Toxic-Toxic di Bumi
Di zaman modern seperti sekarang, ternyata masih banyak orang awam. Maksudku, pemikiran mereka masih kolot. Segala sesuatu mengatasnamakan adat dan agama. Padahal, jika ditilik lagi, mereka kurang referensi dan gak hobi membaca. Sangat sulit memberikan nasehat, apalagi mengajak diskusi. Karena, pada akhirnya hanya akan membuat emosi.
Seperti tempo hari. Seorang teman mengantarkanku pulang. Awalnya Ibu menyambut dengan baik. Hingga, ia menyadari ada yang berbeda dari temanku. "Temenmu kayak perempuan," tuduhnya, sesaat setelah dia menghilang dari hadapan kami. Aku hanya mengangguk. "Ih, orang kayak gitu kenapa dijadiin temen? Gak normal, nanti kamu ketularan lagi,"—Ia bergidik—"orang tuanya ngapain aja, sih. Anak punya kelainan kok dibiarin. Seenggaknya dibawa ke pesantren, gitu."
Aku hanya menghela nafas. Ibuku memang memiliki mulut tajam. Karena merasa ia melihat sendiri, mengulik informasi lain seperti tidak perlu. Bukannya ingin menjelekkan beliau. Tapi, ia adalah tipe manusia yang memandang sesuatu hanya dari satu sisi.
"Jangan deket-deket sama dia lagi, ah," pintanya.
"Bu, dia baik kok, orangnya. Lagian, selama berteman, aku biasa aja. Enggak ada yang aneh."
"Tapi, tetap aja—"
"Tetap aja, itu gak sesuai akidah. Ibu mau bilang gitu?" Kupotong ucapannya. Soal dosa, itu bisa dipikirkan nanti. "aku punya pacar, Ibu tahu itu. Kelakuan aku sesuai akidah, gak?" Beliau hanya diam. Selanjutnya pergi setelah mengatakan 'terserah'. Lihat, begitulah ibuku.
Beberapa hari setelah itu, aku enggan pulang ke rumah. Ibu selalu menyinggung soalan temanku. Kepalaku pusing. Lebih baik menghindar daripada menyulut perdebatan.
"Lo udah dua malam gak balik. Gak dibawelin?" Temanku bertanya. Mata dan tangannya fokus pada buku sketsa. Cara ia menarikan pensil di atas kertas begitu luwes. Aku kagum.
"Gue disuruh nikah," bohongku. "Ibu nyangka gue udah gak perawan. Dia bilang 'kalau emang udah gak tahan, nikah aja. Jangan nambah-nambah dosa'. Asem, 'kan? Boro-boro gak tahan. Lakinya aja susah diajak nafsuan." Kuhembuskan nafas ringan, lalu menatap langit-langit kamarnya. "Fi, perkosa gue, dong.
"Cuman mau mastiin, kalau gue masih perawan. Lumayan, 'kan, gue bisa nuntut Ibu atas tuduhan yang tidak benar," lanjutku.
Ia mengehentikan kegiatannya. "Percuma, gue gak doyan sama lo," Tangannya kembali menggoreskan pensil pada kertas. "kenapa gak minta si Dimas aja. Dia kan cowok lo," sarannya, "oh, iya, gue lupa. Jangankan diajak ena-ena, meluk elo aja dia gak mau." Aku hanya mendengus kasar. Tidak ada yang salah dari omongannya.
Suasana menjadi hening. Kantuk mulai menyerangku. Padahal, ini jasad baru sadar setengah jam yang lalu. "Fi, bacain surat Ar-rahman, dong. Gue butuh motivasi sebelum mimpi, lagi."
Kudengar ia menghela nafas kasar. "Lo banyak mau-nya dari tadi. Tugas kita gak akan beres-beres," gerutunya.
"Aelah ... lo gak mau masuk dalam catatan baik malaikat, karena udah bantuin gue masuk ke alam mimpi?"
Walau tampak kesal, kulihat ia mulai beranjak menuju kamar mandi. Sepertinya, mengambil air wudhu. Saat kembali, wajahnya terlihat segar. Ia mendudukkan diri. Tangannya kembali mengambil pensil, dan melanjutkan pekerjaannya.
"Kualat lo lama-lama. Qur'an malah dijadiin pengantar tidur." Setelah satu kali tarikan nafas, suara merdu mulai terdengar. Ia begitu menghayati setiap ayatnya. Tak jarang, aku mendengarnya menangis.
Manusia terlahir dengan kekurangan dan kelebihan. Dua poin itu selalu berdampingan. Aku percaya itu. Jangan langsung men-judge manusia, tanpa melihat kebenarannya terlebih dahulu.
***
WP—Warung Panjang—siang ini terlihat lenggang. Sambil menunggu Dimas, sepertinya akan nikmat jika makan ketoprak. Lumayan, buat ganjal perut. "Ikut duduk, Lis." Dua orang perempuan, duduk dihadapanku.
Aku hanya mengangguk. "Kok, sendiri, tumben?" tanya si Baju Merah.
"Ini hari Jumat. Siang hari, gue pasti sendirian." Kuseruput es jeruk yang baru sampai.
Mereka menatapku penuh tanya, "Eh, dia Jumatan juga?" Sekarang si Baju Kuning yang bertanya. Aku langsung paham yang dimaksud 'dia' oleh mereka.
"'Ya, Jumatan-lah. Dia kan cowok. Dari pakaiannya juga udah kelihatan, 'kan?"
Ia terkekeh ringan. "Ah, gak yakin gue. Kemayu gitu, siapa tahu aslinya dia cewek." Keduanya langsung terbahak, seolah itu adalan guyonan biasa. Aku beranjak, membawa ketoprak beserta es jeruk yang tinggal setengah. Ganti tempat duduk, sebelum api membesar. Hari ini mau kencan, jangan buang-buang tenaga.
Ini bukan kali pertama, dia mendapat cemoohan karena kepribadiannya. Hidup emang gak lengakap tanpa nyinyir—bagi segelintir orang. Aneh. Padahal, jika dari segi pakaian, mereka lebih baik dariku. Akidahnya bagus, akhlaknya belum tentu. Ingat dua poin yang pernah kubicarakan? Shit, walau hanya hatiku yang menggerutu. Tetap saja, aku tak ada bedanya dengan mereka. Ya ampun, sulit sekali jadi manusia. Ah ..., ketoprakku sudah tak nikmat lagi, sekarang.
"Widih, uda piring yang ke berapa, nih?" Kuputar bola mata, sebal. Apanya yang ke berapa, satu piring saja belum kusentuh. "loh, kok, cemberut gitu. Kenapa?"
Kusodorkan piring ketoprak padanya. "Lama-lama tekanan darahku meledak, kalau dihadapkan dengan manusia macam mereka mulu." Ia hanya menggangguk. Paham ke mana arah pembicaraanku.
"Kamu ngerasain gimana keselnya aku, kan, Kak?" Lagi, ia mengangguk. Mulutnya sibuk mengunyah. "ish, Kak! Ngomong sesuatu, dong. Mereka udah keterlaluan."
Astaga, dia malah minum es jeruk punyaku. "Udah, biarin. Disahut juga, kita malah jadi sama aja, 'kan?" Ia memulai kembali kegiatan mengunyahnya. Sekarang, kenapa ketoprak itu terlihat sangat nikmat?
"Iya, tapi, kan—" Ia menyuapkan ketupat secara paksa padaku. Ingin protes, tapi gerakan matanya seperti memberi isyarat. Kulambaikan tangan, saat tahu siapa yang datang. Ingin menyapa, mulutku penuh. Ini si Ibu lupa potong ketupatnya atau gimana.
"Nah, ketemu. Gue nge-chat lo padahal," ujarnya. Kuangkat sebelah alis dan memeriksa ponsel. Ternyata benar—ini ketupat kapan selesai dikunyahnya. "Desain kita dapet acc, Lis. Pak Damar minta model miniaturenya. Kalau bisa, minggu depan."
Kurebut minuman yang tinggal setegak. "Gila! Minggu depan, mana sanggup, gue. Kecuali ...," Kuberikan tatapan mode kucing pada Dimas.
Ia mendengus geli. "Ogah. Gue lagi sibuk bimbingan. Itu tugas lo pada. Ya, kalian yang harus tanggung jawab."
Tatapanku berubah menjadi mode garang. Bendera perang siap berkibar. "Percuma, lo jadi cowok gue. Gak ada gunanya," Ia menatapku tak peduli. "ayolah, Kak. Kita bisa threesome di kosan." Tidak ada sahutan. Namun, sebuah gelas berhasil mendarat di atas keningku. Sakit.
***
Gunting, robek, buang. Tanganku kenapa sulit diajak diskusi, jika sedang dibutuhkan? Ini sudah yang ketigakalinya, buang-buang bahan yang ada. "Argh! Fi, gue nyerah. Lo—"
"Iya, Ma. Obatnya aku minum, kok. Tanya Lisna, dia sering ikut aku terapi." Lagi sibuk teleponan sama mamanya, ternyata. Pantas, enggak ada yang ngomel dari tadi. Padahal, ruangan udah kayak disambangi tornado.
"Aku gak jadi pulang. Ada tugas, mepet ... iya, Ma. Dah ..., aku tutup."
"Bukannya, lo udah gak konsumsi lagi itu obat?" Aku hanya penasaran, kenapa dia bohong.
Ia tersenyum simpul. "Sengaja. Biar Mama gak khawatir."
"Jujur sama gue. Lo sebenernya masih butuh obat itu?"
Helaan nafas keluar dari mulutnya. "Iya. Tapi, bosen juga harus terus minum obat. Gue yakin bisa hidup, tanpa harus tergantung sama begituan. Mau-nya hidup normal; masuk toilet atau masjid dengan tenang, ngerasain pacaran, ikut latihan kendo tanpa nyinyiran. Kenapa gue harus punya kelainan, sih, Lis? Coba kalau gue normal, mereka gak akan ngetawain tiap langkah gue, dan gak akan ada lagi mimpi buruk.
"Gue berusaha buat gak peduli sama cemoohan mereka. Tapi, tetap aja, badan gue selalu gemeteran dan takut saat sendirian. Gue lemah. Terapi juga gak ada hasilnya. Lo bahkan pernah nekat telanjang di depan gue. Tapi, enggak ngaruh sedikit pun. Padahal, gue bukan bocah lima tahun lagi. Coba kalau itu Dimas, laki-laki normal. Sekuat apa pun dia nahan, pasti bakal goyah. Iya, 'kan?"
Kupeluk ia hangat. Setelah dua tahun berteman, baru kali ini dia mengeluarkan isi hatinya. Bohong, jika aku tidak menyadarinya. Selama ini, dia terus berpura-pura. Hanya saja, aku berusaha menjadi teman yang nyaman. Tidak mau mengguruinya atas apa pun.
Isakan mulai terdengar. "Gue gak tega lihat Mama digosipin tetangga terus. Gue, pengen sembuh, Lis," lanjutnya. Kuusap punggungnya pelan.
"Apa, nih. Cewek gue dipeluk-peluk. Ini pacarnya, gak pernah, loh." Sontak kulepaskan pelukan. Kapan dia datang? Jadi gini rasanya digerebek.
Rafi mengusap matanya. "Enak aja. Cewek lo yang kegenitan sama gue," balasnya. Aku terkekeh, Dimas memang paling tahu caranya mencairkan suasana.
"Gue datang ke sini sebagai mata-matanya Pak Damar. Bukannya ngerjain tugas, kalian malah asik selingkuh," Ia mendudukan diri di antara serpihan kertas. Aku berharap bokongnya tepat pada lem yang berceceran. "untung gue nahan diri buat lempar batu, tadi."
Ocehannya semakin panjang. Sebentar, aku berdehem. Lalu memasang senyum manis. "Kakak cemburu?" tanyaku, "bilang dong. Sini, aku peluk. Mau satu tahun pacaran, dan Kakak keduluan sama Rafi? Kasihan," ejekku. Kulihat wajahnya berubah datar.
"Oy, Lis. Jangan jadiin gue kambing hitam, dong," protes Rafi, wajahnya sedikit sembab. Coba gangguan gak datang. Hidungnya pasti sudah merah sekarang.
"Oh, atau, kita nikah aja. Biar lebih leluasa." Kunaik-turunkan kedua alis. Kali ini, gak boleh lolos.
Dimas menarik hidungku. "Apa-apa tuh pikir dulu. Gue mau nafkahin pake apa, cinta?"
Rafi sepontan terbahak. "Ini, nih. Pasangan yang wajib dicontoh. Walau ceweknya otak lonte. Tapi, si Cowok otaknya realistis. Cocok." Kulempari ia dengan selotip. Sialan.
Masih gak mempan, susah juga ngerayu cowok ini. Masa, aku harus praktekin cara yang kubuat ke Rafi. Tunggu sebentar ....
***
Tugas yang menghantui selama seminggu akhinya selesai. Merdeka. Lagipula, buat apa anak komuikasi dapet tugas bikin desain bangunan? Anak arsitek bakal nangis darah, kalau sampai tahu. Kuliah mereka sia-sia yang ada. Kutegak habis sisa minuman dalam botol. Sesekali kualihkan pandangan pada madding. Rafi lama juga. Ngapain sih di toilet? Pelepasan jangan-jangan.
Lomba Tahfidz Qur'an
Mataku terpaku pada selembar brosur yang tertempel. "Sori lama, Lis. Ay—"
"Fi, lo harus ikut ini!" tunjukku.
Ia membacanya seksama. Kedua alisnya terpaut. "Enggak, ah. Ngapain," ujarnya, "yang ada gue diketawain, nanti."
Kutahan langkahnya. "Siapa yang berani ngetawain penghafal Quran? Yang ada mereka kualat ... kecuali gue, karena udah temenan lama sama lo," Ia memutar bola mata, lalu melanjutkan langkah. "ayo, dong, Fi. Hitung-hitung ngafal ulang," bujukku.
"Gue tiap malem juga muroja'ah. Tuh, jadi sombong, kan," Ia menghela nafas. "denger, Lis. Hafalan harusnya dijaga, bukan dipamerin. Dan lagi—"
"Serius, orang macam lo mau ikutan lomba tahfidz, Raf?" Satu dari empat orang bertanya. Gerombolan itu, kenapa harus lewat sekarang? Mereka orang-orang kelas kami. Hanya saja ..., aku tak ingin membahasnya.
"Sori, nih, Raf. Lo baru niat aja, malaikat udah ketawa duluan," tambah yang lain. Mereka tertawa, lalu melenggang meninggalkan kami. Tanpa sadar, kuremas botol kosong di tangan. Bangsat!
Saat akan mengejar mereka, Rafi mencekal lenganku. "Udah, biarin. Balik, yuk! Gue ada janji sama Dimas."
Mataku mengerjap. "Eh, dia gak bilang-bilang, tuh." Aku menatapnya curiga. "Lo berdua, mau ngapain?"
Aku tersentak saat rambutku ditarik. Ia mulai berjalan lagi, tanpa berniat melepaskan pegangannya. "Mau bersihin otak, lo."
Rafi adalah satu dari sekian banyak manusia yang butuh support. Aku tidak ingin mangasihaninya. Karena, justru hal itu akan membuatnya merasa tak nyaman. Orang-orang mungkin menyebutnya sebagai keterbelakangan mental, enggak normal, atau aneh, dan lain-lain sebutan sejenisnya. Tapi, bagiku, Rafi itu sempurna. Tuhan hanya takut, jika kesempurnaan dalam diri Rafi akan berujung petaka—bisa saja Rafi bersikap sombong. Maka dari itu, Tuhan memberikannya sedikit ujian. Agar Rafi tetap besabar dan selalu ingat arti bersyukur.
Mereka hanya bisa menggunjing, tanpa tahu caranya membimbing. Selalu terpaku dengan katanya. Namun, enggan repot untuk mengulik nyatanya. Sadar atau tidak, kata-kata yang keluar dari mulut manusia, bisa saja membuat sesamanya terluka. Lalu, berujung mengirim korban pada dasar yang gelap.
Setuju atau tidak, kupikir sebagian manusia milenial sudah kehilangan perasaannya. Mereka mengasah otak setiap hari. Tapi, lupa bahwa hati perlu dicuci. Mereka hobi berdiskusi. Namun tak tahu caranya menghargai. Saling menyalahkan, merasa diri paling benar, hingga tak peduli dengan lingkungan sosial. Itu adalah kebanyakan ciri manusia yang kutemui di zaman ini. Percuma, mereka melek teknologi. Tapi, tak memahami isi ideologi.
Rafi sedang berjuang mengembalikan jati dirinya. Tapi, orang-orang hanya melihat kekurangannya. Jika saja, mereka mau menyadari. Betapa banyaknya kelebihan dalam diri laki-laki itu. Tak perlu memujinya. Cukup pasang telinga, dan berikan senyuman, serta tangan yang selalu terbuka. Perlahan, pelangi itu pasti datang.
-Tamat-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro