Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

06_unsee scenery

Mata tak selalu tentang dua bola yang kadang berpendar dan sesekali meredup. Akan tetapi, juga sukma yang menyadari, ada yang tak bisa terlihat secara nyata, tetapi tidak berarti maknanya tiada.

***

Nyala proyektor sudah dipadamkan, pertanda bahwa kelas hari ini akan sepenuhnya usai. Tak jauh berbeda dengan mahasiswa lainnya, Isy tengah membereskan meja sebagaimana yang dilakukan Prof. Agus juga. Memang tidak banyak yang menghadiri kelas hari ini. Hanya dua belas orang dengan Isy sebagai salah satunya. Memang, tidak banyak mahasiswa seangkatannya yang mengambil semester antara. 

Hingga gerakan-gerakan penghuni ruangan yang terasa luas karena minim penghuni itu segera terhenti, membuat air conditioner yang lama tidak diganti dapat terdengar derunya. Alasannya hanya satu, yakni suara Prof. Agus yang kembali terdengar setelah lama hilang dari pendengaran.

"Oh iya," ujarnya, sembari sedikit menjauhkan tangan dari messenger bag-nya yang berada di atas meja. Kini, lelaki dengan usia yang tidak lagi muda itu menjatuhkan tatapnya ke sepenjuru kelas. "Pekan depan kita nggak bisa ketemu, karena saya ada penelitian ke Solo. Karena seharusnya jadwal kita itu ujian tulis satu, jadi kelas ini saya gabung dengan mahasiswa semester antara dari jurusan lain saja, ya. Biar saya ndak bolak-balik ngawasin juga. Ada yang mau ditanyakan dulu?"

Selesainya Prof. Agus mengungkapkan sesuatu yang sepertinya sempat beliau lupa, interupsi hadir. Tidak lain, sumbernya adalah dari gadis yang duduk tepat di sebelah Isy. Tangan gadis itu terangkat, dan baru kembali ke sisi tubuh kala Prof. Agus menyilakannya berbicara.

"Silakan."

Isy dapat melihat beberapa mahasiswa menoleh ke arahnya. Oh, yang lebih tepat adalah ke arah Neta, seseorang yang disilakan bersuara, sekaligus mahasiswa yang menjabat sebagai wakil ketua angkatan Sosiologi. Sementara itu, Isy diam di posisinya, meski telinga gadis itu jeli dan siap menerima suara.

"Untuk hari dan kelasnya bagaimana, Prof?"

Mungkin, pertanyaan itu mewakili pemikiran seluruh kelas, karena anggukan dapat Isy tangkap. Begitupun dari dalam hatinya. Hingga kini, atensi seisi kelas kembali dimiliki oleh Prof. Agus. Tunggu dicurahkan suka rela, sampai suara tegas lelaki dengan rambut yang tak sehitam pemuda itu merambat lewat renggangnya partikel udara.

"Kalian nanti diskusikan dengan jurusan lain saja, ya, kalau untuk harinya. Saya di kampus hari Selasa, Rabu, dan Jumat. Nanti saya kabari lagi kalau ada jadwal kosong di hari lain. Untuk kelas juga sama, ya, diskusikan saja."

"Baik, Prof." Itu suara Neta, yang sepertinya mengakhiri diskusi hari ini. Sebab Prof. Agus juga kembali dengan urusan tasnya yang sempat tertunda.

Isy pun melanjutkan apa yang tertunda, meski kini tangannya terlebih dahulu bergerak membuka buku agenda, memasukkan informasi yang didapat tidak lebih dari semenit lalu ke dalam daftar aktivitas yang harus dia ingat. Mungkin, aktivitas itu cukup menyita perhatiannya, sampai Isy tidak sadar bahwa Prof. Agus mengarahkan netra ke arahnya sejak beberapa detik lalu, sebelum menyebut nama gadis itu.

"Isy, ya, yang di sebelah yang tanya tadi?"

Tak hanya terkejut karena suara itu hadir tiba-tiba. Akan tetapi, kebingungan juga menggerayangi kepala gadis itu. Mendapati Prof. Agus mengetahui namannya bukanlah suatu hal yang biasa. Bahkan, untuk mahasiswa sekelas Neta yang aktif di akademik maupun organisasi pun Prof. Agus tidak mengingatnya.

Maka, dengan terpatah karena kebingungan yang masih bersisa, Isy mengangguk. "Iya, Prof," ujarnya, meski tak tahu akan ke mana arah pembicaraan mereka.

"Oh, benar, ya." Prof. Agus mengangguk dan Isy dapat melihat senyum tipis di sana.

Benar apanya coba? Begitulah kiranya kalimat yang bersemayam di hati isi, meski yang dia tampilkan hanya senyum kikuk. Setidaknya sampai kalimat lain dari sang dosen susul-menyusul menghampiri telinganya.

"Isy jadi koordinator di kelas saya, ya, sampai semester antara selesai. Nanti kamu menghubungi Jaza saja untuk kelas pekan depan. Kalau sudah, biar dibuat grup koordinasi karena sepertinya kalau ujian, saya akan menggabung kelas kalian untuk alasan efektivitas. Kenal Jaza, kan?"

Isy menahan napas, dan dalam diam merutuki firasatnya yang sama sekali tidak bekerja. Kalau tahu akan ada kejadian seperti ini kan dia bisa izin ke kamar mandi saja sampai kelas selesai. Oh, mengapa pula nama lelaki itu lagi yang harus dia temui? Meski begitu, meski entah sebanyak apa protes yang dia layangkan di dalam sana untuk memerdekakan kata tidak sebagai jawaban, yang gadis itu lakukan justru sebaliknya. Dia hanya mengangguk pasrah, sembari mengulas senyum tipis. "Iya, kenal, Prof. Baik kalau begitu, Prof."

Final. Tidak ada yang berubah hingga Prof. Agus mengakhiri kelas, membawa kaki melangkah menjemput tempat lain yang harus beliau datangi, sekaligus meninggalkan satu akibat dari keputusan yang diambilnya. 

***

Entah hari yang memang sudah cukup sore atau karena kalender akademik sedang menunjukkan tanggal libur, gedung FISIP sudah cukup sepi. Meski sebenarnya Isy dapat mengira bahwa poin kedualah yang menjadi jawabannya. Sebab, di hari-hari aktif, dia baru beranjak pulang kala perpustakaan sudah tak lagi beroperasi, dan mahasiswa masih padat menyesaki gedung ini. Sedang kini, azan Asar baru beberapa saat lalu terdengar dan sepi sudah mendominasi.

Isy menurunkan kakinya, setelah menyimpul tali sepatu sembari duduk di kursi kayu yang ada di depan perpustakaan jurusan. Tangannya sigap mengambil masker, lalu mengaitkan kedua talinya ke telinga kiri dan kanan, membuat senyum yang baru saja berpendar tersembunyi sempurna, bahkan dari embusan angin lembut yang menerpa. 

Oh, sebentar. Ada satu yang tertinggal sebelum dia siap menuju tempat yang selalu menyimpan kata istimewa. Sebab sesampainya di sana, hati gadis itu selalu ringan. Maka, dia tidak mau membuang waktu lagi. Segera dipasangnya earphone kabel ke telinga. Kadang, musik terdengar dari sana, meski lebih sering hening yang menyapa. Sebab, tujuannya memasang earphone bukan untuk mencipta ramai, melainkan membuat orang lain tidak membangun dialog dengannya. Itu pula yang membuatnya memilih earphone kabel dibandingkan wireless yang jauh lebih praktis.

Isy juga menyempatkan mengecek tas, memastikan barang-barang yang seharusnya dia bawa memang benar di sana. Kala yakin sudah menyapa, tubuh itu beranjak berdiri, mengayunkan langkah menuju belakang gedung Sosiologi. Tak lama, suara yang paling dia suka sudah menyambangi telinga, disusul dengan tubuh mungil yang keluar dari tumpukan kursi yang tak terpakai.

Seekor kucing mengeong, mendekat ke kaki Isy, seolah sudah hafal betul aroma gadis cantik yang selalu mengunjunginya ini.

"Hai," ujarnya ceria. Senyum Isy bertambah lebar, sebelum berjongkok dan memberi sedikit jarak dengan makhluk mungil itu. Tangannya terampil mengeluarkan zipper lock bag dari tote bag-nya. Segera tertampil makanan kucing dan tempat makan dari sana.

Tanpa menunggu detik berlalu, Isy segera mengeluarkan tempat makan plastik dari sana, lalu mengisi satu sisinya dengan dry food. Disodorkannya benda itu, yang disambut senang oleh objeknya.

Perhatian penuh Isy jatuhkan ke sana. Rasanya, pemandangan ini membuatnya tenang. Pohon mangga dengan dahan yang menaunginya juga memberikan pasokan oksigen yang menyegarkan.

"Pus, kamu pernah ketemu orang baru, nggak, sih? Aku pernah. Baru-baru ini malah. Sebelumnya, aku nggak pernah lihat dia. Tapi, setelah sekali tahu kalau dia hidup, rasanya kayak lagi-lagi dia, di mana-mana dia. Iya kalau orangnya nggak rese. Lah, ini ngeselin banget." Isy mulai menceracau, seperti yang biasa dia lakukan. Lalu, pandangannya menerawang. Sebenarnya, dia menyesal kenapa harus topik ini yang dia bawa, karena mendadak suasana hatinya tidak semenyenangkan sebelumnya. Dia memainkan jari, sesaat sebelum menjatuhkan tatap ke arah kunyahan kucing. "Dia suka ikut campur. Tahu, kan, Pus, aku nggak suka?"

Lama, Isy diam. Tangannya beralih memainkan ranting dan menggoreskannya ke tanah yang tertutup rumput tipis, sementara matanya masih diinvasi oleh makhluk yang sedang sibuk mengisi perut. Hingga matanya jatuh pada kedua telinga kucing di hadapan, membuatnya teringat satu hal.

Isy cepat-cepat membuka zipper lock bag di tangan, lalu mengeluarkan sebotol kecil obat yang dia beli siang tadi. Tangannya bergerak membuka tutup botol. Namun, sejemang kemudian ringisan tercipta di wajah, kala telinga dan wajah kucing berbulu putih dengan bercak abstrak hitam tertangkap mata. Pasti gatal, batinnya.

Benar. Kucing tersebut sedang menderita scabies. Isy hanya bisa melihat bagian telinga dan wajah, karena hanya itu yang tidak terlalu dipenuhi bulu. Akan tetapi, dia dapat mengira ada bagian lain yang ditumbuhi jamur juga. Dia pun bergerak sedikit mendekat, mencoba meneteskan obat di tangan ke tempat luka. Akan tetapi, kucing itu mengeong, sembari menghindar. Tentu saja, hal itu membuatnya kewalahan.

Isy berdecak. "Pus, diem dulu. Mau diobatin."

Tentu saja, hewan itu tidak mendengarkan. Dia kembali bergerak-gerak kala ujung botol semakin dekat, atau ketika baru satu tetes yang mendarat ke tubuhnya, sampai Isy frustrasi sendiri.

"Harusnya aku beli yang spray aja, ah. Kamu susah banget, sih, Pus. Mau diobatin biar sembuh, loh," omelnya panjang, dengan wajah yang cemberut di balik masker.

"Pus-nya nggak tahu kalau itu bikin dia cepet sembuh."

Itu bukan suara Isy, sama sekali bukan. Bahkan, warna suaranya jauh berbeda karena gender pemiliknya pun tak serupa dengan Isy. Hal itu membuat sang gadis segera menoleh. Di sana, ada senyum yang belakangan tak asing di kepala. Isy belum sempat melontarkan kata, tetapi pemilik suara itu sudah lebih dulu berjongkok di sampingnya, lalu mengulurkan tangan ke depan dan meraih kucing dengan kedua telapak tangan. 

Melihat hal itu, Isy menahan pekikan dan secara spontan bergerak mundur. Karenanya, dari orang yang sama, Isy mendengar senyum kecil.

"Kamu alergi kucing? Atau takut?" Kini, tanya itu yang terlontar. Isy segera menetralkan ekspresi, meski barang tentu sang lawan bicara tidak akan melihat wajahnya yang tertutup masker.

Isy berdeham, meski tubuhnya sama sekali tidak mendekat. "Nggak."

Lelaki itu, sekali lagi, tertawa kecil. "Sini obatnya, biar aku yang obatin."

Tangan lelaki itu, tangan yang sama dengan yang membantunya mengobati luka, tangan milik Jaza, kini sudah terulur di depan mata. Isy membagi tatap antara tangan Jaza dan kucing di pelukan lelaki itu. Lalu, bayangan luka kucing membuatnya pasrah, menyerahkan benda itu ke telapak tangan sang lelaki.

Selanjutnya, yang terjadi hanya hening. Isy fokus memperhatikan tangan Jaza yang sedang meneteskan obat ke kulit kucing. Sesekali dia meringis, apalagi saat kucing itu terlihat ingin mengangkat kaki dan menggaruk lukanya. Hingga tanpa terasa, aktivitas itu usai. Jaza melepaskan kucing itu, membiarkannya kembali menghampiri mangkuk makanan yang disediakan Isy. Namun, mata lelaki itu masih setia mengikuti gerak-gerik sang makhluk mungil, begitupun dengan Isy yang mengikuti arah pandang Jaza.

"Mau dibawa ke vet aja?" Jaza menceletuk tiba-tiba, membuat Isy menoleh. Tak sampai lima detik berselang, lelaki itu membalas tatapan Isy dengan senyum terkembang, membuat sang gadis memalingkan wajahnya.

"Perlu?" Hanya itu yang Isy berikan sebagai respons, sembari menyadari arah pandang Jaza yang kembali ke tempat semula.

"Perlu. Kalau pakai obat luar gini, sembuhnya lama. Harus rutin juga ngasihnya. Lebih efektif kalau disuntik scabies, bisa ngurangin risiko terinfeksi lagi juga."

Sebenarnya, Isy penasaran mengapa Jaza bisa tahu sedetail itu. Akan tetapi, dia malas bertanya, hingga dia hanya menjawab, "Ya udah."

"Bawa ke dokter?"

"Iya."

"Bareng kalau gitu."

Isy melirik sekilas, dan menjawab tanpa banyak berpikir. "Nggak usah."

"Oke, besok." Namun, Jaza jauh lebih bebal dan acuh, terlihat dari responsnya itu.

Isy hanya berdecak, malas menanggapi. Sementara Jaza tertawa kecil. Setelahnya, diam yang tercipta. Hanya bunyi kunyahan yang terdengar. Dari berbagai sisi, pemandangan ini akan terlihat lucu. Dua orang dewasa dengan posisi yang saling mengimitasi. Berjongkok, menumpukan kedua tangan di atas sepatu, sembari memandangi makhluk kecil yang sibuk menikmati makanannya. Entah dua lakon itu sadar atau tidak.

Tahu, nggak? Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku dikasih izin melihara kucing. Seneng bangettt. HAHAHA kamu melihara kucing juga, nggak?

Anw, terima kasih sudah membaca, dan sampai jumpa.

AN, dengan rekahan senyum nyata.

April 4, 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro