Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

IV. Nomor Tidak Dikenal

Aroma bawang putih yang sedang ditumis menguar ke penjuru ruangan yang luasnya hanya 3x3 meter. Tak adanya dinding penghalang membuat aroma itu merebak ke mana-mana.

Seorang gadis di balik selimut tengah menggeliat. Aroma bawang putih tadi cukup membuatnya sesak sampai terbangun.

Dengan mata kantuk, terpaksa ia menyibak selimut untuk bangun dan duduk menyilang.

Telinganya menangkap suara sutil dan wajan beradu. Netranya berkeliling untuk mencari tahu.

Tak jauh dari tempatnya duduk, ia melihat seorang gadis lain tengah berjongkok di hadapan kompor yang menyala. Tangan kanan memegang sutil, yang lainnya menahan kuping wajan agar tidak bergoyang di atas kompor.

"Lagi masak apa, Nad?" Setelahnya, gadis tadi menguap.

Nadir, orang yang ditanyai menengok sebentar. "Bangun juga kamu, Nes. Aku masak nasi goreng. Oh, iya tadi pagi Ratih telepon. Katanya, dia sama suaminya bakal ke sini bawa barang-barang yang ketinggalan sekalian perpisahan." Tangannya kembali sibuk membolak-balikan nasi di penggorengan.

Anes, gadis itu terbeliak lalu berdiri seketika. Ia mengambil langkah cepat menuju kamar mandi yang berada di ruangan itu juga. Letaknya tak jauh dari kompor tempat Nadir memasak.

"Kenapa nggak bangunin daritadi, sih?! Kan belum mandi anjir. Ah, kamu mah Nad." Anes mengomel di balik pintu kamar mandi yang terbuka sedikit.

Kunci pintunya sudah rusak, oleh sebab itu tidak dikunci. Siapa yang peduli, lagipula dalam satu ruangan ini hanya ada dirinya dan Nadir. Begitu pikir Anes.

"Halah! Biasa juga nggak mandi pagi kamu, Nes."

"Hash! Berisik," balas Anes dari dalam.

Nadir menggeleng-geleng kepala dengan kelakuan satu temannya itu.

Selang beberapa menit setelah Nadir menyelesaikan masak-memasaknya, gadis itu menyandarkan kasur busa bekas Anes tidur ke dinding.

Tangannya mengambil sapu yang tergantung di balik pintu masuk. Nadir sangat resik. Melihat debu sedikit saja dia risih. Anes yang jarang bersih-bersih membuatnya gemas. Namun, temannya itu sering mengusilinya dengan mengganggu ia menyapu.

Untung saja, kali ini Anes tengah mandi. Jadi, dirinya bisa dengan bebas membereskan ruangan kecil yang sudah mereka tempati selama satu tahun.

Nadir tersenyum melihat ruangannya sudah rapi.

Telinganya tak menangkap lagi percikan air. Nadir yakin Anes baru selesai mandi. Segera ia siapkan karpet untuk menata makanan dan alat makan-tentunya-di sana.

"Assalamualaikum, Nes, Nad!" Pintu masuk terbuka memunculkan kepala tanpa badan. Wajahnya tersenyum saat mata itu bertumbuk dengan milik Nadir.

"Waalaikumsalam." Nadir meloncat dan berlari ke arah perempuan di balik pintu-Ratih. Dibuka pintu itu lebih lebar, Nadir mengambil badan Ratih untuk dipeluk lebih erat. "Huaaa kangen!"

Ratih membalas rengkuhan Nadir dan menepuk-nepuk punggung gadis itu.

"Ayo masuk. Kak Roni, ayo masuk Kak!".

Setelah masuk, ketiganya duduk di karpet. Nadir menyendokkan nasi goreng ke piring satu-satu dan memberikannya pada Ratih dan Roni. "Makan, makan, aku yang masak loh." Nadir memamerkan giginya.

"Bagus banget, datang pagi buta biar dapet sarapan gratis." Baru saja Anes ke luar dari kamar mandi. Tatapan sinis ia jatuhkan pada Ratih yang menatapnya juga.

"Iya dong, lumayan."

Tidak, Anes tidak benar-benar marah pada Ratih. Tentu saja gadis itu senang atas kedatangan Ratih hari ini.

Ratih bercerita banyak soal bulan madunya dengan Roni selama seminggu di Bali. Anes dan Nadir sangat antusias mendengarkan ceritanya.

Nadir masih merasa ini adalah mimpi karena pernikahan Ratih begitu cepat baginya. Tiga tahun bersama di kota orang bukan hal yang singkat.

Ia ingat betul bagaimana susahnya meminta izin orang tua Ratih agar temannya itu diizinkan untuk merantau ke Jakarta bersamanya dan Anes.

Lulus sekolah, ketiganya mencari peruntungan di ibukota. Tinggal di satu atap yang sama. Ketiganya pun bekerja di tempat yang sama.

Beruntungnya, mereka mendapat pekerjaan yang sama dan bertahan bahkan sampai saat ini.

Selama empat tahun, Ratih maupun Anes sudah beberapa kali pulang kampung. Kalau tidak pulang, paling keluarga mereka yang berkunjung ke indekos.

Nadir tidak sekalipun pulang. Lebih tepatnya, ia sendiri tidak tahu harus pulang ke mana. Tidak ada yang menunggunya pulang. Sekadar ada yang peduli padanya pun tidak ada. Keluarga yang ia miliki saat ini hanyalah Ratih dan Anes.

Anehnya, meskipun tak ada yang memintanya pulang. Ia selalu dimintai uang bulanan oleh ibunya. Kadang ibu tirinya pun bertanya kapan ia gajian. Padahal, Nadir tidak terlalu dekat juga dengan istri baru ayahnya itu.

Kalau saja dulu ia bisa memilih, Nadir ingin menjadi anak yang terlahir dengan satu ayah dan ibu saja. Tidak terpisah-pisah seperti ini.

pro.bi.ty

Tanggal merah dimanfaatkan cukup baik oleh Nadir dan Anes. Sepulang Roni dan Ratih. Kedua gadis itu memutuskan untuk menonton film.

Entah film ke berapa yang mereka tonton dari siang sampai sore. Pun tidak ingat keripik yang mereka makan sudah habis berapa bungkus.

Menjelang ending film, Nadir mendengkus. "Kenapa, sih harus film ini. Dari semua film yang kita tonton akhirnya pasti sama. Cewek sama cowoknya berakhir bersama terus nikah."

"Makanya, dinamai kisah romantis. Gimana, sih!" Anes melempar keripik yang ia gigit setengah ke arah Nadir.

Nadir mengambilnya tanpa jijik lalu memasukannya ke kresek sampah. "Awas aja kalau kamar ini berantakan lagi gara-gara kamu!"

Anes malah nyengir melihat Nadir mencebik. Netranya kembali fokus pada layar komputer jingjing miliknya yang menampilkan pasangan tengah bercumbu di hari pernikahan.

"Nes, nggak ada stok film horor atau apa gituh yang bisa diambil banyak pelajarannya?"

"Pelajaran sekolah, noh mau?" jawab Anes dengan asal. Tangannya mematikan laptop dan melipatnya. Ia mendekati Nadir yang duduk dengan kaki dipanjangkan. Kepalanya dijatuhkan begitu saja pada paha Nadir.

Nadir mendecak dan menjambak pelan rambut Anes sebentar. "Bete nih. Masa nggak ada film lagi."

"Kalau ada juga bakal nonton lagi." Anes membuka kunci ponselnya. "Ngomong-ngomong, Hamdan ganteng, ya Nad."

"Biasa aja."

"Ish!" Anes mencubit paha Nadir. "Serius, Nad."

Nadir memutar bola matanya. Ia menyingkirkan kepala Anes lalu mendorong tubuh temannya itu untuk menjauh. Tubuhnya berdiri untuk menggelar kasur busa yang ia sandarkan ke dinding. "Dah, ah tidur aja." Setelah itu tangannya mengambil bantal dan menjatuhkan tubuhnya di kasur itu.

Anes tidur di samping Nadir. Kepalanya menggeser-geser kepala Nadir agar ia dapat tidur di bantal yang sama.

"Bantal itu banyak, loh Nes," omel Nadir.

"Gamau." Ponsel yang daritadi dimainkan ia simpan sembarang. Tangannya memeluk tubuh Nadir. "Nyaman kalau tidurnya gini."

Anes memang tidak bisa tidur tanpa memeluk tubuh Nadir atau Ratih. Hal itu sudah menjadi kebiasaan sejak mereka tinggal bersama. Nadir memaklumi itu.

Menit berlalu sampai langit di luar mulai gelap. Netra kedua gadis itu tak kunjung terpejam. Mereka disibukan dengan pemikiran masing-masing. Berkali-kali keduanya menghela napas dan mengembuskanya dengan kasar.

"Gabut, Nes."

"He'eh." Kepala Anes bergerak di atas dada Nadir. Bahkan, kepala Anes sudah pindah posisi tetap saja ia tidak terlelap. Begitu pun Nadir yang sudah mencoba memejamkan matanya, tapi tidak berhasil juga.

"Hamdan itu yang mana, Nes?" tanya Nadir tiba-tiba.

Anes mengangkat kepalanya dan melepas pelukan dari Nadir lalu terduduk. Mulutnya terbuka pun matanya hampir lepas mendengar pertanyaan tiba-tiba dari Nadir. Dengan antusias Anes menjawab, "Itu, yang-"

Belum habis ucapan Anes, dering telepon berbunyi cukup bising. Suaranya sempat membuat Nadir tersentak. Jantungnya masih berdegup cukup kencang. Ia segera bangun dan mencari-cari ponselnya.

Nadir tidak terbiasa menerima telepon secara tiba-tiba. Hal itu selalu membuatnya terkejut dalam beberapa saat.

Nada dering itu berhenti seletah Nadir berhasil menemukan ponselnya. Kerutan nampak di kening Nadir membaca nomor yang tidak dikenal muncul di layar ponselnya.

"Siapa, Nad?"

"Gatau, nggak ada namanya."

"Kurir paket kali."

"Biasanya juga nge-chat dulu, ini nggak."

Ponselnya kembali berdering. Lagi-lagi, Nadir tersentak karena suaranya. Ia melihat nomor yang sama.

Anes merebut ponsel milik temannya itu untuk mengangkat dan mengetahui siapa yang menghubungi. Tangannya kalah cepat karena sambungan telepon itu terputus. "Kamu, sih lama. Dimatiin lagi kan!"

"Pasti bukan dari kurir paket. Ganggu banget, sih." Nadir kembali merebut ponselnya. Bersamaan dengan itu, nomor tak dikenal kembali menghubungi.

Kesabarannya sedang diuji sekarang. Gadis itu mulai naik pitam. "Halo! Iseng banget, sih nelepon tapi dimatiin lagi sampe tiga kali! Ini siapa?!" Ia berteriak di akhir kalimat.

"Halo-"

Nadir memutuskan sambungan telepon begitu ia mendengar suara laki-laki yang sedikit tidak asing di telinganya.

Anes mengangkat sebelah alisnya. "Siapa? Kok dimatiin?"

"Orang iseng. Udah ah, kita tidur aja." Nadir mengaktifkan mode pesawat agar ponselnya tidak berbunyi lagi.

Anes menggedikan bahu dan menurut saja pada Nadir untuk mencoba tidur lagi.

[]

Siapa yang kesel kalau ditelepon cuma miscall doang hayo?! Kalau sama miscall aku nggak kesel, keselnya sama misca. || Hah! Apa?
👁️👄👁️

Oke, baiklah. Terima kasih sudah membaca sampai sini.

Bandung,
21 Desember 2020, 12.25 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro