3. Tidak akur
||happy reading ° • ° • ° • ° • °
"Tio! Tadi nilai ulangan IPS kamu berapa? Aku 80 loh!"
"Kamu tadi liat si Juni gak? Dia kepeleset di pintu kelas haha! Untung ada si Joni yang nangkap dia dari belakang."
"Kamu kemarin ketinggalan catatan mapel bahasa Indonesia kan? Mau liat dari bukuku gak—"
"Bisa kakak berhenti?"
Tio berbalik, menatap kakaknya yang berjalan di belakangnya. Mereka sedang berjalan pulang dari sekolah, dari lorong kelas sampai sekarang di luar sekolah kakaknya tidak berhenti mengikutinya dan mencoba mengakrabkan diri dengannya, itu membuat Tio geram.
"Aku udah muak, kakak dari tadi bicara hal-hal gak guna buat aku! Aku gak butuh itu jadi diem! Jangan sok mau akrab, kita gak sedekat itu." Suaranya terdengar dingin dan ketus, iris mata birunya menatap saudara kembarnya dingin.
"Aku gak peduli, jadi berhentilah berbicara hal-hal bodoh."
Dia selalu saja begitu. Dia yang membentak kakaknya, dia yang mengabaikannya, dan dia yang bersikap kasar padanya. Pemuda itu kembali bersikap kasar, dan dia tidak peduli. "Pergi sana." Pemuda itu berjalan pergi, meninggalkan Theo yang masih berdiri sambil menatap pemuda itu yang berjalan menjauh.
*****
Dia tidak ingin membentaknya, dia tidak berniat begitu. Dia selalu saja begini, membuat kesalahan dan baru sadar saat itu sudah berlalu.
"Sialan....aku salah lagi." Pemuda itu berdecih. Dia berjalan dengan langkah lebar-lebar guna bisa segera sampai ke rumahnya, dia ingin segera tidur di kamarnya.
Sampai di rumahnya, pemuda itu membuka pintu rumahnya kasar. Sepatunya dia taruh asal, dia sekarang hanya fokus untuk berjalan lurus ke arah kamarnya. Saat berjalan melewati ruang tengah, Tio berhenti melangkah saat pria yang sedang duduk di sofa memanggil namanya.
"Tio? Kamu sudah pulang ya. Mana saudaramu?" Tanya pria itu.
Tio hanya terdiam dan menjawab singkat. "Entahlah, kupikir dia tertinggal."
"Apa pantas kata-kata yang kau ucapkan untuk saudara yang lebih tua darimu? Jaga kata-kata mu." Peringat pria itu, tatapannya sekarang terlihat agak kesal.
Tio berdecih pelan, dia lagi-lagi terjebak seolah dia adalah 'penjahat' di sini. "Jangan berlebihan, aku dan dia hanya beda beberapa menit."
"Tio, jaga ucapanmu." Nada suara pria itu terdengar semakin berat, memberi tahu bahwa pria itu tidak suka dengan anda bicara Tio yang ketus.
"Apa kau meninggalkan kakakmu lagi? Bukankah ayah sudah bilang kalau kau harus akur dengan saudaramu? Kenapa itu seperti tidak bisa kamu lakukan?" Pria itu berjalan mendekat. Tangannya terulur untuk meraih pundak Tio, tatapannya terlihat mencoba tenang dengan emosi yang mulai memuncak.
Tio tersentak kaget saat tangan ayahnya menepuk pundaknya pelan, dia menepis kasar tangan ayahnya dan mundur beberapa langkah. Ekspresinya tampak terkejut dengan apa yang baru saja dia lakukan, dia berdecih pelan. "Sial..."
"Tio! Jaga ucapanmu!"
"Menjauh!!! Menjauhlah!!! Aargghh!!! Sialan! Aku benci ini!" Pemuda itu berbalik dan melangkah dengan langkah lebar menuju kamarnya, nafasnya mulai berderu cepat.
"Tio!!!"
Pemuda itu membuka pintu kamarnya kasar, tak peduli lagi dengan apa yang terjadi dia memilih membanting pintunya guna meluapkan emosi yang tengah dia rasakan.
Bersender di belakang pintu, Tio mengacak-acak rambutnya frustasi. Lagi-lagi dia hanya bisa menghindar dan membentak, padahal dia tidak ingin melakukannya.
Dia juga ingin jadi orang baik.
Sementara Tio kembali memikirkan apa yang dia lakukan, saudara kembarnya Theo membuka pintu rumah perlahan dan masuk ke dalam. Setelah menaruh sepatu di rak sepatu, pemuda itu berjalan masuk ke dalam rumah. Iris mata hijau nya melihat ayahnya yang sedang duduk di sofa sambil mengusap wajahnya pelan, saat pria itu sadar pada keberadaannya, senyum tipis mengembang di wajahnya. "Tadi...kamu di tinggal lagi?" Tanya pria itu sambil berdiri.
Theo terkekeh pelan, dia berjalan mendekati ayahnya. "Iya, kayaknya Tio kebelet mau ke toilet."
"Kamu ini fositif banget ya, kamu sampai saat ini belum pernah marah ke saudaramu yang udah kasar..bagus.." tangan besarnya mengusap lembut rambut Theo, tatapannya terlihat teduh.
Theo tersenyum kecil, dia berjalan pergi setelah setelah mengucapkan beberapa patah kata. "Yah....dia adikku. Aku tidak bisa marah padanya."
"Karena dia saudaraku."
*****
Setelah mengurung diri di kamar selama 3 jam, Tio memutuskan keluar dari kamarnya dan berjalan menuju dapur. Dia tak bisa menyangkal jika perutnya lapar, dari pulang sekolah dan mengurung diri di kamar dia belum makan. Tentu saja dia kelaparan, yah...karena ego nya lah dia tidak mau keluar kamar.
Pemuda itu melihat Theo yang sedang duduk di kursi dapur, Theo yang tadinya menunduk lantas mengangkat pandangannya saat merasakan hawa keberadaan seseorang. Senyumnya mengembang, Theo tersenyum kecil melihat Tio yang berjalan mendekat.
"Kamu belum makan kan? Ayo makan dulu."
Pemuda itu mengangguk menurut, dia duduk di kursi makan. Beberapa saat mereka terdiam, Tio memakan makanan yang telah di ambilnya dengan tenang. Sementara itu kembarannya tampak hanya diam di tempat memperhatikan saudaranya, suasana terasa canggung.
Di dapur itu hanya terdengar suara sendok makan yang sesekali bergesekan dengan piring, detik jam yang bergerak juga menambah suasana sepi di sana.
Sesekali Tio melirik saudaranya yang tetap setia duduk bersender ke kursinya sambil menatap ke arah jendela di sisi nya. Ekspresinya terlihat menikmati suasana di taman kecil di rumah mereka, suasana hening itu membuat Tio sedikit heran.
"Kau tidak marah?"
Tiga patah kalimat yang keluar dari mulutnya membuat Theo langsung menoleh dan menatap saudaranya, merasa Tio mengajaknya mengobrol tentu membuat Theo tersenyum senang. "Kenapa aku harus marah?"
Tio mendengus mendengar jawaban kakaknya, bukannya sudah jelas? Harusnya dia marah karena di bentak dan di tinggalkan adiknya. "Bodoh."
"Kakak tidak mengerti, kenapa kau selalu mengumpat? Apa kakak mengatakan hal yang salah?" Theo memiringkan kepalanya, senyuman kecil dia tunjukan.
Dia berhenti mengunyah makanannya, matanya menatap tajam pemuda yang duduk berhadapan dengannya. "Dasar aneh, kau selalu saja begitu. Bersikap seperti anak baik yang payah, jujurlah bodoh. Kau terjerat bayang-bayang masa lalu, jadi hentikan sikapmu itu."
"Berhentilah peduli padaku"
Tatapan hangat itu sekarang berubah menjadi dingin, walau begitu senyumannya tetap berada di wajah pemuda itu. "Apa maksudmu? Yang selalu terjerat dengan bayangan masa lalu itu kan kamu." Ucapnya tenang.
Theo berkata dengan tenang, ekspresinya terlihat tidak bisa di tebak. Tapi entah kenapa, Tio selalu merasa kesal dengan ekspresinya itu, tatapan mata yang selalu menatap hangat juga kata-kata riang yang dia ucapkan entah kenapa selalu membuat pemuda itu merasa bahwa dia itu tidak pantas ada di sekitarannya.
Sudah dua tahun sejak kejadian itu, dan Theo masih bersikap seolah tidak ada masalah yang terjadi. Padahal jelas-jelas bahwa Tio merusak banyak hal, tapi kenapa kembarannya itu selalu bersikap baik?
Menyebalkan.
"Aku selesai, jangan sentuh piringku." Ucap Tio singkat, pemuda itu berdiri dan berjalan pergi kembali ke kamarnya. Sementara itu Theo terkekeh pelan, dia tidak terlalu ambil pusing dengan perkataan Tio.
"Maksudnya aku jangan mencuci piringnya? A~ dia perhatian sekali."
||bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro