Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 17


"Sh ... huh ... hati-hati." Jimin mendesis saat Sohyun membersihkan lukanya. Mereka berdua telah berada di ruang tamu apartemen Jimin. Kejadian beberapa saat lalu, begitu membuat lelaki berumur dua puluh tujuh tahun itu terkejut. Ia pikir, Sohyun akan pergi meninggalkannya setelah benar-benar mengetahui bahwa dirinya selingkuh. Jimin mengira kalau Sohyun akan mempercayai setiap ucapan yang keluar dari mulut Yoongi. Tapi kenyataannya, malah sebuah tamparan keras mendarat di pria pucat itu hingga membekas kemerahan. Terlebih, saat pria bernama Yoongi itu mengatakan telah menyukai Kim Sohyun.

"Sohyun, kau tidak marah padaku?" tanya Jimin dengan penuh kehati-hatian. "Argh!" pekiknya kemudian saat Sohyun menekan kapas ke lukanya. "Sakit!"

"Tentu saja aku marah! Jangan pikir aku diam saja ketika Mister berbicara tentang perselingkuhamu!"

"Aku tahu kau akan marah. Ya ... kau pantas memukulku untuk itu. Aku memang ... pernah berencana untuk ... menyelingkuhimu."

"Tega kau, Oppa!" kata Sohyun setengah berteriak, lalu sebuah pukulan mendarat tepat di dada bidang Jimin. Lelaki itu hanya diam saat Sohyun melampiaskan semua kemarahannya, karena itulah yang dia inginkan. Jimin tidak mau lagi ada kebohongan di antara mereka, sudah saatnya Jimin menerima hukuman dari apa yang telah ia perbuat.

"Aku sangat mencintaimu, tapi kau menghianatiku! Kau tega sekali! Jahat!!"

Sohyun melayangkan kembali beberapa pukulan ke arah Jimin, entah sudah tak terhitung ini yang ke berapa kali. Namun kemudian, saat kepalan tangan gadis itu hendak tertuju ke arahnya—untuk yang terakhir kali—Jimin menangkapnya. Sohyun merengut dengan mata membendung air mata. Jimin sadar betapa terlukanya Sohyun karenanya. Tapi tetap saja, Jimin tidak bisa melepas gadis itu untuk bahagia. Menurutnya sekarang, kebahagiaan Sohyun adalah dirinya—Park Jimin—kekasih hatinya. Mana tega Jimin harus menjatuhkan harapan Sohyun untuk tetap bersama? Lagipula ia sudah berjanji untuk tidak pergi menjauh.

"Sudah puas?" Jimin menelisik setiap lekuk wajah Sohyun. Mulai dari kedua mata, hidung, bibir, bahkan pipi Sohyun yang terlihat gempal, semua itu mengingatkan Jimin pada mendiang ibunya. "Sohyun, kalau kau memang membenciku, kau boleh pergi meninggalkanku. Aku berikan kesempatan ini padamu," ucap Jimin. Ia paham betul apa yang saat ini dia ucapkan. Merelakan Sohyun pergi, mungkin menjadi pilihan yang terbaik untuk solusi dari segala permasalahan mereka. Berkebalikan dengan pemikirannya sebelum itu, Jimin kali ini memberi pilihan kepada Sohyun untuk tetap di sisinya atau menjauh. Hanya satu kali ini. "Tapi ingat, aku hanya memberimu satu kali pilihan. Setelah ini, kau tidak bisa mengubah apapun keputusanmu," lanjutnya.

"Oppa bodoh! Bagaimana bisa aku meninggalkan Oppa? Oppa sudah begitu banyak memberiku janji, dan aku ingin lihat Oppa menepatinya. Aku tidak akan pergi sebelum semua keinginanku terpenuhi."

"Keinginan apa Sohyun? Untuk dicintai dan untuk dilindungi? Aku–"

"Satu lagi! Aku punya satu keinginan lain."

"Apa itu? Jika aku mengabulkannya, apa kau mau pergi?"

"Aku tidak yakin."

"Katakan, aku pasti mengabulkannya jika itu bisa membuatmu pergi dengan bahagia."

"Aku ingin kita menikah."

***

"Astaga, Yoon! Kenapa mukamu bisa bonyok seperti ini?"

Di lain sisi, Yoongi yang pulang dengan rasa malu memutuskan untuk mampir ke apartemen Dokter Kim. Tidak ada orang lain yang bisa diandalkan untuk mengobati luka-lukanya selain pria tampan tersebut.

Namjoon? Pria berlesung pipi itu hanya akan banyak menceramahinya dibandingkan membantu menyembuhkan lukanya. Pasti dia akan bilang, "seharusnya kau tidak begini", "kau ceroboh", "kau bodoh", "kau gegabah", dan semacamnya.

Yoongi juga tidak mungkin menemui Jin. Papa muda itu kelihatannya memang santai dan pengangguran karena hanya duduk di ruangan sementara memperhatikan para pekerjanya melayani pelanggan di klub. Tapi, Jin jauh lebih repot dibandingkan dirinya karena pria itu punya anak perempuan yang harus diurus, apalagi Jin seorang single parent. Mana bisa pria itu membagi waktunya dengan mudah kalau tidak sesuai jadwal yang ia buat?

Dan kemungkinan terakhir lainnya adalah Hani. Namun Yoongi tidak bisa ke rumah Hani karena wanita itu tidak tahu sama sekali soal masalahannya. Dan Yoongi juga memang tidak ingin Hani tahu segalanya. Meski mereka bersahabat sejak kecil, ada saatnya ketika Yoongi memiliki sebuah rahasia yang harus ia jaga untuk dirinya sendiri.

"Aku dipukul seorang pria."

"Hah? Aku tidak salah dengar? Kau dipukuli?" Taehyung terheran-heran. Bagaimana mungkin Yoongi yang bisa membunuh satu orang dengan menembak dan menghancurkan kepalanya bisa kalah dengan seorang laki-laki tanpa senjata?

"Jangan bercanda, kau! Mana ada anggota mafia kalah dengan orang biasa seperti itu?"

"Bukan dia yang mengalahkanku, tapi perasaanku sendiri."

Taehyung termangu bertopang dagu. Sembari mengamati wajah Yoongi yang tampak gusar, pikirannya berkecamuk untuk memproses kalimat lelaki itu.

"Jangan bilang kau begini karena perempuan, tidak kan?"

"Keputusanku untuk lari padamu sangat tepat. Karena kau dokter jiwa, aku tahu kau bisa membaca pikiranku."

"Hei! Aku bukan psikolog! Berapa kali harus kubilang?" protes Taehyung. "Masalahmu itu klasik, Yoon. Semua orang juga bisa menebak kalau kau berkelahi karena berebut wanita. Tapi ... siapa wanita itu? Sekretaris barumu yang waktu itu?" tanya Taehyung mengintrogasi.

"Ya ... wanita itu," balas Yoongi pasrah. Tidak ada alasan lain yang membuatnya begitu tersulut emosi saat mengetahui Sohyun sedang berpelukan bersama Jimin. Pria itu yang telah menyakiti Sohyun, yang mengabaikan perasaan Sohyun dan menghianati gadis itu. Yoongi membencinya, apalagi kalau bukan cinta?

"Bukannya kau suka dengan Hani? Kenapa tiba-tiba jadi suka pada wanita itu? Kudengar, yang bisa dia lakukan hanyalah membuat masalah. Itupun cerita dari salah seorang karyawan yang bekerja di Hi-Tech. Aku pernah mendengarnya."

"Entahlah. Tapi hanya dia wanita yang begitu menghargai setiap barang pemberianku. Dia polos, tulus, dan perhatian. Meskipun pekerjaannya berantakan, aku tak pernah sekalipun marah, karena aku tahu, dia begitu semangat ingin membantu keluarganya mencari uang."

"Kau tahu sedetail itu? Apa selama ini kau mengawasinya?"

"Sebut saja aku gila. Tapi memang begini adanya."

"Kau benar-benar gila. Lalu apa yang akan kau lakukan? Kau akan menyatakan cintamu padanya sementara dia telah memiliki seorang kekasih?"

"Aku sudah menyatakannya," kata Yoongi tegas. "Tapi di saat yang tidak tepat."

Taehyung langsung mengembuskan napasnya lalu melepas kacamatanya. Lelaki bersenyum kotak itu menggeleng-gelengkan kepala.

"Aku tahu, pasti kau menyatakan perasaanmu tepat saat kejadian pukul-memukul itu tadi kan?" tebak Taehyung.

"Kau ... tahu?"

"Aku melihat bekas kemerahan di sebelah pipimu yang tampak menyebar rata. Aku yakin itu bukan luka tonjok, tapi tamparan seorang wanita. Tidak salah lagi, kau ditolak."

"Ya jangan diperjelas juga, dong! Rasanya jauh lebih sakit tahu! Keterlaluan," desah Yoongi sambil melemparkan bantalan sofa ke muka Taehyung.

"Haha, kau ini! Masih saja mudah ditebak. Tapi, aku lihat Sohyun memang gadis yang baik, dia lebih cocok untukmu dibandingkan Hani. Yah, jika memang itu wanita pilihanmu, aku hanya bisa mendukung."

"Tapi masalahnya satu," sahut Yoongi. Setelah Namjoon, Taehyung harus mengetahuinya juga.

"Apa?"

"Sohyun tahu semua rahasiaku. Terutama, tentang identitas kita sebagai bagian dari anggota mafia."

***

"Oppa tidak pergi bekerja?"

Setelah mengantar Sohyun ke rumah sakit, Jimin tak lantas pergi. Pria itu membuntuti Sohyun diam-diam sampai gadis itu tersadar akan kehadiran Jimin di belakangnya.

"Aku minta cuti hari ini."

"Tidak boleh! Oppa kan seorang direktur sekarang, jangan malas bekerja! Sebaiknya, Oppa berangkat ke kantor. Mumpung masih pagi."

"Sohyun, aku bilang cuti ya cuti. Jangan memaksaku, aku hari ini ingin bersamamu."

Pipi Sohyun merona mendengar perkataan Jimin. Setelah semalam mereka beradu argumen dengan begitu sengit, hari ini mereka telah berbaikan sepenuhnya.

"Oppa yakin?"

"Ya." Jimin lalu menyejajarkan dirinya dengan Sohyun dan menggandeng tangan wanita itu. Detak jantung Jimin berdebar tidak teratur. Beberapa kali lipat cepat daripada awal pertemuannya dengan Sohyun lima tahun yang lalu. Tidak bisa! Jimin tidak bisa lagi menahan hasratnya untuk memiliki Sohyun! Laki-laki itu sungguh telah jatuh hati!

"Sohyun? Kau datang?" kaget Sungkyung saat mengetahui Sohyun sampai di depan ruangan Minhyuk. "Kenapa kau datang? Kau tidak bekerja?" tanyanya kemudian.

Sohyun mengerti, Sungkyung pasti sengaja memberi pertanyaan itu untuk memancing agar Sohyun mengaku dan menjelaskan alasannya keluar dari Genius. Jimin yang masih menggenggam tangannya, meremas jemari Sohyun sebagai kode agar gadis itu berani untuk mengatakan segalanya.

"Aa ... itu, Eonni. A-aku ... mengundurkan diri."

"Jadi benar kau kehilangan pekerjaan?! Katakan padaku, kenapa kau lakukan itu?"

"Aku ada sedikit masalah dengan bosku."

"Sedikit kau bilang? Kalau sedikit, seharusnya kau tahan. Tapi, kenapa kau langsung mengundurkan diri? Kau tidak tahu apa yang terjadi sekarang??" sahut seseorang yang muncul dari dalam ruang ICU. Oh, ternyata dokter telah memperbolehkan anggota keluarga masuk ke sana.

"Bibi?"

"Jawab! Kenapa kau malah mengundurkan diri hanya karena perkara kecil itu? Kau tidak tahu betapa kami membutuhkan uang untuk membiayai pengobatan Minhyuk?! Mana balas budimu padaku, Nak?"

"Bibi ... membentakku?"

"Kenapa?? Apa menurutmu aku tidak bisa marah dan emosi?? Sohyun, kalau sampai terjadi sesuatu pada putraku, aku tidak bisa memaafkanmu!"

"Eomma–"

"Jangan memanggilku Eomma! Kau bukan anakku, aku menampungmu itu bukan atas kemauanku. Aku terpaksa, Sohyun. Sebaiknya kau pergi," perintah Bibi Lee.

"Bi...."

"Pergi kubilang!!!"

"Sudah, Eomma! Tenangkan dirimu, jangan teriak-teriak. Tidak enak menggaggu pasien lain," ujar Sungkyung sambil menahan tubuh ibunya yang ingin memukul Sohyun.

Sohyun menitikkan air mata. Ia pikir, ia telah mendapatkan sosok ibu yang sesungguhnya. Tapi sepertinya Sohyun terlalu cepat menyimpulkan sesuatu, hingga hari ini sebuah kalimat pedas menampar logikanya.

Jimin masih setia bersama Sohyun. Lengan lelaki itu merangkul gadisnya, mereka berjalan beriringan. Sohyun diam tanpa kata, hatinya sakit dan dirinya masih begitu syok melihat perubahan drastis ibu angkatnya padanya. Bibi Lee tak pernah mengucapkan kalimat dengan nada tinggi meskipun Sohyun berbuat salah. Bibi Lee tak pernah membentak apalagi sampai mengusir kalau dia sedang marah.

"Sudahlah, Sohyun. Jangan dimasukkan hati apa kata Bibi tadi. Anggap saja Bibi kelepasan karena sedang terlampau sedih."

"Aku masih tidak percaya saja, Bibi membentakku seperti itu. Seperti bukan dirinya."

"Tenanglah, semua akan baik-baik saja selama aku bersamamu," ujar Jimin menenangkan.

Saat mereka sampai di lobi, secara kebetulan Sohyun berpapasan dengan seorang pria yang tidak lain adalah kekasih kakaknya. Pria mengerikan dan misterius yang waktu itu katanya datang ke apartemennya untuk membicarakan perihal pernikahan.

"Loh, Sohyun? Kau mau ke mana? Tidak menemui Oppamu?"

"Joohyuk Oppa, aku ... sedang ada urusan. Jadi tidak bisa berlama-lama di rumah sakit," bohong Sohyun.

"Begitu? Ya sudah, aku duluan ke sana, ya."

"Oppa, tunggu!" cegah Sohyun.

"Iya? Ada lagi yang mau dibicarakan?"

"Ah, tidak. Aku cuma mau bilang, tolong jaga Eonniku baik-baik. Tolong selalu ada untuknya, di manapun dan kapanpun."

"Itu sudah pasti. Jangan khawatir, Sungkyung aman dan bahagia bersamaku. Aku pergi dulu."

Sohyun bernapas lega mendengar jawaban Joohyuk. Mungkin hanya perasaannya saja selama ini, pria itu bersikap baik dan peduli pada keluarga kakaknya. Sohyun memang sebaiknya tidak boleh banyak-banyak berpikiran negatif. Itu hanya akan merugikannya dan orang lain juga.

Selepas keluar gedung rumah sakit, lagi-lagi seseorang menghampirinya. Sohyun yang merasa tidak siap menemui pria itu, lalu segera menyeret Jimin untuk menjauh dan bersembunyi saja. Tapi ia terlambat.

"Sohyun!" panggil Yoongi dari arah belakang. Sohyun mendesahkan napasnya, merasa frustrasi.

"Aku mohon, beri aku kesempatan untuk bicara. Aku janji, tidak akan lama."

"Maaf! Saya sedang sibuk bersama kekasih saya. Bisakah Anda pergi saja?"

"Sohyun, aku mohon. Tolonglah. Lima menit, okay? Aku ingin tidak ada lagi masalah di antara kita. Kau juga pasti menginginkan kehidupanmu tenang, kan?"

Sohyun agak tergiur dengan iming-iming Yoongi. Tentu saja dia berharap kehidupannya tenang tanpa ada gangguan semacam ini.

"Sohyun, kalau kau mau bicara padaku, hari ini saja, aku janji tidak akan menemuimu lagi."

Akhirnya Sohyun menoleh ke belakang. Dilihatnya raut muka Yoongi yang sedang menatapnya serius. Sepertinya, lelaki itu tak main-main saat bilang tidak akan menemuinya lagi.

"Baiklah, apa boleh buat."

"Sohyun? Kau serius mau berbicara dengan keparat  itu?" sela Jimin. Dia tidak rela Sohyun bertemu dengan Yoongi, apalagi sampai mengobrol berdua.

"Percayalah padaku, Oppa. Setelah ini, akan kubuat dia tidak berani menunjukkan wajahnya di hadapanku lagi."

"Baik. Jika itu keputusanmu, kau boleh berbicara dengannya. Tapi kalau ada masalah, tolong segera hubungi aku. Jika dia menyakitimu, aku akan langsung menghajarnya."

"Iya, pergilah. Tinggalkan kami berdua, aku janji tidak akan terjadi apa-apa."

"Oke, hati-hati ya." Jimin hanya mampu menyaksikan Sohyun yang perlahan mulai melangkah menjauhinya. Ada perasaan tidak tenang yang menyelimuti hatinya. Bagaimana kalau Yoongi bertindak macam-macam pada Sohyun? Namun kemudian, pikiran itu ia enyahkan. Jimin harus mempercayai Sohyun kalau mau hubungan mereka tetap sehat.

"Semoga Tuhan selalu melindungimu, Sohyun," gumam Jimin.

***

Dua orang itu tengah duduk di dalam sebuah mobil. Mereka meninggalkan rumah sakit, menuju sebuah tempat yang letaknya tidak jauh dari gedung Genius. Sebuah lapangan terbuka yang ditumbuhi rerumputan yang terpotong dengan rapi. Suasana pagi yang sejuk, apalagi mereka berdua tengah duduk di sebuah bangku, di bawah naungan bayang-bayang gedung bertingkat 30 itu. Sohyun menunggu Yoongi berbicara.

Sesekali ditangkapnya pemandangan burung pipit yang mencari makan. Mereka beterbangan rendah, lalu mendaratkan kedua kakinya di atas rerumputan, melompat-lompat kegirangan dan membuat Sohyun iri. Seandainya, hidup itu seenak burung pipit yang kerjaannya hanya terbang dan mencari makan. Setiap hari akan melihat pemandangan indah dari atas langit, makan pun tidak perlu susah-susah beli dan mengeluarkan uang.

"Sohyun, apa yang aku katakan kemarin, aku tidak bohong soal itu."

"Sudahlah, saya tidak akan menjawabnya. Kalau alasan Mister mengajak saya ke mari untuk membicarakan hal itu, lebih baik saya pergi saja." Sohyun bangkit dari duduknya, terlihat ingin buru-buru pergi. Tapi, Yoongi mencegah dan menarik lengan Sohyun agar Sohyun duduk kembali.

"Baiklah, aku tidak akan mengungkitnya. Sebenarnya, tujuan lainku mengajakmu bicara adalah mengenai identitasku yang sebenarnya."

"Saya tidak akan menyebarkannya. Tapi, tidak bisakah Anda berhenti menjadi mafia?"

Yoongi terperangah mendapat pertanyaan itu dari Sohyun. Berhenti? Tak sekalipun Yoongi berpikir untuk berhenti menekuni aktivitasnya sebagai anggota "Riddle Eye". Ia merasa nyaman di sana, dan "Riddle Eye" yang telah membantunya membangun usaha. Organisasi itu berperan besar dalam mengukir sejarah kesuksesannya. Bagaimana bisa Yoongi berhenti begitu saja? Keluar dari anggota "Riddle Eye" sama saja dengan mematikan usaha yang telah ia bangun beberapa tahun terakhir. Selain itu, Yoongi juga akan kehilangan kesempatan untuk mengambil hati ayahnya.

"Kenapa kau memintaku untuk berhenti? Pekerjaan ini sangat berarti bagiku. Aku berhasil membangun bisnisku karena aku bergabung dengan mereka."

"Selain merugikan orang lain, pekerjaan itu juga akan merugikan Anda. Saya hanya mau bilang, lebih baik mencegah daripada memperbaiki. Kita tidak tahu masalah besar apa yang sedang menanti Mister di depan sana, apakah baik ... atau buruk. Lalu bagaimana jika hal buruk lah yang akan terjadi? Maka saat itu tiba, Mister sudah tidak mendapat lagi kesempatan untuk membenahinya."

"Sohyun, kau mau tahu alasan kenapa aku bergabung bersama mereka dan pada akhirnya membuatmu kecewa dan merasa ditipu seperti kemarin?"

Sohyun diam tak merespons. Tapi Yoongi tahu, Sohyun butuh penjelasannya.

"Ayahku terus merendahkanku di depan adikku sendiri. Ayah terus mengancam dan menekanku untuk berkarier lebih hebat. Dia mau aku jadi yang terkuat, menjadi pengusaha tersukses, terkaya, dan tidak terkalahkan. Tapi, aku bukan seorang putra yang baik untuknya. Aku memang punya minat berbisnis, tapi tidak untuk disetir oleh ayahku sendiri. Aku punya mimpiku, bukan mimpi ayahku. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri, Sohyun. Tapi ayah tidak mau mengerti. Dia bilang, jika adikku lebih pintar dariku, maka aku kehilangan kesempatan untuk mewarisi perusahaannya. Sebenarnya aku tidak masalah dengan itu, tapi menghina kemampuanku secara terang-terangan dan membandingkan keahlianku dengan adikku di hadapan semua orang, bagiku itu sebuah dendam yang patut kubalaskan. Aku begini karena ingin membuktikan kepada ayah bahwa aku mampu!"

"Tapi cara Anda salah. Bergabung menjadi anggota mafia tidak akan memberikan solusi apapun. Anda hanya mempertimbangkan salah satu keuntungannya, lalu mengabaikan semua kerugian yang ada. Ini sungguh tidak benar! Jika Anda memang ingin membuktikan sesuatu kepada ayah Anda, maka lakukanlah dengan jujur, selangkah demi selangkah, bukan secara instan begini."

"Sohyun, aku akui kesalahanku. Tapi sungguh, keluar dari anggota mafia itu bukan hal yang mudah."

"Lalu untuk apa Anda menemuiku? Hanya untuk menceritakan alasan konyol itu? Sudahlah! Jika Mister memang tidak bisa keluar dari perkumpulan mafia, memang Mister sebaiknya tidak usah menemui saya lagi. Saya tidak mau berurusan dengan anggota mafia!"

Sohyun berdiri lagi, kali ini ia benar-benar akan pergi. Namun, Yoongi lagi-lagi berhasil mencegahnya. Ia menahan tangan gadis itu.

"Baiklah! Baik! Aku akan keluar dari organisasi itu! Aku akan mencapai segalanya dengan usahaku sendiri, dengan cara yang baik. Apa kau puas? Kalau aku melakukannya, kau memperbolehkanku untuk menemuimu lagi?"

"Itu tergantung. Sebaiknya, Mister buktikan dulu perkataan Mister tadi, baru saya bisa percaya."

"Sohyun, aku melakukan ini untukmu. Kau mungkin membenciku karena kemarin aku bilang suka, tapi begitulah kenyataannya."

Sohyun bergeming di atas kedua kakinya. Yoongi benar menyukainya, apa Sohyun tidak salah dengar? Ia pikir Yoongi main-main saja kemarin. Tapi kalau memang itu benar, kenapa Yoongi menyukainya? Kenapa harus dia yang sudah punya orang lain di sisinya?

"Sohyun!" panggil Yoongi saat Sohyun melanjutkan langkah kakinya.

"Aku tidak tahu apa hubunganmu dengan laki-laki yang berpapasan denganmu di lobi rumah sakit tadi. Yang aku tahu, dia berbahaya. Sebisa mungkin, tolong jangan dekati dia. Menghindarlah," pesan Yoongi yang membuahkan sebuah teka-teki di dalam otak Sohyun.

"Aku pergi." Dan Sohyun memilih untuk abai.









Tbc.

Nanti di akhir episode, akan ada kejutan untuk kalian😌 tapi rahasia. Hehe

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro