Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sepuluh

Kedatangan Maura akhir pekan lalu ternyata menimbulkan gosip baru yang lebih parah. Cibiran-cibiran sinis yang sengaja mereka lontarkan ketika Alea lewat di hadapan mereka. Alea merasa sedikit panas namun ia berusaha menjaga sikapnya. Ia tidak mau kemarahannya malah akan menambah masalah baru baginya.

"Alea menjual dirinya hanya demi mendapatkan pria HOT itu."

"Alea sudah berkencan beberapa kali dengan Mr. Aditya."

"Lihat saja sebentar lagi Alea hamil."

"Bukan itu saja. Tunangan Mr. Aditya akan menelannya mentah-mentah."

"Dia kan simpanannya bos. Kasihan ya? Demi uang dia melakukan segala cara."

Simpanan? Serendah itukah dia? Se-jalang itukah dirinya? Lalu apa? Tunangan? Alea terpekur di depan komputernya mengingat cibiran-cibiran para penggosip itu. Apa ia tidak salah dengar? Tunangan? Siapa orang yang mereka maksud?

"Al, daritadi Kafka mencarimu. Telfonmu tidak aktif katanya."

Suara Adel membuyarkan lamunannya. Ia hanya mengangguk.

"Al.." panggil Adel lagi.

"Ya. Ponselku tertinggal di rumah. Aku lupa membawanya."

"Kafka menunggu di ruangannya."

Alea beranjak dengan malas. Entah kenapa ia malas sekali melangkah ke ruang kerja Kafka. Perlahan ia mengetuk pintu kaca tak tembus pandang itu. Tak ada jawaban.

Masuk. Tidak. Masuk. Tidak, pikir Alea.

Tidak. Tapi entah kenapa tangan mungilnya tak bisa ia ajak kompromi. Pintu itu sudah terlanjur terbuka oleh tangannya. Sesaat ia melongo seperti sapi ompong. Ia mendapati pemandangan yang cukup membuat seseorang yang melihatnya ingin melemparkan semua barang yang ada di sekitarnya.

Kedua wajah itu hanya berjarak beberapa senti. Dekat sekali. Matanya saling bertatapan. Kafka bersandar di meja kerjanya sedang wanita itu berdiri di antara kedua kaki Kafka. Satu tangannya di pinggang Kafka dan satu lagi di dada bidang Kafka. Pemandangan yang sungguh romantis sekaligus menyesakkan!!

"Maura?" ucap Alea tanpa suara.

Ia segera menutup kembali pintu itu, bergegas kembali ke ruangannya. Ia mengerjabkan matanya yang mulai terasa panas. Jadi, wanita yang mengaku tunangan Kafka adalah Maura? Secepat inikah waktu menyatukan mereka?

"Kau sudah ketemu Kafka?"tanya Adel begitu Alea kembali.

"Ya." jawabnya singkat.

Ia terduduk lemas. Matanya berkaca-kaca menatap cincin pemberian Kafka waktu lalu yang kini melingkar di jari manisnya.

"Al, kau baik-baik saja?" tanya Adel khawatir.

"Ya. Del, aku ijin sebentar ya."

"Hey, kau mau kemana?"

"Ada perlu sebentar, aku pinjam Adam-mu. Okey?" teriak Alea yang kini sudah menuruni tangga.

Adel hanya mengangkat bahu, tak masalah.

Alea menerobos masuk ke ruang kerja Adam. Adam yang sedang menekuni komputernya, menegakkan wajahnya kaget. Tak biasanya gadis itu mau menyambangi ruang kerjanya kalau bukan untuk mengantar laporan. Ia mengamati wajah Alea yang terlihat sedang kacau.

"Ya, Al?" ucap Adam lembut.

"Kau sedang sibuk tidak?" tanya Alea menggigit bibir dalamnya.

"Tidak kalau itu untukmu. Ada apa?"

"Aku ingin menangis." ucap Alea tanpa basa-basi. Okay, mungkin ada yang aneh kenapa ia tidak menceritakan saja pada Adel? Yang sama-sama wanita? Entahlah. Tapi Alea merasa lebih nyaman pada Adam. Ia menemukan sosok kakak di dalam pria itu.

Adam menatap Alea tak mengerti.

"Okay, kita ke naik ke atas. Ku rasa kau butuh tempat untuk menceritakan apa yang kau rasakan."

Di atap gedung. Sebuah taman sederhana berbentuk kanopi, cukup nyaman untuk menghilangkan sedikit penat. Alea duduk di sebuah bangku. Ia mulai membiarkan air matanya mengalir.

"Ada apa?" tanya Adam seraya duduk di samping Alea.

"Ini cukup menyakitkan buatku." ucap Alea patah-patah karena isak tangisnya.

Adam menatap luruh gadis di sampingnya seakan ia ikut merasakan apa yang gadis itu rasakan. Tangannya terulur untuk merengkuh gadis itu dalam dekapannya.

"Kenapa dengan cintamu?" bisik Adam tepat di telinga Alea.

Alea belum mampu menjawab. Ia masih terus terisak dalam dekapan Adam. Adam mengerti, ia mengusap lembut kepala Alea.

"Jangan lemah. Aku selalu ada untukmu. Katakan ada apa? Kau gadis yang kuat, lincah. Kau tak pantas untuk menangis."

"Aku melihatnya, Adam. Ini sangat menyakitkan buatku."

Adam melepaskan dekapannya. Tangannya merangkum wajah kacau Alea, mengusap lembut air mata di pipi gadis itu dengan kedua ibu jarinya. Ia tersenyum getir.

"Katakan ada apa?"

"Perempuan itu..." Alea tak sanggup meneruskan kata-katanya.

"Aku mengerti, pasti ada hubungannya dengan perempuan itu. Aku bahkan mendengar sendiri ia berkata pada receptionist kalau ia tunangan Aditya Kafka."

Jadi sumber gosip itu dari Maura? Ia teringat ucapan Adel.

Mungkin sampai detik ini Maura masih menyimpan rasa itu.

Alea masih sesenggukan. Ia belum siap melepaskan Kafka begitu saja. Ia sangat mencintai pria yang membuatnya meleleh setiap waktu.

"Apa yang kau lihat?"

"Mereke bertatapan. Dekat sekali. Begini..."

Alea mempraktekkan apa yang ia lihat. Adam sedikit berdesir. Matanya menatap Alea, gugup. Tapi gadis itu tak menyadarinya sedikitpun. Ia paham, siapa yang tidak panas melihat adegan seperti ini?

Dari ambang pintu yang terkuak, Kafka menatap mereka dengan gigi gemerutuk. Selama ini ia mencoba menutup telinga dengan gosip yang mengatakan bahwa Adam menyukai Alea. Tapi pemandangan itu membuka matanya lebar-lebar. Gadis yang ia cintai kini berada dalam rengkuhan Adam. Ingin ia menarik paksa gadisnya tapi ia berpikir kembali. Ia akan mencari tau sedekat apa hubungan gadisnya dengan Adam.

***

"Alea.." ucap Kafka dengan suara tercekat.

Ia berdiri di ambang pintu ruang karyawan. Alea hanya melirik sekilas lalu kembali sibuk merapikan meja kerjanya. Tak lama Alea bergegas pulang melewati Kafka tanpa menoleh sedikitpun. Sejujurnya ia ingin memeluk pria itu, memaafkan apa yang membuatnya sakit tapi sesaknya mengalahkan semuanya. Kafka menatap nanar Alea yang kini menuruni anak tangga.

Al, kau kenapa? Sikapmu membuatku cemas. Jangan bilang kau akan meninggalkanku sebentar lagi, batin Kafka.

Ia segera bergegas mengejar Alea. Namun lagi-lagi ia harus menelan kecewa. Alea telah berlalu bersama Adam.

"Kita nonton. Waktunya bersenang-senang." ucap Adam seraya membelokkan mobilnya memasuki Grand Mall.

Sejenak Alea melupakan kesedihannya. Ia bercanda tertawa bersama Adam. Selesai menonton Adam mengajaknya berkeliling mall, berceloteh, mengomentari hal-hal aneh dan lucu yang mereka lihat, memborong makanan dan ice cream.

"Aku melupakan sesuatu!!"

"Oya?" sahut Alea seraya melumat ice cream di tangannya.

"Kita belum makan malam, Alea."

Makan malam? Alea melirik jam tangannya. Pukul sebelas malam.

"Kita makan seafood. Kau mau?"

"Mau! di kaki lima, bagaimana?" tawar Alea menaikkan alisnya.

"Terserah kau saja."

Keduanya segera beranjak meninggalkan mall mencari pedagang kaki lima yang menyajikan aneka seafood.

Pukul dua dini hari, Alea baru kembali ke apartemen setelah ia bersenang-senang sejenak. Langkahnya gontai menuju ke kamarnya. Sakit itu kembali datang. Ia membiarkan air matanya kembali menggenangi pelupuk matanya. Ia kembali terisak sambil mengunci kembali pintu apartemennya. Tubuhnya merosot bersandar pada pintu. Tangannya meraba-raba saklar lampu.

Lampu telah menyala. Alea kembali membenamkan wajahnya di kedua lulutnya. Menangis sejadi-jadinya.

"Kau selingkuh dengan Adam?!!" tuduh Kafka seraya beranjak dari sofa, dengan nada marahnya.

Alea terkesiap. Rupanya Kafka menantinya sejak tadi. Ia bisa melihat kilatan marah di mata Kafka. Kafka menarik lengan Alea untuk berdiri dan mencengkeram bahu Alea dengan kasar. Alea tak menyangka Kafka akan berlaku sekasar ini.

"Aku melihatmu berdua di atap gedung dan sekarang! jam segini kau baru pulang menghabiskan malammu bersenang-senang dengan selingkuhanmu?!! Oh, bagus sekali! Ku kira kau gadis baik-baik. Ternyata kau bersembunyi dibalik wajah lugumu!!" ucap Kafka sinis.

Alea menatap Kafka tak percaya. Bahkan ia tak mampu berkata-kata. Ini lebih dari sakit dari segala gosip yang pernah ia dapat.

"Aku kecewa padamu, Al!!" desis Kafka seraya melepas cengkeramannya lalu bergegas meninggalkan Alea yang masih tak bergeming.

Seharusnya aku yang marah padamu karena kau melakukan itu dengan wanita itu!! Dan aku tidak melakukan seperti apa yang kau tuduhkan! bantah Alea dalam hati. Ingin ia meneriakkan kalimat itu tapi ia mendadak kehilangan suaranya.

"Lupakan saja apa yang pernah terjadi antara kita!"

Ucapan terakhir Kafka meluluh lantakkan pertahanannya. Hatinya remuk berceceran. Secepat inikah waktu memisahkan Kafka dengannya? Bahkan ia belum sempat meminta penjelasan tentang Maura tadi siang.

Alea menyeret langkahnya menuju ke kamarnya, melemparkan tas dan sepatunya begitu saja lalu ia menuju ke kamar mandi. Tubuhnya merosot. Ia tak kuasa menyembunyikan tangisnya. Ia membiarkan tubuhnya dihujani air shower. Bahkan ia tak mampu merasakan dingin padahal tubuhnya menggigil hebat.

"Ini tidak adil. Kau memberiku kesakitan dan kau menumpahkan semua kesalahan itu padaku." rintih Alea.

Entah sudah berapa lama ia terisak. Ujung jemarinya sudah keriput karena terlalu lama berendam di air. Namun ia tak peduli. Kesakitannya telah merenggut akal sehatnya. Ia terus membiarkan air shower menghujani tubuhnya hingga pagi menjelang. Lalu semuanya gelap dan ia tak lagi merasakan apa-apa. Senyum getirnya tersungging di bibirnya yang membiru.

***

Alea tak terlihat di kantor hari ini. Tak ada kabar darinya. Adel berulang kali mencoba menghubunginya namun tak bisa. Ia segera ke ruangan Adam.

"Bagaimana?" tanya Adam cemas.

Adel menggeleng lemah. Tak biasanya gadis itu tak masuk tanpa kabar. Perasaannya mulai gelisah. Ia takut terjadi apa-apa dengan Alea.

"Okay, aku ke apartemennya sekarang."

"Ikut!!" seru Adel.

Adam mengangguk sambil meraih kunci mobilnya. Feelingnya mengatakan Alea tidak baik-baik saja. Sesampainya di sana keduanya berlari menuju ke kamar Alea.

"Alea!!" panggil Adel sambil mengetuk pintu.

Tak ada jawaban. Pintu di kunci. Kemana Alea? Adel menatap Adam cemas. Pria itu tak kalah cemasnya.

"Kafka! Aku melupakan Kafka." desis Adel.

Ia segera menghubungi Kafka. Terdengar suara berat habis bangun tidur di seberang telfon.

"Kaf, kau tau Alea ke mana? Hari ini Alea tidak masuk. Aku ke apartemennya tidak ada jawaban. Pintunya terkunci!" berondong Adel dengan nada cemasnya.

Kafka terdiam. Ia sangat mencintai gadis itu tapi kekecewaan dan egonya mengalahkan cintanya.

"Aku tak tau. Kita sudah berakhir." Jawabannya singkat dan datar.

Klik. Telfon tertutup. Adel terdiam tak percaya. Sementara Adam terus menggedor pintu apartemen Alea.

"They're done!" pekik Adel.

"Apa kau bilang?"

"They're done. Alea pasti tengah sangat kacau. Okay, kau datangi scurity dan minta kunci pas kamar Alea. Come on!!!"

Adam segera bergegas. Tak lama ia kembali bersama seorang scurity membawa kunci pas. Begitu terbuka Adel langsung menerobos masuk memeriksa setiap penjuru.

"Alea!!!" pekik Adel.

Mendengar teriakan dari arah kamar mandi, Adam segera menghampiri. Ada Adel yang masih berdiri tak bergeming. Tubuhnya gemetar.

"Ya ampun Alea!!" desis Adam.

Ia segera membopong tubuh basah Alea yang tak sadarkan diri. Adel tersadar, ia beranjak mengikuti langkah Adam.

"Kau gantikan pakaian Alea, aku tunggu di luar. Kita bawa dia ke rumah sakit."

Adel hanya mengangguk. Ia menatap wajah kacau Alea. Perlahan air matanya mulai menetes seakan ia ikut merasakan remuknya perasaan Alea.

Selang-selang infus mulai menghiasi tubuh Alea. Adel menatap iba pada sahabatnya sambil menunggu Adam yang sedang mendengarkan penjelasan dari dokter. Setengah jam kemudian Adam kembali.

"Bagaimana?" tanya Adel.

"Dia baik-baik saja. Hanya kedinginan."

"Oh, syukurlah kalau dia baik-baik saja."

Adel menggenggam erat jemari Alea yang cukup dingin. Sebelah tangannya mengusap lembut kepala Alea. Ingin rasanya ia merengkuh tubuh tak berdaya itu dalam pelukannya, meringankan segenap lukanya. Adam pun demikian. Ia tak sanggup melihat Alea hancur berantakan.

Aku akan selalu ada untukmu, Alea. Menguatkanmu, meyakinkanmu, batin Adam.

"Kau harus kuat, Al. Kau bukan gadis yang rapuh. Jangan biarkan cinta merenggut senyummu. Aku di sini untukmu," bisik Adel parau.

Tangannya bergerak mengusap air mata yang menerobos di sudut mata Alea yang masih terpejam. Dalam tak sadarpun Alea masih merasakan luka.

***

tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: