Perjalanan Si Tanpa Nama
Dia, anak dekil yang tidak diketahui laki-laki atau perempuan, yang menjejak jalanan aspal dengan sendal jepitnya, dengan tubuh kering legam terbakar, berbalut kaus usang kotor kebesaran, bernapas lepas di antara debu dan kepulan asap kendaraan. Berjalan, berjalan, berjalan, kemudian berhenti, memungut botol plastik bekas yang kemudian ia simpan dalam sebuah karung goni. Lantas kembali mengayun kaki.
Di sana, sekitar lima depa jauhnya, seorang gadis jelita duduk berbalut gaun mungil mahal, dalam jemari tergenggam ponsel pintar, dengan meja terhidang sepotong kue berhiaskan potongan stroberi merah segar. Memotret, memotret, kemudian diunggahnya di dinding media sosial. Wajah gadis itu berbinar, sampai sadar seseorang anak memandangnya di seberang; di balik etalase kafe. Ia mengernyit jijik.
Itu adalah si Anak, yang sejenak berhenti untuk memahami. Melempar tatap dengan iris penuh tanya, tapi keberadaannya saja membuat orang lain tak bahagia. Padahal, dia hanya ingin tahu, kenapa orang-orang melakukan itu? Kenapa mereka membagi apa yang tidak bisa, atau sebenarnya tidak ingin mereka bagi? Kalau boleh, dia juga mau kue itu sesekali, atau paling tidak sekali seumur hidup sebelum mati. Tapi dia mengerjap, kembali ke dunia nyata. Sepotong kue terlalu jauh baginya.
Kemudian, dia berjalan lagi, sampai dilihatnya seekor kucing berlari tunggang langgang keluar dari sebuah warung makan, membawa ikan goreng setengah gosong, diikuti seorang wanita gendut berdaster dengan sapu ijuk mengibas-ngibas di udara. Hanya dalam sekali waktu nyawa si kucing menjadi sia-sia, terlindas motor yang tak sempat berhenti.
Dia membatu. Yang menyadarkannya adalah suara si ibu pembawa sapu, "Mampus! Dasar kucing kurang ajar!" Yang kemudian menghilang di balik pintu.
Dia menghampiri si kucing sekarat, diambilnya si ikan tadi, yang ia pikir, si Ibu pembawa sapu melupakan apa yang ia mau. Si Anak berniat mengembalikannya. Namun, sesampainya di dalam warung makan si Ibu malah tertawa. "Ikannya udah kotor, Dek? Buat apa?"
Dia terdiam, memandang ikannya. Makin tidak paham. Lalu, untuk apa si ibu mengejar-ngejar si kucing? Bukannya mau merebut lagi ikannya? Mungkin, si Ibu hanya membenci. Karena itu juga, ikan atau ayam yang hilang di piring maka yang akan jadi kambing hitam adalah si kucing. Memikirkan itu saja hati si anak menjadi mendung, maka dia memutuskan pergi.
Ketika kembali, jalanan mendadak ramai, orang-orang berjejal di tengah jalan, mengangkat ponsel pintar mereka, mengarahkan kamera pada tubuh kucing hitam yang sudah jadi bangkai.
"Kasihan, kasihan." Itu yang dia dengar, lalu perkumpulan dadakan itu perlahan menghilang. Si kucing masih tergeletak. Orang-orang yang kasihan terlalu jijik menyentuh bulunya yang kotor.
Tapi, dia sadar satu hal, bahwa dia juga kotor. Jadi tak apa, dipegangnya si kucing dan dibawanya pergi, dengan berpasang-pasang mata meliriki, membawanya ke sebuah sudut di taman kota, mencari sebatang kayu yang dia alihfungsikan sebagai pacul. Butuh waktu sekitar satu jam sebelum kucing malang itu dikubur.
Meski begitu, dia tak lantas pergi. Memilih berjongkok di bawah rindangnya pohon, di dekat kuburan kecil si kucing yang akan segera membusuk. Kemudian, ia bergumam sendiri, "Satu temanku mati lagi."
Di sana ia melihat sekelompok semut berjalan, membuat sebuah barisan. Kemudian dia menutup mata, mendengar lamat-lamat cicit kecil burung entah di mana. Tak lama membuka mata, mendongak, dan mendapati seekor burung kecil berbulu cokelat hinggap di salah satu ranting di atasnya. "Hey, burung pipit."
Cicitan itu berhenti, tampak terkesiap sebelum membalas tatapan si anak. Leher si burung bergerak-gerak, sepasang kakinya yang kecil melompat-lompat. "Kau ... bicara padaku?"
Tapi, memang begitu adanya. Anak manusia itu bicara padanya; seekor burung yang bahkan jarang ada yang menyadari keberadaannya. "Tentu saja."
"Wah!" Si burung pipit tampak terkejut, tapi juga bahagia. "Hebat sekali! Hebat sekali! Kukira yang bisa kalian lakukan hanya menjadikan kami objek lempar batu atau ditembak, ditangkap, dikurung atau disantap."
Senyuman si Anak luntur. "Tapi, aku tidak begitu."
"Aku tahu. Aku tahu. Tapi manusia lain melakukannya. Jadi, katakanlah, kenapa kau mengajakku bicara?"
"Aku ingin bertanya. Ini yang kudengar dari burung yang lain. Dia bilang, aku harus pergi dari sini, ke tempat yang tidak ada orang, tapi dia tidak menjelaskan ke mana aku harus pergi, atau di mana tempat itu, atau kenapa aku harus pergi ke sana, karena setelah menyuruhku begitu, dia terbang begitu saja."
"Oh! Oh!" cicit si burung dengan riang sambil mengepak-ngepakkan sayapnya. "Karena burung itu suka padamu. Siapa dia?"
"Seekor burung gereja."
"Burung gereja, ya? Terlalu banyak burung gereja, tapi mereka adalah burung yang bijak dan senang mengembara. Dia memberitahumu pasti karena suatu berita, dan aku pun mendengar berita yang sama," kata si burung sambil menengadah, menatap langit cerah dari celah dedaunan. "Ada sesuatu yang datang, diam-diam, dan tak bisa dilihat. Mereka lemah, tapi juga kuat. Mereka akan membunuh manusia dan menyiksanya terlebih dahulu. Kejam! Kejam sekali! Tapi, aku senang."
Si Anak mengerutkan kening. "Kenapa?"
"Karena dia tahu siapa yang harus mati, dan itu bukan kami; para hewan. Manusia terlalu berkuasa, dan mereka merusak segalanya. Kalau mereka hilang, maka kami para hewa bisa kembali hidup dengan tenang. Tak perlu takut diburu, bahkan dibunuh hanya demi kesenangan."
Dia masih tidak mengerti. "Apa dia Tuhan?"
"Tuhan? Bukan! Bukan! Mereka tentaranya, setelah sekian lama kami berdoa. Bumi pun semakin tua. Mungkin ini saatnya mengembalikan bumi menjadi seperti semula."
Dan si Anak masih juga tak mengerti, tapi memilih tidak bertanya, karena semakin banyak si burung pipit berkicau, semakin tak paham ia dibuatnya.
"Baiklah! Baiklah!" seru si burung pipit lagi. "Burung gereja pasti bermaksud berkata bahwa kau harus pergi ke tempat tanpa peradaban. Mungkin ke pinggiran hutan, atau ke atas gunung. Tempat terdekat dari sini ada di arah utara. Utara!
"Karena kau bisa bicara pada hewan dan baik terhadap kami, hewan lain pasti menolong, karena kami adalah makhluk yang tahu diri." Kemudian si burung pipit mengangguk-angguk. "Cepatlah pergi! Waktumu tidak banyak. Jika terlambat, kau mungkin yang akan pertama mati, karena kau tak punya rumah dan makanan. Yang Tak Terlihat tidak akan pilih-pilih."
"Dan berapa lama aku harus ada di sana?"
"Aduh! Aduh!" si burung pipit mengeluh. Sebelum itu dia sempat pikir dulu, meski akhirnya menyerah. "Aku tidak tahu! Kau nanti bisa bertanya pada si burung gereja."
Dia mengangguk-angguk. "Baiklah, terima kasih banyak. Kalau begitu aku pergi gulu."
Namun, sebelum si Anak boleh beranjak, si burung pipit berkicau lagi, "Hey, anak manusia! Bolehkah aku tahu namamu?"
"Aku tidak punya nama."
Si burung pipit lagi-lagi menelengkan kepala.
"Aku memang tidak punya, atau aku punya? Aku tidak ingat. Tidak ada yang mau tahu namaku, jadi tidak ada yang pernah menyebutnya. Sepertimu yang menyebutku anak manusia, yang lain hanya memanggilku sebagai dek, nak, atau yang seperti itu. Kau bisa menyebutku apa saja. Oh ya, siapa namamu?"
"Bet."
"Hanya Bet?"
"Hanya Bet."
"Baiklah, Bet, aku harap kita bisa kembali berjumpa."
"Pasti," jawab Bet dengan riang gembira. "Setelah Yang Tidak Terlihat datang, orang-orang akan bersembunyi di balik pintu rumah mereka, seperti para burung yang hinggap di dahan-dahan sambil menahan kicau. Lalu jalan-jalan yang lengang akan mulai diisi oleh kami; rusa, babi hutan, monyet, dan banyak lagi. Kota-kota akan menjadi tempat bermain lagi. Aku bisa terbang ke mana pun aku mau, bahkan untuk menemuimu—kalau kau tidak pergi terlalu jauh."
Si Anak tersenyum lebar, nyaris tertawa cekikikan. "Kalau begitu aku tidak perlu khawatir. Sampai jumpa lagi."
Kemudian dia pun melangkah lagi, kali ini lebih mantap, ke arah utara. Dia sadar, bahwa bumi memang berputar, kekuasaan akan dipergilirkan, bumi punya caranya sendiri untuk sembuh, dengan kesombongan serta ketamakan berakhir runtuh.
Dalam perjalannya, si Anak mendengar si burung pipit berkicau ria di antara suara berputarnya roda, deru mesin beserta knalpotnya :
Manusia-manusia tak berhati, kapankah kau 'kan mati?
Aku si burung pipit kecil tak sabar lagi
Terbang bebas di antara sunyi
Ikan berenang senang di jernihnya kali
Hey, bumi! Bumiku yang tua sekali
Hutanmu rusak digunduli pun dilalap api
Hewan-hewan tunggang langgang berlari-lari
Ke manakah kami harus pergi?
Tapi tidak, kita kan bebas sebentar lagi
Hutan adalah tempat kami kembali
Tak ada manusia senang sekali
Dengarkanlah bagaimana kami bernyanyi
-Selesai-
Potongan berita :
Tyas menambahkan, situasi yang terjadi saat ini mungkin bisa dijadikan pelajaran. Bahwasanya, jika kita mampu menjaga Bumi dan tidak serakah, maka alam pun akan memberikan hasil yang baik, seperti udara segar misalnya.
Kondisi Bumi yang sedang memulihkan dirinya sendiri ini, menurut Tyas, bisa menjadi waktu yang tepat bagi kita untuk melakukan restart button.
"Kita bisa mulai menerapkan gaya hidup ramah lingkungan. Saat ini, ketika banyak melakukan aktivitas di rumah, maka bisa dimanfaatkan untuk belajar memilah sampah sendiri di rumah dan membuat kompos. Mungkin saja, setelah pandemi berakhir, muncul kesadaran pada setiap individu untuk lebih menjaga alam," paparnya.
Meski begitu, tak dapat dipungkiri, ada ketakutan mengenai kondisi Bumi yang akan kembali seperti sebelum wabah terjadi. Pasalnya, kegiatan produksi bisa jadi meningkat berkali-kali lipat untuk mengejar ketertinggalan.
Oleh sebab itu, Tyas berharap, perubahan gaya hidup ini tidak hanya melibatkan individu saja, tapi juga kepedulian dari pemerintah dan industri. "Aku ingin proses produksi yang berjalan, selaras dengan alam sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG). Jangan lagi kembali ke aktivitas-aktivitas yang menyebabkan kerusakan dan polusi," paparnya.
Pada akhirnya, Tyas mengajak semua orang untuk bersama-sama merefleksi diri di situasi seperti ini dan memikirkan apa yang bisa kita lakukan untuk membantu sesama dan menjaga kelestarian alam setelah wabah ini berakhir.
---
Sebenarnya ada link yang dicantumkan di cerpen ini, tapi enggak bisa di-copas. Jadi, ditaruh komen aja, ya~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro