Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 25 (End)

Selamat membaca
*
*
*
Kim Bum mengumpat kesal  saat menerima telepon dari sekertarisnya. Baru dua hari ia menikah kini Kim Bum harus kembali bekerja karena kesalahan dari sekertarisnya dalam mengatur jadwal meeting dengan client.

Rencana yang sudah ia susun bersama So Eun harus tertunda. Pada hal mereka sudah merencanakan jalan-jalan bersama. Kim Bum menggeliat menarik selimut yang merosot jatuh di pinggang.

Ia tersenyum menatap wajah So Eun yang damai. Dikecupnya kening sang istri lalu menyelimutinya sebatas dada sebelum beranjak ke kamar mandi.

Setelah resmi menikah Kim Bum dan So Eun memilih untuk tinggal di rumah baru. Tentu Kim Bum tidak ingin So Eun tertekan jika satu atap dengan ibunya. Walau sang ibu sudah merestui bukan berarti semua akan berjalan lancar.

Suara air gemericik membuat tidur So Eun terganggu. Tangannya menggapai sisi sebelahnya yang ternyata sudah kosong. So Eun menegakkan tubuhnya mengusap mata yang masih mengantuk. Semalam ia dan Kim Bum bermain hingga larut malam.

Permainan yang membuat kening So Eun memerah dan sakit. So Eun beranjak dari tempat tidur ke ruang tamu. Di lantai berserakan kertas yang mereka pakai semalam. So Eun yang penasaran pun membuka setiap gulungan kertas itu.

"Selamat Anda mendapat satu pertanyaan lagi setelah menjawab pertanyaan dari lawan Anda," ujar So Eun membaca isi gulungan pertama.

Gulungan kedua, ketiga dan seterusnya berisi kata yang berbeda, tapi intinya sama. Tidak heran kalau semalam So Eun tidak mendapat kesempatan bertanya pada Kim Bum. Sialnya saat ia salah menjawab Kim Bum dengan bahagianya menyentil kening So Eun. Belum pernah ia melihat Kim Bum sebahagia tadi malam. 

So Eun meremas kuat kertas-kertas itu. Bodohnya ia tidak curiga sama sekali. Rasa kantuk So Eun seketika hilang digantikan rasa kesal yang membuncah.

"Awas saja kau Kim Sang Bum. Kau lupa siapa istrimu ini."
So Eun tersenyum licik. Ia bergegas pergi ke kamarnya. Suara shower masih terdengar di dalam kamar mandi itu artinya Kim Bum belum selesai.

Dengan cepat So Eun membuka lemari mencari pakaian Kim Bum lalu mengenakannya. Kemeja putih itu hanya bisa menutupi sampai atas lututnya. So Eun tersenyum melihat pantulan diri di depan cermin.

"Kita lihat apa seharian ini kau bisa berkonsentrasi?"

Pintu kamar mandi terbuka. So Eun dengan cepat berpura-pura membereskan tempat tidur. Kim Bum tertegun melihat penampilan So Eun yang sangat menggoda. Belum lagi kemeja yang dikenakan So Eun kebesaran.

"Kenapa kau berpakaian seperti itu?" Kim Bum tidak beranjak dari tempatnya. Ia tidak mau terjadi sesuatu pagi ini. Kalau ia terlambat meeting maka reputasinya sebagai pimpinan disiplin dan teladan akan tercemar.

So Eun berbalik menatap Kim Bum. Sialnya,mata Kim Bum tertuju pada tiga kancing kemeja yang terbuka. So Eun tahu apa kelemahannya. Bukankah playboy sepertinya sudah terbiasa melihat wanita seksi. Menurut Kim Bum istrinya berbeda. Ia memang tidak mudah tergoda oleh wanita seksi di luar sana, tapi So Eun hanya dengan memeluknya saja Kim Bum sudah terlena.

"Apa ada yang salah?" So Eun mengibaskan rambut panjangnya ke belakang. Kim Bum memalingkan wajah saat melihat leher putih jenjang sang istri. Baru saja ia mandi dengan air dingin, tapi sekarang tubuhnya sudah menghangat mungkin sebentar lagi akan panas.

"Aku tidak suka kau berpakaian seksi di pagi hari." Kim Bum berjalan pelan berusaha memasang ekspresi datar dan dingin untuk menunjukkan ketidaksukaannya atau tidak tertarik dengan godaan So Eun. Walau dalam hati ia menjerit seperti singa kelaparan.

"Ganti!" ucapnya tegas.

"Tapi--"

"So Eun."

"Baiklah."

So Eun menurut, tapi hal itu malah membuat Kim Bum melotot. So Eun yang biasanya pemalu kini sedang membuka sisa kancing kemejanya di hadapan Kim Bum. So Eun menggigit bibir bawahnya membuat Kim Bum mengerang kesal.

"Istriku sudah gila," gumamnya lalu menyambar pakaian yang sudah So Eun siapkan sebelum keluar dari kamar. So Eun mengepalkan tangannya erat berhasil membuat Kim Bum kesal.

"Itu akibatnya kalau kau main-main."

Ia tahu Kim Bum tidak akan melakukan sesuatu padanya mengingat sebentar lagi dia akan meeting. Kim Bum pria yang profesional, ia tidak akan membatalkan meeting hanya untuk bersenang-senang di atas tempat tidur. Ia pria yang bertanggung jawab dan So Eun menyukainya.

So Eun segera mengganti pakaiannya lalu bergegas menyiapkan sarapan untuk Kim Bum. Ia mulai sibuk di dapur sampai tak menyadari bahwa Kim Bum menatapnya sejak tadi.

Penampilan pria itu sudah rapi. So Eun berbalik menatap Kim Bum yang sedang bersandar di ambang pintu.

"Duduklah Bum, aku sudah buatkan pancake untuk sarapan. Aku harap kau suka."

Kim Bum menghampiri So Eun yang sedang menuangkan sirup di atas pancake.

"Kelihatannya lezat." Kim Bum menarik kursi lalu duduk di samping So Eun. Sebuah pesan masuk menggetarkan ponsel Kim Bum. Ia mulai sibuk berbalas pesan.

"Bum, makan dulu. Kau bisa telat nanti."

Kim Bum hanya bergumam sesekali melirik So Eun melalui ekor matanya.  Beberapa kali pesan yang ia tulis dihapus agar terlihat sibuk di hadapan So Eun.

"Bum,sarapan."

"Aku harus membalas pesan dulu, So Eun."

Kim Bum mengulum senyum saat So Eun memotong pancake yang ada di piringnya.

"Buka mulutmu biar aku suapi."

Kim Bum menyunggingkan senyumnya sebelum menerima suapan dari So Eun. Kim Bum tetap sibuk menulis dan menghapus pesan selama So Eun menyuapinya.

"Aku berangkat sekarang." Kim Bum mencium kening So Eun.

"Bum, hari ini aku akan pergi ke tempat latihan apa kau mengizinkannya?"

"Hm... tentu. Aku akan meminta sopir mengantarmu."

"Tidak perlu. Aku bisa pergi sendiri." Kim Bum menatap So Eun lekat.

"Baiklah. Jaga dirimu baik-baik."

Kim Bum segera berangkat, tapi saat ia akan membuka pintu So Eun memanggilnya.

Kim Bum menatap sang istri sebentar lalu menyesal setelahnya. So Eun tidak berhenti menggodanya pagi ini. Kim Bum meremas ganggang pintu saat melihat So Eun mengedipkan matanya sembari menggigit bibir bawahnya.

Sial, bagaimana ia bisa mengendalikan diriku semudah ini? batin Kim Bum.

"Kau akan menyesal Kim So Eun," ujar Kim Bum lalu keluar menghentak kaki. Ia berjalan cepat menuju mobil hitam yang telah menunggunya.

"Maaf Tuan Kim kalau sa--"
"Diam. Jalankan saja mobilnya."

Pria itu terdiam lalu bergegas menjalankan mobilnya.

***
So Eun duduk cemas di sebuah ruangan kantor. Di depannya ada dua pria sedang bicara sesuatu yang serius. Kedua pria itu menatap So Eun .

"Kami sangat menyayangkan keputusanmu untuk menikah. Kau tahu perhelatan Sea Games  sudah dekat, kami tidak bisa mencari kandidat lain. Kau harapan kami satu-satunya,So Eun."

"Maafkan aku." So Eun menunduk merasa bersalah. Jujur saja ia masih berharap bisa bermain di kancah internasional, tapi bagaimana dengan Kim Bum. Ia tidak mungkin membuat pria itu menunggu lama.

"So Eun kami berharap kau tidak mengundurkan diri. 3 tahun lagi usahakan kau tidak hamil. Ingatlah mimpimu, So Eun. Kau sudah berjalan sejauh ini."

So Eun meremas kuat tas selempangnya. "Aku akan bicara dulu pada suamiku."

"Kami harap keputusan terbaikmu."

So Eun pamit undur diri setelah pembicaraan itu selesai. Ia berjalan pelan mengingat mimpi-mimpinya. Keputusan yang sangat sulit untuknya.

Mobil putih berhenti di depan So Eun saat gadis itu keluar dari area gedung. Seorang pria berjas hitam keluar dari tempat kemudi lalu berjalan mengitari mobil untuk membuka pintu.

"Hong," gumam So Eun saat pria tua itu keluar dari mobil. Hong menunduk hormat lengkap dengan senyum di wajah keriputnya.

"Yang Mulia Nona Kim So Eun," panggil Hong.

"Jangan panggil aku yang mulia, kau membuatku malu. Panggil aku So Eun, bukankah aku ini cucumu?"

"Baik Yang Mulia."

So Eun memutar bola matanya melihat sikap Hong yang kaku.

"Anda ingin berjalan-jalan sebentar?"

So Eun mengangguk. Ia butuh teman untuk bicara dan mungkin Hong orang yang tepat. Mereka berjalan bersisian,sementara mobil putih itu mengikuti pelan dari belakang.

"Ada yang mengganggu pikiran Anda, Nona?"

So Eun menghembuskan napas panjang. "Boleh aku tanya sesuatu?"

"Tentu, tanyakan apa yang ingin Nona tahu."

"Apa Raja So Yi Jeong orang yang baik.  Bukankah seorang raja sangat tegas sekali pun dengan anak istrinya."

Hong tersenyum tipis. "Yang mulia adalah orang yang bijaksana. Dia sangat mencintai keluarga dan rakyatnya. Apa Anda mencemaskan hubungan Anda dengan Yang Mulia?"

"Iya, aku sedang bimbang. Tolong panggil dia Kim Bum berhentilah memanggilnya Yang Mulia."

Hong tertawa. "Maafkan hamba, Nona. Percayalah tidak ada orang yang lebih memahami Putri Chu selain Raja Yi Jeong begitu juga sebaliknya. Berkat Putri Chu berhasil meyakinkan raja leluhur kami berhasil lepas dari hukuman berat. Mungkin jika Putri Chu gagal meyakinkan raja hamba tidak akan berada di sini."

Mereka berhenti sejenak. "Aku tidak yakin Kim Bum bisa memahaminya."

"Hamba yakin Tuan Kim akan mempertimbangkan sesuatu dengan baik. Dia pebisnis hebat jangan ragukan keputusannya."

So Eun mengangguk pelan. Bicara dengan Hong membuatnya lebih lega.

"Mari hamba akan mengantar Nona pulang."

"Tidak perlu. Kau pergi saja aku masih ada urusan."

Hong menundukkan kepala lalu masuk ke dalam mobil. So Eun berjalan pelan menyeret kakinya ke jembatan panjang. Ia berhenti menatap arus sungai yang mengalir di bawah jembatan.

"Mimpi dan cinta. Kenapa sulit untuk memilih," gumam So Eun.

Ia khawatir kalau Kim Bum marah setelah mendengar penjelasannya. Kalau So Eun memilih melanjutkan mimpinya itu berarti mereka harus menunda untuk memiliki buah hati. So Eun belum pernah membahas masalah anak dengan Kim Bum sebelum atau sesudah menikah.

So Eun terus merenung tanpa sadar matahari mulai tenggelam. Ia beranjak pulang untuk menyiapkan makan malam. So Eun mendapati Kim Bum sedang memasak di dapur.

Tubuh tegap itu membuatnya selalu ingin memeluk dan berlindung. So Eun berjalan pelan mendekati Kim Bum lalu memeluknya dari belakang.

"Kau sudah pulang. Aku sedang memasak steak untuk makan malam." Kim Bum membalikkan daging sapi di atas pan.

"Bum."
"Iya?"
"Apa aku boleh bicara sesuatu?"
Kim Bum mematikan kompornya lalu memindahkan daging ke piring. Pelukan So Eun terlepas saat Kim Bum berbalik.

"Apa yang ingin kau bicarakan?"

"Aku sudah bicara pada pelatih dan manager. Mereka memintaku tetap bertahan, tidak mudah mencari pengganti. Untuk itu aku ingin tahu pendapatmu."

"Sampai berapa lama?"

Raut wajah Kim Bum berubah membuat So Eun was-was.

"3 tahun setelah itu aku akan pensiun.  Aku tidak boleh hamil selama 3 tahun."

Kim Bum mengusap dagunya lalu menengadah. Tangan So Eun gemetar takut. Mereka baru menikah, So Eun takut ini akan berakhir.

"Apa yang akan kau pilih So Eun? Mimpimu atau aku?" tanya Kim Bum. So Eun belum sanggup memilih dua hal yang berarti dalam hidupnya.

"Tanpa mimpi aku tidak akan bisa bertahan sampai saat ini. Tanpa dirimu aku bukanlah Kim So Eun. Aku tidak bisa kehilangan separuh jiwa."

So Eun menunduk. Pikirannya kalut. Segala macam keputusan buruk muncul di benaknya. Kim Bum terdiam cukup lama sampai akhirnya pria itu bicara.

"Aku izinkan," ucap Kim Bum membuat So Eun mendongkak.

"Eh? Apa kau serius? Itu artinya kita menunda memiliki anak."

Kim Bum merengkuh tubuh So Eun ke dalam dekapannya.

"Tidak apa. Aku bisa menunggu. Hanya tiga tahun setelah itu kita bisa mulai merencanakan masalah anak."

Pelukan keduanya terurai. "Tapi kenapa wajahmu terlihat tidak bahagia?"

Kim Bum mengusap leher belakangnya.

"Aku khawatir stok pengaman habis. Aku harus membeli 10 kotak untuk jaga-jaga selama 3 tahun."

"Yak! Kim Sang Bum. Di saat seperti ini kau masih memikirkan pengaman?" So Eun menatapnya tajam.

"Aku juga harus memikirkannya, 3 tahun bukan waktu yang singkat untuk puasa, bagaimana kalau karet elastis itu langka? Bisa gawat."

So Eun mencubit perut Kim Bum membuat pria itu tertawa. Kim Bum menarik So Eun dalam dekapannya. Sesekali ia mencium puncak kepala istrinya.

"Asal aku bersamamu itu sudah cukup. Jangan pernah pergi aku tidak akan rela ditinggal olehmu. Aku akan mendukung mimpimu."

So Eun melepas pelukan Kim Bum lalu berjinjit mencium bibirnya kilat.

"Kau adalah jiwaku ke mana pun kau pergi aku akan selalu di sampingmu. Aku mencintaimu."

Kim Bum menangkup kedua sisi wajah So Eun lalu mendaratkan ciuman di bibir sang istri. So Eun mengalungkan tangannya pada leher Kim Bum sementara pria itu merengkuh pinggang sang istri untuk lebih dekat.

"Terima kasih sudah menjadi istriku."
"Terima kasih sudah menjadi suamiku."

Kedua kening mereka menempel, kedua hidung saling bergesekan hingga Kim Bum kembali menyatukan bibir mereka.

The end

Selamat malam Minggu...

Maaf membuat kalian menunggu lama. Untuk kedepannya mungkin aku akan membuat short story saja, ya. Terima kasih untuk saran dan masukan kalian. Masih banyak kekurangan dalam cerita ini untuk itu aku minta maaf.

Aku senang bisa menyapa kalian lagi. Jujur aku rindu nulis di WP tapi apa daya aku harus memprioritaskan yang disebelah dulu. Semoga kalian terhibur dengan tulisan ini. Aku akan terus belajar dan membenahi tulisan agar lebih enak dibaca 😂

Jujur saja selama aku nulis di WP aku merasa nyaman karena kalian memberi kritik dan saran dengan sangat sopan (aku baru saja dpt satu hater di sebelah dan kata-katanya sangat luar biasa. Lumayan membuat aku nggak bisa nulis sehari 🎉🎉)

Thank you sudah setia di lapak ini. Jaga kondisi kalian, ya. Bye. Sampai jumpa di tulisan berikutnya. ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro