Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 20

Selamat membaca
*
*
Chu Ga Eul

Suara itu terdengar nyata membuat kelopak mata So Eun terbuka. Cahaya putih menyilaukan matanya. Perlahan cahaya itu memudar memperjelas pandangannya. Di sebuah hutan tempat di mana dulu ia diasingkan terlihat Hong sedang mengasah pedangnya. So Eun mendekat memanggil nama pria itu. Seketika Hong menoleh.

"Kau ke mana saja?" Hong tersenyum membuat So Eun tertegun.

"Nde?"

"Maaf aku terlambat. Prajurit itu tidak bersedia mengirimkan pesan ke istana," ujar seorang pria muda. So Eun menatap keduanya penuh tanda tanya. Sepertinya Hong tidak bicara padanya melainkan pada pria muda itu.

"Aku tidak mengerti bagaimana seorang raja bisa begitu baik pada penjahat sepertimu. Raja harusnya menjatuhkan hukuman mati," lanjut pria itu lagi.

Hong mengulas senyum ia melanjutkan pekerjaannya mengasah pedang. Di belakangnya banyak pedang kayu yang sudah terkumpul yang nantinya akan dikirim ke istana. Ya, Hong diberi tugas selama pengasingannya di Gunsan untuk membuat pedang kayu yang akan digunakan untuk latihan para prajurit  tentu tanpa bayaran.

"Dia terlalu mempercayai wanita itu. Cinta membuat pria lemah, sama seperti diriku yang tidak memiliki semangat hidup setelah Ruyi pergi. Aku sendiri yang membunuhnya."

Raut wajah Hong berubah So Eun berjongkok di samping Hong lalu mengulurkan tangannya. Namun So Eun tidak bisa menyentuh Hong.

"Kamu memang salah tapi itu semua tidak akan terjadi kalau saja tidak ada orang yang mempengaruhi pikiranmu. Ruyi sangat menyayangimu untuk itu dia mengorbankan dirinya agar kamu berhenti melakukan kejahatan," ucap So Eun namun percuma Hong tidak mendengarnya.

"Pernikahan Putri Chu dan Raja akan segera dilangsungkan. Kau tidak ada niat untuk membatalkannya?" tanya pria muda itu.

Hong menancapkan pedangnya ke tanah, tatapannya tajam membuat pria itu takut.

"Ruyi akan membenciku jika melakukan hal itu." Hong beranjak lalu masuk ke ruangan dan menutup pintunya.

Cahaya putih itu kembali muncul. So Eun menutup matanya. Perlahan mata itu terbuka saat cahaya mulai memudar. Pertama kali yang ia lihat adalah langit-langit kamar sederhananya.

"Jadi itu mimpi?" gumam So Eun lalu beranjak turun dari tempat tidur. So Eun berjalan ke dapur lalu mengambil air minum kemudian menuangkannya ke dalam gelas. Tidak biasanya ia haus di tengah malam. So Eun menarik kursi meja makan lalu duduk termenung. Bola matanya bergulir ke tembok di mana ada sebuah kalender kecil menggantung.

Dua hari lagi pertandingan akan diselenggarakan secara langsung dari salah satu stasiun TV. So Eun meremas gelasnya. Ini yang selama ini ia impikan. So Eun akan berusaha keras demi mimpinya menjadi atlet nasional.

"Eomma, Appa, kalian harus melihatku sukses," gumamnya lalu menghabiskan sisa airnya dalam sekali teguk.

***
Plak!
Suara tamparan mengenai pipi mulus  terdengar menggema di sebuah ruangan. Seorang wanita terlihat marah. Matanya melotot bibirnya gemetar menahan emosi yang membuncah pada seorang pria yang berdiri kaku di depannya.

"Akhiri hubunganmu dengan wanita itu. Dia hanya menjadi penghalang untukmu Kim Sang Bum," ucapnya dengan penuh penekanan.

"Tidak. Aku tidak bisa mengakhiri hubunganku dengan So Eun. Dia gadis pertama yang mengakuiku bukan karena harta tapi dia memberikan cinta yang tak ternilai."

"Hah? Cinta? Kau tidak akan bisa hidup karena cinta, lupakan perasaanmu pada gadis itu dia tidak pantas untukmu."

Kim Bum tersenyum tipis membuat wanita itu geram.

"Akhiri hubungan kalian atau kau harus angkat kaki dari rumah ini."

Ancaman itu membuat senyum Kim Bum memudar. Ia hanya diam membiarkan wanita itu bicara. Sampai akhirnya wanita itu pergi meninggalkan Kim Bum di ruang kerjanya.

***
"Tendang lebih keras!" Pelatih berteriak membakar semangat para atlet. Kejuaraan nasional karate tinggal menghitung jam. Mereka harus bekerja keras untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Peluh mengucur dari dahi So Eun. Menjadi seorang atlet adalah cita-citanya dan menjadi juara adalah mimpinya.

Ini adalah kesempatan besar untuk mendapatkan nama di masyarakat. Jika ia berhasil menjadi juara maka namanya akan melambung tinggi dan diingat oleh masyarakat. So Eun tidak ingin dipandang remeh lagi dia akan membuktikan bahwa dia pun bisa meraih apa yang di cita-citakan. Bukan hanya orang yang mampu secara financial yang bisa meraih mimpinya namun orang-orang seperti So Eun yang tidak pernah menyerah dan putus asa bisa mendapat kesempatan itu.

So Eun selalu percaya bahwa orang yang berhasil memanfaatkan waktu 24 jam setiap harinya akan mampu mencapai sukses dan So Eun sedang melakukannya. Memanfaatkan waktu untuk latihan lebih keras.

"Kita cukupkan sampai di sini. Kalian harus istirahat yang cukup jangan sampai besok kelelahan," ujar pelatih.

Semua atlet membubarkan diri menuju sebuah ruangan untuk berganti pakaian. Satu per satu teman So Eun pergi membuat ia sendirian di ruangan itu. Ponselnya bergetar sebuah pesan dari Kim Bum membuat ia bersemangat.

So Eun menyimpan ponselnya kembali ke saku. Ia bergegas keluar dari tempat latihan. So Eun menghentikan langkahnya saat melihat Kim Bum sedang menatap ke jalanan. Tidak seperti biasanya Kim Bum memakai pakaian rumahan apalagi di hari kerja.

So Eun mengendap-endap berjalan mendekati Kim Bum. Dalam sekali lompat ia memeluk Kim Bum dari belakang membuat pria itu terkejut.

"So Eun jangan mengagetkan aku." Kim Bum melepas tangan So Eun yang melingkari tubuhnya. Kim Bum berbalik menatap So Eun lekat.

"Kenapa kau ada di sini? Bukankah sekarang masih jam kerja? Pakaianmu juga berbeda," ujar So Eun membuat Kim Bum tersenyum.

"Aku akan memberitahumu besok saat kau menjadi juara."

Kim Bum memberikan lengannya untuk So Eun gandeng. Tidak ada penolakan So Eun segera menyambutnya. Mereka berjalan beriringan meninggalkan tempat latihan.

***
Setelah berbelanja kebutuhan dapur kini So Eun sibuk memasak untuk Kim Bum. Kekasihnya itu tidak mau beranjak sedikit pun dari sisinya membuat So Eun terkadang kesal.

"Ambilkan dagingnya," perintah So Eun membuat Kim Bum bergerak cepat mengambil daging yang So Eun maksud.

"Apa kau benar-benar tidak bekerja? Biaranya kau sangat sibuk." So Eun menatap curiga namun Kim Bum hanya menampakkan wajah ceria.

"Aku ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersama kekasihku. Sebelum dia terkenal dan melupakan diriku." Kim Bum seketika murung membuat So Eun jadi gemas. Sejak kapan Kim Bum pintar bersandiwara.

"Aku rasa kau yang akan melupakanku. Aku jadi takut membayangkannya," sahut So Eun. Kim Bum memeluknya dari belakang lalu mencium rambut So Eun.

"Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu, Kim So Eun karena dirimu hanya milik Kim Sang Bum."

So Eun tersenyum lebar lalu memejamkan matanya saat Kim Bum mencium pipinya dari samping. Kim Bum mematikan kompor lalu mengangkat tubuh So Eun untuk duduk di atas meja makan. Kim Bum mengurung tubuh So Eun dengan kedua lengan kekarnya.

"Boleh aku me-"
Ucapan Kim Bum terputus saat So Eun menarik wajahnya lalu mencium bibir Kim Bum rakus. Kim Bum sangat merindukan So Eun, setelah sebulan tidak melihat wajah kekasihnya.

Rasa rindu yang membuat ia hampir gila. So Eun mengalungkan kedua tangannya pada leher Kim Bum. Tangan Kim Bum mengusap pelan punggung So Eun membuat gadis itu memejamkan matanya erat.

Aku akan selalu berada di sisimu, Kim So Eun.

Ciuman mereka terlepas saat suara perut berbunyi. Kim Bum dan So Eun saling bertatapan lalu tertawa bersama. Mereka lapar dan itu membuat mereka malu. Berciuman cukup lama di dapur adalah sesuatu yang baru untuk mereka berdua. Bisanya Kim Bum hanya mengecup pipi dan kening So Eun sebentar tapi sekarang mereka berani melangkah lebih jauh.

"Bum-ah aku mau lanjut masak," ucap So Eun membuat Kim Bum sadar masih mengurung gadis itu. Kim Bum membantu So Eun turun dari meja dan membiarkan So Eun lanjut memasak. Kim Bum menarik kursi dan duduk manis menatap punggung kekasihnya.

Hati Kim Bum menghangat saat melihat So Eun berada di dekatnya.

***

"Kau yakin akan menginap?" tanya So Eun saat Kim Bum menolak pulang. Kim Bum mengangguk mantap. Tidak ada keraguan dalam dirinya.

"Tapi kamarku sangat kecil, tidak mungkin kau tidur di lantai."

Kim Bum menarik tangan So Eun masuk ke dalam kamar gadis itu. Sebuah tempat tidur single bed yang cukup untuk satu orang dewasa.

Kim Bum mendorong pelan tubuh So Eun hingga terlentang di tempat tidur. Kim Bum membaringkan tubuhnya di samping So Eun lalu menarik tubuh gadis itu ke dalam dekapannya.

"Tempat tidur ini sepertinya cukup untuk kita berdua," ujar Kim Bum tepat di telinga So Eun.

Gadis itu mendongkak menatap wajah Kim Bum yang sangat dekat dengannya. Tangan So Eun terulur mengusap wajah Kim Bum lembut.

"Apa kau baik-baik saja?"

So Eun khawatir dengan kekasihnya yang bersikap tidak biasa. Kim Bum meraih tangan So Eun lalu menciumnya. Ia tersenyum membuat rasa khawatir di hati So Eun menghilang.

"Aku akan baik-baik saja saat berada di dekatmu."

So Eun mengeratkan pelukannya pada Kim Bum. Ia sadar sejauh mana pun ia melangkah Kim Bum akan selalu ada dalam bayangnya.

Kim Bum memainkan rambut panjang So Eun. Keputusan sudah ia ambil dan Kim Bum akan menerima semua konsekuensinya. Ia harap So Eun bisa menerima keputusannya dan tetap berada di sisinya.

Apa pun akan aku lakukan agar bisa bersamamu, So Eun. Aku akan berusaha menjadi seorang pria yang selalu melindungimu.

TBC

Terima kasih kalian masih setia membacanya. Terima kasih juga untuk dukungannya ❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro