Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Epilogue





Hari-hari berlalu seperti mimpi. Seumpana dibuai dalam kehidupan semu yang mustahil diraih. Namun, bisikan dalam hatinya kembali membuat Ren tersadar. Hidupnya bukanlah mimpi belaka. Seharusnya dirinyalah yang mesti menggapai mimpi. Bukan hidup di dalamnya.

Musim dingin telah berlalu. Musim semi datang bagai menyirnakan segala kepedihkan yang diumbarkan musim dingin pada Shappire. Musim itu, kehidupan rasanya baru dimulai kembali. Dengan segala hal yang berubah dan awal semester baru di Royal High School. Rasanya Ren menghirup udara yang berbeda. Ia belajar di sekolah yang sama dengan identitas baru. Rasanya aneh. Semua orang memandangnya dengan tatapan penasaran saat dirinya datang dengan si kembar di hari pembagian kelas dan asrama. Ah, rasanya tak aneh jika akan ada rumor "Ren, si murid beasiswa menjilat ketua OSIS dan adiknya. Kini ia tampak menempeli keduanya."

Namun Zeon menanggapinya tak peduli. "Kau memang sudah diperkenalkan secara resmi sebagai putri Castelesia, tapi kau belum terjun ke pergaulan kelas atas. Wajar mereka belum tahu siapa kau." Ren hanya ber-oh ria. Kebanyakan siswa Royal High School adalah bangsawan. Mereka saling mengenal lewat pergaulan kelas atas, bukanya begitu?

Saat kembali ke Royal High School lagi, Syira menghambur pada Ren dan menyambutnya suka ria. Dia menuntut segala cerita yang pastinya banyak dialami Ren akhir-akhir ini. Termasuk cerita tentang hubungannya dan ketua OSIS. Apalagi, saat mereka mendapat kelas yang sama. Rasanya Ren tak dapat menghindari semua pertanyaan perempuan itu. Terlebih, Vier yang menyandang status baru juga menjadi sasaran tanyanya. Siapa Luca?

Oh, rasanya Ren mau membawa Syira dalam perjalanan mengarungi memori saja. Supaya ia tak perlu membuat tenggorokannya sakit untuk bercerita. Sayangnya, Zeon melarangnya untuk menggunakan kemampuan matanya. Setidaknya untuk satu bulan pertama musim semi. Mau tak mau dirinya harus menurut. Toh, kegelapan membuat dadanya sesak. Ia tak mau kehilangan penglihatannya lagi walaupun hanya satu jam. Hal itu membuatnya amat bersyukur bisa melihat bagaimana warna dunia setiap hari. Penglihatan berharga yang jarang orang sadari. Mungkin, mereka butuh buta satu hari saja untuk tahu bagaimana berharganya sebuah penglihatan.

Siang itu, di hari hari bebas terakhir di Royal High School, Ren duduk di bawah naungan pohon apel yang rantingnya mulai semarak dengan hijau dedaunan. Besok, dirinya tak akan bisa bersantai macam ini. Pembelajaran akan dimulai dan ia bertanya-tanya bagaimana cara menyesuaikan dirinya di dalam kelas yang dipenuhi bangsawan. Ren menghela napasnya panjang, lantas menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi. Ia meletakkan lengannya di depan mata, menghalang silaunya berkas cahaya matahari  yang merasuk melalui celah dedaunan. Musim semi sangat hangat, lain dengan musim dingin yang membekukannya sampai ke tulang. Rasanga sangat nyama sekadar untuk tidur beberapa jam di luar ruangan. Apakah tak apa? Namun, sebuah suara menghancurkan konsentrasinya yang bersiap untuk terlelap

"Rasanya tidur sembarangan tak cocok untuk seorang putri bangsawan ya, Estella Castelia."

Ren meneggakan tubuhnya dan menatap laki-laki di sisinya. "Vier," gumamnya kemudia. Laki-laki nilam itu sudah duduk bersantai di sisinya. Bola mata Ren bergerak, terfokus pada rambut Vier yang kelihatan berbeda. Rambut di bagian belakangnya menjuntai sampai tengkuk. Dan anakan rambut yang biasa menutup dahi ditata ke belakang, mengekspos dahinya. "Rambutmu kenapa sudah sapanjang itu?" Ren yakin masa liburnya tak sampai dua bulan, tapi rambut Vier sudah tumbuh sepanjang itu.

"Kenapa kau langsung memperhatikan rambutku, hah?" Vier menyugar rambutnya sembari menyandarkan punggung. "Hanya efek regenerasi. Kau tahu, saat cedera parah, tubuh akan berekasi untuk meregenerasi sel-sel yang rusak. Untukku, itu berpengaruh pada pertumbuhan rambut juga," jawab laki-laki itu sebelum akhirnya memejamkan matanya.

"Kau bilang, tidur sembarangan tak cocok untuk bangsawan." Ren mencibir sembari menyikut Vier di sisinya.

Vier membuka sebelah matanya sembari terkekeh. "Aku bilang putri bukan putra."

Ren mendecak, sedikit kesal dengan jawaban yang tak bisa disalahkan atau dibenarkan itu. Ia kembali bersandar dan kembali melirik Vier. Wajahnya sangat cantik kala terkena sorotan berkas-berkas cahaya matahari. Lihat bulu matanya itu. Sungguhkah dia itu dilahirkan sebagai laki-laki? Pandangan Ren lantas beralih pada rambut Vier. Dilihat dari mana pun laki-laki itu tak berminat untuk memotongnya. Ia menata rambutnya ke belakang, mungkin karena anakan rambutnya terlalu panjang untuk tetap menggantung di dahi. Lebih lagi, penampilannya yang sekarang mungkin bisa dikatakan lebih elit dari penampilan biasanya. Apa itu ada hubungannya dengan status penyamarannya yang sudah selesai? Dia Pangeran Luca sekarang bukan Vier, batin Ren tanpa mengalihkan pandangannya. Yah, katanya orang dengan wajah dan tubuh yang bagus bebas berpenampilan apa pun. Mereka selalu tampak bagus dengan gaya apa pun. Irinya.

Melihat Vier membuat Ren ingat sesuatu. "Vier," panggilnya, "ada yang ingin kutanyakan."

"Tanyakan saja."

Melihat Vier yang tak membuka matanya sama sekali, Ren mendengkus. Namun, ia tetap melanjutkan, "Saat itu yakin aku yakin sudah jatuh ke jurang cukup dalam, tapi ada seseorang yang menyelamatkanku. Saat aku bertanya pada Kak Zeon--yang tengah menjadi tim bantuan saat itu--siapa kiranya yang menyelamatkanku. Dia tak tahu, tapi dia bilang tubuhku ditemukan terbaring tepat di sampingmu. Aku hanya ingin bertanya, siapa yang menyelamatkanku? Auranya sepertimu, tapi kelihatan seperti Blue di saat yang bersamaan." Gadis itu lantas melirik Vier yang masih belum bereaksi, sekadar membuka matanya.

Tanpa membuka mata, Vier menjawab. "Jiwaku dan Blue sudah terikat. Antara aku dan dia, siapa yang tahu." Jawabannya itu berhasil membuat dahi Ren berkerut dalam.

"Jadi, itu kalian atau tidak?" Ren mendecak sembari bersedekap kesal. Laki-laki yang ditanyainya hanya berdeham, lagi membuatnya tambah geram.

Suasana yang senggang kembali membuat angin bergemuruh di telinga Ren. Gadis itu menengadah, menatap jalinan ranting yang berguncang. Hari yang tenang ya. Rasanya sudah lama sekali Ren tak merasa sesantai ini. Ia ingin duduk di waktu itu terus tanpa perlu lagi beranjak. Bayangkan saja betapa hebatnya jika waktu tenang dan santai macam ini tak pernah pudar.

"Kudengar kau menerima tawaran untuk bergabung dengan Organisasi Pengembangan Elemen dan Teknologi Internasional. International Element and Technology Development Organization(IETDO)? Kau melepaskan takhta di istana utara begitu saja?"

Ren mengalihkan pandangannya pada Vier yang menoleh ke arahnya. Ia lantas tersenyum. "Ya," jawabnya, "kupikir bergabung dengan IETDO lebih baik daripada menjadi Ratu. Kau tahu, itu terlalu berat."

"Ada alasan lain?"

Ren mengalihkan pandangan ke arah langit biru yang dihamparkan di atas sana. Begitu biru dan tak terkira seberapa luas ia. "Aku ingin menjelajah dunia dan setidaknya jadi sedikit berguna." Ia lantas kembali membuang tatapannya pada Vier. "Aku juga tak mau pasanganku nantinya hanya punya gelar pangeran saat aku jadi ratu." Ren tertawa.

Vier nyengir. "Kau terpikir sampai sana ya. Bagaimana kalau kau jatuh cinta dengan non-bangsawan di luar sana? Bukankah itu malah lebih sulit?"

Ren tertawa. Apa laki-laki di sisinya sudah banyak disuguhi cerita-cerita cinta terlarang? Iya, sih, hal demikian bukanlah hal yang mustahil terjadi. Namun, Ren akan menutup hatinya saat pergi dari Shappire. Karena ia sudah menyimpan sesuatu di dalam sana. Ini mungkin terdengar bagai guyonan, tapi dia jatuh cinta untuk pertama kalinya pada seseorang. Seseorang yang tampaknya terlalu sempurna untuk ia miliki. Namun, apa salahnya menyimpan rasa itu sampai orang yang ia cintai betul-betul mustahil untuk dimiliki?

Gadis itu lantas berdeham dan bergumam, "Entahlah." Semburat kemerahan muncul di pipinya mengingat apa saja yang baru saja ia pikirkan. Ia bersyukur Vier tak punya kemampuan yang dapat merusak privasi seperti membaca pikiran. Ren menyugar rambutnya dengan jemari dan malah teringat tanda di dahinya. "Oh, Vier. Kapan kau berencana melepasnya?"

Vier menegakkan tubuhnya. Ia menatap Ren sejenak sebelum menjawab, "Tak akan pernah." Ia beranjak dan merenggangkan otot-otot lengannya.

"Kenapa?" Ren mengelus-elus dahinya. Dagunya terangkat, menatap Vier yang telah berdiri dan membuat ketinggian pandang mereka timpang.

"Karena tak ada yang boleh memilikimu kecuali aku." Vier berkata pelan bersamaan dengan desir angin yang membuat dedaunan bergesek dan mengalun suara bising. "Aku duluan." Laki-laki itu mulai melangkah menjauh. Meninggalkan Ren yang duduk terperangah. Tak percaya dan tak mengerti dengan pasti kalimat yang keluar dari bibir Vier.

Ini musim yang terasa berbeda, bukan?

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro