Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Aku Juga Ingin Dihargai

Pagi ini aku bangun dari tidurku yang nyaman seperti pagi hari kemarin. Walaupun beralaskan tikar, namun menurutku ini sudah cukup nyaman untuk kutiduri.

Setelah mengumpulkan nyawa sejenak, aku memasuki kamar mandi dan memulai ritual pagiku. Seusai menyelesaikan semuanya, aku pun mengambil tas sekolah berwarna hitam di pojok dinding yang telah usang. Terlihat beberapa bagian yang telah sobek, namun kujahit agar bisa dipakai kembali.

Aku pun menaruhnya di pundak dan segera keluar dari kamarku, di luar aku melihat ibu tengah makan bersama adik-adik.

"Ayo sini makan, Nak," ajak Ibu dengan tangan yang memegang sendok.

"Enggak deh, Bu. Aku makan di sekolah saja," tolakku halus.

"Memangnya uang belanjamu masih ada? Seingat Ibu, terakhir Ibu ngasih uang jajan itu dua minggu yang lalu. Itu pun cuma dua puluh ribu," ucap Ibu.

"Masih ada, Bu. Ibu tenang saja uang belanjaku masih banyak."

"Yaudah, Nak. Kamu hati-hati ya di jalan," ucap Ibu.

Aku pun menyalimi telapak tangan Ibuku dan berjalan keluar rumah dengan memakai sepatu yang sudah hampir sobek di bagian depan. Kuronggoh kantung seragamku dan menemukan uang senilai enam ribu rupiah.

Iya, aku tadi berbohong kepada Ibu. Uang jajan yang aku miliki kini hanya tersisa enam ribu rupiah saja, dan itu hanya cukup untuk pulang pergi naik angkot saja. Biarlah Tuhan menghukumku karena sudah berbohong kepada Ibu, asalkan wanita yang kusayangi itu tak perlu berpikir keras untuk mencarikan uang jajan untukku. Untuk makan saja Ibu harus bersusah payah, apalagi jika harus mencarikan untuk uang jajanku?

Aku menunggu angkot yang akan menuju sekolahku di sebuah halte bus yang tak jauh dari rumahku. Terlihat banyak juga orang yang tengah menunggu di halte ini, mulai dari orang tua sampai anak sekolah.

Setelah angkot dengan cat berwarna merah berhenti dengan sempurna di depan, aku pun menaikinya dan memilih duduk di bagian yang dekat dengan jendela. Setelah seluruh penumpang naik, supir angkot pun menjalankan angkotnya dengan kecepatan yang bisa dikatakan di atas rata-rata.

Tak perlu membutuhkan waktu yang lama, sepuluh menit sudah cukup membuatku sampai di gerbang sekolahku. Terlihat banyak siswa-siswi yang berlalu lalang keluar masuk gerbang. Aku pun membayar dengan tarif tiga ribu rupiah dan turun dari angkot. Setelah itu, aku memasuki gerbang dan langsung melangkahkan kakiku menuju ruangan kelasku.

Ruangan kelas sembilan tingkat enam, aku terhenti sebentar sebelum masuk ke dalam. Dari luar saja sudah terdengar suara yang amat berisik dan gaduh, entah bagaimana keadaan di dalam kelas. Namun, bukan itu masalah yang membuatku memilih menghentikan langkahku. Aku menguatkan hatiku lalu menbuka pintu putih di hadapanku.

"Loh, masih bisa masuk lo? Sepatu buntut gitu kok dipakai ke sekolah sih. Gak tau malu banget," cibir Tasya , teman kelasku yang duduk di ujung tembok bangku depan.

"Gak punya malu kali dia," sahut Sesil yang duduk di belakang bangku Tasya.

Aku berusaha menulikan telingaku dengan semua ejekan-ejekan yang keluar dari mulut mereka. Di sini niatku hanya ingin belajar dan tak ingin mencari keributan. Mau melawan pun tak ada gunanya, seluruh penghuni di kelas ini sama sekali tak ada yang memperdulikanku, mereka seperti menganggapku tak ada.

Aku meletakkan tasku di bangku yang berada di barisan paling belakang, bahkan tak ada yang ingin menjadi teman dudukku. Tiba-tiba, Tasya menghampiriku dan mengambil tasku. Ia mengeluarkan buku-buku yang ada di dalam tasku sehingga buku-buku itu berserakan di lantai.

"TASYA! SUDAH SETAN! AKU JUGA PUNYA BATAS KESABARAN!"

Amarah sudah menguasaiku, aku sudah bosan diinjak-injak seperti ini. Memangnya di sini hanya orang kaya yang boleh bersekolah? Orang miskin sepertiku tak bisa? Perasaan tak pernah ada peraturan perundang-undangan seperti itu.

"Lo berani lawan gue?" Tasya mendekatiku dan menjambak rambut panjang milikku yang terikat kucir kuda.

Karena merasakan sakit, sontak saja tanganku memukul tangan Tasya dan mendorongnya. Ia kemudin terjatuh di lantai dengan tangan yang sedikit tergores ujung meja dan mengeluarkan darah.

"Gini nih, Ibunya jalang yaudah anaknya juga jalang. Gak tau diri!" ucap Tasya.

Bagai tersmbar petir di siang bolong, ucapannya yang tak ia pikir dulu membuat hatiku hancur. Aku serasa ingin mengamuk, jika bisa aku ingin membunuh wanita sialan itu saat ini juga. Tanpa terasa, kakiku berjalan mendekatinya, tanganku terangkat dan menampar wajahnya.

"Plak!"

"LO BOLEH HINA GUE! LO BOLEH NGOMONG APAPUN TENTANG GUE. GUE GAK PEDULI DENGAN SEMUA BACOTAN LO. TAPI, SATU HAL YANG LO HARUS TAU, JANGAN PERNAH HINA IBU GUE! LO GAK TAU APA-APA TENTANG HIDUP GUE, TENTANG IBU GUE, DAN TENTANG KELUARGA GUE. LO GAK PUNYA HAK! MUNGKIN YANG COCOK BUAT DAPAT SEBUTAN JALANG ITU YA LO! LO JALANG, LO BITCH, LO CEWEK MURAHAN. TAU KENAPA GUE BILANG GITU? KELAKUAN LO LEBIH RENDAH DARI PADA HEWAN!"

Aku tak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ingat! seseorang juga punya batas kesabaran. Tak bakal ada perkelahian jika dia tak melempar batu duluan kepadaku. Aku lelah, aku capek, aku ingin menangis, tapi aku tak ingin orang tahu kalau saat ini aku tengah lemah. Aku tak ingin mereka menghinaku lagi, cukup sampai di sini saja. Aku juga manusia, aku punya hak yang sama seperti mereka. Hak untuk belajar seperti biasa, hak untuk menikmati hidup dengan tentram.

"Liat aja apa yang bakal gue lakuin sama lo!" Tasya berlalu keluar kelas diikut antek-anteknya atau lebih tepat disebut sebagai babunya.

Tak lama kemudian, ia datang dengan wajah yang penuh air mata. Namun, kuyakini air mata itu hanyalah perncitraan semata. Ia berjalan ke arahku, dan kulihat Ibu Fira—Guru BK—juga berjalan di belakangnya.

Kini, aku tahu apa yang tadi ia perbuat. Rupanya ia mengadukan perbuatanku kepada Ibu Fira. Namun, bukankah seharusnya yang menjadi korban di sini adalah aku? Aku yang selalu di-bully olehnya. Aku yang selalu menjadi bahan ejekan, body shaming, dan masih banyak lagi hal yang mereka lakukan kepadaku tanpa rasa kemanusiaan.

"Itu dia, Bu. Rani yang dorong aku sampai aku jatuh terus tangan aku berdarah. Dia juga tampar aku, Bu. Tanya aja anak kelas sini mereka juga lihat kok," adu Tasya dengan wajah memelas.

Ibu Fira pun berjalan mendekatiku, ia lalu berkata, "Benar kamu pukul Tasya sampai dia jatuh?"

"Enggak, Bu. Dia yang duluan hamburin buku aku ke lantai. Terus dia ngatain Ibu aku jalang, ya aku gak terima dong. Anak mana sih yang terima orang yang sudah lahirin dia dikatain?"

"Benar begitu, Tasya?" tanya Ibu Fira beralih menatap Tasya.

"Nggak, Bu. Ibu bisa tanya anak kelas sini. Dia langsung mukul aku kok," ucap Tasya.

"Iya, Bu. Yang Tasya bilang benar," ucap Lia salah satu teman kelasku.

Seketika harapanku hancur, seluruh siswa-siswi di kelas ini tak ada yang membelaku. Sepertinya rasa kemanusiaan dan empati mereka sudah tak ada, dikalahkan oleh rasa takut mereka di-bully oleh Tasya. Aku dijadikan kambing hitam atas perbuatan yang tak pernah kulakukan. Apakah jika orang sepertiku membela harga dirinya sudah tak bisa?

"Kamu ikut saya," ucap Ibu Fira sembari melirikku.

Kakiku dengan langkah lesu berjalan mengikuti Ibu Fira yang kuyakini akan membawaku menuju ruang BK. Seumur-umur aku tak pernah memasuki ruangan itu, karena aku tak ingin membuat Ibu sampai dipanggil dan membuat beban pikiran wanita yang sudah melahirkanku itu menjadi bertambah.

"Silahkan duduk, Rani," ucap Ibu Fira mempersilahkanku duduk di kursi besi.

Aku pun duduk di kursi itu dengan wajah pucat, jantungku berdebar kencang dan keringat dingin membanjiri tubuhku. Aku takut, aku takut Ibu akan dipanggil atau yang lebih parah aku dikeluarkan dari sekolah ini. Sungguh, aku tak akan bisa memaafkan diriku jika sampai dikeluarkan dari sekolah. Ibu bahkan rela makan nasi dengan kecap selama satu bulan demi membelikanku seragam sekolah.

"Saya tahu kamu gak salah. Saya gak buta Rani, di lantai saya liat sendiri buku-buku milik kamu berserakan. Kamu gak salah karena kamu membela harga dirimu," ucap Ibu Fira.

Mendengarucapan dari Ibu Fira, air mataku perlahan luruh tanpa kupinta. Aku terharu,setidaknya keadilan untukku masih bisa kudapatkan. Setidaknya, masih ada satuorang yang menegakkan keadilan tanpa memandang derajat.

-Tamat-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro