Menyalahkanmu di Neraka Nanti
Kadang untuk menyentuh mawar yang indah kita harus rela terluka oleh durinya atau paling tidak berhati-hati memegangnya. Kadang untuk menjadi orang baik, kita harus rela menjadi kambing hitam bagi diri kita sendiri, apalagi ketika kita berbuat baik dengan orang yang salah. Kebaikan kita diperalat, dipermainkan, dan dijadikan sebuah kelemahan yang siap menghancurkan kita kapan saja. Lalu ketika kita dituntut untuk berhati-hati memberi kebaikan, orang-orang justru berpikir sebaliknya. Kita bukan orang baik.
Panggil saja aku Jenny, aku cowok. Nama tidak penting kan, kalian bisa menambahkan Santoso, Wakanda, Senorita, Wibu, terserah kalian, di depan atau belakang namaku. Aku tidak peduli. Saat ini, aku akan menceritakan tentang masa laluku yang menjadi benang merah penyakit mental yang sekarang aku alami. Cerita tentang aku yang pernah terkena bully atau untuk kali ini aku menggunakan bahasa perundungan, agar aku tidak perlu repot mencetak miring tulisan bully berkali-kali.
Aku memang tidak secerdas anak lainnya, yang bisa dengan mudah belajar. Entah kenapa pikiranku selalu teralihkan, waktu di sekolah dasar aku hanya sekali mendapat peringkat sepuluh besar. Sisanya, aku hampir tidak lulus. Orang tuaku dipanggil hanya untuk melihat nilai matematikaku yang mendapat nilai 2. Di kelas 6 aku bahkan tidak bisa pembagian, mungkin sampai sekarang. Aku pernah disuruh ke kelas 5. Aku ditonton adik kelas mengerjakan soal pembagian sampai jawabannya benar. Entah kenapa aku tidak pernah berdamai dengan matematika.
Aku tidak tahu apa yang membuatku sulit belajar, sulit konsentrasi. Entah itu karena penyakit epilepsi yang mengganggu kepalaku, atau tingkah laku beracun dari teman-temanku semasa itu. Aku berasal dari keluarga yang cukup berada, cukup, tidak lebih. Namun, sepertinya aku sekolah di tempat yang sebagian besar dari masyarakat kelas menengah ke bawah. Aku sebenarnya benci memberi kategori seperti ini, tapi untuk memperjelas aku harus melakukannya.
Aku selalu berusaha terlihat sederhana, karena aku tidak mau terlihat menonjol di antara mereka. Kenapa? Aku pernah diperalat, tepatnya dipalak secara halus. Dia bilang untuk beli burung merpati dan apa lagi aku lupa. Berulang-ulang, bahkan aku sampai mencuri uang orang tuaku untuk memberi uang kepada anak sialan ini. Dan entah kenapa aku begitu bodoh dan tidak berdaya untuk menolak atau sekadar menghajar wajahnya. Alhasil, semua terbongkar dan aku diomeli habis-habisan oleh orang tuaku. Aku bilang sejujurnya, aku terpaksa dan ya orang tuaku langsung mendatangi anak tersebut dan memarahinya. Namun, aku kehilangan kepercayaan kedua orang tuaku semenjak itu. Biasanya uang jajan dari mereka yang tidak seberapa itu aku simpan. Aku sengaja tidak naik angkot dan memaksakan diri untuk jalan kaki selama hampir dua jam dari sekolah ke rumah demi menyisihkan uang tersebut.
Setelah orang tuaku memarahi anak sialan ini. Dia hanya kapok sementara, tapi tak lama dia tetap memberikan tekanan untukku. Sesekali masih meminta uang kepadaku. Wajahnya menyebalkan, sungguh. Aku hampir minta berhenti sekolah saat itu, cuma kupikir aku sudah kelas 6. Sebentar lagi lulus dan kuharap kehidupanku di SMP akan membaik. Jadi aku memutuskan untuk bersabar sekali lagi di sekolah ini.
Langsung saja, akhirnya aku sampai ke masa SMP. Aku tetap idiot seperti biasa, bahkan sepanjang masa SMP aku selalu masuk kelas terbawah. Aku pikir kehidupan SMP akan lebih baik, nyatanya tidak, justru makin parah. Aku bertemu segerombol berandalan yang sok menguasai anak SMP saat itu. Geng terhoror yang menyebalkan. Sejujurnya, ingin sekali aku menebas leher mereka semua.
Kelas 1 SMP, aku mulai menjadi bulan-bulanan mereka. Mereka mulai menyuruhku pergi ke kantin, membelikan makanan di jam pelajaran. Aku sudah menolak dan diam tapi mereka menendang kursiku berkali-kali bahkan ketika ada guru di depan. Kenal juga tidak, seenaknya tapi bodohnya aku tidak bisa melawan. Pernah sekali rambutku dicukur model skin oleh salah satu dari mereka. Tentu saja yang lain tetap ikut menertawakanku. Bilang, "Wih, keren." Aku tersenyum, tapi dalam hati ingin rasanya melempar meja ke wajah mereka. Kurang ajar.
Sesampainya di rumah, orang tuaku menjambakku ketika melihat potongan rambutku. Aku bilang sejujurnya, orang tuaku kembali mendatangi orang tersebut. Orang tuaku bilang dia menangis setelah didatangi. Memang keesokan harinya, dia yang mencukurku itu minta maaf, jika tidak salah. Namun, aku tidak melihat penyesalan darinya juga di antara mereka. Seperti apa yang terjadi itu suatu yang biasa, parahnya lagi mereka semakin menjadi-jadi untuk menggangguku.
Di kelas 2 SMP, aku berharap kehidupan bisa sedikit lebih baik. Namun tetap seperti biasa, justru semakin parah meskipun di kelas 2 aku mulai memiliki beberapa kenalan dan mulai tertular kenakalan mereka. Aku pernah untuk pertama kalinya bolos di pelajaran bahasa Indonesia. Hampir setengah atau mungkin lebih isi kelas pada bolos mata pelajaran tersebut. Aku mendengar ada keringanan bagi yang mau menyerahkan diri saat itu juga dan tidak jadi sepenuhnya bolos. Akhirnya aku memberanikan diri masuk kelas, menyerahkan diri. Habis sudah aku dimarahi oleh guru bahasa Indonesia. Namun beruntungnya, yang masuk saat itu tidak dipanggil orang tuanya.
Ada seorang narsis jelek, yang menyuruhku membawa sisir setiap ke sekolah untuk dipinjamnya dan menyuruhku menemaninya ke toilet. Dan terkadang menyuruhku membelikan makanan. Kontak fisik seperti mendorong, menendang, sering terjadi. Tatapan diskriminasi. Entahlah, semakin diingat, semakin memuakkan
Ada kejadian juga di kelas 2 dari salah satu orang kurang kerjaan. Dia lempar batu ke arahku dan mengenai dahiku. Kenapa dia tidak pikir dulu sebelum melempar?
Namun, aku memaafkannya karena dia menghampiriku dan mengantarkanku ke ruang BP. Dia mengakui kesalahannya dan dahiku yang berdarah diobati di sana.
Suatu hari, menjelang solat Zuhur berjamaah di masjid. Anak-anak yang lain sudah pergi ke masjid. Seorang sialan yang sudah mengincarku dari tadi, musuh di kelasku, dia menghadangku untuk ke masjid. Menutup pintu kelas, kami berhadapan, berdua. Aku tidak ingat apa yang dia lakukan, salah satunya menggoreskan noda penghapus papan tulis di pipiku, serta kontak fisik lainnya. Aku tidak ingat, aku ingin menghajarnya, sungguh. Jika tidak dosa, aku ingin membunuhnya. Mataku dipenuhi kebencian mulai detik itu, sampai detik ini aku masih mengingatnya. Sorot matanya, senyuman piciknya, ingin kukatai anjing. Dia bedebah kurang ajar, sampah, bangsat.
Orang ini, di waktu pembagian rapot, aku bertemu dengannya. Saat itu aku bersama ibuku, sifatnya berubah menjadi ramah di depan ibuku. Sumpah, memuakkan, babi, sialan. Meski begitu, aku masih melihat senyuman piciknya. Mengingatnya membuat hatiku panas.
Ketika kenaikan kelas 3 SMP, aku mendengar beberapa dari mereka dikeluarkan dari sekolah karena ketahuan meminum minuman keras. Aku bersyukur, jujur saja. Aku menunggu saat ini tiba. Jahat? Tidak, ini kemenangan. Mereka layak mendapatkan itu, bahkan seharusnya lebih parah. Aku ingin mendoakan yang terburuk untuk mereka semua, jika boleh. Mereka menggoreskan luka batin yang cukup dalam.
Kehidupanku sampai lulus SMP berjalan lancar, aku mulai menemukan teman yang senasib denganku. Berikutnya di SMA, awalnya aku takut. Aku masuk di sekolah yang sama seperti sebelumnya. Aku bertemu orang baru dan beberapa teman lama. Namun tidak terlalu dekat. Aku memberanikan diri, berbicara, berkenalan, basa-basi. Kebanyakan dari mereka tidak tahu kalau aku sebelumnya sekolah di sini karena aku jarang keluar kelas dan pergaulanku terhambat preman-preman sialan itu. Perlahan, aku memiliki geng, membuat band, menyumbang beberapa prestasi. Hingga kuliah pun begitu, aku dipercaya menjadi ketua kelas sepanjang semester, aku berkenalan dengan orang banyak. Memiliki teman akrab, bergaul, dan mengerti. Mengerti apa?
Mengerti untuk bisa lebih berempati terhadap orang-orang yang membutuhkan. Dan lebih bisa memilih teman, juga mengendalikan pergaulan. Membaca situasi, mengatasi konflik juga menghindarinya. Aku bisa tertawa, bahkan ada yang bilang kalau aku tidak banyak tingkah atau diam saja, justru berbahaya.
Namun, tetap saja, luka tetaplah luka, dendam ini belum terbayar tuntas, aku menahannya. Dan aku tahu tidak selamanya mentalku menahannya. Di satu sisi aku menjadi lebih mudah marah, menghancurkan barang, membentak, dalam kondisi tertentu.
Saat suster di rumah sakit jiwa itu bertanya apa aku pernah mengalami bully, aku menjawab, "Ya, pernah." Seketika orang tuaku kaget mendengar cerita itu. "Kalau Papa tahu kamu digituin dulu, Papa enggak bakal tinggal diam," ucap Papa.
Hei, Anjing, di mana pun kalian berada. Terima kasih, berkatmu, ketika aku melihat kasus perundungan di mana pun itu berada. Entah dari video amatir atau aku melihatnya langsung, hawa pembunuhku langsung bergejolak kencang. Jika aku membunuh seseorang karena ini, aku akan menyalahkanmu, di neraka nanti.
-Tamat-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro