. Akan tetapi, langkahnya terhenti ketika lirih, terdengar isak dari arah luar.

Tubuhnya kaku, tetapi sebisa mungkin Jaza mencoba berbalik dan kembali melangkah ke arah belakang. Ternyata, ada sudut yang dia lewati. Pandangannya tidak sempat jatuh ke luar sana, pada dinding kaca borderless yang secara tak kasatmata membatasi ruang makan dan dapur dengan taman kecil di rumah Isy. Jaza bergegas melewati pintu kaca yang sudah terbuka dan menjejakkan kaki di taman yang terasa lebih dingin dari biasanya.

Seketika, hati lelaki itu mencelos. Didapatinya tubuh sang gadis yang sedang berjongkok dan menyembunyikan wajah di antara lipatan kaki. Pantas saja mata Jaza sempat tidak menyadari eksistensi gadis itu. Tubuhnya hampir sempurna luruh ke tanah.

Jaza tidak mengatakan apa pun. Dengan separuh nyawa yang seolah telah pergi dari raganya, Jaza membawa diri ke hadapan Isy, lalu mengimitasi posisi sang gadis. Jika sakit yang diberikan kepada Isy adalah bentuk anugerah untuk menguatkan, maka Jaza tidak dapat mengira bagaimana Tuhan memberikan penilaian atas hamba-Nya. Gadis itu sudah teramat kuat, juga teramat sakit.

Telapak tangan yang terasa lemas, Jaza kuatkan sebelum dia gunakan untuk menepuk bahu Isy, menyalurkan ketenangan. Dia tahu betul, betapa sang ibu memiliki tempat yang amat penting di hati Isy. Beliau adalah seseorang yang tidak pernah gagal untuk diandalkan, bahkan ketika gadis itu merasa tidak lagi punya pegangan. Lalu, sekarang, Jaza harus bagaimana? Apakah dia mampu menyamai peran sosok itu di hidup Isy? Jaza menghela napas.

"Isy, bangun dulu, ya? Boleh nangis lagi, boleh. Tapi jangan kayak gini, nanti napas kamu sesak. Ya?" Volume suara Jaza teramat rendah, bersamaan dengan telapak tangannya yang dia pindahkan ke kedua sisi bahu, mengajak Isy berdiri dari posisinya.

Butuh waktu yang cukup lama bagi lelaki itu untuk mendapatkan respons dari permintaannya, tetapi dia tidak memburu. Dibiarkannya Isy meredakan tangis, hingga isak yang semula terdengar jelas, kini berubah remang. Perlahan, mungkin setelah merasa lebih tenang, gadis itu mendongakkan kepala. Jaza tersenyum, menyambut gadisnya rengkuhan tak kasatmata.

"Duduk di bangku aja, ya?"

Isy tidak menjawab, pun mengangguk. Akan tetapi, dia menurut saat Jaza menuntunnya berdiri.

Seharusnya, space hijau nan menyejukkan mata ini mampu merelaksasi saraf-saraf dalam tubuh, memberikan udara segar untuk dihirup, juga memanjakan mata dengan beberapa bunga yang mulai mekar dari kuncupnya. Akan tetapi, semua itu tidak bekerja saat ini. Jaza terus memperhatikan Isy, meski gadis itu menatap fokus ke depan. Kosong, seolah tidak terpengaruh dengan indah yang dihadapkan.

Lalu dalam detik penuh keheningan, Jaza kembali menyaksikan satu bulir air mata yang jatuh dari kelopak gadis itu. Tanpa berkedip, tanpa membuat pergerakan apa pun. Hati sang lelaki ikut perih, matanya dibawa menunduk untuk menghalau air mata yang turut menggenang. Namun, langkahnya itu berbuah lain, sebab secara tidak sengaja titik fokus netranya jatuh pada kedua tangan sang gadis yang saling bertaut. Tepatnya, pada jari jemari yang saling menggores satu sama lain. Ada luka yang tercipta. Kecil, tetapi tidak luput dari perhatian Jaza.

Melihat hal itu, kontan Jaza menggenggam kedua tangan Isy, memisahkan tautan itu dan memberikan usapan halus di sana. Sejenak, dia menghela napas sebelum mengangkat wajahnya. Seulas senyum dia ciptakan, meski teramat sulit direalisasikan. "Sakit. Pengganti cincin kamu kan tangan aku, bukan jari kamu sendiri."

Secara beruntun, tangan Jaza beranjak naik, menyematkan rambut Isy yang berantakan ke belakang telinganya. Namun, entah apa yang salah, Isy justru menanggapinya dengan menjatuhkan bulir-bulir air mata yang lain.

"Sekarang aku beneran sendiri, ya, Za?" Suara itu tercekat. Yang mendengar pun pasti dapat menebak bahwa ia teramat sulit dilepaskan dari tenggorokan. "Kenapa ... Bunda nggak ngajak aku sekalian aja?"

Detik itu juga, langit yang menggantung di atas dengan segala keluasannya, seolah runtuh menimpa Jaza. Tubuhnya terasa kaku, dengan jantung yang berdegup berkali-kali lipat lebih kencang. Dihinggapi rasa takut yang entah sebesar apa, lelaki itu segera mendekap Isy. Dibawanya tubuh rapuh itu ke dalam pelukan.

"Sayang."

Jaza bahkan tidak mampu mengucapkan apa pun. Dia harus merapatkan bibir agar tidak luruh sebagaimana Isy saat ini.

"Don't ...." Bersama getar yang sama sekali tidak hilang, lelaki itu mengusahakan yang terbaik agar gadisnya bisa menggenggam percaya. "Don't say that. I'm here, I'll always be by your side. Kamu nggak sendiri."

Dirasakannya tubuh Isy semakin bergetar, membuat Jaza refleks mengeratkan pelukannya, untuk memberikan kekuatan kepada Isy, juga menguatkan dirinya sendiri.

Jujur, dia takut. Dia takut gadis yang amat berharga ini menyerah atas hidupnya. Jaza takut ... jika Isy betulan melihat dirinya sebagai seorang persona yang akrab dengan kesendirian.

Namun, kala dia merasakan lengan sang gadis yang melingkar di tubuhnya turut mengeratkan rengkuhan, ada sepercik percaya yang tercipta. Isy akan menyertakannya, Isy mau menggenggam tangan sang lelaki untuk mencari kuat yang saat ini sedang menjelma asing di hidupnya. Isy akan mengandalkan Jaza.

Benar, bukan?

Halooo! Maaf, ya, aku baru sempet update lagi :( hope you don't mind!!!

Aku nggak akan capek bilang makasih, karena Temen-temen masih mau nemenin sampe siniii <3

See youuu!

AN
July 20, 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro