Laughing Out Loud
Aku pikir Mas Alendra akan memarahiku habis-habisan lalu memecatku. Sumpah, aku takut setengah mati setelah menyampaikan opini blakblakanku tadi. Tapi kalian bisa tebak apa yang terjadi?
Mas Alendra, bos super tegas itu tertawa.
Literally.
Tertawa.
Laughing out loud.
Mas Alendra
Saking bingungnya aku melihat reaksi enggak terduga Mas Alendra, dengan nekat kulirik Mbak Naia yang kelihatan sama kagetnya. Aku yakin senior editorku itu akan mem-briefing-ku secara pribadi di ruangannya setelah ini.
"Jadi, menurut kamu, semua cerita yang kamu rekrut itu nggak bermutu?" Mas Alendra sudah kembali ke mode seriusnya. Tapi aku bisa melihat bayangan senyum tipis lagi di bibirnya yang kata Illa kissable itu.
Kugelengkan kepala karena mendadak saja visualisasi dari kata kissable melayang-layang di kepalaku. Farra! What are you thinking!
"Tidak?"
Mas Alendra pasti salah mengartikan gelenganku. Dan aku mulai gelagapan lagi. Come on, Farra! Control yourself!
Kembali aku menggeleng-geleng, kali ini sambil menyilangkan tangan di depan dada. Sekuat tenaga aku berusaha enggak bersuara. Karena buka mulut sedikit saja bisa jadi bencana beruntun. Satu kali sehari lebih dari cukup.
Tawa Mas Alendra terdengar lagi, tapi kali ini lebih pelan. Dia kelihatan... geli? Oke, fix. Dia pasti mengira aku punya kelainan mental.
"Ya, sudah. Kita sudahi aja rapat kali ini," Mas Alendra menghela napas. "Oke, terima kasih atas laporan kalian semua. Jangan lupa, lanjutkan tugas yang masih belum terlaksana atau yang terlupa. Dan sampaikan laporannya sebelum akhir minggu ini."
Setelah berkata begitu dia berdiri. Dan aku bersumpah, dia melihatku sebelum beranjak menuju pintu.
***
"How could you! Oh my goodness! Farra!"
"Ya, Mbak?" Aku tertunduk di hadapan Mbak Naia. Benar, 'kan, dugaanku? Perempuan berambut bob sebahu itu langsung menyeretku ke ruangannya, bahkan sebelum aku sempat berdiri dari dudukku.
Mbak Naia
"Kamu bener-bener deh, ya. Ya ampun, Tuhaaan! Jantung Mbak mau copot, tahu nggak?" Mbak Naia menutup wajah dengan Variety Magazine yang tadinya terbuka lebar di mejanya.
Aku jadi semakin enggak enak hati. Yah, aku cukup tahu diri, lah, aku cuma makan gaji di AksaSara. Apa hakku coba, mempertanyakan kebijakan Mas Alendra selaku pemiliknya?
"Eh, tapi ya, Far," Mbak Naia menurunkan majalah entertainment terkemuka Amerika itu dengan tiba-tiba. Badannya dicondongkan ke arahku. "Itu tadi reaksinya si Ale luar biasa banget, lho. Baru kamu, orang yang berani bilang begitu tapi nggak kena semprot sama dia."
Hah? Gimana? Gimana, Mbak?
"Terus, dia sampai ketawa ngakak kayak gitu, tuh, ajaib banget, lho." Mbak Naia kelihatan takjub. "Tanya aja, deh, sama Abeng. Kalau dia ada di rapat tadi, pasti bakalan kaget setengah mampus. Bukan sifatnya Ale banget kayak gitu."
Aku cuma manggut-manggut. Memang aneh. Tapi versi aneh yang kurasakan berbeda dengan Mbak Naia. Maksudku, bersyukur saja aku enggak kena pecat kali ini. Mami pasti mengomel-ngomel kalau aku bawa pulang kabar didepak lagi dari pekerjaan gara-gara mulutku yang terbuka di saat yang enggak tepat.
"Tapi ya sudah, lah. Kali aja mood si Ale lagi baik." Mbak Naia menatapku lekat-lekat. "By the way, kamu serius ya, berpikir kayak gitu, Far?"
Duh, Mbak. Itu lagi yang dibahas.
"Sama sih, kita." Pengakuan Mbak Naia membuatku tercengang. Aku pikir cuma aku....
"Tapi kamu tahu, apa jawaban Ale waktu Mbak nekat bilang begitu di awal-awal AksaSara berdiri?"
Aku menggeleng. Dan penasaran.
"Dia bilang, dengan nada marah—of course, justru dengan kita rekrut tulisan yang terkesan nggak bermutu seperti itu, kita punya kesempatan untuk memperbaikinya. Kita bisa arahkan penulisnya untuk membuat karya yang jauh lebih baik pelan-pelan.
"Terdengar sok patriotik, 'kan? Yah, dia emang gitu, sih. Dan menurut Ale, semua penulis pasti punya mimpi. Kamu pasti tahu, 'kan, apa mimpi terbesar penulis platform kayak Bookworm tapi sering nggak disadari bahkan sama diri mereka sendiri?"
Aku terdiam. Apa memangnya mimpi terbesar penulis? Kalau aku, yah, pasti ingin tulisannya diterbitkan, 'kan?
"Bukan karyanya diterbitkan, kalau itu yang ada di pikiran kamu. Itu cuma satu dari sekian banyak mimpi."
"Lalu, Mbak?"
Mbak Naia tersenyum. "Dihargai. Diapresiasi, Farra. Bentuknya bisa apa aja. Bahkan hal-hal kecil dan menurut kita remeh. Entah itu ngasih vote tiap chapter karya mereka, komentar yang bikin mereka semangat untuk melanjutkan tulisan, karya mereka dilirik penerbit, dan sebagainya. Belum terbit aja bukunya ya, baru dilamar buat diterbitin, mereka senengnya minta ampun, lho."
Aku tercenung. Mendadak terasa sesak di dada.
Dihargai. Diapresiasi. Dua kata itu terasa jauh buatku. Ketiadaan merekalah yang membuatku berhenti menulis sebuah cerita sejak lima tahun lalu. Dan tiba-tiba saja keangkuhanku runtuh.
***
Dadaku masih sesak karena memikirian 'dihargai' dan 'diapresiasi'. Jadi aku enggak terlalu peduli waktu Illa dan staf lain di ruangan Romance Section melontarkan pertanyaan bertubi-tubi begitu aku masuk.
Terlepas dari AksaSara sering melamar tulisan yang sudah dibaca berjuta-juta kali dengan penulis berpengikut banyak, aku akhirnya mengerti kenapa Mas Alendra enggak melulu menetapkan standar kualitas terlalu tinggi. Tapi bukan berarti penulis berpengikut sedikit dengan kualitas tinggi enggak pernah diterbitkan karyanya di AksaSara. Ada banyak tentunya. Hanya saja, dalam kamus hidupku selama ini, nila setitik selalu membuat rusak susu sebelanga.
"Far! Yaelah, malah bengong nih anak!"
"Susu! Eh, susu!"
Suara cekikik Illa dan Tantri membuat aku mendongak. Kulihat mereka memegangi perut di kursi masing-masing. Mbak Ayunda satu-satunya yang enggak terkikik. Tapi jelas sekali dia sedang berusaha keras menahan diri.
"Ampun, dah. Harus cepet-cepet diobatin nih, penyakit lu satu itu. Meresahkan banget, Far. Cantik-cantik malah latah. Ntar kalo Mas Ale denger, bisa-bisa dia jadi ilfeel ama elu," omel Tantri di antara kikikannya.
Eh, apa dia bilang?
"Apa hubungannya latah gue sama Mas Alendra jadi ilfeel?"
Bukannya menjawab, Tantri malah makin keras mengikik, begitu juga Illa. Kenapa mendadak jadi sarap begini mereka berdua?
Putus asa, aku menatap Mbak Ayunda meminta penjelasan. Tapi sama saja, kikikan yang sejak tadi dia tahan lepas juga.
"Enggak jelas, deh, kalian semua." Aku menghela napas lalu memutuskan untuk menyalakan laptop. Harus segera mengirim direct message di akun Bookworm si Gendiesmaniez.
"Sori, sori." Illa menepuk-nepuk pelan bahuku. "Pas lo di ruangan Mbak Naia, kita bahas kejadian di rapat tadi. Lo bisa speak up juga ya ternyata, Far. Kita-kita pada nggak nyangka, lho. Soalnya lo pendiam banget anaknya."
Aku mendengkus dalam hati. Yeah, speak up berujung bencana kalau saja tadi Mas Alendra sampai murka. Thank God itu enggak sampai terjadi.
"Yang bikin kita nggak nyangka banget tuh, lo yang biasanya nggak ekspresif walaupun dalam keadaan nggak mengenakkan, tadi tuh kelihatan banget paniknya. Coba aja ada Mas Abeng, dia bisa lihat sumpahnya tempo hari akhirnya terkabul."
Sumpah? Aku memberi Illa tatapan enggak mengerti.
"Itu, lho, Far," sahut Mbak Ayunda, "dia nyumpahin es yang membekukan wajah kamu mencair."
Aku ber-oh panjang. Tapi masih enggak tahu apa istimewanya. Sebegitu pentingnyakah ekspresiku buat mereka?
"Dan yang paaaling bikin kita nggak nyangka tuh, ternyata satu orang itu yang berhasil bikin es yang membekukan wajah lu mencair, Far." Mata Tantri berbinar-binar sewaktu mengatakan itu. Seperti baru saja diberi tahu bahwa dia menang undian kupon dari majalah teka-teki silang. "Mas Ale, Far! Dari sekian banyak orang!"
Tantri bertepuk tangan heboh. Ingin rasanya memutar mata, tapi aku enggak mau dia mengira aku sedang meremehkan ucapannya.
"Tau nggak lu? Dia kayaknya naksir lu, deh."
Ucapan Tantri kali ini berhasil membuatku terkejut. Tapi aku cukup lihai menutupinya.
"Siapa yang naksir gue?" tanyaku, memberi Tantri tatapan datar, padahal jantungku berdebar-debar. Apa-apaan??
"Yaelah. Lu pura-pura nggak tahu apa beneran lemot? Gemes gua! Ya Mas Ale, lah. Emangnya Mas Abeng!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro