[Day 1] Camboran Wutuh
Saat sedang mengatur segitiga exposure kamera di ruang pengumuman, seseorang berdiri di depan pintu. Dia adalah teman sekelas sekaligus sahabatku. "Rea! Ngapain kamu di sini? Nyari aku ya? Duh, seleb banget aku dicariin."
"Apaan, Haidar alay. Aku nyari Mas Raja kok. Ada nggak orangnya?"
Aku memberengut, sejak kapan Rea kenal Mas Raja? Begitu hendak memanggil, Mas Raja sudah berjalan di belakangku mendekati Rea. Ia mengajak Rea menjauh sambil membawa kamera.
"Itu temen yang sering kamu post di story bukan?" Ujug-ujug Mas Sangga muncul di belakangku. Aku mengangguk. "Oh, jadi dia korban Raja berikutnya," gumam Mas Sangga.
Aku tahu, Mas Raja itu playboy kelas kakap. Aku juga tahu, Rea itu mudah baper. Ia punya dua puluh tiga gebetan dari boyband Korea Selatan dan dua gebetan dari SMA ini. Gadis itu selalu menceritakannya padaku, tetapi aku tak pernah tahu nama dua orang dari SMA ini yang ditaksirnya karena Rea menggunakan nama hewan untuk sebutan.
Saat kelas sepuluh, gebetannya Macan. Sedangkan saat kelas sebelas sekarang, gebetannya Sapi. Entahlah siapa mereka berdua.
Pukul tujuh, aku dan Mas Sangga menuju lapangan untuk mendokumentasikan upacara kemerdekaan. Mas Sangga menghidupkan drone untuk merekam geladi bersih dari atas, sedangkan aku merekam dari kejauhan.
Di tengah lapangan, Rea dari ekstra Jurnalistik juga turut dokumentasi. Mas Raja berdiri di sampingnya. Mereka terlihat sangat dekat. Sesekali mereka tertawa di tengah jalannya upacara. Aku dan Mas Sangga terdorong untuk ikut turun ke lapangan.
Walau aku sudah turun ke lapangan, berseliweran ke kanan dan ke kiri, Rea dan Kak Raja tidak terpengaruh. Mereka seakan punya dunia sendiri.
"Haidar, bagian depan aku serahin kamu sama Sangga, ya? Aku sama Rea rekam dokumentasi dari belakang," kata Mas Raja. Aku mengangkat jempolku, kemudian ia dan Rea berjalan ke belakang.
Bergandengan tangan.
Aku jadi tidak fokus dokumentasi. Sesekali Mas Sangga menyalahkanku gara-gara lupa menekan tombol shutter. "Jangan sampai Rea bikin berita Jurnalistik judulnya 'Haidar, Fotografer Nyeleweng Karena Terbakar Api Cemburu'. Malu Dar, malu."
Aku berdecak. "Apaan sih, Mas. Siapa yang cemburu? Cemburunya sama siapa pula?"
"Ya kamu, cemburu soalnya Rea sama Raja deket."
"Ah, enggak. Aku sama Rea cuma temen kok."
"Aku sama pacarku dulunya juga cuma temen, Dar."
Mas Sangga benar. Aku kembali memperhatikan Rea dan Mas Raja. Mereka berdua sangat ....
Mas Sangga tiba-tiba menepuk pundakku. "Jatuh cinta paling mudah adalah sama temen sendiri, walau seringnya nggak sadar sih. Tapi kalau udah sadar, udah cemburu, mending cepet-cepet confess. Ya, daripada dia jadi korbannya Raja?"
Aku membuang tangan Mas Sangga di pundakku. "Aku nggak suka Rea kok, Mas. Toh, Rea itu gebetannya banyak. Abis disakitin Mas Raja, paling dia nemu yang lain."
Mas Sangga berdecak. "Gengsi amat sih, Dar. Nanti mereka jadian, kamu nanges." Mas Sangga lalu meninggalkanku, sementara mataku masih memandangi kedekatan Rea dan Mas Raja. Senyum Rea begitu merekah jika Mas Raja berbicara. Sebaliknya, senyum Mas Raja tak kalah sumringah kalau Rea bersuara.
Ini tidak boleh terjadi!
Sambil dokumentasi, aku berpikir bagaimana caranya agar Rea dan Mas Raja tak sampai jadian. Aku tidak akan terima!
Setelah 30 menit, akhirnya upacara selesai. Momen paling ditunggu-tunggu adalah foto bersama. Paskibra, PMR, OSIS, dan yang lain sama-sama membentuk kelompok sendiri-sendiri. Aku pribadi menghampiri Mas Raja dan Rea, disusul Mas Sangga.
Kami berempat tidak berencana foto, melainkan membantu memotretkan orang-orang. Rea ditarik temannya di ekskul PMR, sedangkan aku di sampingnya memotret OSIS. Mas Sangga sendiri memotret anak Paskibra. Lalu Mas Raja ....
Ia bersama Rea.
Setelah memotret OSIS berkali-kali, aku menghampiri mereka berdua yang juga baru selesai memotret PMR. Baru akan bersuara, Rea memintaku memotret dirinya dengan Mas Raja.
Apa-apaan?!
Dengan hati yang memanas, aku memotret mereka dengan berbagai gaya. Ada gaya formal, candid. Dan terakhir, gaya tangan membentuk hati.
"Ih, Haidar bagus fotonya! Nanti kita pakai buat foto profil medsos gimana, Mas Ja?" tanya Rea kepada Mas Raja. Cowok itu mengangguk.
"Mau di-post juga gapapa kali."
"Hah, apaan. Belum juga jadian udah mau post fotbar. Nanti nggak langgeng nanges," seruku dengan nada tinggi. Mas Raja dan Rea justru tertawa.
"Apaan, sensi amat, Dar. Kamu sendiri kenapa nggak fotbar sama Naya? Tuh, dia di barisan padus. Nanti dia fotbar sama yang lain, kamu nanges."
Naya itu ... teman sekelasku dan Rea sejak kelas sepuluh. Memang, aku pernah suka dia, tetapi sejak berteman dan sebangku dengan Rea di semester dua, aku sudah melupakannya. Naya hanya seperti nama yang kugunakan agar Rea percaya kalau aku tidak mencintainya.
Ya ... aku mencintai Rea sejak kelas sepuluh, tetapi selalu kupendam karena Rea bilang kalau sedang suka dengan cowok bernama Macan. Dan sekarang, ia juga naksir Sapi. Sainganku adalah dua orang yang sangat Rea sukai.
"Nggak penting foto berdua, yang penting nanti aku sama Naya jalan bareng," kataku bohong.
"Oh, ya? Sama. Aku sama Mas Raja juga mau jalan, sekalian nyari lensa kamera," balas Rea. Kok balasannya sadis, sih?
"Jadian dulu lah. Percuma dong, nyaman, tapi nggak jadian," timpalku. Ini kok seperti menyindir diri sendiri?
"Kamu juga dong, Dar. Cepet confess ke Naya, jangan cuma diceritain doang ke aku!"
"Emang kamu pikir, aku sampai sekarang masih suka Naya? Nggak, Re! Naya itu cuma nama samaran buat orang yang aku suka sekarang. Kayak kamu ngasih nama gebetanmu Sapi."
Mas Raja tertawa mendengar percakapan kami. Aku memandanginya. Kuakui, Mas Raja lebih tampan dariku. Kulitnya bersih, tinggi pula. Seperti artis Korea.
"Tau, nggak, kalau Sapi yang dimaksud itu aku, Dar?" tanya Mas Raja.
Aku menggeleng.
"Sapi, hewan ternak. Kalau kamu waktu SD belajar Bahasa Jawa bab Camboran, kamu pasti tau contoh camboran wutuh, salah satunya raja kaya. Raja kaya artinya hewan ternak, salah satunya Sapi," kata Mas Raja, diangguki Rea.
Hah, niat sekali Rea membuat nama samaran itu. Sebegitu cintanya kah dengan Mas Raja? "Terus, Macan itu siapa? Kamu masih suka dia?"
Mas Raja mengernyit. "Macan? Siapa dia, Re?" tanyanya kepada Rea.
"Gebetanku," kata Rea enteng, dan membuat raut Mas Raja masam. "Kamu suka cowok lain, di saat kita deket?" tanyanya.
Pasti Mas Raja belum tahu kalau Rea itu tipe yang bisa suka lebih dari satu cowok, dan bisa move on dalam waktu yang sangat singkat.
"Apa aku bilang, Raja. Rea itu gebetannya banyak, dua puluh tiga, ditambah kamu, ditambah satu cowok lagi. Percuma kamu baperin dia, stok gebetannya masih banyak." Mas Sangga tiba-tiba datang dari belakang Mas Raja. Aku tertawa, begitu pula Rea.
"Kirain dulu kamu nipu, Ngga. Lagian, dari mana kamu tau tentang Rea? Kalian aja nggak deket," kata Mas Raja kepada Mas Sangga. Mas Sangga lantas menunjukku. "Haidar itu terverifikasi sebagai sahabat dan tempat curhatnya Rea. Jelas aja aku tau."
Muka Mas Raja seperti kebingungan. Ia seorang playboy, tetapi sudah dilukai sebelum dirinya melukai. Mampus!
"Rea, ingat kata Patrick."
"Apa?"
"Kukira hubungan kita istimewa!"
Langsung saja aku, Rea, dan Mas Sangga tertawa kencang. Tak pernah kutahu wajah sedih milik Mas Raja jika bukan sekarang. Rea seakan tak merasa bersalah telah membuat si playboy ini menjadi sadboy.
"Aku tau kamu playboy, Mas. Jangankan aku, anak pindahan bulan lalu juga pasti tau. Itu udah semacam branding-mu. Aku yakin sedihmu ini juga cuma pura-pura, kan? Nggak usah repot-repot, aku mau dideketin kamu cuma biar bisa belajar fotografi yang bener, nggak lebih."
Mas Raja masih menampakkan sedih. Seperti Rea, aku juga yakin cowok itu hanya pura-pura. Besok, pasti Mas Raja sudah dekat lagi dengan siswi lain di SMA ini.
"Makasih, Re. Makasih udah jadiin playboy ini sadboy dalam sehari," ucap Mas Raja, lalu pergi bersama Mas Sangga.
Aku menahan tawa. Tersisa aku dan Rea sekarang.
"Keren, bisa bikin galau si raja buaya," pujiku. Namun, Rea tidak tertawa.
"Kalau 'Naya' itu cuma nama samaran, terus seorang Naya yang kamu maksud siapa, Dar?" tanyanya. Aku meneguk ludah.
Mana mungkin kalau Naya yang kumaksud adalah dia.
"Secara fisik dan identitas, dia mirip Naya. Kamu sendiri, siapa sih Macan yang kamu taksir? Sampai sekarang masih kamu taksir?" tanyaku balik.
"Ya. Macan. Aku kasih nama macan soalnya mirip macan."
"Mirip macan? Kakinya empat gitu?"
Rea menggeleng. "Siapa Naya?"
Haruskah kujawab jujur?
"Emm .... Tinggi dan bentuk matanya sama kayak Naya. Bulan lahir, asal SMP, mapel favorit juga sama kayak Naya," kataku, "siapa Macan?"
Rea diam sejenak. Aku mendengar ia bergumam, "... Juli, SMPN 02, Bahasa Inggris, ...."
"Macan itu jarang senyum, cuma ke aku doang sih sering senyum. Dia juga punya kumis. Kulitnya belang gara-gara suka nguber layangan waktu kecil."
Ciri-ciri yang disebut Rea itu seperti ... aku?
"Re, Macan sekarang di mana? Di tempat ini kah? Naya juga di sini kok."
"Iya, Macan di sini. Bisa kamu tunjukin, Dar, yang mana Naya? Nanti aku tunjukin Macan."
"Oke."
Rea lalu menutup mata, mungkin malu kalau harus menunjukkannya langsung. Aku jadi ikut-ikutan tutup mata, karena harus bersiap malu bahwa Naya yang kumaksud adalah dirinya.
Begitu membuka mata, Rea juga telah membuka matanya. Kami sama-sama menunjuk gebetan kami.
Naya yang aku tunjuk adalah Rea.
Sedangkan Macan yang Rea tunjuk adalah aku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro