Delapan
Maura tersenyum sinis menatap foto Kafka di layar ponselnya.
Aku akan bermain halus, Kaf. Aku tak akan mendatanginya untuk memintamu. Tapi aku akan membuatnya melepasmu begitu saja. Dan kau akan menjadi milikku. Selamanya kau milikku. Kita akan menikmati bersama-sama dunia kita dulu yang sebenarnya.
Langkahnya anggun memasuki Lobby sebuah kantor. Beberapa pasang mata menatapnya takjub dengan paras cantiknya. Tubuh tinggi, kulit eksotis dengan balutan dress biru satu jengkal di atas lutut dan blaser putih gading membuatnya tampak sangat sempurna.
"Mister Aditya sedang ada meeting di ruangannya, bisa tunggu sebentar, Miss?" ucap seorang receptionist menjawab pertanyaan Maura..
"Hmm.. Baiklah."
Ia tidak segera duduk di sofa ruang tunggu. Ia berkeliling melihat-lihat. Baru pertama kali ia ke sini, itu pun ia harus membuntuti Kafka terlebih dahulu agar tau di mana letak perusahaan baru pria itu. Karena Kafka tak pernah memberinya alamat setiap kali ia menanyakannya.
"Maura?" desis Alea tak percaya ketika keluar dari ruangan Mr. Adam, melihat Maura baru saja melewati ruangan ini.
"Kau kenapa?" tanya Adam yang ternyata mengikuti langkahnya.
"Ah, tidak. Baik, Adam kau tidak perlu mengantarku sampai ke ruang kerjaku."
Adam menyeringai. Alea berlalu menaiki anak tangga menuju ke ruang kerjanya. Ia mendengar bisik-bisik dari beberapa karyawan wanita saat memasuki ruang kerja karyawan.
"Ku rasa kau salah. Mana mungkin Mister Aditya melirik Alea. Gadis ceroboh. Pakai logika, Mister Aditya kan so handsome. Pasti akan ada banyak wanita sexy yang memikatnya."
"Tapi itu benar. Aku pernah melihat Mr. Aditya mencium Alea di pelataran parkir malam-malam saat gadis itu pulang lembur." bisik satunya lagi.
"Apa kau tau? Tadi ada wanita cantik, sangat sexy mencari Mr. Aditya? Kurasa itu benar pacarnya. Mereka cocok ya?" bisik seorang lagi.
"Oya?"
Perempuan itu mengangguk yakin. Mereka bahkan tak menyadari kalau orang yang sedang mereka bicarakan sudah duduk manis sejak tadi seraya menopang dagu. Bagi Alea itu sudah makanan sehari-hari.
"Kurasa Alea pakai ilmu pelet jadi Mr. Aditya tergila-gila padanya." timpal seseorang lagi yang ikut-ikut nimbung tanpa jelas juntrungannya.
"Kalau iya kenapa?!" sahut Alea kesal.
Mereka tersentak. Suasana kantor jadi hening. Adel yang sibuk menekuni komputernya hanya tersenyum masam.
"Dasar mulut-mulut penggosip!" umpat Alea tak jelas.
"Itulah resiko pacaran dengan seorang bintang." sahut Adel terkikik.
Alea mendengus kesal. Tak lama seorang cleaning service datang membawa bungkusan cantik dan sebuket bunga ke meja Alea. Alea mengerutkan keningnya. Tentu saja itu mengundang tatapan penasaran dari mulut-mulut penggosip itu.
"Untuk mbak Alea. Dari Mister Aditya"
"Oh, okey. Makasih, pak Dede." ucap Alea ramah seraya menerima barang-barang itu.
Selepas kepergian cleaning service itu, Alea menggeram. Mukanya semu merah. Baginya itu norak. Baru saja perempuan-perempuan itu mencibirnya lalu setelah ini apa lagi? Alea membuka bungkusan cantik itu.
"Kotak makanan? Sandwich? Oh my God, Kafkaa.." geram Alea ketika mendapati dua potong sandwich di dalam kotak makan.
Ia lalu meraih secarik kertas dari dalam buket bunga itu.
Happy working, my Baby.
__Kafka__
Alea mengusap pelan wajahnya. Ia kesal sekaligus meleleh karena kelakuan norak Kafka.
"Kafka-mu romantis sekali." puji Adel.
"Norak!" jawab Alea.
Adel hanya tertawa menanggapi jawaban Alea. Ia kembali menekuni komputernya sambil sesekali melirik Alea yang terus bergumam tak jelas dengan mata terfokus pada pekerjaannya di layar komputer.
Alea terdiam mengingat sesuatu. Kira-kira tadi Maura ngapain ya kemari? pikir Alea. Kalau untuk urusan pekerjaan tak masalah sih.
Alea menghela napasnya. Pikirannya tak bisa diajak kompromi untuk melanjutkan kerjaannya. Ia mencomot satu potong sandwich dan melahapnya tanpa menikmatinya. Ia terlalu sibuk memikirkan perempuan itu sehingga lupa merasakan lezatnya sandwich di mulutnya.
Telfon atau sms atau biarkan aja?! Alea kembali menimbang-nimbang seraya melahap potongan sandwich selanjutnya. Adel menatap Alea heran.
Loh, Alea bukannya baru saja sarapan bubur ayam bareng aku tadi? pikir Adel.
Sesaat kemudian Alea melotot ke arahnya melambaikan tangannya meminta minum. Rupanya dia kesulitan menelan makanan yang cukup penuh di mulutnya. Adel menggeleng sambil menahan tawa. Tanpa banyak kata Alea berlari menuju ke pantry.
"Huhft!" Alea menarik nafas lega setelah meneguk satu botol air mineral.
Namun agaknya Alea harus kembali menahan napas ketika melihat Kafka duduk di pantry bersama perempuan itu. Tangan Kafka berada di genggaman Maura. Keduanya menatap Alea heran.
"Kafka." ucap Alea kaget tanpa suara.
Sesaat ia terpaku menatap genggaman tangan itu. Ia sudah menduga perempuan itu ke sini bukan untuk masalah pekerjaan tapi perasaan.
Alea tersadar ketika air mata mulai menggenangi pelupuk matanya. Perlahan ia membalikkan badannya melangkah lunglai. Ia ingin menganggap tak pernah melihat kejadian itu tapi sakit di dadanya menyadarkan bahwa itu nyata.
"Al, kau kenapa?" tanya Adam kaget ketika berpapasan di lorong menuju pantry.
Alea menggeleng lemah. Tubuhnya sedikit bergetar menahan sesak yang siap meledak.
"Al, are you okey?" tanya Adam sekali lagi.
Kenapa harus kamu yang selalu ada di saat aku tak berdaya seperti ini? rintih Alea dalam hati seraya menatap Adam redup.
Adam menatap ke arah pantry, melihat Big boss nya sedang berdebat dengan Maura. Ia tersenyum miris, jadi apa yang dulu pernah ia lihat itu benar? Big boss nya ada hubungan khusus dengan gadis yang ia cintai diam-diam. Ya, Adam sering melihat mereka pulang bareng. Bahkan Ia pernah melihat mereka french kiss di dalam mobil saat akan pulang. Tapi ia tak bisa membenci atau membuang rasa itu. Ia malah berjanji akan selalu ada untuk Alea meski ia tau itu akan membuatnya sakit tapi ia tak peduli. Ia hanya ingin gadisnya bahagia.
"I understand.." ucap Adam lirih seraya merengkuh Alea dalam pelukannya.
"Menangislah, jangan kau siksa dirimu.." lanjutnya.
Alea mulai tersedu. Ia tak peduli jika memang ada yang melihatnya lalu akan bertambah gosip miring tentang dirinya. Ia masih terus tersedu. Adam mengusap lembut kepalanya lebih seperti kakak menenangkan seorang adik.
Dari pantry, Kafka terpaku, menatap nanar. Gadisnya menangis di pelukan orang lain. Dan itu karena kesalahpahaman yang ia buat. Kemudian ia menatap geram pada Maura. Kilatan amarah menyala di kedua matanya. Tangannya mengepal.
"Kau datang membuat hidupku berantakan, Maura!"
"I'm sorry, Kaf. Aku tidak bermaksud.."
"Tapi kau sudah melakukannya. Kau lihat? Hal yang paling menyakitkan adalah melihat orang yang kusayangi menangis di pelukan orang lain dan itu karena aku." desis Kafka.
Memang inilah tujuanku, Kafka. Maura menatap Kafka sendu.
Kafka beranjak pergi. Ia tak lagi melihat Adam dan Alea. Kemana mereka? Ia berlari menaiki anak tangga menuju ke ruangan karyawan.
Brak!!
Seluruh karyawan menoleh terkejut ketika pintu terbuka. Kafka tak peduli itu, ia segera menghampiri Alea yang duduk terdiam menatap komputer dengan tatapan kosong.
"Al, I wanna say something." ucapnya lirih.
Beberapa pasang mata mencuri-curi ingin tau. Tentu saja mereka para penggosip. Adel yang tepat di samping kubikel Alea ikut sedikit memasang telinganya untuk memastikan sahabatnya, Alea baik-baik saja.
"Untuk apa?!" tanya Alea serak tanpa menatap Kafka yang berlutut di sampingnya.
"Maaf, aku menyakitimu lagi. Al, tadi dia hanya mengungkapkan perasaannya.."
"Aku tau." potong Alea berusaha menata suaranya agar terdengar tegar.
"Al, forgive me.."
"Pergilah, kita bahas masalah ini nanti saja. Di rumah."
Kafka menggeleng cepat. Alea menghela nafasnya. Beberapa perempuan penggosip mulai melongokkan kepalanya dan mempertajam pendengarannya.
"Kaf, please. Aku tidak mau ada omongan miring lagi tentang aku. Aku lelah diperolok orang-orang sekantor. Alea pakai guna-guna, Alea tak tau malu, Alea penghayal, Alea licik, mulut berbisa, penjilat, bermuka dua dan Alea terlibat affair. Alea menggoda boss. Kaf, aku lelah. I surender.." ucap Alea berapi-api.
Kafka tertegun. Alea selama ini menelan omongan pahit sendirian tanpa pernah ia tau. Ia semakin menyesali kebodohannya. Gadis itu berusaha tetap tegar dan ia telah membuat gadis itu meratap pilu.
"Tetaplah bertahan untuk kita, Al. Maafkan kebodohanku."
Kafka menatap Alea dengan tatapan memohon. Kalau saja boleh jujur, baru kali ini ia memohon kepada seorang wanita. Dan itu Alea. Seisi ruang karyawan menatap adegan itu tak percaya. Bagaimana mungkin seorang pemilik perusahaan yang terhormat, berlutut di hadapan bawahannya, gadis ceroboh seperti Alea?
"Wake up, Kaf. Jangan permalukan dirimu." desis Alea.
"Never! sebelum kamu memaafkanku."
Alea menatap nanar, memutar ke samping kursinya menghadap Kafka. Tangannya gemetar merangkum wajah pria itu.
"Are you remember our promise?" bisik Alea.
Kafka mengangguk, "apapun yang terjadi kita akan selalu bersama.."
Alea merosot, memeluk Kafka. Kafka membalas lebih erat seraya menenggelamkan wajahnya di leher Alea. Sesak di dadanya kini lebur berganti dengan kenyamanan saat harum tubuh Alea memenuhi rongga dadanya.
"I'm afraid, you'll leave me alone.." bisik Kafka.
"Aku akan selalu ada untukmu selama janji itu masih melekat di hatimu."
Seisi ruangan terpaku ikut merasakan sedikit sesak melihat apa yang baru saja terjadi. Ini bukan sekedar gosip tapi kenyataan bahwa Big bossnya benar-benar mencintai gadis serampangan itu.
"Mereka sudah lama menjalin hubungan kok. Tiga bulan yang lalu adalah tepat satu tahun mereka jadian." ujar Adel mengklarifikasi omongan miring tentang Alea.
Mereka mengangguk-angguk paham. Lalu menatap tajam pada mulut-mulut penggosip seakan menyuruhnya untuk meminta maaf kepada Alea karena telah menyudutkannya. Namun mereka hanya tertunduk malu tanpa sepatah kata.
***
Adam terpekur di meja kerjanya menatap layar ponselnya. Foto Alea yang tengah tertawa riang membuatnya tersenyum. Hatinya remuk mengingat kenyataan bahwa Alea milik Big boss nya. Kalau saja bisa, ia ingin menukar posisi. Alea bersamanya dan Big bossnya itu bersama perempuan itu.
"Tentu semuanya akan berbeda jika Alea mencintaiku dan membiarkan Aditya bersama perempuan itu. Dan aku akan berusaha mati-matian agar tak ada air mata di wajah cantiknya." desah Adam seraya menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi kerjanya.
Ia beranjak meninggalkan ruangannya. Langkahnya santai menaiki tangga. Sesekali ia bersiul, tersenyum saat Alea hadir di pikirannya. Tangannya membuka handel pintu ruang kerja karyawan.
Adam hanya mampu berdiri terpaku melihat Alea lebur di pelukan Aditya Kafka. Nyatanya mimpi tinggalah mimpi. Alea takkan mungkin berada di genggamannya. Tatapannya mulai buram karena sesak yang memenuhi rongga dadanya.
Adel menatap getir pria yang masih berdiri terpaku di ambang pintu. Separuh hati kecilnya sakit melihat pria yang dicintainya diam-diam kini remuk hatinya. Namun ia tak mampu berbuat apa-apa. Ia menyadari ia hanyalah setitik embun yang bermimpi menjadi oase di hati pria itu.
"Seandainya saja gadis yang kau cintai itu adalah aku, mungkin kau takkan terluka seperti ini, Adam." gumam Adel lirih.
Ia kembali menatap monitornya kala Adam membalikkan badannya, menghilang di balik pintu yang kini kembali tertutup rapat.
***
"Terkadang yang istimewa akan terganti dengan yang selalu ada."
Adam terkesiap mendengar suara lembut. Ia menegakkan wajahnya menatap seseorang yang berdiri di depannya tersenyum lembut. Entah sejak kapan perempuan itu berdiri di hadapannya.
"Ehm, kau, Adel?" tanya Adam gugup.
Adel sendiri juga tak mengerti ia dapat keberanian darimana untuk mengejar langkah Adam yang berhenti di atap gedung menatap kosong cakrawala.
"Aku mengerti perasaanmu." ucap Adel lirih.
"Apa kau tau bahwa aku menyimpan rasa untuknya?" desis Adam.
Lagi-lagi Adel tersenyum. Seperti aku yang menyimpan rasa untukmu, batin Adel seraya menatap manik mata pria itu.
"Aku tau. Aku juga tau saat ini hatimu remuk." sahut Adel hati-hati.
Adam menghela nafasnya. Ia tertawa lirih, menertawai nasibnya sendiri.
"Aku juga tau kau menyimpan rasa untukku." celutuk Adam.
Adel tersentak. Ia menatap Adam dalam-dalam.
"We're losser." gumam Adam.
"Ya. Setidaknya kita ikut bahagia saat orang yang kita cintai tertawa bahagia meskipun itu menyakitkan untuk kita."
Adam termenung. Gadis ini terlihat lebih dewasa dibanding Alea. Ia cukup cantik, lembut dan tindakannya teratur rapi tidak seperti Alea yang serampangan. Tapi kenapa Adam tak melirik sedikitpun?
"Saat aku berusaha untuk selalu ada untuknya, itu lebih dari cukup, Adel. Aku hanya belum mampu untuk menerima kenyataan bahwa ia milik orang lain."
Dan aku sama sepertimu, aku akan selalu ada untukmu. Sampai aku tak tau lagi bagaimana cara menghilangkan rasa ini untukmu, batin Adel.
"Maafkan aku, Adel."
"Kau tak perlu meminta maaf. Kau tak salah apa-apa. Rasa ini suci, bukan? Ia hadir bukan karena kesalahanmu. Ia hadir bersama waktu. Jadi, biarkan waktu yang membawanya kembali."
Adam tertegun. Kata-kata Adel sedikit mampu menambah sesak di dadanya. Andai saja ia bisa berkompromi dengan waktu, ia ingin agar rasa itu jangan hadir di hati Adel agar gadis itu tak merasakan perihnya cinta sendiri. Cukup ia yang merasakan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro