Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Woodruff

"Hidup adalah tentang seberapa bermanfaat kita bagi lingkungan sekitar"

~Viqas Muayya Atmaja~

Hujan baru saja mereda, membuat mereka yang tadi berteduh di tepi-tepi pertokoan mulai melanjutkan perjalanan. Viqas dan kelima rekannya pun kembali melanjutkan kegiatan membagikan nasi kotak pada mereka yang terlantar di jalanan. Itu sudah menjadi rutinitasnya sejak dua tahun yang lalu, sebagai ungkapan syukur atas berdirinya Daffodil Cafe and Restaurant.

Tak jauh dari Viqas, seorang pemuda tampak berjalan tertatih dengan jemari yang menekan kuat perutnya. Perutnya terasa sangat perih karena sejak kemarin tak ada makanan yang bisa mengurangi rasa laparnya. Hanya beberapa teguk air putih yang berhasil ia dapatkan dari tempat sampah. Ia tahu itu kotor, tetapi ia tak punya pilihan lain. Pemuda itu duduk di trotoar dengan kaleng kecil di tangannya, berharap ada orang yang akan berbelaskasihan .

Namun, orang-orang yang berlalu

-lalang hanya menatapnya sekilas kemudian pergi tanpa memberinya apa pun. Pemuda itu mengusap peluh di dahinya, sesekali meringis menahan perih di perutnya. Terik matahari membuat tubuhnya semakin tak berdaya, ia beralih duduk di bawah pohon beringin di tepi jalan.

Bruk!!!

Fikri yang sedari tadi memejamkan mata berjengit kaget ketika ada yang melemparkan sesuatu ke arahnya. Ketika diperiksa–sebuah Givenchy sling bag dilempar ke arahnya. Ia memungut benda itu, belum sempat ia membukanya–warga datang dan menuduhnya sebagai pencuri.

"Itu dia pencurinya," ucap salah satu warga menunjuk ke arah Rifki

Rifki tersentak dan melemparkan tas mewah itu ke jalan. Menyadari dirinya dalam bahaya, ia bangkit dan berlari semampu yang ia bisa. Dengan tertatih, Rifki menyeret langkahnya berusaha menghindar dari amukan masa. Namun, tubuhnya tak cukup kuat, hingga ia jatuh tersungkur di tepi jalan.

Warga memukul tubuh ringkihnya dengan brutal, wajah, perut, dada, menjadi sasaran empuk mereka. Rifki merasakan sakit di sekujur tubuhnya . Ia ingin bangun dan kembali berlari, tetapi tubuhnya tak lagi sanggup. Ia pasrah, jika memang harus mati ditangan masa yang semakin brutal menendang bahkan menginjak dada dan perutnya.

Perhatian Viqas teralih pada kerumunan orang yang tampak marah. Ia mendekat dan mendapati seorang pemuda tergeletak tak berdaya dengan luka di sekujur tubuhnya.

"Hentikan!" seru Viqas.

Membuat masa berhenti menghakimi pemuda itu. Rifki bertahmid dalam hati, akhirnya ada orang yang menolongnya.

"Apa yang telah dia lakukan, hingga membuat kalian memukulnya secara brutal?" tanya Viqas.

"Dia itu pencuri, dia pantas mendapatkan hukumannya!"

"Apa yang telah dia curi?"

"Dia merampok tas milik wanita itu," Adrian menunjuk seorang wanita yang berjalan ke arah mereka.

Seorang wanita datang menghampiri warga setelah mendapatkan kembali Givenchy sling bag miliknya, mengecek isinya dengan teliti kemudian tersenyum. Barang berharganya masih utuh, tak ada satu pun yang lenyap. Wanita itu mengamati Rifki dengan saksama dan menjelaskan bahwa pemuda itu bukan pencurinya.

"Dia bukan orang yang merampok saya, kalian salah orang," ucap Adara.

Mendengar itu, Viqas menghela napas kasar. Mereka menghakimi hingga korbannya tak berdaya, padahal pemuda itu tak bersalah sama sekali. Dia hanya dijadikan kambing hitam oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

"Kalian dengar, kan, dia tidak bersalah di sini! Sekarang siapa yang akan bertanggung jawab atasnya? Berani berbuat harus berani bertanggung jawab! Jangan hanya berani lempar batu sembunyi tangan!" seru Viqas.

Tak ada seorang pun yang menjawab, mereka hanya memandang satu sama lain kemudian mengedikkan bahu.

"Kalian ini manusia atau bukan? Di mana hati nurani kalian? Kalian tega menghakimi sesama hingga seperti ini, perilaku kalian lebih buruk dari bintang! "cecar Viqas.

"Negara ini adalah negara hukum, jadi pikir dulu sebelum berbuat. Saya bisa membawa kasus ini ke meja hijau, dan saya pastikan kalian semua akan mendapatkan balasannya!" Viqas menunjuk semua orang yang ikut andil dalam pemukulan terhadap Rifki.

Napas Rifki mulai memburu, berkali-kali pemuda itu meringis menahan sakit di sekujur tubuhnya, terutama dada kirinya.

"Bang, bisa bangun tidak?" Rifki menatap prihatin pada pemuda itu.

Rifki hanya mampu mengedipkan mata karena fisiknya benar-benar lemah. Tak lama kemudian dia sudah tak sadarkan diri.

"Jika ada hal buruk yang terjadi padanya, kalian semua akan mendapat balasannya. Ingat itu!" tegas Viqas.

Viqas membawa pemuda itu ke rumah sakit, dan bertanggung jawab atas semua biaya pengobatannya. Ia menunggu dengan cemas di depan ruang rawat. Tak lama kemudian dokter yang menanganinya keluar.

"Rusuk kirinya patah, dan harus segera menjalani operasi. Segera hubungi keluarganya," ucap Dokter Ramdhan.

"Lakukan yang terbaik untuknya, Dok. Saya yang akan bertanggung jawab atasnya," timpal Viqas.

"Baik, tolong segera tanda tangani surat persetujuan ini, dan segera urus administrasinya," ucap Dokter Ramdhan.

Usai mengurus semuanya, Viqas menunggu di depan ruang operasi. Hampir tiga jam menunggu, tetapi belum ada tanda ruangan di hadapannya itu akan terbuka. Karena terlalu lelah, pemuda itu bahkan tertidur di sana. Tepukan lembut di lengannya, membangunkannya dari alam mimpi. Ia mengucek matanya yang masih terasa perih. Ia segera beranjak bergitu menyadari yang membangunkannya adalah Dokter Ramdhan.

"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Viqas.

"Alhamdulillah, operasinya berhasil. Dia boleh dijenguk, jika sudah dipindahkan ke ruang rawat," jawab Dokter Ramdhan.

"Terima kasih, Dok." Viqas tersenyum.

"Sama-sama, saya permisi." Ramdhan berlalu pergi.

Viqas menjenguk Rifki di ruangannya. Sesampainya di sana, ia duduk di kursi samping ranjang. Mengamati wajah pemuda yang baru dikenalnya itu. Di wajahnya terdapat beberapa jahitan terutama di bagian pelipis. Dadanya juga tampak terbebat perban, dengan selang infus tertancap rapi di tangannya.

Ia berpikir, ternyata masih ada banyak orang yang memiliki nasib yang kurang beruntung dibanding dirinya. Rifki, misalnya. Hanya karena mengambil sebungkus roti untuk mengganjal perutnya yang lapar, ia sampai harus mengalami patah tulang rusuk dan babak belur. Viqas, jauh lebih beruntung, bukan? Hidup berkecukupan, hanya saja ia kehilangan kasih sayang dari orang tuanya. Viqas rasa Allah itu memang adil, tidak ada kebahagiaan yang sempurna begitupun sebaliknya. Perhatiannya teralih ketika melihat jari-jari Rifki bergerak, disusul netra pemuda itu yang terbuka perlahan.

"Terima kasih," lirih Rifki begitu menyadari kehadiran Viqas.

Viqas mengangguk, kemudian tersenyum, "Sudah menjadi kewajiban kita sebagai manusia untuk saling tolong-menolong. Jika, Bang Rifki, yang ada di posisiku, pasti akan melakukan hal yang sama bukan?"

Rifki tersenyum samar. Viqas benar, ia pasti juga akan melakukan hal yang sama. Andai Viqas tidak menghentikan masa yang menghakiminya dengan brutal, mungkin bukan hanya rusuknya yang patah. Namun, nyawanya juga tidak bisa diselamatkan. Pemuda itu berhutang nyawa, dipertemuan pertama mereka.

"Bagaimana keadaannya, Bang?" tanya Viqas.

"Alhamdulillah, sudah lebih baik. Saya, Rifki. Kalau boleh tahu namamu siapa?" Rifki mengulurkan tangannya.

"Viqas, Bang." Viqas menyambut uluran tangan Rifki.

Keduanya berbincang tentang banyak hal, saling bertukar cerita. Dari cerita Rifki, Viqas tahu bahwa pemuda itu seorang yatim-piatu. Dia baru saja diusir dari kontrakan karena tidak mampu membayar uang sewa selama dua bulan terakhir. Sebenarnya ia masih punya rumah peninggalan orang tuanya, tetapi rumah itu ternyata sudah dijual oleh pamannya.Pada akhirnya, Rifki diminta tinggal bersama Dimas–asisten Viqas–di rumah yang tak jauh dari restoran. Rumah itu sebagai salah tunjangan bagi Dimas selaku asisten pribadinya.

"Setelah sembuh, Bang Rifki bisa tinggal bersama asisten saya. Abang juga bisa bekerja di restoran, tetapi untuk sementara ini masih harus dirawat di sini."

"Terima kasih, Viqas. Abang nggak tahu harus bicara apalagi." Rifki tersenyum.

Viqas balas tersenyum, ia senang bisa membantu. Setidaknya ia bisa melakukan sesuatu yang berguna di sisa hidup yang mungkin tidak lagi lama. Berharap, jika kelak telah tiada masih ada orang yang mau mendoakan kebaikan untuknya.

Pertemuannya dengan Rifki membuka mata pemuda itu, bahwa di luar sana ada banyak manusia yang tak lagi memiliki nurani. Kelakuan mereka benar-benar lebih buruk daripada binatang. Andaipun Rifki memang bersalah, tak seharusnya mereka main hakim sendiri. Mereka bisa melaporkan ke pihak berwajib, dan menyerahkan semua urusan ke sana tanpa perlu melukai sedemikian rupa yang nyatanya salah paham semata. 

-Tamat-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro