🌹 Rumah untuk Pulang
"Sejauh apapun jarak kita terbentang, asal kamu tahu, rinduku akan tetap menjadi milikmu."
-Princess Adhera
🌹🌹🌹
Arsya mengendarai mobil seperti orang yang tengah kerasukan. Tak peduli dengan angin, bahkan kabut yang ia hadapi di sepanjang perjalanan. Yang di pikirannya saat ini adalah, bagaimana caranya agar ia bisa bertemu dengan istrinya, Adhera. Ia terlalu khawatir, sebab wanita itu seharian ini tak menghubunginya. Takut-takut sesuatu terjadi padanya, melihat cuaca hari itu yang terlihat lumayan buruk.
Mobil kijang miliknya melaju, melewati setiap tikungan terjal menuju desa tempat TPQ berada. Perasaan was-was tak kunjung mereda, semenjak Tilar memberi tahu kalau ada hal darurat di TPQ. Untuk itu, tanpa mengganti pakaian kerja yang lengannya sudah ia gulung sebatas siku, ia kembali meraih konci mobilnya dan membawanya melaju, membelah lautan kabut di sepanjang jalan kota Hujan.
Saat hendak membelokkan mobil pada tikungan akhir menuju TPQ Al-Gaffar, suara deringan ponsel yang ia taruh pada dashboard mobil terdengar. Ia menepi, berniat mengangkat panggilan tersebut. Berharap, itu adalah kabar dari Adhera. Namun ketika ponsel telah di tangannya, yang tertera di layar bukanlah nama istrinya. Melainkan seseorang yang sudah hampir satu tahun ini tidak ia kunjungi.
"Assalamualaikum," sapanya setelah menggeser tombol terima pada layar ponselnya.
Terdengar suara dehaman berat, sebelum akhirnya salamnnya terjawab, "wa'alaikumussalam warahmatullah. Sehat, Sya?"
"Alhamdulillah sehat, Guru," jawab Arsya. Punggungnya ia sandarkan pada sandaran kursi mobil. Ia meregangkan otot-ototnya yang beberapa saat lalu terasa tegang.
"Sibuk tidak, Sya?" Suara berat khas Pak Kiai kembali terdengar.
Kening Arsya bertaut, dengan wajah bingung yang terlihat kentara. Sepertinya ada sesuatu yang penting terjadi, pikirnya.
"Tidak, Guru. Ada yang bisa Arsya bantu?" Ia kembali menegakkan tubuhnya, lalu menatap jam di pergelangan tangannya. Sudah lumayan sore, dan bayangan Adhera lagi-lagi berseliweran di kepalanya.
"Bisa ke pesantren sebentar? Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan," pinta Pak Kiai.
Arsya tampak berpikir beberapa saat. Ia tidak mungkin menolak permintaan gurunya. Namun ia juga harus menjeput Adhera, istrinya. Walaupun Adhera tidak meminta untuk dijemput, tetap saja ini adalah kewajibannya. Belum lagi melihat cuaca buruk hari ini. Namun bayangan wajah kwcewa Pak Kiai saat menolak permintaannya terlintas. Ia juga sudah lama tidak berkunjung ke pesantren dan bersilaturahmi dengan keluarga Pak Kiai.
"Bisa. Arsya ke sana sekarang," putusnya. Ia memutar balik arah mobilnya, kemudian melaju menuju kediaman Pak Kiai.
***
Hari sudah sangat sore saat mobil milik Revan yang dikendarai Tilar sampai di depan rumah Adhera. Sebelum turun dari mobil itu, perkataan Tilar membuat gadis bergamis itu kembali mendudukkan pantatnya pada kursi yang sebelumnya ia duduki.
"Apa, Lar? Mas Arsya tadi sempat nanyain aku?" tanyanya, menatap lurus ke arah Tilar.
Tilar mengangguk. Lelaki yang duduk di balik kemudi itu balik menatap ke arah Adhera. Dua penumpang yang ikut bersamanya tampak terlelap di samping kiri dan kanan Adhera. Saking lelahnya dengan kegiatan hari ini, mereka sampai tak menghiraukan dua orang berbeda jenis di dekat mereka.
"Iya, Dhe. Tadi pas mau ngeluarin mobil dari parkiran TPQ, si Arsya nanyain. Gue kira lo bakalan diem di TPQ, jadi gue kasih tahu kalo lo lagi di TPQ dan gak sempet bilang mau ke pesantren," jelasnya.
"Pinjem hp," ujar Adhera seraya menyodorkan tangannya.
"Lowbat. Gak bawa powerbank gue," ucap lelaki itu.
"Oh, yaudah. Aku langsung turun deh kalo gitu," ujar Adhera, "Mau masuk dulu gak?" tawarnya sambil melongokkan kepala pada kaca mobil di samping Tilar.
Tilar menggelengkan kepala, kemudian menoleh ke arah dua penumpngnya yang terlelap. "Nggak deh. Gue masih harus nganterin ciwi-ciwi ini," ucapnya.
Tanpa berniat mencegah, Adhera mengangguk mengiakan. Mobil yang dikendarai Tilar bergerak dengan pelan ketika keluar pekarangan rumah Adhera, lalu melaju dengan kecepatan sedang setelah berada di jalan raya.
Saat mobil tersebut sudah tak terlihat dari pandangan matanya, Adhera buru-buru masuk ke dalam rumah. Ia membongkar laci di samping tempat tidur dan mengeluarkan power bank berwarna pink miliknya. Setelah itu, ia tampak sibuk menyambungkan kabel power bank ke colokan ponselnya. Mengutak atik benda pipih itu beberapa saat hingga kemudian membuatnya menyala.
Perasaan Adhera saat ini campur aduk. Antara lelah, letih, was-was dan merasa bersalah karena tadi pagi tak sempat mengabari Arsya. Apa lagi ketika tahu bahwa Arsya sempat menanyai keberadaannya. Dan itu semakin membuatnya merasa bersalah.
Setelah benda pipih di tangannya menyala, Adhera segera mencari nama Arsya di kontaknya. Sambil memperbaiki posisi duduk, dari jongkok di depan laci menjadi duduk di atas kasur, Adhera mencoba menghubungi suaminya.
Di deringan pertama, panggilan menunggu. Masih dengan suasana hati yang campur aduk, dengan tak sabaran ia kembali melakukan panggilan. Hingga deringan ke lima, tak juga ada jawaban dari Arsya.
Adhera menghela napas dengan berat. Dilihatnya jam di dinding kamarnya, dua puluh menit lagi menuju adzan magrib.
Mungkin Mas Arsya mampir buat makan dulu. Ia mencoba berpikir positif.
Wanita bertubuh tinggi bergamis lebar itu mencoba menenangkan dirinya. Ia sandarkan punggungnya pada sandaran kasur, lalu menarik napas dengan pelan. Sebuah hadits tentang larangan seorang istri keluar rumah tanpa izin suami tiba-tiba terlintas di kepalanya.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan, yang artinya;
"Ya Rasulullah, apakah hak suami atas istrinya?"
Beliau menjawab, "Hak suami atas istri adalah tidaklah ia (istri) keluar rumah kecuali dengan izin dari suami. Jika ia melakukannya (keluar tanpa izin), malaikat langit, malaikat rahmat, dan malaikat adzab melaknatnya sampai ia pulang."
Dengan adanya hadits ini, dan yang lainnya yang berkaitan dengan hal ini, sungguh Adhera tak pernah merasa diberatkan adanya. Ia tidak meminta izin pada Arsya karena pagi tadi ia buru-buru. Juga setelah sampai di TPQ, dia tak sempat membuka ponsel karena harus tetap berada di samping Elsa.
Banyak muslimah yang sebenarnya menyepelekan hal ini. Tapi bagi Adhera, meski ilmu agamanya masih begitu cetek, ia tak bisa mengesampingkan masalah izin pada orang tua dan suami. Bahkan jauh sebelum kelergiannya ke TPQ tadi, Arsya sudah memperingatinya untuk memberitahunya ketika Adhera hendak keluar rumah.
Saat pikirannya tak kunjung tenang, khawatir Arsya akan marahinya, ponsel yang di charger menggunakan power bank di sampingnya justru berdering nyaring. Dari tempatnya, Adhera bisa melihat nama yang tertera pada layar ponselnya. Arsya, suaminya.
Tanpa babibu lagi, ia mengangkat panggilan itu.
"Assalamualaikum, Mas?" sapanya dengan cepat.
"Wa'alaikumussalam, Dhe." Di seberang sana, suara Arsya terdengar sedikit serak dan berat. Adhera semakin khawatir mendengarnya.
"Mas di mana? Maafin Dhera karena tadi pagi gak sempat izin. Dhera buru-buru, Mas. Dan ketika mau ngabarin, ponsel Dhera malah lowbat. Maafin Dhera ya, Mas?" cerocos Adhera dengan nada suara cepat.
Arsya terdengar berdeham, lalu menghela napas yang terdengar begitu berat. Ia diam beberapa saat. Begitupun dengan Adhera. Wanita yang tangah berharap cemas tentang suaminya itu diam menunggu Arsya kembali bersuara.
"Iya, Dhe, gak papa. Sekarang kamu di mana? Tadi aku sempat mau ke TPQ," ujar Arsya.
Sempat? Berarti gak jadi ke TOQ dong. Mas Arsya ini di mana sebenarnya? Batin Adhera menerka.
"Alhamdulillah, sekarang Dhera udah di rumah. Mas di mana? Udah makan?" Adhera kembali memberondong suaminya dengan pertanyaan.
Di tempatnya, Arsya mengusap wajah dengan telapak tangannya. Wajah kusamnya tampak lelah. Hingga yang ia lakukan sebelum membuka suara lagi-lagi hanya menarik napas dengan begitu berat. Ia ingin katakan bahwa saat ini ia rindu Adhera. Benar-benar merindukan istrinya, hingga rasanya ia ingin berlari menuju wanita itu. Tapi sayangnya, keadaan belum mengizinkan.
"Aku lagi di pesantren, Dhe. Mungkin akan pulang larut. Ada sesuatu yang sedang didiskusikan dengan Pak Kiai," ujar lelaki berkemeja kusut itu.
Adhera ikut menghela napas. Ia pun tampak lelah. Rindu juga dengan Arsya. Mereka baru menjadi pengantin baru, tapi sudah terpisah jarak saja. Ingin rasanya Adhera menyuruh Arsya untuk segera pulang, kemudian memeluk suaminya itu dengan erat. Tapi sayang, lagi-lagi keadaan menghalangi mereka.
"Ya sudah. Baik-baik di sana. Jangan lupa makan, Mas," pesan Adhera.
Meski istrinya tak akan bisa melihatnya, Arsya tetap menganggguk di tempatnya. "Iya," ujarnya singkat.
"Dhe?" panggilnya saat Adhera hendak menutup telepon.
"Iya, Mas?"
"Jaga diri baik-baik. Jangan menungguku atau mengkhawatirkanku. Aku pasti pulang kok."
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro