Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Si Tua Bangka

Ara sudah menduga hal ini akan terjadi. Ia sudah mempersiapkan mentalnya sejak lama demi menghadapi datangnya hari ini. Namun, tatapan puluhan pasang mata para ibu-ibu itu berhasil menghancurkan benteng yang sudah susah payah ia bangun, dalam kurun waktu tak lebih dari lima menit.

Bukan mau Ara untuk memiliki tubuh yang besar jika dibandingkan dengan anak lainnya yang berada di sana. Bukan kehendak Ara pula menjadi pusat perhatian dan buah bibir para penggosip. Dan bukan inginnya pula hari ini ia dan Ayah mendaftar sekolah dasar di usia yang sudah menginjak sepuluh tahun.

Memang, berapa usia wajar anak-anak mendaftar sekolah dasar? Enam tahun, kah? Atau mungkin, tujuh? Lalu, bagaimana dengan sepuluh? Apa masih diperbolehkan? Apakah ada undang-undang resmi pemerintah yang mengatur tentang batas usia calon peserta didik?

Tidak ada undang-undang atau ketentuan resmi mengenai itu. Semua sekolah di bawah naungan pemerintah tidak menerapkan batas usia peserta didiknya. Semua bisa bersekolah, semua berhak menuntut ilmu.

Lalu, mengapa Ara mendapat tatapan-tatapan tidak pantas itu? Ada yang sinis, ada yang iba, bahkan ada juga yang mengejek, menertawai terang-terangan, dan mencibir. Sekali lagi, memang apa salahnya anak berumur sepuluh tahun mendaftar kelar satu sekolah dasar?

"Yah, Ara malu. Pulang aja, yuk? Ara sekolahnya tahun depan aja."

Begitu besar dampat sorot mata dan kasak-kusuk para wanita bergincu tebal itu. Mereka tidak peduli, mereka hanya melakukan kesenangan mereka dalam menjadikan presensi Ara di sana sebagai bahan gibahan. Payahnya, anak mereka yang rata-rata berumur enam sampai tujuh tahun justru dibiarkan mendengar, meresapi, bahkan turut buka suara. Bukankah itu terlihat ... miris?

"Udah, gak usah didenger nenek lampir ngerumpi. Kalo kamu nunda lagi, tahun depan makin susah kamunya."

Ayah mengerti betul perasaan putrinya. Dapat dilihat dari raut wajahnya yang muram dan rematan kuat pada ujung rok merah yang ia pakai untuk pertama kalinya hari ini. Merangkul Ara, Ayah berujar santai, "Tenang aja, 'kan ada Ayah di sini."

Ara hanya diam dan mencoba menguatkan hatinya yang rapuh perlahan oleh sorot tidak menyenangkan yang datang dari segala arah. Bahkan ketika tiba gilirannya untuk maju ke loket guna mengumpulkan formulir, mereka mengamati Ara Ayah lekat-lekat seakan-akan kalau mereka lengah sedikit saja, pasangan ayah dan anak itu akan kabur dalam sekedip mata.

"Kalau boleh tahu, adeknya ini, kok, baru daftar?" Wanita berkacamata petugas loket itu bertanya dengan ramah, disertai senyuman manis yang terumbar tulus.

Ayah yang memang dasarnya mudah berinteraksi pun turut mengulas senyum, menepuk-nepuk ubun-ubun Ara beberapa kali, lalu menjawab, "Dia sakit, Bu. Dari kecil sering keluar-masuk rumah sakit, sempat koma juga dua tahunan. Makanya tidak disekolahkan."

Air wajah perempuan itu berubah sendu bersama anggukan kepala. Tampak ada sebersit rasa penasaran di manik kelam itu. Namun, agaknya ia enggan mengajukan pertanyaan lebih. "Adeknya udah bisa baca sama menghitung belum?" Ia bertanya, pandangannya merujuk pada Ara yang sejak tadi tidak berani mengangkat kepala.

"Bisa, Bu. Kami orang tua ajarkan itu di rumah," jelas Ayah, mengambil alih pertanyaan yang tak kunjung dijawab anaknya.

Perbincangan singkat itu membawa Ara dan Ayah ke ruang guru, di mana banyak guru dan staf sedang berkumpul di sana untuk mengurus data-data yang masuk. Mereka melempar pertanyaan-pertanyaan sederhana yang jawabannya menjelaskan tentang mengapa Ara bisa terlambat sekolah. Jawaban yang Ayah berikan berhasil membuat semua mengerti.

Seorang guru mengambilkan sebuah buku cerita dari perpustakaan, judulnya "Kisah 25 Nabi dan Rasul" dan Ara disuruh membaca dengan bersuara. Semuanya mengangguk kala Ara melakukannya dengan baik. Tanda baca, intonasi, dan pelafalan, semua dilakukannya dengan baik. Tak sampai habis satu halaman terbaca penuh, seorang guru menghentikannya dan memberi Ara selembar kertas berisi soal-soal perhitungan dasar; perkalian, pengurangan, pembagian, dan perkalian. Dan lagi-lagi Ara berhasil melakukannya dengan sempurna, benar semua.

Lalu, muncul pertanyaan dalam benak mereka. "Pantaskah anak seperti Ara ditempatkan di kelas satu?"

Mereka berunding cukup lama untuk itu, melibatkan kepala sekolah dan beberapa dewan komite. Ayah dan Ara setia menunggu bersama secercah harapan. "Kita tunggu di sini. Semoga aja kamu nggak ditempatin di kelas satu. Anak Ayah pinter gini dimasukin kelas satu."

Namun, cahaya harapan yang bersinar sekala sekitar tiga puluh menit itu padam tatkala Kepala Sekolah berbicara langsung pada Ayah. "Maaf, Pak. Kita tidak bisa langsung menempatkan dia di kelas lanjut karena belum ada sama sekali data dan rekaman pendidikan. Jadi, untuk sementara waktu, anak Bapak kami tempatkan dulu di kelas satu dan belajar sesuai prosedur yang ada."

Sungguh, Ara ingin menangis saja saat itu.

Ada seorang guru bernama Fatimah, mendekati Ara dan memberinya pelukan seraya berkata, "Kamu ga boleh minder, ya? Kamu harus percaya diri. Kamu, 'kan anak pintar. Sudah lebih bisa daripada teman-teman di kelas nanti. Semangat, ya?"

Dan Ara tak mampu lagi menahan air matanya.

***

Ara benar-benar duduk di kelas satu. Keberadaannya benar-benar menghebohkan seisi sekolah. Ia dikenal dengan gelar "Tua Bangka dari kelas I A" dan menjadi bahan pembicaraan orang-orang, termasuk orang tua murid kelas satu yang setiap hari masih datang untuk menemani atau menjaga anak-anak mereka.

Gadis itu mati-matian menahan malu, berusaha untuk tidak peduli pada tatapan meremehkan dan omongan tentangnya yang ia dengar secara terang-terangan. Para ibu-ibu yang mengamati jalannya pembelajaran dari jendela kelas bukanlah memperhatikan anak mereka, melainkan turut memperhatikan bagaimana Ara ikut belajar.

"Eh, dia bisa baca, nggak, ya?"

"Diem aja anaknya, bego beneran, kali."

"Mungkin dia ga disekolahin dari dulu karena emang idiot, hahaha."

Terlalu keras omongan mereka di luar sana. Telinga Ara panas sampai membuat matanya perih. Ingin ia menunjukkan kemampuannya, tapi ia tidak kuat untuk sekadar beranjak dari bangkunya. Sedikit saja ia bergerak, beberapa pasang mata yang mengamati turut bergerak memperhatikannnya lebih.

Masa-masa berat itu belumlah usai kendati seminggu telah berlalu dan para orang tua mulai berani meninggalkan anak mereka. Anak-anak seisi sekolah rajin melewati kelasnya hanya untuk sekadar menengok, menertawakan, dan menjadikan Ara sebagai objek pembicaraan. Ada pula sekumpulan anak kelas lima yang mendatanginya setiap pagi, mengajaknya berbicara, dan tentunya penasaran tentang dirinya. Awalnya Ara senang karena ada yang baik padanya, namun Ara sadar, mereka hanya penasaran, bukan peduli.

Ara biasa keluar kelas paling pertama setelah lonceng istirahat berbunyi. Bukan untuk ke kantin, melainkan untuk menyendiri di belakang sekolah. Sebab, ketika anak-anak keluar istirahat, sudah pasti ia akan diejek lagi. Pernah ia diejek sekelompok anak dari kelas tiga, ia dibuatkan lagu khusus dan merundungnya sampai menangis. Meski tidak melibatkan fisik, tetap saja kelakuan mereka melukai Ara.

Maka dari itu, ia kabur duluan ke belakang sekolah. Konon, di belakang sekolah terdapat kuburan bayi dan sepasang suami istri, pun di sana lebat oleh pohon pisang, dan tidak anak yang berani ke sana. Ara tidak takut sama sekali. Toh, kalau memang ada penunggunya, selama Ara tidak mengganggu, mereka pun tak akan mengusik Ara. Dan gadis itu akan berdiam diri di sana, entah mencorat-coret tanah dengan telunjukanya, menyusun batu, atau hanya bersandar di tembok sambil merenungi nasibnya sampai bel masuk berbunyi, dan ia akan menunggu beberapa saat sampai semua siswa masuk ke kelas lalu masuk sedikit terlambat.

Hingga pada akhirnya tempat persembunyian itu diketahui. Anak-anak nakal itu mendatanginya ke sana, membawa bahan ejekan baru, bukan hanya "tua bangka", kini bertambah satu, yaitu "babi penunggu belakang sekolah". Ara tidak punya kekuatan apa-apa untuk melawan. Ia hanya bersuara sesekali untuk membalas mereka dengan kata-kata yang sama sekali tidak mampu meredam semangat mereka untuk mengejek. Air matanya jatuh, bersama isakan lirih yang terdengar samar oleh tawa dan olok-olokan yang memenuhi atmosfer.

"Ara kuat. Ara bisa. Telinga, tolong tuli sebentar, ya? Supaya Ara bisa bertahan sampai bel masuk."

Dua minggu kemudian, Ara dipindahkan ke kelas tiga, itu pun setelah melalui perundingan panjang para guru dengan kepala sekolah. Tentu dia diperhitungkan. Memangnya untuk apa anak yang sudah bisa berlari ditempatkan bersama anak-anak yang bahkan belum bisa merangkak?

Ara senang, tentu saja. Bahagia, dia tidak ketinggalan terlalu jauh dari anak seusianya. Namun nahas, ia berada di kelas yang sama dengan anak-anak yang gemar merundungnya sampai menangis.

Pagi itu, anak kelas tiga B ternganga oleh kehadiran Ara di muka kelas. Kasak-kusuk kembali terdengar bersama tatapan mata sangsi dan tidak suka. "Ara ini sudah pintar, makanya bisa lompat dan masuk kelas kalian," kata guru yang menemaninya, Pak Andre.

Setelah Ara memperkenalkan diri ala kadarnya, Pak Andre menyuruh Ara mencari tempat duduk. Sayangnya, tak seorang pun mau duduk dengannya. Mereka sengaja meletakkan tas mereka di bangku samping yang kosong. Sungguh, Ara mau menangis saja.

Sampai seorang anak perempuan di deret paling depan menggeser tas miliknya, dan memberikan bangku itu untuk Ara. Margaretha, namanya. Setelah Ara duduk di sana, terdengar bisik-bisik di deret belakang. Bukan lagi tentang dia, tapi tentang Margaretha. Katanya, Margaretha hanya cari muka dan bersikap baik pada Ara—yang katanya pintar—agar bisa dibantu dalam setiap diberikan tugas.

Saat istirahat, para siswa mengitari meja Ara. Bertanya ini-itu sampai membuat Ara pusing ingin menjawab yang mana duluan. Mereka memang tidak mengejek seperti kemarin-kemarin, tapi pertanyaan mereka jelas sekali mengindikasikan bahwa mereka meremehkan kemampuan Ara.

"Kamu bisa ngitung satu sampai seratus pake Bahasa Inggris, nggak?"

"Aku tantang kamu ngafalin perkalian sembilan, sanggup, nggak?"

"Bisa perkenalkan diri pake Bahasa Inggris?"

Dan mereka terdiam saat Ara melakukan semua itu dengan lancar tanpa hambatan. Mereka saja bicara Bahasa Inggrisnya patah-patah, bahkan ada yang tidak hafal angka dalam Bahasa Inggris. Ara berterima kasih pada Bundanya yang mengajarinya dengan sabar, baik secara langsung maupun lewat film-film yang mereka tonton.

Dan disanalah Ara tersenyum menang. Ia tunjukkan semua kemampuannya dan menjadi peringkat satu umum dengan nilai tertinggi di semua angkatan. Berhasil membuat para orang tua yang sempat mengejeknya dulu kini bungkam dan memberi pujian padanya. Pun ia mendapat banyak teman. Yang dulu mengoloknya malah jadi sahabat baik.

Ara pikir, penderitaannya hilang sudah. Namun, ia harus menelan pil pahit saat tahu bahwa mereka mau menjadi teman Ara hanya karena ingin memanfaatkan kemampuan Ara.

"Ra, liat PR, dong!"

"Ara, nomor ini jawabannya apa?"

"Eh, nanti kamu yang piket sendiri, ya? Aku ada urusan jadi harus pulang cepet."

"Ra, kerjain PR-ku, ya!"

Dan lama-lama Ara muak. Ia menolak satu per satu permintaan teman-teman palsu itu. Dan penderitaan barunya dimulai sudah. Ia mulai dijauhi, tidak ada yang mau bicara padanya, mengasingkannya seorang diri bila Ara tidak mau menuruti perintah mereka. Mungkin, jika ini hanya beberapa orang, Ara masih bisa bernapas. Namun, apa jadinya kalau satu kelas bahkan empat angkatan sekaligus bersikap demikian padanya?

Dimusuhi, dijadikan kambing hitam, menjadi korban 'lempar batu, sembunyi tangan' hingga sempat dibawa menghadap ke guru. Untungnya, guru-guru sadar bahwa Ara bukanlah anak yang nakal seperti yang dikatakan para siswa. Mereka dapat melihat dengan jelas bahwa Ara adalah tipe anak yang 'pikir dulu, baru bertindak'. Ara berbuat sesuatu karena memang ada alasannya, tidak sembarangan bertindak. Para guru pun sadar jika banyak anak tidak menyukai Ara karena kemampuannya, mereka iri.

Di mata guru, Ara adalah anak emas yang dibanggakan, dan teman-temannya tidak suka itu.

Empat tahun menjadi juara umum yang tak tergoyahkan tidak berarti bagi Ara yang kesehariannya diberi tatapan tidak suka. Sombong, lah. Pelit, lah. Semua yang buruk seakan-akan menempel pada dirinya. Memang Ara tidak lagi diejek seperti sebelumnya. Tapi, bukankah diasingkang di tengah keramaian juga terdengar sama kejamnya?

Kini, semua itu sudah lama berlalu. Ara mendapatkan kebahagiaan dan pertemanan yang sebenarnya di jenjang menengah pertama. Sayang, semua itu berkurang saat ia menginjakkan kaki di sekolah menegah atas. Banyak sahabat yang ia sayangi sekolah ke luar daerah. Dan payahnya, ia kembali bertemu dengan teman-teman palsunya semasa SD.

"Eh, Ara? Kamu sekolah di sini juga?"

"Iya."

"Cih, datar banget, sih, suara sama mukamu itu."

"Ya, terus aku harus gimana?"

"Paling nggak samain, kek, kayak ekspresiku. Masih marah, ya, sama yang dulu?"

"Nggak."

"Ya udah, aku minta maaf lagi, ya? Maklumin aja, kita masih bocah dulu, hahaha."

Ara hanya bisa tersenyum kecil. Mudah memang mengatakan maaf. Mereka tidak sadar, apa yang mereka lakukan dulu telah berhasil membuat lubang besar yang menganga dalam jiwa gadis rapuh itu. Mereka tidak pernah peduli, toh, mereka masih kecil dulu.

Dan mereka tidak pernah tahu, bahwa mereka sudah mengusik mental seseorang hingga terbawa sampai saat ini.

-Tamat-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro