Bab 3
"Tolong berikan saya profil gadis itu, saya ingin melihat seberapa pantas ia bekerja denganku," sahut seorang lelaki berkulit pucat yang kini duduk santai di atas kursi pijatnya.
Dengan lihai, jemarinya membalikkan lembar halaman Curiculum Vitae dari gadis yang dibicarakan Hani sebelumnya.
"Anda tahu, saya tidak pernah main-main untuk mencari seorang sekretaris. Saya butuh yang sigap dan berloyalitas tinggi, menuruti segala peraturan yang saya buat. Dan yang paling penting, seseorang yang mampu menjaga segala hal yang saya miliki."
Sorot tajam matanya tertuju pada seorang pria yang menjabat sebagai HRD manager, Kim Namjoon. Pria yang ia kenal ramah dan tegas, tangan kanan sejatinya. Namjoon mengulas senyum, lesung pipinya terlihat, menghadirkan suasana yang berbeda ketika siapapun melihatnya secara live.
"Apakah Anda meragukan gadis tersebut karena penampilannya yang kurang menarik? Bukankah saya yang terlihat sangar ini telah membuktikan bahwa saya mumpuni? Mister Yoon, saya dan Anda sudah bekerja sama sejak lima tahun lalu. Dan kita telah melalui masa-masa sekolah selama enam tahun. Saya rasa, saya sangat mengenal kepribadian Anda. Anda tidak akan menilai seseorang secara fisik, tapi kemampuan adalah hal yang utama."
Min Yoongi, pria 29 tahun yang menjabat sebagai CEO resmi dari perusahaan teknologi Genius Inc. itu tertawa renyah. Mengakhiri keformalan yang sedari awal ia tampakkan pada Namjoon.
"Kau benar, Namjoon. Aku orang yang memprioritaskan kualitas otak dan bukan fisik. Lalu, apa menurutmu aku harus menerima dia?"
"Kim Sohyun, umur 25 tahun, sebelumnya menjabat sebagai karyawan di bidang administrasi, kemudian mendapat promosi dari Tuan Kangjoon untuk posisi sekretaris baru di Genius. Aku rasa memang ada alasan khusus. Pasalnya, tidak semudah itu karyawan biasa mendapatkan promosi besar-besaran. Awalnya saya curiga, tetapi ... bukankah gadis itu yang telah menyelamatkanmu kemarin?"
Yoongi membisu. Tatapannya masih penuh arti, meskipun begitu Namjoon tak sekalipun pernah bisa menebak apa yang ada di dalam kepala lelaki dengan gummy smile-nya itu.
Yoongi meletakkan berkas CV milik Sohyun di atas meja, lantas ia berdiri dan melangkah mendekati Namjoon. Sebelah tangannya ia tumpangkan di atas bahu lelaki bertubuh 181 cm itu. Perbedaan tinggi mereka yang cukup jelas bahkan tak mampu menghilangkan fakta kalau Yoongi jauh terlihat lebih mendominasi. Mungkin karena jabatan yang ia miliki, atau ada hal lain yang membuatnya tampak lebih karismatik dan bersinar.
"Hani pun mengatakan hal yang sama. Aku orang yang tahu balas budi, jadi pastikan gadis itu kau terima. Aku tidak peduli latar belakangnya di Hi-Tech bagaimana. Kau mengerti?"
"Ne, Mister."
Keduanya pun tertawa bersama sebagai penutup pertemuan singkat sore itu. Masing-masing mengambil tas dan berkemas untuk meninggalkan kantor.
***
Hari ini adalah hari yang paling ditunggu-tunggu. Hari yang akan membuktikan bahwa semua anggapan orang terhadap Sohyun benar adanya. Karyawan yang payah tidak akan masuk dengan mudah di perusahaan ternama seperti Genius.
Orang di luar sana sudah siap-siap tertawa, namun Sohyun duduk melamun di meja kerjanya sampai-sampai ia melewatkan jam makan siang. Panik, takut, malu, tentu menjadi risiko terbesar yang harus ia tanggung.
Ia tidak menyalahkan siapapun, tidak pula bosnya dan Jimin yang ikut memberi bujukan untuk mengambil promosi. Ia hanya kecewa saja kenapa Tuhan memberinya jalan ini. Kenapa takdir orang susah selalu dibuat lebih susah? Cukup ia merasa terkucilkan di masa kecil, dan kini ia harus mengalami hal itu lagi.
Detik jam terus berjalan. Hingga sore pun tiba, Sohyun memutuskan untuk segera pulang karena bibinya pasti menanti. Dan satu jam lagi pengumuman siapa yang diterima sebagai sekretaris Genius Inc. akan dirilis di alamat website-nya. Sohyun ingin melupakan hal itu, tetapi semakin kuat usahanya untuk mencoba lupa, semakin kuat pula memorinya terekam di kepala.
Bagaimana kalau aku ditolak? Aku tahu aku payah, tapi pulang kembali ke Hi-Tech akan membuatku semakin tidak punya muka. Apa sebaiknya aku menyiapkan surat resign? Pikirnya.
Kemudian, langkahnya terhenti saat ia menemukan dua sosok pria dan wanita sedang berbicara. Sohyun bersembunyi di balik tembok, sekarang ia tengah berada di area lobi.
"Malam ini bagaimana? Apa kau ada waktu?"
"Ah, sebenarnya aku sangat sibuk. Banyak laporan yang harus aku teliti ulang, tapi ... jika kau memaksa, aku tidak bisa menolak."
"Haha, aku tidak memaksamu. Kalau kau tidak suka bilang saja."
"Baiklah, aku akan datang atas permintaanmu, dan bukan paksaan. Apa kau puas?"
"Syukurlah, tapi kau tidak menghujatku di dalam hati kan? Jangan berpikiran macam-macam, karena aku sedang tidak mencoba untuk merayumu. Ini hanya hubungan teman."
"Tenang saja, aku tahu niatmu baik. Aku tidak akan menghujatmu."
"Aku senang mendengarnya, kalau begitu, kita ketemu di Romeo malam ini pukul delapan."
"Mau kujemput?"
"Tidak usah, aku masih berdaya untuk menyetir sejauh 4 km dari apartemenku."
"Oke, sampai jumpa di sana."
Sohyun menguping dengan baik pembicaraan itu. Tiba-tiba suasana hatinya memanas. Rasa kesal dan marah beradu menjadi satu. Untuk membuktikan rumor yang tengah beredar, maka ia sendirilah yang harus bertindak. Sebelum semuanya terlambat, Sohyun harus menyusun siasat untuk segera mendapatkan hati lelaki yang menjadi cinta pertamanya.
***
Susah payah Sohyun meminta izin dari bibinya. Ia membuat alasan bohong agar diizinkan keluar malam. Sebenarnya Sohyun bukan tipe gadis pembangkang. Ia melakukan ini terpaksa, demi masa depan cintanya. Lagipula, Sohyun yakin Tuhan akan selalu menjaganya di luar sana.
"Di mana tadi, ya? Ro-romeo?" Monolognya setelah ia sampai di depan gang untuk menyetop taksi.
Sohyun sendiri tidak tahu apa itu Romeo. Apakah sebuah restoran mahal? Tempat dinner yang romantis? Semakin ke sini pikirannya pun semakin menghasut dan mengompori kecemburuannya.
"Tidak, Oppa tidak mungkin menduakanku. Akan kubuktikan!"
Sohyun pun tiba di depan sebuah gedung. Tulisan Romeo terpajang apik di bagian pintu masuknya. Terlihat mewah dengan penggunaan lampu neon berwarna violet.
Dua orang penjaga berdiri di kedua sisi pintu. Sama-sama bertubuh kekar dan bertampang mengerikan. Sohyun meneguk ludahnya untuk menghilangkan kegugupan. Ini pertama kalinya ia menginjak bar.
"Permisi, Nona, apakah Anda mempunyai member card?"
"Member card?"
Sohyun tidak menduga kalau untuk masuk ke sana harus memiliki beberapa persiapan, termasuk kartu anggota.
"Ah, saya member baru. Di mana saya bisa meminta izin untuk bergabung?" kilahnya pada kedua penjaga yang kini menatapnya nyalang.
"Mari ikuti saya."
Sohyun pun diantarkan ke sebuah ruangan. Tampaknya sangat privat dan terjaga keamanannya.
"Silakan masuk, Nona. Anda akan bertemu dengan bos kami, pemilik bar ini."
"Tapi ... hei, tunggu!"
Sohyun mencoba menghentikan penjaga itu, tapi pintu sudah terlanjur tertutup dan terkunci. Sekarang, ia merasa sangat takut.
"Permisi, apa ada orang?"
Sohyun berjalan menyeret kakinya. Ia melangkah hati-hati di ruangan bercahaya redup itu. Hingga ia menemukan sebuah meja kerja, dan di baliknya terduduk seorang pria berkemeja putih dan bercelana kain hitam sedang memperhatikannya dengan jeli.
"Apakah Anda tuan pemilik bar?"
"Duduklah, apa tujuanmu ke mari?"
Sohyun mengambil tempat duduk di hadapan pria itu. Sekarang terlihat jelas, pria itu tampannya bukan main. Dahinya dipertontonkan begitu mempesona, bibir bawahnya tebal juga otot-otot lengan bawahnya terlihat kekar karena lengan kemeja yang terlipat sampai ke siku. Satu hal lagi yang menambah nilai ketampanan pria itu. Ia memiliki bahu yang lebar. Sangat lebar hingga rasanya akan nyaman bersandar di sana.
"S-saya Kim Sohyun. Saya ingin masuk ke dalam tapi saya tidak memiliki member card. Bisakah saya membuat satu?"
"Anda terlihat sangat lugu, apa Anda yakin mau masuk ke dalam? Bisa jadi ini dunia yang harus Anda hindari."
"Saya harus masuk. Kekasih saya berada di dalam dengan seorang wanita dan saya tidak bisa diam di rumah."
Sohyun mengutarakan isi hatinya secara ringkas, pria itu lantas tersenyum. Entah itu mengejek atau apa, Sohyun merasa sangat tersinggung.
"Kenapa Anda tertawa? Saya sedang serius. Bagaimana saya rela kekasih saya bersama wanita lain?"
"Nona, wajar jika laki-laki menemukan wanita lain untuk bersanding dengannya. Anda terlalu naif."
"Apa maksud Anda? Saya tidak mengerti."
"Sudahlah, akan saya antar ke dalam. Karena sepertinya Anda wanita baik-baik, saya tidak ingin merusak image Anda."
"Benarkah? Tuan akan mengantar saya ke dalam? Tanpa kartu anggota?" Sohyun mengonfirmasikan apa yang didengarnya dengan antusias. Wajahnya terlihat sangat senang.
"Hanya malam ini saja. Mari."
"Terima kasih Tuan ...," ucapan Sohyun terhenti sebab tidak mengetahui nama pria baik itu.
"Kim Seokjin. Pria baik pemilik Romeo Bar ini akan mengantarmu sampai tujuan, ayo."
***
Sohyun celingukan berusaha menemukan Jimin yang mungkin menjadi salah satu pengunjung bar itu. Beberapa kali ia terlihat risih. Pertama, ia tidak suka suara musik bar yang memekakkan telinga. Kedua, ia tidak nyaman dengan pria dan wanita yang saling bergoyang dan bercumbu mesra tanpa malu di depan umum. Ketiga, ia benci bau alkohol. Sohyun sebentar saja merasa sudah tidak betah dan buru-buru ingin keluar.
"Di mana kekasih Anda Nona?"
"Saya tidak tahu. Yang jelas, dia ke sini malam ini dengan seorang wanita."
"Ada beberapa ruang tertutup dan khusus untuk direservasi. Kalau boleh tahu, siapa nama kekasih Anda?"
"Park Jimin. Bisakah Anda mencarikannya untuk saya?"
"Saya akan menghubungi pihak yang menangani reservasi ruangan, saya akan segera kembali."
Sohyun memutuskan duduk di pojokan. Sebisa mungkin jauh dari keramaian. Paling tidak ia sudah menemukan posisi yang lumayan pas sebab bar itu sungguh sesak akan pelanggan.
Belum sampai Seokjin kembali, Sohyun telah berpapasan dengan Jimin. Segera Sohyun bangkit dan menyusul Jimin yang tampak berjalan cepat menuju suatu ruang.
"Oppa! Oppa!" teriaknya.
Tak satu pun yang dapat mendengar suaranya karena mereka fokus akan alunan musik yang diputar DJ. Kecuali Jimin. Lelaki yang mengenali suara Sohyun itu segera tahu bahwa yang memanggilnya memanglah Kim Sohyun, pacar polosnya.
"Sohyun? Apa yang kau lakukan di sini?" kagetnya.
"Oppa, aku melihatmu di jalan, jadi aku menyusulmu sampai ke sini," bohongnya.
"Ck!! Aku bisa dimarahi Minhyuk kalau sampai dia tahu aku membawamu ke tempat seperti ini! Ikut aku!"
Jimin menarik tangan Sohyun kasar. Mereka pun keluar dari bar dan memutuskan untuk menyelesaikan urusan di luar sana.
"Oppa ... sakit...." rengek Sohyun yang ditanggapi Jimin dengan hambar.
"Sebaiknya kau pulang, ini sudah malam. Akan kupesankan taksi untukmu."
"Tidak perlu, karena kita sudah bertemu, kenapa tidak berkencan sekalian saja?"
Ini pertama kalinya Sohyun mengatakan kata kencan pada Jimin. Biasanya Jimin yang selalu mengajak Sohyun dan Sohyun pasti menolaknya. Tentu saja hal ini membuat Jimin terkejut.
Jimin membersihkan tenggorokannya, ia berdeham. Lalu menjawab, "Maaf, aku ada urusan."
"Di bar? Urusan apa yang membawa Oppa sampai masuk ke tempat seperti itu?"
"Kau tidak perlu tahu! Urusi urusanmu sendiri, pulanglah!"
Jimin membalikkan badannya dan mengabaikan Sohyun. Ia tetap memutuskan untuk masuk ke bar. Sementara, Sohyun yang tidak bisa membendung kemarahannya pun bereaksi impulsif.
"Oppa! Aku tahu kau menemuinya! Tidak ada yang bisa Oppa sembunyikan dariku! Aku sudah tahu semua!"
Jimin menatap Sohyun balik. Mata Sohyun tampak berkaca-kaca. Dan lagi-lagi Jimin dibuat terkejut. Sohyun tidak pernah berteriak padanya sekeras itu.
"Apa maksudmu, Sohyun?"
"Oppa, apa hubunganmu dengan Nona Seulgi?"
Tenggorokan Jimin tercekat. Tak ada yang keluar dari mulutnya, ia hanya diam dan menatap Sohyun dengan tajam.
"Oppa, aku begini karena cemburu. Aku sungguh mencintaimu. Apa Oppa tidak bisa bersikap dengan lembut padaku sekali saja?
"Oppa ... ini sudah dua tahun," kata Sohyun dengan suara semakin melemah seperti orang memohon dan memelas. Dadanya terasa sesak dan nyeri kala itu.
"Dua tahun, tiga tahun, bahkan seratus tahun pun, kau tahu Sohyun, hubungan kita tanpa nyawa. Kau sendiri yang membuatku menjauh, kau sendiri yang melepaskanku. Dan jika kau ingin aku kembali, perbaiki dulu sikapmu."
Sohyun tak menjawab apa-apa. Jujur, ia bingung. Apakah dari dirinya yang masih terlihat kurang di mata Jimin? Menantikan lelaki itu selama bertahun-tahun saja berhasil ia lewati sebagai bentuk ujian cinta. Ia melakukan apapun demi kesenangan Jimin. Membelikan macaroon kesukaannya, memasakkan makan siangnya di akhir minggu, bahkan menuruti perintahnya untuk tidak dekat-dekat dengan lelaki mana pun. Apa yang kurang dari Sohyun?
"Oppa, apa dari Nona Seulgi yang aku tidak punya? Apakah kesetiaanku padamu selama ini tidak bernilai?"
"Pulanglah. Aku tidak ingin berdebat. Kau cari tahu sendiri alasannya, aku sudah muak!"
"Oppa!!"
Jimin pergi, lenyap. Seolah benar-benar meninggalkan Sohyun tanpa menyisakan apa pun. Gadis itu jatuh berlutut. Kedua air matanya menggenang dan mengalir deras begitu saja. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada dicampakkan oleh seorang pria yang telah dinanti dan dicintainya selama bertahun-tahun. Ia tidak peduli orang memperlakukannya buruk, tapi ia tidak bisa jika itu Jimin. Jimin yang membuatnya lagi-lagi tersakiti.
"Oppa! Aku kurang apa...." gumamnya di sela-sela tangis.
"Aku sungguh merindukan sikapmu yang lembut padaku, tolong kembalilah seperti dulu."
***
Usai kejadian malam itu, Sohyun terlihat murung. Ia tidak memiliki satu pun teman dekat yang benar-benar tulus padanya, tidak ada yang memperhatikan jika pagi itu ia sangat sakit hati.
"Sohyun, selamat ya."
Pikiran kosong Sohyun bubar setelah seorang staf administrasi menghampirinya dan memberinya jabatan tangan.
"Hah? Untuk apa?"
"Kami semua sudah melihat postermu di alamat website Genius. Kau diterima bekerja di sana sebagai sekretaris."
Aku?? Diterima di Genius Inc?
Tbc.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro