POP: Amorist 2
Part 3: Fortress On The Rock Beach
Deburan ombak terdengar seolah berusaha membencah karang. Menggebrak-gebrak, mengabarkan bahwa badai baru saja surut. Suara angin turut bergemuruh, menyuarakan kabar laut pada bangunan bertembok kokoh yang berdiri dekat pantai. Pepohonan bakau bergoyang terkena hembusannya. Mengikutsertakan dedaunannya yang bergemerisik.
Di balik jendela raksasa sebuah bangunan bedegab--yang berdiri di tepi pantai seolah sebuah benteng pertahanan--seorang pria bersurai tembaga duduk dengan tenang. Pria itu duduk tegak di balik meja raksasa yang penuh tumpukan kertas. Manik hazelnya bergerak, melirik sosok yang berdiri di hadapannya. Seorang laki-laki dengan surai sewarna miliknya.
"Kau menjalankan tugasmu dengan baik." suara berat pria itu memecah keheningan ruangan. Ia menatap laki-laki di hadapannya sebelum kembali berkutat dengan pena dan lembaran kertas yang mulai ia jejali tulisan.
"Seperti yang kau minta, Lord Clarke." sahut laki-laki itu tanpa minat. "Aku mengambil cetak biru dari IETDO. Aku juga sudah mengirim virus ke database mereka. Dan kujamim, kopian proyek di cetak biru itu sudah musnah secara permanen. Badai berhasil membuat pengalihan." dengan hasil kerja yang tampak memuaskan pria di hadapannya, laki-laki itu tak tersenyum. Alih-alih, bibirnya berkedut.
"Seperti biasa, Ansel." pria yang dipanggil Lord Clarke itu mengangkat bibir dan meletakkan penanya perlahan. Sebelum beranjak dari kursinya, dia berkata, "Aku lebih suka kau memanggilku kakak."
Ansel hanya terdiam. Sama sekali tak berminat menanggapi perkataan sang kakak. Maniknya yang sejernih batu amber bergerak mengikuti langkah Alan Clarke, kakaknya. Pria dengan tubuh tegap itu melangkahkan kakinya ke arah jendela raksasa. Pandangannya teralih pada cakrawala senja di lautan luas.
"Ini sudah yang sekian kali kau berhasil menjalankan tugasmu." Alan berkata tanpa menatap adiknya. Maniknya tampak membara terkena sorot matahari senja di luar jendelanya. "Adakah imbalan yang kau inginkan."
Ansel kembali bungkam. Membuat Alan meliriknya sejenak sebelum tersenyum getir. Seolah tahu apa yang betul-betul diinginkan adiknya. Dan hal itu, tak mungkin mampu ia berikan.
"Lyara sudah mati, Ansel. Kau tak bisa mendapatkannya," gumam Alan pelan. Sangat pelan, sama pelannya dengan sebuah bisikan. Namun, Ansel tampak mendengar apa yang keluar dari mulutnya. Ia melotot dengan amarah yang berkobar dalam matanya. Namun, amarah itu tampaknya tak akan ia luapkan.
"Libur."
Satu kata yang terucap dari bibir Ansel membuat Alan mengernyitkan dahi. "Apa?"
"Aku hanya ingin libur cukup lama dari tugas-tugasku," katanya dengan mata memimcing, "setidaknya itu yang bisa kau berikan padaku." tanpa menunggu jawaban dari kakaknya, Ansel berbalik dan melenggang pergi.
Alan meringis. Ia memandangi Ansel yang menghilang di balik pintu ganda dengan langkah agak tergesa. Dahinya berkerut. Sedikit, ia mulai paham. Adiknya tengah menyembunyikan sesuatu. Dan dia meminta imbalan libur semata-mata untuk mengawasi barang yang ia sembunyikan. Adiknya itu tak dapat menyembunyikan darinya, tentang barrier kuat yang menyelubungi pulau pribadinya. Seolah berusaha mencegah orang luar masuk dan barang-nya kabur.
"Lakukan sesukamu, Ansel. Selama itu bisa mengalihkanmu dari Lyara."
Samar-samar suara ombak yang menghantam karang terdengar. Merasuk lewat angin yang menyusupi tembok besar mansion yang berdiri megah di sebuah pulau kecil. Di balik jendela tinggi mansion itu, Ren duduk diam di atas ranjang berseprai beige. Lututnya tertekuk, serta merta membenamkan wajahnya yang kusut.
Ia baru saja terbangun dari tidur panjang tanpa ingatan apa pun. Semua ingatan dalam kepalanya disapu bersih, tanpa menyisihkan apa pun. Saat terbangun, ia disambut sebuah ruangan yang asing dengan jendela tinggi yang menghadap langsung pada lanskap pantai berbatu karang dengan pasir hitam. Tempat yang tak ia ingat di sudut kepala mana pun.
"Stella." sebuah panggilan lembut membuat gadis itu kembali mengangkat wajahnya. Dan didapatinya seorang laki-laki melewati pintu dengan sebuah baki berisikan sebuah mangkuk dan mug.
Ren mengamati laki-laki itu. Manik topaz yang tajam, rambut sewarna tembaga, postur tubuh yang tegap, dan bentuk wajah yang rupawan. Ia hampir-hampir tak percaya saat laki-laki itu mengaku sebagai kekasihnya, sekaligus pemilik mansion dan pulau itu. Bukankah dia gadis yang terlalu beruntung?
Sebuah elusan di kepala membuat pikiran Ren kembali teralih.
"Kau tak apa?" tanya laki-laki itu cemas. "Aku tahu ini hal yang berat, tapi percayalah aku selalu bersamamu." ia mengakhiri ucapannya dengan sebuah kecupan di dahi Ren.
"Aku sudah tak apa, Ansel." Ren menelengkan kepalanya, menatap wajah laki-laki yang telah mengaku sebagai kekasihnya itu sembari menyuguhkan seulas senyum.
"Nah, sekarang, bagaimana jika makan? Bukankah kau merasa lapar?"
Ren hanya mengangguk dan membiarkan Ansel meletakkan baki di dekatnya. Ada semangkuk bubur kaldu dengan kepulan asap yang mengisyaratkan padanya bahwa ia baru selesai dimasak dan sebuah susu hangat dalam mug ikut menyertainya. Ren tak ingat kapan terakhir kali ia makan, tapi itu adalah makanan sederhana yang begitu enak. Mungkin karena ia tak terbebani oleh ingatan apa pun saat menyantapnya.
Mungkin lupa adalah cara terbaik menyelesaikan masalah.
Setelah menghabiskan makanannya, Ansel membawa Ren menjelajahi seisi mansion. Mengenalkan kembali pada gadis itu tiap sisi dinding dan lantai. Mansion itu begitu luas. Ren yakin, seharian tak akan menjamin ia telah menjelajah seluruh bagian mansion. Daripada mansion, Ren sendiri lebih suka menyebutnya benteng. Manakala bangunan itu berdiri menjulang dengan begitu kokoh di tengah sebuah pulau kecil yang hanya berisikan batuan karang dan pepohonan casuarina.
Ansel bilang padanya, pulau ini adalah tempat berlibur mereka. Atau bisa dibilang juga tempat yang dapat mereka kunjungi kapan saja. Pulau pribadi Ansel yang dapat diakses lewat laut tiga hari dari daratan utama. Ren tak begitu mengerti kenapa pada akhirnya dirinya dan Ansel menghabiskan waktu berminggu-minggu di tempat ini. Sebelum akhirnya sebuah tragedi membuat Ren kehilangan ingatannya. Kekasihnya itu bilang bahwa sebelumnya mereka sempat bertengkar saat badai akan datang dari laut dan melewati pulau mereka. Ren dengan amarah yang mendidih keluar dari mansion dan berlari ke arah tebing karang. Siapa yang sangka pada akhirnya ombak menarik tubuhnya untuk ikut serta terhanyut dalam irama badai di luar sana?
"Kau menyukai tempat yang lengang. Bukannya begitu?" Ansel tertawa.
Ren menatapnya sejenak, menerka apa gerangan yang ada di dalam hati laki-laki itu. Pasti sangat menyakitkan saat berbagai kenangan dilupakan kekasihnya begitu saja. Disapu bersih tanpa sisa. Ren sempat meringis, merasa bersalah walaupun sejujurnya ingatannya tak dapat disalahkan. Itu sebuah kecelakaan. Dirinya yang dulu pun pasti tak ingin melupakan semua ini, bukan?
"Aku akan mengingatnya," gumamnya kemudian sedikit merasa bersalah.
Namun, Ansel tak menanggapinya terlalu serius. Dia malah sibuk menunjukkan bagian-bagian rumah, seumpama pemandu wisata yang membawa Ren berkeliling museum. Sejujurnya, gadis itu pun menyukai bagaimana perupaan rumah itu. Dengan pualamnya yang mengilat, warna dindingnya yang elegan, dan segala furnitur klasik--yang Ren sendiri kurang yakin dapat menemukannya di toko mebel pada umumnya.
Sesekali, Ren melihat pelayan lalu-lalang di koridor. Memakai pakaian hitam putih bercelemek dan berjalan dengan tertunduk-tunduk. Ansel juga bilang, dirinya tak membawa banyak pelayan dari rumah utama. Hanya beberapa yang sekiranya dapat membantu keperluan di mansion. Pulau dapat dijangkau setelah tiga hari perjalanan dari pulau utama. Maka dari itu, kapal pengantar logistik akan datang selama sebulan sekali. Mengirimkan berpak-pak barang guna mencukupi kebutuhan mansion selama satu bulan ke depan.
Siang itu, Ansel tak membawa Ren serta merta mengunjungi dermaga atau pantai. Mengingat angin laut masih begitu tak bersahabat. Dan mengantisipasi tragedi Ren tak terjadi lagi.
Ren memandangi pantai berpasir hitam dari jendela tinggi kamarnya. Ia duduk tenang dengan seorang pelayan wanita yang menyisirkan rambutnya yang kusut. Ia tak tahu sudah berapa hari berlalu sejak terakhir kali dirinya membersihkan diri dan merapikan rambutnya. Pastinya helaiaan di kepalanya itu mulai mengusut dan menjelma menjadi sekumpulan benang kusut. Sesekali, Ren juga mendengar bisikan minta maaf pelayan saat membuat ia terhentak dengan sisirannya. Ia menjawabnya dengan anggukan tanpa suara.
Dedaunan casuarina yang bedersik kembali mengambil alih perhatian Ren. Gemuruh angin juga serta merta membuat bulu romanya merinding. Angin-angin itu datang dari laut dengan suara mengerikan, seolah dapat merubuhkan benteng di tengah pulau. Melihat bagaimana rupa pulau itu, gadis itu berulang kali bertanya pada dirinya sendiri. Apa yang ia dan Ansel pikirkan sebelum datang ke pulau? Yang ada di sana hanyalah lanskap muram. Ren menghela napasnya. Ada rasa tak nyaman yang sekonyong-konyong melingkupi hatinya. Ia mulai merasa tak betah di mansion itu. Padahal, rasanya ia baru beberapa hari ada di sana.
Suara pintu yang berderit membuat pelayan yang tengah menyisir rambut Ren menghentikan kegiatannya. Ia beralih tertunduk, memberikan penghormatan pada tuannya yang muncul dari balik pintu.
"Ansel, tidakkah ini terlalu awal untuk mengajakku makan malam." Ren berbalik menatap laki-laki itu.
Ansel hanya tersenyum dan mengusap pucuk kepalanya. "Apa aku hanya boleh datang di jam makan saja?" ia sempat meminta pelayan perempuan meninggalkan mereka sebelum beralih sepenuhnya pada gadisnya.
Ren menyengir. "Tidakkah kau terlalu memanjakanku akhir-akhir ini?" ia menghela napas sebelum melanjutkan. "Aku tak apa, Ansel. Sungguh. Aku akan segera mengingat semuanya."
"Ada yang ingin kau katakan?" tanya Ansel seolah mengerti maksud lain dari perkataan Ren.
Ren terdiam, menimbang-nimbang kalimat yang akan diutarakannya. Walaupun Ansel sendiri mengaku sebagai kekasihnya, gadis itu merasa ada sekat asing anatara mereka berdua. "Aku." Ren menjeda, masih terus meragu. "Sedikit tidak nyaman terus berada di dalam mansion."
Tatapan Ansel melembut. "Kau ingin jalan-jalan ke pantai?"
Ren menggeleng membuat dahi Ansel mengkerut. "Aku ingin kita pulang. Ombak laut membuatku takut." bahunya bergetar. Mungkin ia punya sedikit trauma dengan ombak. Mengingat apa yang dikatakan Ansel tentang sebab dirinya kehilangan ingatan.
Ansel terdiam cukup lama. Mendengar tak adanya respon, nyali Ren menciut. Mungkin laki-laki itu marah. Ia masih tak mengerti tentang kepribadian Ansel. Seolah dia adalah sosok asing yng tiba-tiba datang ke dalam kehidupannya. Mendengar suara langkah, Ren terhenyak. Ansel berpaling darinya dan berjalan ke arah pintu.
"Aku menunggumu di bawah untuk makan malam," katanya disusul derit pintu yang tertutup.
Kenapa dia marah?
Part 4: The Lost Light
Satu minggu setelah sabotase terhadap database IETDO. Semua salinan proyek pengembangan teknologi dan elemen menghilang tanpa sisa. Suasana dalam IETDO sempat kalang kabut. Pasalnya, hal yang mereka kerjakan selama bertahun-tahun hilang begitu saja. Sama halnya jerih payah mereka tak berbuah sama-sekali.
Namun, sekelompok orang yang ahli dalam bidang mereka telah dibentuk untuk berusaha memulihkan semuanya. Semua orang tampak berusaha. Bahkan tim bagian penelitian tetap bekerja. Para pimpinan meminta seluruh anggota dari semua divisi untuk tenang. Hal yang demikian pastilah telah diperkirakan sejak berdirinya IETDO sebagai organisasi global. Maka dari itu, divisi khusus telah ada-- walaupun secara rahasia--sejak berdirinya IETDO. Di situasi macam inilah mereka bekerja.
Walaupun kabar pemulihan telah membuat orang-orang menghela napas lega. Ada satu lagi masalah yang belum usai. Stella Castelia Hoffan menghilang di saat yang bersamaan dengan sabotase itu. Banyak dugaan bahwa gadis yang bergabung dalam tim lapangan IETDO adalah salah satu orang di balik sabotase. Namun, belum adanya bukti membuat dugaan itu disangkal keras oleh pihak IETDO. Dilihat dari latar belakangnya, gadis itu tak punya motif sama sekali untuk melakukannya.
Lagi-lagi, IETDO harus mengerahkan divisi-divisi khususnya. Mengusut kasus itu. Namun, selama seminggu ini, tak ditemukan banyak petunjuk yang berarti. Yang diketahui dari saksi hanyalah: Stella sempat bertemu Luca Annelo di malam sebelum ia menghilang. Gadis itu masih bersikap wajar bahkan tak sedikit pun bertingkah aneh--dari yang penyidik dapatkan dari saksi Luca Annelo. Yang kedua, Stella sempat bertengkar dengan teman satu timnya. Percakapan di antara mereka sempat membuat Stella marah dan ia tak terlihat lagi di keesokan paginya. Diduga Stella tak kembali ke penginapan setelah pertengkaran itu.
"Satu minggu adalah waktu yang terlalu sia-sia untuk tak mendapat petunjuk apa pun." Vier menghela napasnya kasar sebelum meletakkan kembali salinan laporan pada meja.
Rezel mengamati laki-laki itu sembari menyandarkan sikunya di kusen jendela. Di balik jendela itu, permukaan air di pantai Nimue tampak benderang memantulkan cahaya rembulan. Setelah terdiam cukup lama, ia akhirnya berkata, "Apa yang dilakukan gadis itu sampai orang-orang dengan kemampuan mengerikan di IETDO belum bisa menemukan petunjuk tentangnya selama seminggu ini?"
Vier tak menjawab, ia malah menjatuhkan punggungnya pada kursi di balik mejanya. Pada akhirnya, ia ikut terseret dalam kasus ini karena ia sempat menjadi objek yang dipertengkarkan Ren dan dua temanya. Astaga... Vier kembali menghela napasnya. Padahal, sebelumnya pertemuan mereka baik-baik saja. Memangnya apa yang salah?
"Kau akan tetap di Nimue?"
Pertanyaan Rezel membuat Vier mengangkat wajahnya. "Ya. Sampai kasus ini selesai."
Vier dengar Rezel mendecak. Ia tampak tak suka berlama-lama di Nimue. Mengingat lautan dan aroma garam bukanlah tempat yang cocok buatnya.
"Pulanglah duluan."
Rezel sempat terentak sebelum berkata dengan meninggikan suaranya. "Aku mana mungkin meninggalkanmu."
"Seharusnya kau pulang dengan Neve tiga hari yang lalu." Vier sempat mendumel sebelum membuka sebuah buku jurnal bersampul kulit.
"Oh, maksudnya meninggalkanmu tanpa pengawasan mataku?" Rezel mengendik sebelum kembali mencemooh. "Dan pada akhirnya akulah yang bertanggung jawab atas semua yang kaulakukan." ia memijit pelipisnya frustasi. "Lagi pula aku juga tak tahan dengan sifat manja adikmu."
Ditengah pertengkaran mulut mereka, pintu di sisi ruangan berderit. Pandangan keduanya teralih pada Excel yang kini berdiri sembari memegang kenop pintu.
"Ah, ribut sekali." Excel mendecak. Manik birunya menatap jengah Vier dan Rezel secara bergantian. Sebelum akhirnya bertanya, "Apa sudah ada kabar Bagus?"
Rezel sempat melirik Vier yang tidak bereaksi sama sekali. Ia menghela napasnya. "Belum."
Dilihat dari mana pun juga, kasus ini tidak wajar bukan. Hampir tak ada petunjuk tentang keberadaan Ren dan sebab dirinya menghilang. Seolah-olah gadis itu telah tenggelam dalam lautan gelap yang menghilangkan keberadaannya, membuat keberadaannya hanyalah sebuah mitos. Rezel heran sekali, gadis itu selalu terlibat banyak masalah. Padahal, keadaan terasa tenang selama beberapa tahun ini. Apakah sudah menjadi bakat seorang sun untuk terus terlibat suatu masalah? Mungkin saja dia sudah mati. Tak pernah ada sun yang hidup melewati tahun ke 30 dalam hidupnya. Sun tertua, Shion Liden, saja meninggal di usia 27. Beberapa kasus bahkan mengatakan sun dibunuh saat mereka lahir. Huh...
Rezel kembali menghela napas. Ia menjatuhkan tatapannya pada wajah kusut Vier di balik mejanya.
"Kau tahu, dari hasil wawancara dengan saksi kupikir menghilangnya Stella memang berkaitan erat denganmu, Luc." Excel menumpu tubuhnya pada meja.
"Bagaimana mungkin begitu." Rezel mencibir. "Maksudmu Vier yang menyebabkan dia menghilang?"
Excel mengendikkan bahu, sebelum menatap Vier. "Dia mungkin patah hati." matanya memincing dan melanjutkan dengan penuh penekanan, "Kau tak mungkin pura-pura tak tahu kalau dia suka padamu, 'kan, Luc? "
Vier bungkam. Beberapa hari ini ia mulai sakit kepala, setelah mendengar dua teman Ren menyebutnya telah bertunangan dengan putri kedua Nimue. Ia bertanya-tanya, masihkah ada kabar lain di luar sana yang tak sesuai dengan keadaannya saat ini? Memangnya siapa yang bertunangan?
Sembari memijit kepalanya, Vier kembali berpikir. Saat itu, ia terlalu sibuk memikirkan pekerjaan di kepalanya, sampai-sampai tak begitu memperhatikan Ren yang berbicara padanya. Bukankah seharusnya itu jadi pejumpaan yang menyenangkan setelah terpisah cukup lama? Jika mereka berdua bicara lebih lama, bukankah gadis itu tak akan termakan rumor bahwa ia telah bertunangan. Dan semua ini tak akan terjadi.
Kau lengah, Vier.
Ini mungkin sudah yang kesekian kali Ren menghilang dari jangkauannya. Hilang secara harfiah. Dulunya, semua dugaan akan jatuh ke sisi dark sebagai penyebab hilangnya gadis itu. Tapi, sekarang, zaman sudah berubah. Dark tak seburuk yang mereka kira. Seolah, ada kegelapan lain yang mengambil alih aksi menyembunyikan Ren.
Ada titik rasa bersalah yang menyeruak di dada Vier. Bagaimana mungkin ia kehilangan Ren di waktu yang berdekatan dengan pertemuan mereka? Karena jeda tenang beberapa tahun ini mungkin saja membuat inderanya tumpul. Lagi, dirinya bahkan tak belajar dari kesalahan yang lalu. Membiarkan Ren terjebak dalam kegelapannya sendiri.
"Mungkin ini takdir sun." mengingat kalimat salah seorang penyidik beberapa hari lalu membuat Vier kesal. Kalimatnya seolah-olah mengatakan Ren akan mati dalam hal ini. Tak dapat ditemukan, tak ada petunjuk, mungkin dia sudah mati. Mendengar dicabutnya kecurigaan atas Ren sebagai pelaku terlibat terhadap sabotase IETDO memiliki efek tersendiri padanya. Namun, untuk dugaan yang menyangkut nyawanya adalah hal yang berbeda. Sun biasanya memang tak berumur panjang. Namun, sekali lagi ia tegaskan: zaman telah berubah.
"Dia kuat. Ia tak mungkin mati secepat itu." perkataan Zeon yang penuh penekanan dan keyakinan terngiang. Perkataan itu tegas, tapi ia masih menemukan titik ragu padanya. Zeon sendiri pun pasti tak dapat percaya sepenuhnya pada kalimatnya.
"Sekarang apa?" perkataan Excel kembali membuyarkan lamunan Vier. "Kau punya sebuah ide? Orang-orang mungkin akan berhenti mencari jika dalam seminggu ini tak ada petunjuk."
Vier beranjak dari kursinya. Di saat yang bersamaan, phoenix biru muncul di jendelanya dengan kepakan rendah yang gemulai. Ia bertengger di kusen sebelum menjelma menjadi sesosok laki-laki dengan surai sepucat bulan.
"Apa yang kau dapat, Blue?"
Vier melewati Excel begitu saja tanpa berminat menjawab pertanyaannya. Sekali pun pencarian dihentikan, pihak Castelesia tak akan diam. Termasuk dirinya.
Blue menyeringai sebelum menjawab, "Kau benar. Ada barrier di sana."
"Tunggu, kau tahu sesuatu?" sela Excel hampir-hampir membuat Rezel ingin menyumpal mulutnya dan mengikat ia ke sebuah kursi. Agar ia duduk diam dan mendengarkan tanpa menyela.
Vier meraih gulungan kertas dan menggelarnya di atas meja. Sebuah peta dunia yang dibuat serinci mungkin, hingga pulau-pulau paling kecil pun dapat terlihat. Laki-laki itu lantas membuat lingkaran dengan spidol merah pada sebuah titik di antara lautan luas.
"Aku mencurigai sebuah tempat." Vier memutarkan jemarinya pada titik hitam yang telah ia lingkari. "Tempat ini dilindungi barrier yang cukup kuat."
Di masa ini, ada beberapa tempat yang masih menggunakan barrier sebagai tameng perlindungan. Walaupun begitu, penggunaannya sangatlah jarang. Mengingat dunia dalam kondisi damai dan stabil sepenuhnya. Tak ada peperangan atau pemberontakan besar. Maka dari itu, barrier sama halnya kondisi khusus.
"Bagaimana kau yakin itu bukan salah satu basis militer?" Excel kembali bertanya. Ia mengerutkan keningnya, tampak ragu.
Rezel mendecak kesal. Ia sudah tak tahan untuk menyetrum laki-laki di hadapannya dengan elemen. "Dengarkan saja, atau kusumpal mulutmu, Excel!"
Excel mendengkus, lantas membuang muka. Ia merajuk seperti anak kecil yang tak mendapatkan uang jajan.
Vier menghela napasnya. "Walaupun sudah lama tak melakukan kontak, aku dan Ren tetaplah terhubung dengan ini." ia menunjukkan simbol phoenix di punggung tangan kanannya. Simbol yang sama dengan yang ada di dahi Ren. "Samar, tapi aku merasakan keberadaan dirinya."
"Apa yang harus kita lakukan? Memberitahukannya kepada tim pencari secepatnya?" Rezel mengambil kesimpulan cepat. Jemarinya pun telah menggapai ponsel. Namun, Vier menghentikannya.
"Tidak."
Rezel memijit pelipisnya. Tak tahu lagi harus berpikir ke mana. "lalu?"
"Barrier-nya terlalu kuat dan sudah termodivikasi dengan teknologi tinggi. Kalian tak akan mampu menembusnya." Blue menjawab dari sisi diamnya. Maniknya yang sewarna safir berkilat menyempurnakan seringaiannya. Oh, dia bukan telah mengintip waktu lagi, kan?
"Aku akan berangkat sendiri."
Jawaban Vier membuat Rezel melotot. "Jangan bercanda!"
"Aku terhubung dengan Ren yang ada di dalam. Walaupun sedikit, aku punya celah untuk jalan masuk. Membawa pasukan hanya akan menjadi beban." Vier mengendikkan bahu. Tampak tahu apa yang akan ia lakukan. "Percayalah, aku akan baik-baik saja."
"Vier, ingat-ingat lagi berapa kali kau menerjunkan dirimu dalam bahaya. Dan ingat lagi berapa kali kau hampir mati! Aku tak akan mengambil risiko kali ini."
Rezel kali ini ingin menumpahkan seluruh amarahnya. Sekadar menyadarkan temannya itu dari aksi nekat dengan keberanian luar biasanya. Ia tak tahu, apa yang membuat laki-laki nilam itu menantang maut dengan berdiri tegak menghunuskan pedang. Apa dia tak punya rasa takut sedikit pun? Tidakkah ia berpikir Annelosia menganggapnya sebagai sebuah aset yang dijaga seperti barang pecah belah?
"Rezel, ini keadaan darurat. Dan aku--"
"Tidak, Vier." Rezel menggelengkan kepalanya. Ia memincingkan mata dengan amarah yang berkobar di dalamnya. "Tidakkah kau tahu arti kata tidak?"
"Aku saja yang akan berangkat." Excel menyahut di sisi lain.
"Kau akan meninggalkan tunanganmu yang kau ikat beberapa minggu lalu untuk gadis lain?" Vier tersenyum mengejek. "Lagi pula, bagaimana caramu masuk, huh?"
Excel tak tahu kenapa, tapi Vier yang banyak bicara malam ini membuatnya kesal. "Seharusnya kau yang tunangan, Sialan."
Blue hanya terkekeh sembari menyandarkan tubuhnya pada kusen jendela. Tak tahu sampai kapan harus menyaksikan ini berlangsung. Bagaimana pun juga, ini tontonan yang menarik.
Sejak dulu, tuannya itu memang tanggap atas kasus yang menyangkut tentang Ren. Sekali pun ia harus meletakkan nyawanya pada sasaran maut. Kau yakin bahwa perasaanmu itu bukan cinta?
Esoknya, saat matahari sayup-sayup muncul di ufuk barat, Rezel terbangun dari tidurnya. Perdebatannya dengan Vier membuatnya lelah dan tertidur sangat lelap sepanjang malam. Rasanya seperti telah diberi serbuk penidur ajaib oleh peri tidur yang berkeliaran di malam hari mencari orang-orang insomnia.
Rezel menggaruk rambutnya sembari menurunkan kakinya dari ranjang. Sebelum selembar kertas di atas nakas berkelebat di ekor mata. Ia menatapnya cukup lama sebelum benar-benar tahu apa itu.
"Vier sialan."
A/N:
Hai, sudah lama ya. Lin masih di sini kok dan masih dengan kebiasaan lama untuk menjeda panjang antarupdate.
Alasannya basic seperti biasa. Sibuk, so pasti. Kerjaan banyaq. Dan selalu terbuai di waktu luang untuk bersantuy. Sekadar buat meletakkan gelas yang berisi beban kehidupan (heleh).
Maaf (untuk kali yang ke sekian) Lin belum update dengan tentu. Dengan sedikit dorongan sebenarnya bisa nyelesaiin satu part secepatnya. Tapi, yah, kalian tahulah gimana susahnya menciptakan dorongan itu.
Lin masih berusaha, walaupun harus ngerangkak pelan-pelan. Selagi masih ada pembaca yang nunggu, cerita ini akan terus berlanjut sampai benar-benar tuntas.
Terima kasih untuk kalian yang tetap menunggu :)
Sampai jumpa lain waktu.
Best regard
AleenaLin
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro