05_toes and arguing

Kiranya, siapa yang akan menyerah dalam perdebatan dua keras kepala ini?
***
Ada rasa perih yang menjalar di ibu jari kaki Isy, membuat gadis itu mengangkat kakinya sebentar, mencoba mencari tahu dari mana sumbernya. Baskom besar berisi alat masak lain yang baru selesai dia cuci, membuat gadis itu sedikit kesusahan. Akan tetapi, panggilan yang menyapa lebih dulu membawa kepala gadis itu mendongak, mengalihkan netra dari sumber perih yang terasa. Isy segera mendekat ke suara itu, yang tak lain adalah suara seorang ibu yang meminta pertolongannya untuk berurusan dengan sebuah wajan besar.
"Ditinggal sebentar, ya. Bisa to, Nduk?"
Isy menanggapi tanya itu dengan senyuman, setelah meletakkan barang yang dia bawa dan mengambil alih spatula besar yang diberikan kepadanya. "Saged, Bu." (Bisa, Bu.)
Begitu saja, dia segera berkutat dengan orak-arik telur sayuran yang sepertinya butuh beberapa waktu lagi untuk matang. Tangannya aktif mengaduk makanan itu sesuai instruksi sang ibu, meski sesekali jari kakinya bergerak di tengah rendaman air banjir.
Memang, air di tempat dia dan dua partner perempuannya yang lain melakukan aktivitas, tidak begitu tinggi. Hanya beberapa senti di atas mata kaki. Tempat yang lebih tinggi ini digunakan sebagai dapur darurat, dengan meja-meja yang ditata agar mereka bisa membuat makanan, meski tetap tidak begitu leluasa. Tenda pleton dipasang di sini, menaungi mereka dan barang-barang yang dibawa oleh rombongan FISIP Heroes.
Di setiap momen seperti ini, kehangatan selalu menjalar di dada Isy. Hangat melihat semua orang saling mengandalkan satu sama lain dan bersedia diandalkan oleh yang lainnya. Dunia seperti menyajikan kolase yang di setiap bagian potretnya, tiada kesendirian yang menyapa. Semua sudut adalah jalinan jemari yang menggenggam, tak membiarkan satu pun meremas udara kosong sendirian, menyalurkan luka yang terdalam.
Perlahan, bersama obrolan yang tercipta di sekitar, Isy mengulas senyumnya. Gadis itu yakin, tidak ada yang ingin berada di kondisi seperti sekarang, berdiri dengan kaki yang lama kelamaan mati rasa akibat pelukan air yang menggenang. Akan tetapi, di sisi lain, ada hal yang tak ingin Isy cepat-cepat usaikan. Yakni rangkulan yang tercipta agar tak ada yang meluruh dan terendam ketidakterimaan. Andai saja, di kondisi yang tak pernah dia inginkan dulu, hal ini juga tercipta. Bukankah semuanya akan lebih baik? Ah, mengandaikan masa lalu bukan suatu hal yang berguna.
Sebuah panggilan membuat Isy memindahkan arah pandang hingga 180 derajat, tetapi senyum di wajah tak sepenuhnya pudar.
"Isy, ini kompornya udah aku kecilin. Ntar minta tolong diaduk, ya, nasinya. Sekitar ... lima menitan lagi, biar nggak gosong. Aku tinggal nyuci ini dulu," ucap seorang mahasiswi anggota BEM seraya mengangkat sebuah periuk yang tak begitu besar.
Isy mengangguk, juga mengangkat jempolnya. "Oke."
Beberapa menit setelahnya, gadis itu mematikan kompor setelah masakan di hadapan matang sempurna. Tangannya terampil mengangkat wajan dari atas kompor dan meletakkannya di sisi lain meja agar benda pencipta api itu bisa digunakan untuk hal lain.
Kakinya segera bergerak ke periuk besar di sebelah, karena tahu betul ada pekerjaan lain yang harus dilakukan. Akan tetapi, gerakan itu urung. Bukan karena keinginan Isy, melainkan karena badan tinggi yang menjulang di hadapannya. Gadis itu cukup terkejut, tetapi keterkejutannya segera digantikan rasa kesal saat wajah yang tak asing segera menyapa indera. Lelaki ini lagi, batinnya.
Maka, yang Isy lakukan adalah menggeser badan, karena tidak melihat tanda-tanda orang itu akan melakukannya. "Permisi." Begitu ucap sang gadis.
Sayangnya, keinginan Isy untuk menghindari lelaki menyebalkan ini tidak terlaksana dengan mudah, sebab lelaki itu--Jaza--juga melakukan hal yang sama, memblokade akses Isy untuk berjalan.
Gadis itu pun menghela napas, menyiapkan diri sebelum menghadap wajah yang tak ingin dia lihat ini. Oh, lihatlah. Bahkan lelaki ini sedang tersenyum seolah tidak ada salah yang tercipta karenanya.
"Ada apa, ya?" ucapnya seformal mungkin, menegaskan jarak kepada lawan bicaranya ini.
Bukannya menjawab, lelaki itu justru tersenyum semakin lebar, lalu mengangkat sepasang sepatu karet membuat Isy kebingungan. Meski raut itu sepertinya tidak dipandang penting, karena sang lelaki justru menimpanya dengan rasa penasaran saat dia mencekal lengan bawah Isy. "Sorry," ujarnya sebelum membawa sang gadis ke sudut tenda pleton.
Isy tertegun dalam keterkejutan untuk beberapa saat, hingga tubuh itu didudukkan di sebuah kursi. Tanpa jeda, Jaza membungkukkan badannya, usai meletakkan sepatu boot karet ke atas meja. Kini, Isy dapat melihat dengan jelas ada pouch P3K kecil yang dibawa lelaki itu.
"Kakinya diangkat dulu bisa?"
Isy mengernyitkan dahinya, menelisik ekspresi Jaza yang sedang menatap meminta persetujuan kepadanya. "Ngapain, sih?" tanyanya tak mengerti, juga waswas karena bisa saja Jaza melakukan sesuatu yang tidak dia inginkan.
"Luka, kan?"
Tanya yang dijawab tanya, dan kini Isy pun menyimpan tanya lain di kepala. Dia tidak merasa memiliki luka, lalu dari mana lelaki itu mengambil kesimpulan sok tahu seperti ini?
"Sok tahu." Maka, itulah yang diungkapkan isi, sesuai suara yang menggema di hatinya.
"Emang tahu." Jaza sedikit menegakkan badannya, mungkin karena apa yang dia mau tidak segera terlaksana.
Rasanya, saat ini Isy ingin menendang lelaki tukang ikut campur ini, apalagi setelah melihat wajah percaya dirinya itu. Namun, karena tidak mau mencipta persoalan lain, dia memilih untuk beranjak dari duduknya. "Mending kamu minggir. Aku punya urusan yang lebih penting," katanya usai berhadapan dengan Jaza.
Namun, segera setelah Isy meninggalkan tempat duduknya, Jaza memegang kedua pundak gadis itu, menekannya ke bawah hingga Isy kembali pada posisi semula.
"Apaan, sih?" Kali ini, suara Isy meninggi. "Kamu nggak sopan banget, ya, jadi orang." Wajah kesal tentu saja sudah tercetak jelas di sana, bahkan Isy yakin bahwa ekspresi marahlah yang lebih mendominasi.
Akan tetapi, raut Jaza masih setenang telaga. Oh, salah. Satu yang lebih tepat di mata Isy, lelaki itu sok polos dan tidak peka terhadap kesalahannya. Apalagi setelah dia berkata, "Aku cuma bantu kamu. Nanti kalau lukanya infeksi, repot ke depannya. Tanggung jawab kamu mau dialihin ke siapa kalau kamunya nggak bisa maksimal?"
Isy memutar bola mata. Napasnya masih tidak beraturan. "Aku nggak ngerasa luka, jadi nggak usah sok tahu. Dan sekarang aku harus ngurusin nasi yang lagi dimasak, kalau nggak mau ada banyak orang yang batal makan." Isy berdiri, untuk kedua kalinya. Kali ini, matanya tidak dia alihkan dari Jaza, mencoba mengintimidasi lelaki itu. "Jadi, stop sok tahu dan tolong minggir, aku mau lewat."
Seperti ada mesin waktu yang membuat masa terputar ke beberapa menit lalu, kini Isy didudukkan kembali oleh Jaza, dengan cara yang sama. Bedanya, sekarang Isy jauh lebih kesal dari sebelumnya.
"Kamu dengerin aku, nggak, sih?" Isy geram, dan semakin geram saat melihat Jaza tidak bereaksi, selain menoleh dan meneriakkan kalimat yang membuatnya tak bisa menahan diri untuk merotasikan bola mata.
"Ko, tolong cek nasi, sekalian diaduk, ya. Takut gosong."
Begitu saja, Riko--lelaki yang dipanggil--mendekat ke tempat di mana Isy seharusnya berada saat ini. Sedang Jaza yang diharapkan pergi justru mencipta gestur hendak mengangkat kaki Isy. Sang gadis refleks menjauh, membuat tangan Jaza menggantung diudara.
Mereka saling diam dan Isy dapat dengan jelas memprediksi bahwa Jaza tidak akan menyerah begitu saja. Tatapan lelaki itu yang berbicara, membuat Isy harus kembali membuang napas lelah. Maka dari itu, dia memilih untuk mengalah saja. Bukan berarti mengizinkan Jaza melakukan apa yang dia niatkan--yakni mengobati luka yang sampai sekarang dia sendiri pun tidak tahu pasti--melainkan dengan mengambil alih tugas itu.
"Sini," katanya sambil mengulurkan tangan, meminta benda di tangan Jaza.
"Aku aja." Tampaknya, sang lelaki juga punya pendiriannya sendiri.
Isy memutar bola mata, entah untuk yang keberapa kali. "Siniin atau nggak usah sama sekali."
Dengan ancaman itu, akhirnya peralatan medis berpindah ke tangan Isy, meski gadis itu masih melihat raut keberatan di wajah sang lelaki.
"Kamu bisa pergi aja, nggak? Daripada aku tendang kalau kebukti nggak ada luka di sana," kata Isy saat Jaza masih berdiri di depannya ketika gadis itu mulai mengangkat kaki untuk mengobati luka.
Jaza tertawa kecil, sebelum mengangkat tangan dan menyingkir. Bukan pergi dalam artian sebenarnya, melainkan hanya bersandar pada meja di sebelah Isy. Gadis itu tampaknya tak ingin memperpanjang persoalan, sehingga memilih diam dan membiarkan saja. Dia memilih mengangkat kaki perlahan, membuktikan adanya luka yang entah dari mana diketahui Jaza.
Benar saja, ada darah di sana, di bawah kuku jempol tempat Isy merasakan sakit tadi. Oke, Jaza benar. Meski Isy tetap tidak suka dengan cara seenaknya yang diambil lelaki itu. Baru saja Isy akan membuka kapas, tetapi gerakannya terhenti saat menangkap hal lain di sana.
Gadis itu membelalakkan mata, dan tanpa sadar memekik kecil. Matanya terpejam erat, enggan menatap ke tempat yang sama. Isy mengangkat kaki dan meluruskannya, seolah menjauhkan organ itu dari tubuhnya, sembari menggigit bibir.
Hingga tak berselang lama, Isy dapat merasakan sentuhan di sana, tetapi tidak cukup mampu membuat kelopak itu terbuka. Hingga suara Jaza kembali memasuki telinga, diawali kekehan yang entah apa maksudnya.
"Udah, lintahnya nggak ada."
Dengan mendengar kalimat itu, Isy baru berani membiarkan cahaya kembali menelisik retina. Pandangannya jatuh ke bawah sana, lalu mengembuskan napas lega.
"Dibilang biar aku aja." Suara dari sosok yang sama, dan kini Isy dapat melihat tangan lelaki itu terulur mengambil pouch di pangkuan Isy. Kali ini, sang gadis tidak menolak, meski tidak juga kooperatif jika dilihat dari raut wajah yang ditampilkan.
Beberapa menit berjalan, menjadi dentangan melodi semesta menyaksikan Jaza yang telaten membersihkan hingga menempelkan plester pada luka Isy. Sedang sang gadis beberapa kali melayangkan protes agar Jaza bekerja lebih cepat, tetapi tidak dihiraukan. Hingga rasa lega mengudara di sirkulasi napasnya, ketika Jaza menegakkan badan dan mulai merapikan pouch di tangan.
"Udah, tuh. Habis ini sepatu karetnya dipake," ujarnya sembari meraih sepatu boots yang sempat dia letakkan, sebelum mengulurkannya kepada Isy.
"Bawel." Sang gadis berbicara sewot, meski tetap menerima benda yang diulurkan kepadanya.
"Sama-sama."
Isy memutar mata. Sengaja sekali lelaki ini memberikan sindiran. Memang, ketulusan itu hanya omong kosong belaka.
"Ya, thanks." Isy akhirnya berucap, sebagai formalitas belaka.
"Lusa pas jadwal tugas kita, berangkat bareng."
Kali ini, bukan 'sama-sama' yang diucapkan Jaza, melainkan pernyataan yang membuat Isy menatap lelaki itu dengan sorot permusuhan. "Ogah."
"Harus mau. Tanda terima kasih."
Kalau saja Jaza berada tepat di depan Isy, sepertinya lelaki itu akan menerima pukulan sepatu. Sayangnya, lelaki itu sudah duduk di atas meja yang sempat dia sandari tadi.
"Ya udah, nggak jadi terima kasih," kata Isy sembari mengenakan sepatu.
"Mana bisa kayak gitu."
Kali ini, Isy menolehkan kepala ke arah Jaza, "Bisa."
Mereka bertatapan lama, seolah sedang mengadu kuat dan kuasa, kiranya siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Berdetik-detik kemudian, akhirnya hasil ditentukan. Jaza mengalihkan mata, lalu mengembuskan napas meski Isy dapat melihat senyum kecil di sana.
"Oke, besok aku coba lagi."
"Coba apa?"
Jaza tidak langsung menjawab, melainkan mengunci mata Isy dalam tatapnya. "Coba ajak kamu lagi."

The song means nothing, aku cuma lagi dengerin itu pas nulis hehe :D
But I hope, Isy sama Jaza can reach their happiness, like the lyrics, even jalannya gak mereka suka.
AN, dan hanya AN.
March 28, 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro