Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

09_wrong way to interact with you

Sesekali, manusia mengaburkan nilai benar untuk sesuatu yang tidak bisa dia capai dengan terus mengekalkannya. Semoga, Pemilik Maaf memberikan ampun alih-alih menurunkan hukum yang tak bisa dikira.

***

"Isy."

Seruan itu entah yang keberapa kali mengudara, meski dalam redaksi yang berbeda. Meski earphone terpasang di telinga dengan kabel yang menjuntai rapi, musik yang tidak diputar membuat gadis itu bisa mendengar dengan jelas. Akan tetapi, Isy terlalu mengenali suara pemiliknya, sehingga menoleh merupakan hal yang tidak ingin dia lakukan. Sebab, dia tidak merasa memiliki kepentingan dengannya.

Namun, usaha mengabaikan itu pada akhirnya hanya sia-sia, karena kini lelaki itu--Jaza--tengah berdiri di depannya. Itu mengganggu, tetapi jauh lebih baik dibanding dia yang menepuk bahu atau melepas paksa earphone di telinga seperti yang sering Isy temui.

Dengan terpaksa, Isy pun melepaskan kaitan earphone dari telinga. Karena bagaimanapun, gadis itu tidak bisa lari jika sudah seperti ini.

"Apa?" jawab Isy tanpa ekspresi, seolah dia memang tidak berminat atas lelaki di depannya.

Namun, yang dilakukan Jaza justru memberikan senyuman. Meski tidak ingin, tetapi reaksi lelaki itu semakin lama semakin familier untuknya, dan membuat Isy tidak mengerti lagi bagaimana membuatnya berhenti seolah mereka saling mengenal dengan baik.

"Udah selesai kelas, kan? Yuk."

Kalau diingat-ingat, rasanya Jaza selalu seperti ini.  Berbicara setengah-setengah, seolah Isy bisa mengerti keseluruhannya tanpa diberi narasi yang sempurna. Gadis itu menatap sang lawan bicara dengan minat yang semakin turun. "Ngapain? Bisa lebih jelas nggak, sih, kalau bicara?"

Isy penasaran. Adakah rasa kesal di diri Jaza? Sebab, sekarang pun yang dilakukan lelaki itu hanya tersenyum, meski Isy telah berbicara dengan nada yang jauh dari kata ramah. Apakah dia tidak tahu, jika menerima saja seperti ini, membuatnya bisa kehilangan kendali atas diri sendiri?

Isy memejamkan matanya singkat, mengusir pemikiran yang tengah bertakhta di kepala. Untuk apa dia peduli dengan hal-hal seperti itu? Kini, sang gadis kembali sepenuhnya kepada lelaki di depannya.

"Oh iya." Jaza terkekeh, sembari mengusap tengkuk. "Buat kelas gabungan Prof. Agus, kita diminta buat cari kelas kosong yang memungkinkan buat nampung empat kelas sekaligus."

Isy menaikkan alisnya. "Then?"

"Oh." Lagi-lagi, Jaza mengusap bagian belakangnya, lalu memalingkan wajah dari Isy sebentar, membuat sang gadis kebingungan. "Koordinator yang lain aku tanyain di grup nggak bisa ke dekanat. Jadi, aku ajak kamu," katanya setelah kembali pada posisi semula. "Bisa, kan?"

Bukannya menjawab, Isy justru membuka grup yang terdiri dari empat orang. Jaza, Ellio, Maya, dan dirinya selaku koordinator di mata kuliah yang diampu oleh Prof. Agus, meski dari jurusan yang berbeda-beda. Benar saja, apa yang Jaza katakan tertera jelas di matanya. Ellio dan Maya tidak menyanggupi ajakan Jaza, dan ada satu tag dirinya di sana.

Isy menghela napas, sebelum menurunkan tangan dan mengangkat wajahnya. "Kenapa harus buru-buru cari kelas? Bukannya banyak yang kosong? Besok lagi aja, nunggu yang lain bisa."

Entah sang lelaki sadar atau tidak, Isy memang sengaja mengonfrontasi Jaza, secara tidak langsung memberikan kesan bahwa gadis itu keberatan atas ajakannya. Akan tetapi, kenyataannya Jaza sudah memiliki jawaban atas penolakan itu. Entah memang sengaja mempersiapkannya, atau kenyataan yang dihadapi memang mampu menjawab ketidaksetujuan Isy.

"Prof. Agus yang minta. Biar nanti pas mau kelas, kita tinggal setting LED, speaker, dan device lain tanpa kesusahan nyari ruangan lagi. Takutnya juga keburu dipakai orang lain."

Isy mengembuskan napas. Dia bukan tipe orang yang terbiasa mengabaikan tanggung jawab yang telah diberikan kepadanya. Bagaimanapun, memang sudah seharusnya dia mengurus keperluan kelas Prof. Agus. Akhirnya, satu keputusan final pun keluar dari mulutnya. "Ya udah, ayo."

Senyum sumringah dapat ditemui di wajah Jaza, tetapi Isy tidak mau banyak berpikir. Dia segera menggerakkan kaki menuju dekanat dan meninggalkan lorong gedung Sosiologi kala Jaza sudah menyingkir ke samping, membuat kedua insan itu berjalan beriringan kemudian.

Meski tak lebih dari dua pekan Isy mengenal Jaza, tetapi gadis itu dapat mengetahui pasti bahwa banyak orang yang mengenali lelaki itu di kampus ini. Maka dari itu, kondisi sepi yang berlangsung membuat Isy merasa lega, karena tak perlu ada banyak mata yang terarah kepadanya. Hingga kenyamanan yang dirasakan sedikit terusik, ketika gadis itu merasa bahwa Jaza memperhatikannya dari samping. Netra gadis itu bergerak kemudian, bergeser hingga pupilnya berada di pinggir, membuatnya mampu melihat Jaza yang sedikit menundukkan wajah, seolah pandangannya jatuh ke tangan Isy yang menggantung di samping badan. Karenanya, dengan refleks Isy menggepalkan tangan yang semula terbuka dan membawanya merapat ke badan, seolah ingin menyembunyikan organ itu dari peradaban.

***

Langkah Jaza dan Isy membawa mereka keluar dari ruang kepala bagian tata usaha dekanat FISIP. Di tangan mereka sudah tergenggam surat izin untuk meminjam aula fakultas. Sebenarnya, memang tidak banyak mahasiswa yang akan hadir di kelas Prof. Agus nanti, hanya berkisar enam puluh hingga tujuh puluh mahasiswa. Akan tetapi, ruang kelas biasa bisa jadi tidak cukup memadai untuk melakukan tata tempat duduk.

Mereka pun berjalan ke papan pengumuman fakultas, untuk mengisi jadwal booking ruangan sekaligus keperluan. Bersama geraknya, diam-diam Jaza mengulas senyum. Mendapati Isy berada di dekatnya memang selalu membuatnya merasa senang. Meski kali ini, dia harus melakukan tindakan yang sedikit salah untuk membawa Isy bersamanya.

Dia jadi teringat, bagaimana Piyo--sapaan akrab Ellio--dan Maya harus dibujuk terlebih dahulu agar berkata tidak dengan alasan yang logis saat Jaza meminta ditemani meminjam ruangan. Ya, benar. Apa yang didapati Isy di grup WhatsApp koordinator mata kuliah Prof. Agus adalah ulah Jaza. Dalam hati, Jaza tengah meminta maaf kepada Piyo dan Maya yang harus berada di situasi berbohong demi melancarkan aksinya ini.

Jaza masih belum menanggalkan senyum, tepat ketika mereka sudah berada di depan papan informasi fakultas dan Isy menoleh ke arahnya. Jaza yang semula menatap ke depan, segera beralih ke arah Isy dan menanggalkan senyumnya, sebab gadis itu kini tengah mengernyitkan dahi.

Namun, meski jelas ada keheranan yang Jaza tangkap di wajah sang gadis, tetapi Isy tidak menyuarakan hal tersebut. Dia memilih mengucapkan kalimat lain yang lebih penting.

"Aku atau kamu yang nulis?" tanya Isy.

"Kamu aja, nggak apa?" Itulah yang menjadi jawaban Isy, dan sang gadis tidak menanggapi dengan hal lain kecuali mengangguk dan membawa diri berhadapan dengan papan informasi. Jaza dapat melihat tangan kanannya yang terampil mengambil spidol di samping papan, kemudian mengangkatnya untuk menuliskan keperluan dan tanggal peminjaman ruangan mereka.

Jaza tersenyum mengamati sosok Isy dari belakang. Akan tetapi, seketika mata lelaki itu berlari ke tangan kiri Isy yang bebas dari pekerjaan. Meski tidak jelas, Jaza dapat menangkap cincin cantik yang terlingkar di telunjuknya, yang otomatis membuat senyum lelaki itu sedikit memudar. Sebelumnya, Jaza tidak pernah sedekat ini dengan Isy, hingga tidak mampu memperhatikan secara mendetail tentang hal tersebut. Jaza pikir, dengan Isy yang tidak kembali untuk mencari cincinnya, gadis itu mungkin sudah tidak terlalu membutuhkan lagi. Akan tetapi, dugaan Jaza salah. Isy masih bergantung atasnya.

Ada rasa yang menggelitik di dada. Entah mengapa, lelaki itu merasa amat buruk karena keadaan Isy yang tidak dia ketahui secara pasti. Napas beratnya terlepas, tetapi hal tersebut tidak menaunginya dengan waktu yang lama, karena saat itu juga sebuah suara datang dari belakang. Suara yang memanggil namanya.

Jaza menoleh, untuk kemudian mendapati Ibra di sana.

"Eh, Bang," ujarnya sebagai ungkapan keterkejutan.

Ibra membenahi messenger bag yang tersampir di bahu, juga beberapa kertas yang menumpuk di tangannya. "Ngapain lo?"

Sebagai respons, Jaza menoleh ke belakang yang diikuti dengan Isy yang menyejajarkan tubuhnya dengan lelaki itu. "Pinjem ruangan. Oh iya, temen gue ini, Bang."

Ibra menoleh ke arah Isy dengan senyum yang mengembang--dan Jaza tahu ada maksud lain di sana--kemudian mengulurkan tangannya. "Halo, Isy. Gue Ibra, partner Jaza di LovALife Food and Beverage. Tau kan, ya?"

Ibra melirik ke arah Isy, yang terlihat belum menggerakkan tangannya untuk menyambut Ibra. Melihat hal itu, dia menyimpulkan bahwa Isy mungkin tidak nyaman, apalagi jika dilihat dari tatapannya yang terbagi antara tangan Ibra dan wajah lelaki itu. Oleh karenanya, Jaza-lah yang lebih dulu merespons uluran Ibra. Ditampiknya tangan itu, membuat Ibra menoleh ke arahnya.

"Nggak usah modus, Bang."

Ibra melotot. "Yeh, posesif amat lo."

Jaza melirik Isy setelah mendengar kalimat itu, dan melihat sang gadis tersenyum kikuk dari sudut matanya. Jaza berdeham, lalu mencoba mengalihkan pembicaraan. "Lo ngapain, Bang?"

Ibra mengangkat tumpukan kertas di tangannya. "Mau ngasih kuesioner ke Mas Wirya."

"Oh. Ya udah, deh, gue duluan," ujar Jaza, takut jika membuat Isy tidak nyaman terlalu lama. "Yuk, Sy."

Akan tetapi, gerakan Jaza yang hendak pergi, terhenti lagi oleh Ibra. "Eh, Za."

Jaza pun menunda niatnya, begitupun dengan Isy. "Kenapa, Bang?"

"Ye, sensi bener. Lo jangan lupa ke LovALife nanti sore, bantuin gue wawancara. Sama ajak temen yang lo percaya, kek, buat gabung. Capek gue, nggak nemu yang qualified. Atau Isy mau gabung, juga boleh banget." Ibra berucap panjang lebar, dengan raut kesal yang dia tampilkan, tetapi kemudian melunak tepat saat mencantumkan nama Isy di sana.

Jaza menatap Ibra malas. "Iya, Bang, inget gue. Nggak usah lo ulangi terus juga. Nanti kalau nemu yang pas, juga gue ajakin gabung."

"Ya udah, sih, nggak usah emosi."

"Nggak emosi." Kalau sudah berhubungan dengan Ibra, rasanya kesabaran Jaza seolah menipis.

Sedangkan Ibra hanya terkekeh. "Ya udah, sana."

"Iya. Duluan, Bang."

"Duluan, Kak."

Kali ini, suara Isy terdengar, membuat Jaza menoleh ke arah gadis itu sebelum sama-sama pergi meninggalkan Ibra.

Rasanya, ingin sekali Jaza mengajak Isy makan siang terlebih dahulu, atau ke mana pun asal mereka tidak berpisah sekarang juga. Akan tetapi, kepalanya sudah lebih dulu menyimpulkan bahwa Isy tentu saja akan memberinya penolakan.

Di tengah berpikirnya yang belum usai, Jaza cukup terkejut ketika suara dari samping menyapanya, membuat lelaki itu bergegas memberikan perhatian ke sana. 

"Kafe tempat kamu kerja lagi buka lowongan?" Itulah yang diucapkan Isy.

Jaza yang masih belum kembali dari terkejutnya karena tidak biasa mendapati Isy berbicara lebih dulu, refleks memberikan anggukan. Kemudian melengkapi dengan kata saat tahu Isy bisa jadi tidak melihatnya. "Iya."

Isy mengangguk. "Oh."

Jaza tidak tahu betul ada apa di sana, tetapi lelaki itu mengasumsikan ada hal yang aneh sedang terjadi. Karenanya, dia kembali bersuara, "Kamu mau gabung? Bisa aku rekomendasiin nanti."

Isy tidak menoleh, juga tidak memberikan kata-kata lagi. Dengan pandangan yang tegap menuju ke depan, dia hanya menggelengkan kepala dan berkata, "Nggak."

Mungkin Isy tidak tahu, tetapi pertanyaan singkat yang entah apa maknanya itu, mampu membuat Jaza berpikir keras.

AN.

April 14, 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro