V. Mengundurkan Diri
Pagi seakan merenggut paksa malam untuk pergi. Begitupun, dering telepon memaksa dua gadis yang tertidur pulas untuk membuka mata.
Entah dering ke berapa ponsel itu menyala menampilkan nama Ratih di layarnya. Awalnya, ponsel milik Anes yang berbunyi. Kini giliran milik Nadir yang suaranya kian nyaring.
"Berisik," keluh Anes dengan mata sedikit terbuka. Tangannya menepuk-nepuk bahu Nadir yang tadi ia peluk. "Matiin hapenya, berisik."
Nadir hanya berdeham, kemudian ponselnya berhenti berdering.
Cukup lama hening. Nadir mengerutkan keningnya kemudian melepaskan diri dari pelukan Anes. Ia mendekati stopkontak untuk memeriksa ponselnya. "Dua puluh dua panggilan, banyak banget," gumamnya.
Giliran ponsel Anes yang menyala lagi. Segera tangan Nadir meraih benda itu. "Halo," ucapnya setelah panggilan tersambung.
"Halo, Nadir. Lama banget, sih angkat teleponnya!" Di seberang sana Ratih yang berbicara. Nadanya terdengar kesal.
"Maaf baru bangun. Tumben banget telepon pagi buta, ada apa?"
Nadir menatap Anes yang keheranan melihatnya. "Siapa?"
Gadis itu sedikit menjauhkan ponsel dari telinga. "Ratih, Nes."
"Anes udah bangun juga?"
"Loudspeaker dong, mau denger." Anes mendudukkan tubuhnya.
"Anes, Nadir. Ada yang mau aku sampein."
"Apa?" sahut Anes dan Nadir berbarengan.
"Roni minta aku buat berhenti kerja. Hari ini aku bakal resign."
Anes dan Nadir membulatkan mata tak percaya. "Hah! Serius. Jangan bercanda, deh." Anes berusaha meyakinkan bahwa ucapan Ratih hanya candaan belaka.
Namun, putusan akhirnya adalah Ratih tetap harus berhenti kerja. Roni yang meminta Ratih agar menjadi ibu rumah tangga saja, karena tidak mau istrinya itu kecapekan.
Diam di rumah atau bekerja adalah dua pilihan sulit bagi Ratih. Sebelum menikah, ia sempat mendiskusikan hal ini dengan Roni.
Nadir dan Anes juga menjadi saksi saat sepasang suami-istri itu berdiskusi. Nadir cukup kecewa karena Roni melanggar janjinya yang mengatakan akan mengizinkan Ratih tetap bekerja setelah menikah. Begitu pula dengan Anes. Namun, pilihan tetap pilihan.
Ratih hanyalah seorang istri yang tidak bisa menentang kehendak suami. Ia mengerti betul jika suaminya itu khawatir. Maka dari itu, Ratih meminta pengertian kepada dua sahabatnya.
Satu jam berlalu setelah Ratih menelepon tadi pagi. Anes dan Nadir sudah bersiap untuk berangkat kerja.
Kemeja satin warna abu dan rok span hitam selutut dipilih Nadir kali ini untuk bekerja. Gadis itu tidak terlalu bergairah. Kalau saja cutinya belum habis, ia ingin mengambilnya lagi untuk hari ini.
Berbeda dengan Anes yang mengenakan blus lengan panjang warna lila dengan aksen pita di bagian lehernya, dipadukan dengan rok span kuning selutut yang memiliki belahan di bagian kiri sepanjang lima senti.
Kepribadian dua gadis itu sangat berbanding terbalik ketika mereka bersedih.
Acap kali Nadir selalu mengenakan warna-warna gelap ketika ia bersedih. Entah hanya perasaanya saja atau bukan, tapi semua warna yang ia lihat ketika seperti ini seakan sama saja. Hitam dan abu-abu. Tidak ada putih atau lainnya.
Untuk memulihkan suasana hatinya pun cukup mudah, makanan. Namun, tidak sembarangan makanan yang ia terima. Hanya dari orang-orang tertentu saja.
Sedangkan Anes, lebih suka mengkombinasikan dua warna. Biasanya, ia akan mengenakan tiga atau lebih warna yang dipilih. Akan tetapi, di saat suasana hatinya tidak baik seperti sekarang dirinya terlalu malas memilih banyak warna.
Gadis satu ini cukup baik dalam mengontrol suasana hati. Beberapa jam lagi juga akan pulih.
Keputusan Ratih berhenti bekerja ini sungguh mendadak bagi dua gadis itu. Mau tidak mau, keduanya harus menerima pilihan yang diambil Ratih.
Sepulang kerja nanti, Nadir dan Anes akan menemui Roni dan melampisankan kekesalan mereka terhadap laki-laki itu.
pro.bi.ty.
"Curang banget. Giliran mau didatengin malah kabur duluan," dumel Anes seraya menyedot minuman coklat dingin yang beberapa waktu lalu ia pesan.
Sepulang kerja, Anes dan Nadir berniat akan mendatangi rumah baru Ratih yang diberi Roni. Namun urung ketika si empunya tidak ada di rumah.
Selepas Ratih mengundurkan diri dari kantor dan pamitan siang tadi. Ia dan suaminya pergi ke Bandung untuk mengunjungi rumah orang tua mereka.
Karena batal ke tempat tujuan, dua gadis itu pergi ke kafe yang tidak jauh dari kantornya. Tidak perlu lama menunggu keduanya sudah mendapat minuman yang mereka pesan, coklat dingin milik Anes dan minuman soda milik Nadir.
Nadir mendengkus. "Bisa-bisanya Roni nggak nepatin janji." Telunjuk dan ibu jarinya mengapit sedotan yang berada diminumannya dan digoyang-goyangkan.
"Keterlaluan emang. Nyebelin banget tuh si Roni." Anes mengembuskan napas kasar. Matanya berkeliling mengamati yang ada di depannya.
Pengunjung kafe di jam-jam pulang kantor biasanya cukup ramai. Namun, untuk hari ini hanya beberapa meja saja yang terisi.
Meja yang terletak di samping jendela besar, tidak jauh dari pintu masuk
mau pun kasir menjadi tempat favorit Nadir, Anes dan Ratih.
Kafe ini terbilang kecil tapi nyaman untuk menjadi destinasi pulang kerja. Beberapa menu yang ditawarkan menjadi hidangan favorit ketiganya setiap datang ke sini, yang paling sering dipesan adalah; coklat dingin tanpa campuran apapun, soda dengan campuran lemon, dan es kopi.
Baru kali ini mereka mendatangi kafe tanpa Ratih. Pelayan yang biasa melayani mereka pun menanyakan keberadaan Ratih. Saking seringnya mereka datang ke sini, ketiganya menjadi kenal dan cukup dekat dengan beberapa pegawai kafe.
"Apa mungkin mereka mau cepet-cepet punya anak?" Nadir menengakkan duduknya dan menggebrak pelan meja. Namun, hal itu malah membuat Anes tersentak.
"Biasa aja!" Anes mencebik karena ulah Nadir. "Ya, bisa jadi juga Roni pengin cepet punya anak. Makanya nyuruh Ratih berhenti kerja."
"Tapi, kan tanpa berhenti pun mereka tetap bisa merencanakan buat anak?"
"Buat matamu, dikira buat adonan apa! Ah, tau ah. Bahas soal ini malah bikin aku makin badmood, bahas yang lain aja kek. Soal ini mah nanti kita datengin Ratih langsung kalau dia udah balik ke Jakarta." Anes membuang napas setelah bicara panjang lebar.
Memang suasana hatinya saat ini masih dalam keadaan yang kurang baik. Nadir menyampingkan perasaanya yang kacau untuk mencari cara memulihkan suasana hati Anes.
Laki-laki. Ya, pembahasan itu cukup untuk mengembalikan mood Anes, begitu pikirnya. "Ngomong-ngomong, kemarin nggak jadi bahas soal Hamdan—"
Anes melotot. "Oh iya! Ini semua gara-gara nomor gaje itu. Coba aja kalau nggak ada yang tiba-tiba nelepon gitu, udah aku kasih tahu dari kemarin soal Hamdan."
Nadir tersenyum melihat keantusiasan temannya berbicara. Tidak seru kalau ia dan Anes dalam mood buruk secara bersamaan, paling tidak mengembalikan salah satunya lebih baik. Meskipun Nadir sendiri cukup muak membahas soal laki-laki.
"Jadi?"
"Semenjak hari pernikahan Ratih itu aku minta nomor Hamdan secara langsung."
Nadir cukup terkejut mendengar fakta ini. "Serius? Kamu minta nomor Hamdan? Bukannya dia udah punya anak?"
"Satu-satu, Bun. Nanyanya."
Mendapat respon seperti itu, Nadir hanya cengengesan. "Kayaknya, baru kali ini ada bahasan soal laki-laki yang menarik. Coba kamu ceritain."
"Akhirnya, Nadirku kembali normal." Anes mendengak seraya mengangkat kedua tangannya.
Hal itu menjadi perhatian bagi pengunjung kafe. Nadir mendesis dengan kelakuan Anes berusaha menurunkan tangan temannya itu. "Aish!"
"Oke, oke. Jadi begini, Roni emang bilang Hamdan punya anak. Nggak semua orang yang punya anak, punya istri juga dong?"
"Maksudnya, Hamdan duda?"
"Yap, betul." Anes menjentikkan jarinya kemudian membentuk pistol menujuk Nadir. "Hamdan udah cerai sama istrinya. Jadi, nggak ada salahnya buat deketin. Toh, dia ganteng. Nggak cuma Hamdan. Aku juga minta nomornya Baskara." Anes menaik-turunkan alisnya.
Sontak kening Nadir mengerut. "Astaga. Bisa-bisanya."
Anes mengangkat dagunya bertingkah pongah. "Iya bisa, dong. Apa sih yang nggak bisa dilakukan Anes?"
"Waras."
"Sialan!"
Kekehan Nadir menguar ke udara menular pada Anes. Membicarakan hal-hal di luar dugaan membuat keduanya lupa waktu. Tanpa disadari, sore sudah berganti.
Dering telepon dalam tas milik Anes berbunyi.
"Beda kalau selebritis, data hapenya nggak bisa dimatiin bentar pasti nyala terus dicariin, diteleponin."
Anes baru saja berhasil mengambil ponsel dalam tasnya lalu menatap Nadir. "Ikan teri pake saos—"
"Nggak, nggak iri. Buruan angkat." Nadir mengibas-ngibaskan tangannya di hadapan Anes.
Anes mencibir sebagai balasan. Ia menerima panggilan di ponselnya. Matanya menatap Nadir yang tengah memperhatikannya. Tak lama kemudian Anes memamerkan giginya pada sang kawan. "Oke-oke. Bye!"
Sebelah alis Nadir terangkat. "Siapa? Udah ditutup lagi aja."
Gadis itu meraih kedua telapak tangan Nadir lalu meremasnya dengan gemas. "Panjang umur jodohkuuuu! Hamdan nelepon minta ketemuan. Aku tinggal sekarang nggak apa-apa?" Netranya terbuka lebar dan mempertahankan senyum yang menampilkan gigi.
"Heduh! Kirain apaan." Nadir berusaha melepaskan tangannya. "Oke, oke. Ya udah sana pergi. Nanti kalau ada apa-apa kasih tahu, ya?"
"Siap!" Anes memberi hormat dan memeluk Nadir untuk berpamitan.
Nadir memperhatikan Anes menghampiri kasir dan kembali. "Udah aku bayar." Setelah kalimat itu, ia tak melihat lagi sahabatnya.
Sekarang, ia sendirian di kafe. Tangannya bergegas membereskan tas dan bersiap untuk pergi.
Baru saja akan berdiri, seorang laki-laki yang Nadir tidak tahu datang darimana menahan tangannya. "Jangan dulu pergi."
Tanpa disadari Nadir, laki-laki itu sudah cukup lama memperhatikan ia dan Anes.
[]
Terima kasih sudah membaca ✨
Begini, aku terserang virus mager. G, canda mager. ✨
Bandung,
28 Desember 2020, 17.50 WIB.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro