🌹 Pertemuan B
"Katakanlah, "Dialah yang menciptakan kamu dan menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati nurani bagi kamu. (Tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur."
~Q.S Al-Mulk /67:23~
***
Dua tahun yang lalu..
Gadis itu menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangannya. Menutupi wajah yang terlihat sendu dan menghalau air yang keluar dari matanya. Hati yang beku itu harus kembali merasa kecewa. Kekecewaan itu sungguh membuat dirinya kian hancur. Ternyata apa yang dikatakan ibu pantinya benar. Jika kita menararuh harapan pada makhluk, besar kemungkinan suatu saat nanti kita akan merasakan yang namanya kecewa.
Dan hal itulah yang saat ini tengah gadis itu rasakan. Setelah berjuang untuk membangun karirnya, ia harus dijatuhkan oleh orang yang ia anggap sebagai seorang sahabat. Entah apa salahnya pada gadis yang ia sebut sahabat itu, sehingga tega melakukan hal seperti ini pada dirinya. Mencemarkan reputasinya sebagai orang kepercayaan dari atasannya. Membuat tuduhan yang benar-benar tidak masuk akal.
Adhera kembali menghembuskan nafasnya dengan kasar. Menatap bangunan di depannya dengan pandangan kosong. Ia kembali mengingat kata-kata pedas dari manager marketing di kantornya.
"Seharusnya saya gak usah kasih kepercayaan sama kamu," wanita paruh baya itu menghela napas panjang. Mengumpulkan kembali kesabaran yang berusaha ia bangun. Sulit dipercaya memang. Gadis sebaik dan sepolos Adhera mampu berbuat sekeji itu pada perusahaannya. Jika direktur utama tahu tentang penyelewengan dana yang dilakukan Adhera, mungkin beliau akan sangat kecewa. Dan hal itu sungguh membuat wanita paruh baya itu menjadi kian prustasi.
"Kamu ini kalo butuh uang ngomong sama saya Dhe! Kamu butuh berapa?! Saya akan kasih!" Dengan nada yang sedikit meninggi Bu Ratna-manager sekaligus orang yang sudah dianggap ibu oleh Adhera itu memandang gadis di depannya dengan pandangan sengit.
"Bu.. Saya bisa jelasin," ujar Adhera dengan suara sedikit serak menahan tangis yang siap tumpah.
"Saya tidak butuh penjelasan kamu! Saya sudah benar-benar kecewa atas perbuatan kamu ini. Saya gak menyangka bocah sepolos kamu bisa melakukan hal memalukan seperti ini. Jadi sebelum direktur utama tahu tentang masalah ini, sebaiknya kamu segera keluar dari kantor ini. Untuk gaji kamu, besok saya transfer," tutup Bu Ratna tak terbantah kemudian berlalu dari ruangannya dan meninggalkan Adhera yang masih menundukan kepala dengan isak yang lolos begitu saja.
"Dhe?"
Adhera sedikit tersentak saat seseorang memegang punggungnya. Dengan gerakan pelan, ia menghapus air matanya kemudian sedikit menolehkan kepala ke arah samping tempat orang yang manggil namanya berdiri. Adhera sedikit maksakan senyumnya. Gadis itu, gadis yang telah menusuknya dari belakang itu berdiri di sampingnya. Menampakkan senyum yang teramat menjijikan di mata Adhera.
"Kamu gak apa-apa kan?" tanyanya dengan nada yang dibuat agar terdengar sedikit iba.
Adhera benci pemandangan ini. Pemandangan di mana ia harus melihat perhatian palsu dari gadis di depannya. Dan di saat seperti ini, gadis ini masih saja menanyakan bahwa apakah dirinya baik-baik saja.
'Menjijikkan!' batin Adhera.
Ia sungguh muak. Benar-benar muak dengan sikap dan drama yang ditunjukan gadis ini. Memanipulasi dirinya agar terlihat bak malaikat yang selalu ada untuk Adhera. Berpura-pura menjadi seorang teman yang sangat baik untuk Adhera menumpah ruahkan segala keluh kesahnya. Berpura-pura menjadi sahabat yang kapan pun Adhera membutuhkan pundaknya, ia akan selalu hadir untuknya. Adhera muak. Ia sungguh tak ingin melihat gadis ini lagi.
Segala sumpah serapahan ingin sekali Adhera keluarkan untuk macan bebulu domba ini. Tapi ia tak akan melakuakan itu. Bagaimanapun juga, gadis ini pernah ada untuknya saat ia butuh tempat untuk bersandar. Yah meski itu hanyalah kepura-puraan semata.
Adhera menarik napasnya perlahan. Ia kembali menatap gadis yang sudah duduk di sampingnya itu. "Aku gapapa kok, Bin," jawabnya kemudian memalingkan wajah dari Sabrin.
"Aku tahu kok kalo kamu gak salah. Dan aku percaya kamu gak mungkin ngelakuin hal sekeji itu. Bahkan kalaupun kamu butuh uang, kamu bisa minjam sama aku kan Dhe? Jadi gak mungkin kamu ngelakuin hal kaya gitu." Sabrin kembali berujar, mencoba menenangkan hati Adhera yang faktanya malah semakin sakit karena ucapannya barusan.
Adhera hanya membalas ucapan itu dengan senyum kecut. Bahkan sampai saat ini pun, gadis di sampingnya ini masih saja bersandiwara. Berpura-pura seolah Adhera tidak mengetahui kebusukannya. "Iya, itu akan sangat tidak mungkin lagi jika bukan karena sahabatku menuduhku melakukan itu." Adhera berujar pelan. Berharap Wardah tak mendengar perkataannya.
"Maksud kamu?"
"Tidak. Bukan apa-apa," balas Adhera cepat.
"Apa kau mengira bahwa aku yang telah menuduhmu?" ujar gadis berambut sebahu di depan Adhera itu. "Apa kamu pikir aku setega itu untuk menjatuhkan sahabatku sendiri?" lanjutnya dengan suara yang sedikit pelan.
Adhera memejamkan matanya sejenak. Berharap rasa gundah di hatinya bisa sedikit berkurang. Di satu sisi, ia tak yakin bahwa Sabrin tengah berpura-pura. Dan di sisi lain, ia tak bisa mempercayai gadis ini begitu saja. Karena ia cukup mampu membaca gerak gerik gadis di sampingnya ini. Gadis yang semula selalu bersikap lebih tenang jika berhadapan dengannya, akhir-akhir ini justru terlihat lebih sering menghindari kontak mata dengan Adhera. Tapi dari kata-katanya barusan, membuat dugaan Adhera sedikit melemah.
"Cih. Terus saja berpura-pura menjadi seorang malaikat untukku. Karena dengan begitu, kau akan sangat mudah mendapatkan apapun yang kau inginkan," ucapan Adhera mampu menyentil hati Sabrin. Ia tak menyangka bahwa Adhera akan mengira bahwa dirinya lah yang telah memfitnahnya.
"Aku kecewa Dhe. Ternyata selama ini kamu hanya mengaggap semua sikapku ke kamu itu hanya sebatas sandiwara semata." Setetes air mata lolos begitu saja dari mata hitam legam itu.
"Kamu ternyata gak pernah nganggep aku tulus. Kamu gak pernah benar-benar menerima aku jadi teman sekaligus sahabat kamu. Aku tahu, kita baru kenal 'kemarin' Dhe. Tapi asal kamu tahu, bahwa aku tulus temenan sama kamu. Gak ada maksud lain Dhe. Apalagi untuk menjatuhkan kamu. Dan tuduhan kamu ke aku itu sangat tidak beralasan," Wardah bangkit dari duduknya. Meninggalkan Adhera yang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Mencerna ulang kata-kata Wardah. Mencoba memahami, bahwa siapakah yang harus kecewa di sini. Entahlah.. Ia sungguh bingung dengan keadaan yang seperti ini.
Hingga ia sadar, ia telah kehilangan sahabat yang telah tulus menerimanya. Sahabat yang tulus mengisi hari-harinya dengan mendengarkan segala keluh kesahnya yang lebih sering ia sebut dengan beban hidup itu.
🍃🍃🍃
Sekarang..
Air mata kedua gadis itu kembali menetes, setelah setengah jam yang lalu mereka dipertemukan kembali. Dunia begitu sempit memang. Sekian lama Adhera mencari keberadaan gadis yang tengah dipeluknya itu. Dan akhirnya mereka kembali dipertemukan dengan cara yang sungguh luar biasa. Mereka kembali dipertemukan dalam keadaan yang sama-sama lebih dekat kepada Allah.
"Maafin aku Bin ... hiks ... Maaf." Entah sudah yang keberapa kalinya Adhera mengucapkan kalimat itu. Dan sudah keberapa kalinya juga Wardah mengagukakan kepalanya.
"Iya Dhe aku juga minta maaf ... hiks hiks ... Maaf karena gak mencoba untuk menjelaskannya dan membuat masalah kita sampai bertahun-tahun seperti ini." Sabrin melepaskan pelukannya. Menatap sejenak wajah wanita di hadapannya ini. Wanita yang akan menjadi kakak iparnya kelak. Wanita yang akan mendampingi kakaknya dalam setiap suka maupun dukanya.
Wanita yang dulu tak menggunakan sehelai benangpun untuk menutupi kepalanya. Wanita yang dulu tak mengenakan kain panjang nan lebar sebagai pakaiannya. Dan wanita yang dulu pernah menjadi sahabatnya dan akan tetap menajdi sahabatnya hingga saat ini.
Untuk sesaat Arsya merasakan kesejukan yang tiba-tiba membanjiri relung hatinya. Adiknya dan calon istrinya tengah berpelukan dalam haru. Mencoba menyalurkan rasa yang sempat tertinggal dulu. Rasa yang tak seorang pun pahami. Rasa dari hati seorang wanita untuk saudarinya.
Bersambung..
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro