I Hate Women
Transgender. Atau yang sering disingkat trans. Tahu apa orang-orang tentang transgender? Kalau pernah dengar LGBTQ, pasti tahu. Huruf T untuk transgender. Trans adalah kelompok paling malang di komunitas pelangi.
Dan aku yang transgender ini, benci wanita.
***
Sejak awal aku sadar, ada yang salah denganku. Boneka dan baju berenda, tidak cocok untukku. Jepit rambut dan rok kembang tidak memuaskanku. Dan, duduk manis dan berlaku lembut, membuatku muak.
Awalnya, kupikir ada yang salah. Aku tidak tahu apa yang salah.
"Mom, I don't like doll. I want a ball." Aku melirik gerombolan anak laki-laki yang asyik bermain bola. Mau terjatuh atau terpeleset, mereka bisa bangkit dan tertawa lagi. Ibu mereka juga tidak terlalu mengatur.
"What did you say?" Ibu sepertinya tidak tahu keinginanku. Dia tidak pernah mau mengerti, ataupun mencoba mengerti. "You sicko. Kau tahu berapa harga boneka di tanganmu,hmm?" Ibu mencubit pahaku, tapi tidak ada satupun orang di taman ini yang tahu. Karena aku tidak menangis ataupun meiringis.
Aku menunduk, menatap boneka berbentuk wanita dewasa dan rambut panjang. Boneka Barbie. Mataku berkaca-kaca saat cubitan Ibu selesai. "I'm sorry." Pedih. Sakit. Tapi tidak boleh teriak meski sakit. "Doll is alright," bisikku lebih meyakinkan diri sendiri.
Setelah itu, aku mendengar Ibu mendengus puas. Dia mulai mengomel dan mengutuk Ayah yang tidak bisa datang ke piknik hari ini. Padahal, seharusnya hari ini peringatan pernikahan mereka. Terkadang, aku tidak mengerti Ibu. Ayah kerja karena mencari uang, bonekaku juga dibeli dengan uang Ayah. Tapi Ibu selalu mengomel.
Aku suka Ayah. Tempo hari saat ulang tahunku yang kelima, Ayah belikan topi bisbol yang keren. Rasanya mau kupakai ke mana saja. Namun, Ibu bilang topi itu tidak cocok dengan baju-bajuku. Aku hanya bisa pakai topi bisbol hadiah dari Ayah di kamar saja.
Akhir-akhir ini, Ayah dan Ibu makin sering bertengkar. Ayah selalu berusaha menenangkan Ibu yang marah-marah, sedang aku mengintip diam-diam dari celah pintu kamar. Seringkali, perseteruan berakhir dengan pintu kamar dibanting keras oleh Ibu.
Itu artinya, Ayah akan tidur di sofa lagi malam ini.
"Are you okay, Dad?"
Ketika kutanya begitu, Ayah yang sebelumnya menutup wajah dengan telapak tangan akan tersenyum lembut padaku. Bola mata biru Ayah yang jernih selalu menenangkan, dan tangan besar itu akan mengusap rambut cokelatku.
"Mau tidur di sofa bersama?"
"It's a secret from Mom?"
Ayah mengangguk pelan. Malam itu aku tidur dalam pelukan hangat Ayah di sofa yang kecil. Aku suka Ayah. Ayah selalu keren dan tidak pernah marah. Aku harap, Ayah akan selalu ada di sampingku.
Namun, satu bulan kemudian, Ayah pergi.
Ayah tidak pernah kembali.
***
"Mom, I hate gown."
Ibu yang sedang memilihkan gaun untuk pesta ulang tahunku berhenti. Saat menoleh, tatapannya menggelap dengan tangan terkepal. "Oh, Dear. Girls should wear pretty gown. Ini harimu, kau harus terlihat cantik." Karena ini aku ulamg tahun, Ibu tidak akan menamparku.
"Understood."
Sudah lima tahun sejak ayah pergi. Ibu sudah punya pacar baru. Alasan kenapa ulang tahun kesepuluh ini dirayakan juga karena pacar Ibu yang membayar semuanya. Mulai dari kue, undangan, hiasan, dan badut.
Ibu juga mulai mengatur segala sesuatu tentangku. Mulai dari cara duduk, cara jalan, berbicara, tertawa, dan topik-topik apa yang seharusnya aku kuasai sebagai seorang gadis.
Memuakkan. Kenapa aku harus mengikuti semua aturan-aturan itu?
"You're pretty." Ibu berbisik di samping telingaku.
Kutatap teman-teman sekelas yang menghadiri pesta hari ini, mata mereka menunjukkan ketidaksukaan. Tentu saja. Mereka berpikir aku anak aneh yang mencoba kencing sambil berdiri dan menolak memakai pakaian renang. Aku bisa mendengar kekehan ejekan dengan suara tinggi khas anak perempuan.
Menjijikkan.
Perempuan-perempuan itu menjijikkan.
Pacar Ibu menghadiahiku sebuah gawai. Dia baik, tapi aku tetap lebih suka Ayah. Ibu tidak suka aku dapat gawai, dan mulai menetapkan jam-jam khusus aku boleh menggunakan gawaiku. Malam ini aku bebas memakai gawai, karena masih hari ulang tahun.
Dengan gawai, semua pertanyaan bisa terjawab.
Aku berusaha mencari tahu apa yang salah denganku. Dan hari itu, kurasa aku menemukan jawabannya.
"Mom, I think I am a boy. Not a girl."
Pagi itu, tamparan Ibu sangat keras sampai aku mimisan.
***
Umurku tiga belas tahun, dan aku makin yakin bahwa aku adalah laki-laki yang terjebak dalam tubuh perempuan. Kelompokku disebut transgender. Aku adalah seorang trans dan aku bangga.
Diam-diam aku membeli lebih banyak celana dan baju kemeja. Jika Ibu tidak bangun saat sarapan, aku bisa pergi sekolah dengan celana dan topi bisbol. Meskipun jika ketahuan, aku akan dipukuli Ibu.
Omong-omong, Ibu sudah menikah dengan pacarnya.
Beberapa orang di sekolah menyukai sesama jenis, dan tidak banyak yang protes. Tentu saja, semua negara bagian sudah menerima golongan seperti kami. Bahkan bulan Mei sudah menjadi bulan khusus untuk merayakan kebanggan kami.
Namun, aku tidak menyangka, kata 'kami' tidak seharusnya aku pakai.
"What the fu*k, you're on your right mind, Dude?"
Kepalaku menghantam loker dengan keras, tetapi darah segar yang mengalir dari hidungku juga terasa sakit. Kutatap satu orang laki-laki dan dua orang perempuan yang mengelilingi, salah satunya baru saja memberi bogem mentah untuk gratis.
"Look at her! Dia menggambar kumis dengan spidol, dia pikir itu keren?"
Hari itu, aku sadar bahwa aku tidak diterima sama sekali oleh orang-orang. Seolah menjadi kambing hitam, aku dapat hukuman alih-alih tiga anak itu. Aku dibilang membuat onar karena menggambar kumis agar terlihat seperti laki-laki.
Ibuku dipanggil ke sekolah. Dia marah besar.
"For the fu*k sake, you're a girl!"
"No! I am a boy!"
Ibu membawaku ke dokter, karena aku meledak dan tetap bersikeras bahwa aku laki-laki. Padahal, hidungku masih disumbat kapas karena nyaris patah. Wanita ini tidak pernah peduli, dan menganggapku gila.
"I'm a boy! I am a boy!"
Hari itu, aku ditelanjangi paksa di depan dokter laki-laki itu. Dia menilai tubuhku secara biologis dan menyimpulkan bahwa aku perempuan. Ibu hanya diam, melihatku disentuh-sentuh oleh orang tak dikenal.
"Makanya kau pikir dulu sebelum bicara, Stupid Girl!"
"I am NOT a girl!"
Hukumannya, aku tidak boleh keluar rumah selain sekolah dan gawaiku disita selama sebulan.
***
Sejak hari itu, kehidupan sekolah terasa seperti neraka. Katanya, yang pertama kali menyebar gosip adalah seorang gadis populer yang tidak suka melihat gayaku. Setiap hari, aku akan dipukul atau didorong minimal satu kali.
Bibirku robek dan hidungku bengkok. Kakiku pincang dan aku nyaris tidak bisa menggunakan sendok. Akhirnya, seorang guru harus menemaniku jika aku berjalan di koridor agar tak ada yang menyerangku. Hal itu gara-gara ada yang sampai llempar batu dan kepalaku berdarah.
Meskipun begitu, mereka tetap menyoraki dan mengejekku, padahal ada guru yang menemani. Rasanya sangat memalukan. Aku bersyukur SMP hanya dua tahun, jadi aku tak perlu lama-lama di neraka itu.
Ini tidak adil. Kenapa para gay, lesbian, dan bisex diperlakukan dengan normal, sedangkan aku yang trans mendapat perlakuan sampah? Apa hanya karena aku belum operasi kelamin?
Aku benci perempuan. Sangat benci. Aku tak sudi menjadi bagian dari mereka.
Aku benci Ibu. Sejak kecil dia menyakitiku, memaksakan kehendaknya, dan tidak pernah berada di pihakku.
Aku benci anak-anak perempuan yang menertawakanku aneh. Mereka membuatku menjadi bahan olok-olok satu kelas.
Aku benci gadis yang menyebar gosip tentangku sehingga aku ditindas satu sekolah dan menjadi anak buangan.
Semua penderitaanku, bermula dari tabiat licik dan kotor perempuan. Mereka picik dan penuh tipu daya. Makhluk yang menjijikkan.
Kelak aku akan memotong dua gumpalan lemak ini dan mendapat penis. Suatu saat aku akan menjadi seorang laki-laki sejati.
***
Sudah dua tahun sejak aku mengaku sebagai trans ke Ibu.
"From now on, I'm your son. Please refer me as he."
Saat itu aku masih kelas sembilan. Ibu sepertinya mulai lelah dengan segala tingkahku dan memutuskan untuk benar-benar tidak peduli.
Setidaknya, aku tidak akan lagi patuh akan norma-norma tidak berguna lagi.
Hari ini adalah hari ulang tahunku. Tidak ada pesta, tentu saja. Ibu juga hanya meletakkan sebuah kartu di meja.
Kutatap dalam-dalam kartu pemberian Ibu, yang bertuliskan:
HAPPY BIRTHDAY MY DAUGHTER
Astaga, aku benar-benar benci wanita.
-Tamat-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro