Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Raihana

Bel istirahat pertama memutus jam-jam penuh rajam dan siksaan, mengakhiri neraka yang mengobarkan hasrat ingin mati. Bara di dadaku tidak akan pernah lenyap. Nyali tidak lebih besar daripada rasa takut dan risi akan perdebatan. Lemparan yang menyasar kepalaku berhenti di udara.

Biasanya hari tidak seburuk ini, tidak terang-terangan ada kertas atau plastik sisa makanan yang menyasar kepalaku kecuali jam istirahat. Biasanya ada setidaknya satu orang yang harus mereka hormati, maka upaya menghakimiku akan dilakukan di balik punggung sang terhormat. Seperti menukar isi pulpenku dengan yang kosong, mengambil buku-buku pelajaranku dari tas yang terbuka, atau mencoret-coret pakaian seragamku dengan tulisan-tulisan tak senonoh, dan upaya halus yang lain. Tetapi sejak pagi hingga sekarang, tidak satu guru pun masuk ke dalam kelas. Hanya tugas demi tugas yang tertera di papan tulis, menuntut penyelesaian. Tetapi, aku bahkan tidak bisa menegakkan punggung untuk menyelesaikan semua tugas itu.

Aku mendongak pada dering bel kedua, terdengar pengumuman dari pos piket bahwa seluruh warga sekolah harus tetap menjaga kebersihan di jam istirahat, tidak sembarangan membuang sampah dan tidak makan di dalam kelas. Aku tidak menunggu hingga pengumuman itu berakhir, aku bergerak membelah kerumunan yang menjadi dua kali lipat lebih banyak daripada sebelumnya. Hampir seisi kelas mengerubungiku, ditambah lagi dengan anak-anak yang usil dari kelas lain.

Saat ini tanganku mulai gemetar, tanda-tanda aku sudah tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Tidak ada yang mau memberikan jalan, maka aku menabrak siapa saja yang menghalangi. Aku tahu akan ada pembalasan yang menimpaku nanti, tapi lebih baik seperti itu daripada aku tiba-tiba membunuh seseorang.

Berlari menuju gerbang belakang, mengabaikan mata-mata yang mengejek dan bibir-bibir yang mencibir. Perasaan terasing itu memang tidak tertahankan, aku tidak berusaha berpura-pura baik-baik saja. Perutku meronta-ronta meminta dikasihani. Namun, aku terlalu marah untuk makan di kantin sekolah atau memakan bekal di taman.

Biasanya aku bertahan pada cemoohan semua orang, mengisi perutku di antara bisik-bisik meremehkan yang mengudara di seluruh kantin. Tetapi, menjadi kambing hitam sejak pagi membuatku benar-benar menjadi agak frustrasi. Aku tidak bisa bertahan sampai bel pulang sekolah. Sesekali aku memang tidak bisa bersikap seolah menikmati semua itu, sesekali aku memang akan berlari ke gerbang belakang, dan setiap melakukan itu, selalu ada orang yang akan tahu kedatanganku, ia akan berdiri di belakangku, menungguku selesai dengan segala macam emosi negatif, tidak pernah berusaha menghentikanku, hanya berdiam diri sampai aku benar-benar berhenti.

Kemudian dia akan menggiringku duduk di bangkai bangku-bangku yang patah mematah, memasang perban di bagian tubuhku yang terluka—seringnya punggung tangan atau kepala. Aku akan diam dan menurut pada semua inginnya, memandangi bekas siletan di lengannya, atau menghindari matanya, mengamati retakan dinding yang keseringan kujadikan samsak.

"Belakangan ini lo keseringan dateng, Rai. Lama-lama badan lo jadi perban semua kaya mayat di Mesir."

Kepalan tanganku berhenti di udara.

"Rai, gue gak bisa selamanya biarin lo kayak gini. Gue pikir lo bakal berenti suatu saat, tapi please, Rai, ini udah tahun ketiga."

Aku berbalik, menghadapnya langsung. "Gue gak pernah ya, maksa lo untuk selalu ngawasin tiap gue ke sini. Gue gak apa-apa, Than, sumpah. Nanti lama-lama lo kena celaka juga kalo gini terus."

"Lo gak bisa cari cara lain? Dibanding membahayakan diri sendiri kayak gini, mending lo lempar batu kek, ngerumput kek, atau apa gitu yang bikin emosi lo ilang tapi lo gak sampe sakit."

"Fathan, tolong ya. Tolong banget gak usah dateng lagi ke sini." Mendengar ceramahnya, entah mengapa aku menjadi muak.

Dia tidak pernah tahu bagaimana rasanya menahan diri, melakukan hal sepele yang dia katakan barusan sama sekali tidak ada gunanya untukku. Dia tidak pernah dirundung seumur hidup karena semua kesempurnaan yang dimilikinya. Aku menyesal mengapa membiarkannya menyaksikan semua itu selama tiga tahun. Dia tidak pernah tahu bagaimana rasanya kehilangan buku PR di detik-detik terakhir, terpaksa harus diberi sanksi padahal malam sebelumnya sudah mati-matian menyelesaikan tugas itu. Atau terpaksa harus membeli seragam berkali-kali karena tinta pulpen di pakaian tidak mau hilang. Dia juga tidak tahu rasanya tertusuk pulpen yang dilemparkan di tengkuk, atau melihat buku yang dibeli mahal-mahal dirobek habis di depan mata.

Fathan tidak pernah tahu apa-apa.

"Rai, gue gak bisa ninggalin lo sendirian di sini. Gue harus apa supaya lo gak kayak gini lagi?"

Tapi Fathan keras kepala. Dia satu-satunya orang yang selalu datang meski berkali-kali kutolak kehadirannya. Dia satu-satunya orang yang siap memasang perban untuk menutup luka-luka yang kusebabkan sendiri. Tetapi dia tidak tahu apa-apa.

"Lo tahu gak sih, Than, kenapa semua orang begini ke gue?"

"Gue gaktahu, gak mau tahu, Rai. Gak penting buat gue. Yang gue pengen tahu adalah gimana caranya supaya orang berenti kayak gini ke lo?"

Fathan tidak pernah tahu apa-apa.

"Orang terakhir yang kayak lo gini yang bikin orang makin jadi nge-bully gue. Paham lo? Sekarang lo bisa pergi gak? Gakusah dateng lagi."

Fathan menghela napas, menjilat bibir bawahnya dengan kasar—hal yang selalu ia lakukan saat merasa frustrasi. Entah mengapa meski hanya bertemu di sini selama tiga tahun, aku hampir membaca setiap gelagatnya dengan baik.

"Gue cuma gak mau lo ngerasa sendirian, Raihana. Tapi kalo gue justru ganggu ketenangan lo, kalo gue bikin lo semakin sengsara, mulai sekarang gue gak bakal muncul lagi di hadapan lo. Gue harap suatu saat lo bakal bahagia."

***

Pecun, pembunuh, kriminal, perempuan liar, perempuan gak tahu diri, perempuan goblok, mati aja lo, lo setan. Dan kalimat-kalimat lainnya muncul di hari berikutnya, di atas meja yang menjadi tempatku selama tiga tahun, sendiri dan terpojok. Meja itu berkali-kali diisi kalimat cacian dengan spidol papan tulis, pulpen, hingga tipe-X, lalu akan menghilang di hari berikutnya. Meski dia tidak menampakkan diri sebagai pahlawan di hadapan semua orang, tapi aku tahu Fathan bertanggung jawab atas semua usaha penghapusan kalimat-kalimat hina itu.

Tetapi kali ini kalimat itu bertahan hingga esok, esok, dan esoknya. Kian hari kian bertambah dan merambat ke kaki meja, ke laci-laci, dan bangku. Tidak ada aroma thinner yang biasanya akan tercium setiap pagi, tidak ada usaha apa pun lagi.

Aku tahu aku yang memintanya pergi. Bukan hanya satu kali, berkali-kali, dan biasanya Fathan tidak menyerah. Hingga kemudian aku menjadi tahu apa alasannya. Suatu pagi Fathan menampakkan wajahnya di muka pintu, melambai ke dalam kelas sembari melempar senyum, aku balas tersenyum. Tetapi rupanya Fathan bukan menyapaku, dia menyapa orang lain yang kemudian menghampirinya, tersenyum malu-malu dan menjadi bahan gosip yang segar di pagi itu hingga sepulang sekolah.

Perempuan itu merenggut seseorang lagi dalam hidupku. Aleah, gadis yang menjadi biang dari semua rasa sakit di hidupku, mengulangi kesalahannya dulu. Gadis itu memandang ke arahku terang-terangan seolah mengejek, "Lo kalah lagi, tuh, dari gue."

Membuatku mengepalkan kedua tangan, meninju permukaan tanpa sadar sehingga menimbulkan suara keras. Sorak-sorakan penghinaan mengudara, pagi yang semula terasa sejuk menjadi panas, aku bergerak maju, sengaja menendang daun pintu persis di dekat Aleah berdiri dan memutuskan untuk membolos kelas.

Langkah kaki mengikutiku samar-samar beberapa detik kemudian. "Gakusah ngikutin gue, nanti lo mati."

"Rai, lo gak bisa bolos kelas. Sebelum ngelakuin apa-apa tuh pikir dulu." Benar saja, Fathan mengikutiku.

Tetapi itu tidak boleh terjadi, dia akan membuatku mengulangi kesalahan yang sama. "Lo pergi, gakusah ngikutin gue, nanti lo mati."

"Gue gakmau. Kalo mati ya udah, mati aja. Gimana caranya gue bisa mati dengan ngikutin lo? Selama tiga tahun ini gue baik-baik aja."

Aku berlari kencang, berusaha membuat diriku lelah supaya kejadian itu tidak kembali terulang, siapa tahu pikiranku menjadi lebih jernih. Tetapi Fathan keras kepala, dia mengikutiku hingga akhir, tanpa pernah tahu apa-apa.

Aku bergerak mengambil batu bata di sudut gerbang, sisa pembangunan sekolah, hampir berlumut, membuat bobotnya semakin berat. Kuhantamkan batu bata itu ketika Fathan hampir meraihku, kuhantamkan tepat di ubun-ubunnya, dia oleng. Menggeleng-gelengkan kepala untuk menjaga kesadaran.

"Jangan bilang gue nggak ngingetin lo, ya. Udah gue bilang nanti lo mati!" Kuhantamkan sekali lagi di dekat telinganya, tetapi dia terus maju. "Lo masih bisa lari, Than. Kalo jadi lo, gue udah lari."

"Gue nggak mau lari. Gue sayang lo, Rai. Gak peduli itu bikin gue mati."

Persetan! Dia baru saja memanggil Aleah, merayu-rayunya setelah kuminta dia menjauh. Dia membiarkan semua orang tetap mengejekku, dan memilih berkencan dengan perempuan yang telah menjadi provokator atas semua perundungan yang kualami selama ini.

"Lo tahu kenapa gue di-bully? Waktu SMP, Aleah jadian sama cowok yang gue sayang, gue bunuh cowok itu. Semua orang bilang gue pembunuh, gue jalang, gue jahat. Sekarang lo tahu kenapa lo mati? Karena lo udah lebih milih Aleah daripada gue atau orang lain."

Fathan tumbang ke tanah, menghantam bangkai bangku yang biasa kami duduki sewaktu dia berusaha mengobati luka di tubuhku. Punggungnya tersangkut di antara kaki bangku, batu bata di tanganku memerah, berbau lumut bercampur karat, tetapi aku terus maju, menghantam kepalanya hingga hancur.

Semua orang akan paham mengapa aku melakukan hal itu. Seperti dulu semua orang paham mengapa aku pantas untuk di-bully.

-Tamat-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro