Kerupuk
Lemparan batu kerikil menyerang seorang siswa yang baru saja sampai di depan gerbang sekolah. Namun, karena merasa bahwa dirinya sudah terbiasa, anak itu tidak mempedulikannya. Kerikil tadi tidak ada apa-apanya, jika dibandingkan dengan apa yang ia alami selama sebulan terakhir ini.
Awalnya, semua baik-baik saja. Hingga 1 kebohongan menyebar di kalangan siswa, bahkan para guru pun mulai mengetahuinya. Kebohongan yang di percayai oleh banyak orang. Meskipun tidak benar, memangnya siapa yang mau meninggalkan berita hangat untuk bahan obrolan di pagi hari? Hampir tidak ada orang yang akan melewatkannya.
Kejadiannya tepat 3 Minggu 5 hari yang lalu. Rino datang ke sekolah dengan membawa kerupuk dagangannya seperti biasa. Para siswa pun langsung mengerumuninya, tak mau kehabisan kerupuk bumbu, buatan ibu Rino yang selalu terjual cepat. Namun, saat orang-orang akan membayar, beberapa siswa datang dan berbisik pada para siswa yang akan membeli kerupuk Rino. Secara tiba-tiba, mereka menyimpan kembali kerupuknya dan meminta maaf.
Pada jam istirahat, Rino mendengar gosip bahwa kerupuk yang dijualnya sebenarnya sudah kadaluarsa. Ia mengambil kerupuk sisa yang tak terjual di warung dan mengolahnya kembali menjadi kerupuk siap saji. Padahal, meskipun dirinya kurang mampu, keluarga Rino tak pernah melakukan usaha curang seperti itu untuk mendapatkan untung yang lebih besar.
Pada hari itu, kerupuknya hanya terjual 2 bungkus. Itupun karena orang yang membeli kerupuknya terburu-buru dan keluar kelas sesaat sebelum tersebar berita tak mengenakan tentang Rino.
Esoknya, tak ada satupun orang yang membeli dagangan Rino. Bahkan esok dari esoknya. Di kelas pun, Rino dijauhi oleh teman-temannya. Terkecuali untuk menanyakan tugas dan mencontek pr yang sudah Rino selesaikan. Sisanya, tak ada satupun yang peduli dengannya.
Meskipun tak ada yang membeli kerupuknya lagi, Rino selalu meyakinkan ibunya bahwa dia bisa menjual semua dagangannya seperti dulu. Dia pasti bisa menjual setidaknya 1 bungkus per-hari. Namun hasilnya nihil, bahkan setelah 2 pekan berlalu akhirnya tetap sama.
1 bungkus kerupuk yang selalu ia bawa setiap hari untuk dijual, akhirnya ia makan pada saat jam istirahat. Uang bekalnya dipakai untuk mengganti kerupuk tak terjual yang ia makan. Dapat terlihat jelas seseorang duduk di pojok kanan kelas setiap pukul 9.40 pagi, ketika semua murid pergi ke kantin.
Rino tidak mau mendengar gunjingan tentang dia lagi. Pikirnya, lebih baik ia diam di kelas sambil mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan pada pelajaran pertama.
Seseorang datang, lalu duduk di samping Rino tanpa izin. Lagipula, bangku di sampingnya kosong. Jika ada pun, bangku sekolah ya tetap milik sekolah.
"Nggak enak kan ya, hidup?" Tanyanya secara tiba-tiba.
"Kalau hidupnya enak terus, khawatir kalau nanti bakal lupa bersyukur." Jawab Rino diikuti dengan tawa garing.
"Tapi kalau diem terus, kapan majunya?" Balas orang itu menyindir.
Rino terdiam, dia tidak menyangkal hal itu. Ia pun setuju dengan apa yang dikatakan pemuda di sampingnya. Tapi, dia cukup sadar diri bahwa dirinya, tidak punya suara untuk mengutarakan pendapatnya. Lagipula, tidak akan ada yang mempedulikan seorang penjual kecil seperti dia.
"Tau nggak cewek famous di kelas sebelah?"
"Memangnya kenapa?" Tanya Rino tidak tertarik.
"Dia yang nyebarin semua gosipnya." Hendra menjawab langsung.
Rino terdiam, ia tidak membalas perkataan pemuda di sampingnya. Pikirannya sibuk menanyakan apa alasan seseorang membencinya. Ia merasa, karena dia cukup pendiam, ia tidak akan merugikan siapapun. Namun sepertinya pikiran itu salah.
1 bulan berlalu dengan cepat. Rino terus menjual satu-satunya kerupuk yang ia bawa. Kerupuk itu, lalu ia simpan di atas meja. Berharap seseorang akan membelinya, minimal mencobanya pun tak apa. Rino tidak masalah dengan itu, setidaknya masih ada orang yang mau memakan kerupuk buatan ibunya.
"Rino, kenapa sih kamu itu suka nyimpen kerupuk di atas meja, muak tau nggak?" Seorang anak perempuan tiba-tiba memarahi Rino.
Belum Rino membalas kalimat yang di lontarkan, anak itu berbicara lagi. "Masa kita mau makan di depan racun?" Katanya sembari menunjuk bakso yang baru di pesannya di kantin.
"Makananku nggak beracun, kok." Rino membela. Makanan ibu adalah makanan yang paling enak dan bebas dari zat-zat berbahaya tentunya. Bahkan, semangkuk bakso pun bisa kalah rasanya dengan gorengan tempe buatan ibu.
"Emang orang kayak kamu punya tempat yang bersih buat bikin makanan?" Setelah mengatakan hal itu, gadis itu kembali ke mejanya.
Rino mematung. Perkataan yang dilontarkan gadis tadi sangat menyakitkan. Ditampar kenyataan, bahwa tempat tinggal sederhananya dilihat begitu rendah oleh orang lain. Padahal, semua anggota keluarga senang membersihkan rumah setiap hari.
Pemuda itu lalu menunduk, pura-pura membaca buku yang ia letakkan di bawah meja. Merenungkan semua perkataan negatif yang dibicarakan orang-orang terhadap dirinya. Dari kerupuk beracun, hingga gosip yang paling baru.
Keluarganya dituduh sebagai pengemis yang pura-pura sakit.
Lalu, jika mereka mengemis, untuk apa mereka menjual kerupuk? Itu hanya membuang waktu! Jawab Rino dalam hati setiap mendengar kalimat itu.
Pemuda itu lalu bangkit, berjalan menuju toilet sebelum bel masuk berbunyi. Para murid yang sedang berada diluar, menatapnya sinis, terutama kumpulan siswi dengan kosmetik tebal di ujung lorong dekat dengan toilet.
"Ini toh, yang ngejual kerupuk beracun itu?" Bisik salah satu siswi disana dengan suara keras.
Rino tidak peduli, ia terus berjalan.
"Ibunya juga pengemis kan ya?" Timpal yang lain. "Eh, salah, semua keluarganya kan pengemis!" Lanjutnya diikuti oleh tawa teman-temannya.
Rino berjalan mundur, kembali ke kumpulan para siswi tadi. Ia berdiri di depan mereka—dengan tatapan tajam, ia memelototi semua anggota kumpulan anak kaya itu.
"Mau marah?" Tanya Silwi, ketua dari geng tersebut dengan santai. Sambil berbicara, ia tak menatap lawan bicaranya, matanya sibuk memperhatikan kuku yang baru di polesnya dengan warna merah mencolok beberapa menit lalu.
"Keluargaku bukan pengemis!" Ucap Rino tegas dengan mata yang membara akan amarah.
Geng tadi lalu tertawa lagi, merasa lucu dengan apa yang dikatakan oleh Rino. Menurut mereka, tidak ada orang rendah yang bisa dipercaya, apalagi Rino termasuk ke dalam golongan itu. Rino hanyalah orang beruntung yang mendapatkan beasiswa di sekolah ternama ini—Tidak ada hal istimewa darinya.
"Aku rasa, aku nggak pernah buat salah ke kalian. Lantas, kenapa aku difitnah kayak gini?"
"Orang rendah kayak kamu itu nggak pantes dapet perlakuan layak tau nggak? Padahal cuma beruntung dapet beasiswa dari sekolah. Kamu tuh, kalau nggak pinter nggak bakalan ketolong lagi! Mana pakaian yang kamu pake dekil, bau dan kusut. Emang kamu nggak punya setrika apa?"
"Padahal, kamu nggak tau apa-apa tentang aku, atau keluargaku. Semua yang kamu lihat, tidak seperti apa yang kamu pikirkan. Apa yang aku lihat tentang kamu pun, nggak bisa aku elak bahwa aku berpikiran negatif terhadap kamu juga. Bukankah orang tuamu yang mencuri harta kami?"
"Padahal kami sudah berkerja keras, namun uang yang kami kumpulkan 'sobek' dimakan tikus berdasi."
-Tamat-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro