Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 8²





Berakhir sudah perjalanan panjang yang melelahkan. Perjalanan tiga hari tiga malam, menempuh jalur terdekat rel tiga negeri. Hutan hijau, Negeri Gardenia, sudah terlalui. Dataran penuh salju dingin, Negeri Annelosia, telah terlampaui. Jalur dengan tebing terjal di sepanjang jalan, Negeri Cliffside, juga berasil ditempuh.

Kini, kereta dengan rangkaian wagonnya yang mewah berhenti di stasiun AirStreet, Kota Hillaria, Cornelisium. Stasiun yang berdiri di antara perbukitan, di bawah kaki AirStreet Academy. AirStreet Academy sendiri berdiri megah di atas bukit yang dipenuni pepohonan hijau juga bunga edelweis di setiap padang. Udara di sana begitu sejuk, dengan bunga angin yang terus berhembus. Tak salah jika Hillaria disebut sebagai Kota Angin.

Letak AirStreet yang berada di atas stasiun membuat perjalanan dari stasiun hingga academy lebih menantang. Mereka harus menjejaki ratusan anak tangga batuan, melewati tanjakan padang berumput yang dipenuhi edelweis. Ren bisa dengar begitu begitu banyak keluh dan rutukan Lya. Dia benar-benar manja! Ren sendiri tak terlalu keberatan. Lagi pula, jalannya kali ini sudah diringankan dengan koper mereka yang telah diurus staff.  Menaiki tangga juga lebih cepat dibanding melalui jalur kendaraan di jalan utama.

"Kak Lya, sebentar lagi kita sampai. Semangatlah!" Rise mencoba menyemangati Lya yang terengah di tengah perjalanan. Tangga adalah penyiksaan untuknya.

"Yah, ini semua akan jadi lebih berat jika aku gemuk." Lya tersenyum kecut.

"Tapi kau ini ramping." Deaz yang berjalan di belakang Lya berujar.

"Aku tahu," jawab Lya, "tapi aku lemas karena belum makan siang."

Deaz menggelengkan kepala. Tak mau lagi mendengarkan keluhan Lya lebih jauh.

Ren sendiri agak lemas. Seakan tak banyak energi yang tertampung dalam dirinya saat itu. Ia merasa agak pening. Hingga tanpa sadar tersandung dan terjatuh di antara pijakan kakinya pada tangga.

"Kau baik-baik saja?" Deaz yang berjalan di depannya langsung menghampiri.

"I-iya aku baik. Hanya sedikit pusing." Ren menjawab seadanya. Rasa perih merambat dari siku dan lututnya, membuatnya yakin akan luka di sana.

"Kau pusing?" Vier ikut mendekat ke arah Ren. "Kau bawa obatnya, 'kan?"

"Hanya pusing sedikit, tenang saja." Ren menggaruk tengkuknya. Merasa respon Vier berlebihan. "Aku hanya sedikit lelah."

"Setelah makan siang kau bisa beristirahat, Ren." Ms. Delian memperpendek jarak. "Kau baik, sungguh? Perlu digendong?"

"T-tidak perlu!" Ren beranjak cepat, mencoba membuktikan dirinya baik-baik saja. Namun, lututnya yang nyeri hampir membuatnya terjatuh jika reflek Vier dan Deaz terlambat untuk memeganginya. "T-terima kasih. Aku baik-baik saja."

"Berhati-hatilah," ujar Deaz sembari memutar tubuhnya untuk kembali berjalan ke depan.

Ren mengangguk. Hendak melanjutkan langkah, matanya bertemu dengan manik zamrud Lya. Manik itu lebih menusuk dari mata pedang. Seakan memberinya isyarat tentang sebuah ancaman. Ren menunduk. Berharap Lya segera menyingkirkan hunusan matanya dari jalur pandang Ren. Dia benar-benar tak suka saat Ren mengambil semua perhatian, sekali pun tanpa sengaja.

Selepas makan siang usai, Ren sendirian menuju kamar asramanya. Tentu saja karena tempatnya berbeda dengan empat orang pemilik elemen dewa.

Pembagian asrama AirStreet jauh berbeda dengan Royal High School. Jika Royal High School memiliki sistem one room one student, tidak untuk AirStreet. Satu kamar akan ditempati beberapa orang. Ren sendiri tak terlalu yakin dapat berbaur dengan mudah. Terkecuali teman sekamarnya bukan orang-orang sombong yang senang mengabaikan anak baru.

"Kamar seratus sembilan." Ren membaca tulisan kartu yang digunakan untuk membuka kunci pintar tanpa variasi pin seperti kamar Vier, juga tanpa kunci manual yang biasa ia gunakan di kamar lama.

Jajaran pintu kayu di sepanjang lorong diperhatikannya satu-satu. Hingga angka seratus sembilan menghentikannya. Ren meletakkan kartunya di depan kunci pintar, alat itu men-scan kartunya. Pip. Pintu terbuka, membentangkan jalan masuk padanya. Gadis itu menghela napas. Merasa lega karena selepas ini ia bisa berbaring hingga esok hari, menghabiskan sisa waktu bersantainya sebelum kembali ke aktivitas belajar normal.

Ren memutar pandang. Kamar itu cukup luas untuk menampung tiga single bed dengan masing-masing nakas di sebelah kanan, ada tiga lemari, karpet lembut di tengah ruangan, rak kayu yang menampung buku, juga perabot lainnya. Ren juga melihat dekorasi yang nampak dihias sendiri oleh pemilik kamar; stiker dinding siluet menghias dinding kosong, dreams chatcer yang tertempel di sisi lainnya, hingga pernik lucu menggantung di langit-langit. Benar-benar kamar perempuan.

Koper Ren sudah berdiri di sebelah ranjang yang nampak ditujukan untuknya. Ranjangnya persis di sebelah jendela lebar yang tertutup satu lapis gorden tipis. Gadis itu dapat melihat alun-alun AirStreet Academy yang dihias air mancur, pepohonan, bunga, juga jalanan berliku. Ren cukup menyukainya.

Merebah, Ren menjatuhkan punggungnya di atas ranjang. Bayang-bayang rasa tertidur di dalam kereta yang bergerak masih ada. Membuat Ren yang telah merebah di tempat yang diam kembali merasa pusing. Tiga hari tidur di dalam wagon yang bergerak menyiksa Ren. Apalagi dengan kontur jalan tiga negeri yang sangat berbeda. Terus berubah tiap hari dalam perjalanannya.

Ren memiringkan tubuhnya. Berharap kantuk segera membimbingnya untuk terlelap. Tenggelam dalam mimpi, meninggalkan realita yang begitu menyiksa.

Baru sebentar rasanya Ren menjejak alam mimpi. Berlari di padang rumput yang dipenuhi bunga krisan dan aster. Sampai suara dari dunia nyata membuat ia terjerembab ke lubang dan terbangun.

"Aku dengar akan ada penghuni baru di kamar kalian."

Ren yang setengah sadar mendengarkan perbincangan di luar pintu kamar. Tak lama terdengar suara pintu terbuka. Gadis itu dengar beberapa orang masuk.

"Ah, dia sudah sampai."

"Kita terlambat memberi sambutan!" seruan suara melengkin seorang perempuan mengganggu Ren. Rasa-rasanya kaca jedela di samping ranjangnya dapat pecah kapan saja.

"Jangan keras-keras. Dia bisa terbangun." suara yang lebih halus menimpali.

"Oh, ayolah. Aku sudah pelan."

Itu sangat keras. Ren mengumpat dalam hati. Ia memaksa matanya yang masih ingin terpejam untuk terbuka.

"Ugh ..."

"Dia bangun!"

Ren terperanjat. Teriakan itu mengentaknya. Memaksanya bangun secepatnya. Ren reflek terduduk, mengucek matanya yang masih ingin kembali merekat. Manik keemasan Ren menyisir, memperhatikan empat sosok yang berdiri di depannya. Tunggu! Ren memperjelas penglihatannya. Kamar ini dihuni empat orang?

"Hai!" sapa seorang perempuan. Ia yang tadi berseru, Ren rasa. Ia memiliki manik hitam yang mengkilat, rambutnya yang hitam kecokelatan diikat samping.

"H-hai juga." Ren menjawab canggung.

"Kya!" Ren kembali dibuatnya terperanjat. "Lihat dia sangat manis! Baby face dengan warna mata kuning keemasan." perempuan tadi kembali berseru.

"Pelan-pelan, Cecil. Kau sudah membuatnya terbangun. Sekarang bicara dengan tidak sopan. Kau harus diajari tata krama lagi." perempuan bersuara halus menimpa ubun-ubun perempuan bernama Cecil itu dengan ensiklopedia tebal.

"Argh ... Jangan lagi! Itu membosankan!"

"Hai!" perempuan pemilik suara halus menyapa Ren. "Namaku Musa. Salam kenal," ujarnya sopan.

"S-salam kenal. Namaku Ren, Ren Leighton."

"Oww ... Dengar namanya. Sangat keren." Cecil kembali bersura. Perkataannya kini membuat Ren mengernyit. Musa mencubitnya, hingga perempuan itu mengaduh.

"Perkenalkan diri kalian, Teman-teman--"

"Oke," potong Cecil, "namaku Cecilia Elgia Johson. Salam kenal, Ren!"

"Namaku Daphne Claudish, kau bisa memanggilku Anne. Kita satu kamar." perempuan berambut ikal pirang kecokelatan tersenyum ramah.

"Dan aku Eva Chrysant. Panggil saja aku Eva. Aku teman sekamar Cecil, kamar sebelah."

Mendengar perkataan Eva, Ren menghela napas lega. Ia kira,kamar yang ditempatinya dihuni lima orang dengan dirinya.

"Salam kenal. Mohon bantuannya."

"Tak usah formal begitu, Ren. Santailah!" Musa meletakkan ensiklopedia--yang tadinya sempat mendarat di ubun-ubun Cecil--ke atas nakas di samping ranjang yang Ren yakini sebagai milik perempuan itu.

"Haha, terimakasih."

"Bagaimana kalau malam ini kita pesta piama untuk menyambut Ren?" Cecil memberi usul.

"Terakhir pesta di kamar ini, kau membuatnya seperti habis dijatuhi bom." Anne berkacak pinggang.

"Oh, ayolah ..." Cecil membuat ekspresi anak anjing pada Anne dan Musa selaku pemilik kamar.

Anne dan Musa saling bertatapan. Meminta persetujuan satu sama lain.

"Baiklah--"

"Yey!"

Ren ikut berjalan bersama rombongan teman--yang baru dikenalnya sore tadi--untuk makan malam. Mereka ramah padanya. Ren bersyukur mendapat teman yang jauh lebih baik dari bayangan menakutkannya.

"Hei, Ren. Seberapa tinggi kastamu di AirStreet." Cecil bertanya. Pertanyaannya itu berhasil membuatnya terentak.

"M-maksudnya?"

"Di AirStreet ada sistem kasta yang bisa kau lihat secara online. Yah, ini tidak resmi dari AirStreet, sih." Eva menggoyangkan ponsel di tangannya.

"Aku tak tahu." Ren mulai tak suka perbincangan ini. Ia tak menyukai sistem kasta diberlakukan.

"Ada empat jenis tingkatan di sini. Populer, teman populer, orang biasa, juga budak. Istilah terakhir mengerikan. Abaikan itu." Cecil mengibas-ibaskan tangannya.

Sepanjang perjalanan ke dining hall hanya diisi celotehan Cecil, Eva, dan Anne tentang kasta. Ren tak menyangka, kasta yang dibentuk siswa AirStreet tak ada bedanya dengan Royal High School. Lebih parah, Ren rasa.

Musa bilang, keakuratan kasta--yang tak pernah ia suka itu--karena penggabungan antara teknologi dan elemen. Katanya ada sebuah barrier yang melingkupi AirStreet dapat terhubung dengan teknologi. Mengumpulkan data seluruh penghuni AirStreet dan mendaftarnya menurut peringkat kasta kepopuleran. Ren tak mengerti pastinya, tapi data siswa terasa mudah diambil dengan barrier sebagai scanner dan komputer sebagai pengolah data. Dan hasilnya, sebuah aplikasi bernama AirStreet Caste dapat diakses melalui android juga komputer untuk melihat di peringkat mana kau berada.

"Mari lihat peringkat Ren." Eva mengutik ponselnya. Membuka aplikasi bernama AirStreet Caste dan memasukkan nama Ren dalam kolom pencarian.

"Ada enam ratus sepuluh siswa di AirStreet. Jika kau masuk 550 besar, artinya kau ada di golongan orang biasa seperti aku, Anne, dan Eva. Tapi, melihat keadaanmu sebagai murid baru, rasanya itu agak mustahil." Cecil menjelaskan sembari memberi isyarat dengan jarinya.

"Tak apa, kami akan membantumu meningkatkannya."

Ren hanya tersenyum kecut. Tak berani mengutarakan pendapatnya tentang kasta. Sejujurnya ia tak peduli. Tentang di tingkatan mana ia berada. Apalagi dengan sistem populer karena diri sendiri dan populer karena kenal orang populer seperti AirStreet. Pasti akan ada persaingan di mana-mana.

"Huu ... Ada empat orang pemilik elemen dewa yang masuk bakal menempati tingkat teratas. Kita pasti tergeser," ujar Anne. Ren pikir Anne sama tak tertariknya dengan Musa--yang malah mendapat tempat di tingkat teman populer. Namun, Ren salah. Anne seperti Cecil dan Eva.

"Tak masalah. Kita bisa meningkatkannya lagi." seru Cecil semangat.

"Ah, sudah terlihat!" seru Eva memperhatikan layar ponselnya yang menunjukkan tingkat kasta Ren.

"Orang biasa!" seru Eva, Cecil, dan Anne bersamaan.

"Tingkat 455! Bagaimana bisa?" Cecil mengernyit.

"Sebaiknya tutup mulut kalian. Kita sudah sampai di dining hall."

Mendengar gertakkan Musa, mereka bertiga terdiam. Ren hanya tersenyum miring.

Dining hall AirStreet tak kalah luas dengan dining hall Royal High School. Malam ini, meja diletakkan memanjang menjadi beberapa barisan. Musa bilang, formasi ini hanya digunakan untuk memperkenalkan murid baru.

"Kau akan berdiri di depan sana nanti," bisik Anne sembari menunjuk sebuah tempat yang menghadap langsung ke deretan meja makan. Lantai di sana lebih tinggi dari lantai di sekitarnya, membuat wajah murid baru akan lebih mudah dilihat sekalipun pelihat duduk di ujung meja.

Ren bergidik. Ia tak mau berdiri di depan tatapa-tatapan aneh orang-orang. Ia selalu merasa gugup karena hal itu. "Sungguh?"

"Iya. Tapi, kau beruntung."

Ren mengernyit. Memberi isyarat pada Anne ia ingin tahu alasannya.

"Kau akan berdiri di samping para pemilik element of god. Itu akan keren!" seru Cecil sembari mengambil alih kursi kosong di sebelahnya.

Hidangan makan malam sudah rata di sajikan di depan setiap siswa. Aromanya yang sedap menguar ke segala penjuru. Memacu selera setiap orang yang mencium aromanya.

"Tes. Satu, dua, tiga." suara mikrofon yang memenuhi dining hall mengambil alih seluruh perhatian. Seorang wanita yang baru berusia dua puluhan berdiri di atas lantai tinggi di depan. Ia memegang mikrofon sembari tersenyum.

"Aku sangat grogi." Ren berbisik ke arah Musa. Bulu kuduknya meremang.

"Tidak apa-apa. Tenanglah," ujar Musa sembari menepuk bahu Ren, menyemangati.

"Selamat malam semua!" wanita--yang Musa bilang namanya Lady Alga--itu menyapa seluruh peserta makan malam, termasuk para pengajar yang duduk di deretan meja paling kanan. "Jika kalian melihatku berdiri di panggung ini, kalian sudah tahu maksudnya, bukan?" ia tersenyum, mengerling ke arah siswa di deretan tengah yang menyoraki namanya.

"Dia pengajar termuda. Tak salah banyak siswa yang mengidolakannya." Anne yang duduk di sebelah kanan Ren berbisik, memberi tahu.

"Ya, benar! Kita kedatangan anggota baru. Eits! Tidak hanya satu ataupun dua, tapi lima anggota baru!"

Degub jantung Ren berpacu lebih cepat. Matanya menyisir, mencoba menemukan keberadaan empat orang lainnya. Namun, sosok mereka--yang akan terlihat mencolok dengan rambut Vier yang akan lebih biru di bawah paparan cahaya lampu--tak ia temukan. Ren panik.

"Ya, dan empat di antara mereka bukan siswa biasa. Tahun ini kita kedatangan para penjaga, para pemilik element of god! Kalian beruntung bertemu sun yang hanya ada satu setiap lima abad sekali." Lady Alga sibuk berceloteh panjang lebar, tapi entah kenapa celotehannya sangat seru didengar. "Tidak hanya mereka, kita juga kedatangan siswa baru untuk kelas regular."

"Santailah, Ren!" ujar Musa melihat Ren yang tak bisa tenang. "Kau tidak akan sendirian."

"Silahkan maju ke depan Eldeaz Stoffen, Lya Verrin, Luca Annelo Vier, Rise Charmerose, dan Ren Leighton!"

Bukannya beranjak, Ren malah memikirkan nama Vier yang disebut Lady Alga. Sejak kapan namanya sepanjang itu? Seingatnya nama belakang Vier adalah Warren, tapi itu tadi nama siapa jika bukan Vier?

"Ren!" Musa menepuk bahu Ren, menyadari gadis itu tak lekas beranjak.

"O-oke."

Baru berjalan beberapa jangkah dari duduknya, puluhan hingga ratusan pasang mata menatap Ren. Ia merasakan tatapan itu bagai tusukan ratusan jarum-jarum kecil yang memberi rasa gelenyar aneh. Ren menggeleng. Mengusir rasa kikuk yang malah akan mengundang tawa jika dirinya bertingkah aneh.

Sesuai urutan panggilan Lady Alga, Ren berdiri di samping Rise. Berbeda dengan Ren, perempuan itu menjereng lebar-lebar senyumannya. Ren yakin, beberapa laki-laki di ujung sana terpukau dengan kecantikan si pemilik elemen matahari itu. Ren menggigit bibir, kepercayaan diri yang ia timbun tak banyak membantu. Apalagi status siswa kelas regular  kini menjadi lambang emblemnya.

Lady Alga menyerukan nama Deaz dan memperkenalkannya. Menyebutkan fakta tentang Deaz. Sorakan terdengar dari sudut para perempuan di deret bangku tengah. Lady Alga tak kalah semangat menyerukan nama Lya. Gadis itu jadi lebih manis saat diam di depan sana. Padahal, nyatanya perempuan itu cerewet dan tidak bisa tenang di satu tempat. Sorakan semakin riuh saat Lady Alga menyebut nama Vier.

"Oww ... Dia begitu tampan, bukan?" Lady Alga menggeser Deaz dan Lya, berdiri di samping Vier. Ia manepuk bahu Vier yang tinggi.

Ren tak percaya perkataan Syira, bahwa tata krama lebih dikuatkan di sini dari pada Royal High School. Menurutnya, tak ada bedanya! Bahkan di tengah-tengah sana perempuan berpenampilan nyentrik lebih mudah ditemukan. Terlihat sekali jika mereka termasuk golongan pengejar kasta. Mereka makin tertarik saat Lady Alga menyebut Vier yang masih menjabat sebagai ketua Elite di Royal High School, juga riwayat jabatan yang pernah ia duduki. Ada perasaan aneh yang merambati Ren saat itu juga.

"Dan pemilik element of god terakhir, Rise Charmerose!"

Rise memperlebar senyumnya. Membuat wajahnya terlihat berseri walau dilihat dari ujung meja terjauh. Ren agak iri. Rise sangat cantik dilihat dari sudut mana pun.  Ren melirik ke arah meja yang mayoritas diduduki para laki-laki. Dilihat dari jauh pun Ren tahu, mereka tengah terpesona dengan kecantikan Rise yang seperti matahari sehabis mendung.

"Hoho, kalian terlalu fokus pada mereka hingga tak memperhatikan si manis ini." Lady Alga benar-benar pintar memberi pujian. Ia mengangkat dagu Ren, memberinya isyarat untuk mengangkat wajah. "Dilihat dari mana pun dia sangat imut!"

Jder!

Ada rasa yang meletup di hati Ren. Baru kali ini dirinya dipuji dengan kata imut. Dan ini Lady Alga yang mengatakannya sendiri. Sebelum Ren sadar, bisa saja kata imut di sana ditujukan untuknya yang jadi paling pendek di antara jajaran siswa baru. Oke, nampaknya itu bukan pujian.

"Dia sangat tidak penting untuk dikenal!" suara sorakan yang tidak Ren ketahui asalnya menusuk hatinya. Ia jadi nampak sangat rendah di antara jajaran para pemilik elemen dewa yang akan menjadi calon penghuni kelas guardian, para penjaga. Suasana yang sempat lengang membuat suara itu terdengar jelas, membuat beberapa siswa terkikik geli.

"Jangan dengarkan mereka, sayang." Lady Alga berbisik, memberi sejumput semangat.

Ren hanga tersenyum sembari membisikan kata, "tidak papa." dengan suara pelan. Mencoba terlihat tegar. Ini hal yang biasa!

"Sebagai penutup, ucapkan selamat datang pada teman-teman baru kita!"

"Selamat datang!" balas seluruh orang yang ada di dalam dining hall.

"Silakan nikmati santap malam kalian! Selamat malam."

Ren menghela napas lega. Akhirnya sesi perkenalan--yang sejak dulu jadi mimpi buruknya--usai dengan baik-baik saja. Gadis itu hendak kembali ke bangkunya, tapi Lady Alga yang ada di jalur jalannya dengan tiba-tiba membuat mereka saling bersenggolan. Ren kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh ke arah lantai yang rendah.

Tidak! Kumohon! Ren memejamkan mata rapat-rapat berharap jatuhnya tak melukai atau bahkan yang lebih buruk mengundang gelak tawa. Ini menakutkan.

Bruk!

Ren menahan napas. Tak ada yang ia dengar kecuali keheningan.

"Ren, kau tak apa?"

Suara Vier merasuk pendengaran. Sangat dekat. Ren membuka matamya cepat. Vier jatuh terduduk tertimpa dirinya. Orang-orang di sekitar terdiam, masih terkejut dengan kejadian yang terjadi begitu cepat.

"Oh, astaga! Kalian baik-baik saja?"

Lady Alga langsung turun dari panggung, membantu Ren untuk bangun. Deaz pun langsung melompat turun membantu Vier. Sementara suasana jadi agak riuh.

"Ada yang terluka?" Lady Alga bertanya panik. Menyadari insiden tadi adalah kesalahannya.

"Aku baik-baik saja." Vier menjawab sembari tersenyum.

"A-aku baik." tubuh Ren masih gemetaran. Terkejut juga rasa takut yang tadi membayanginya belum menghilang.

"Semuanya tenang!"

Suara menggelegar guru Kedisiplinan, Mr. Joe, menggelegar. Membuat semuanya langsung terdiam. Dia memberi serentetan ceramah, membuat makan malam tak lekas dilaksanakan. Tapi, Ren bersyukur. Vier menyelamatkannya dari rasa malu berat yang harus Ren tanggung jika ia jatuh sendirian.

Ren tengkurap sembari memeluk guling di atas karpet lembut tengah kamar. Bersama empat perempuan yang merencanakan pesta piama tadi sore. Ren cukup lama terdiam. Masih trauma akan kejadia saat makan malam. Semuanya tak berakhir baik.

"Santailah, Ren." Musa yang tengkurap sembari membaca buku di sampingnya berkata simpatik. "Itu hanya kejadian yang akan segera dilupakan."

"Kurasa tidak." Cecil menyela. Perkataannya membuat Musa termanyun dan Ren menenggelamkan wajahnya pada guling.

"Hmm ... Ya." Eva memasukkan kacang polong ke mulutnya, lantas berkata, "Tapi bersyukurlah! Luca menyelamatkanmu tadi."

"Itu sangat romantis!"

Cecil, Eva, dan Anne bertos ria. Merasa cara yang mereka gunakan adalah cara ampuh untuk menghilangkan trauma Ren.

"Itu memalukan." Ren menekan wajahnya pada guling yang empuk. Teringat sesuatu ia kembali mengkat wajah. "Tunggu! Lu-ca?"

Cecil yang baru menuntaskan keripik di mulutnya mengernyit. "Iya, dia yang jatuh bersamamu tadi. Kau tak mengetahui namanya?"

Ren hanya ber-oh ria, lantas berbaring dengan wajah lesu. Malam yang memalukan! Tak pernah terlintas di pikirannya akan tragedi yang membuatnya tak sanggup mengangkat wajahnya di depan orang-orang. Tak pernah! Tapi ada hal lain yang berputar di kepalanya. Sejak kapan nama Vier berubah?! Akan kutanyakan pada Rezel.

#PENTING!

Apa itu "Barrier"?

Kata ini akan sering ditemukan pada Prince or Princess: Memories. Kata "barrier" merujuk pada selubung tak kasat mata yang melingkupi Benua Shappire. Mengisolasi Benua Shappire dari dunia luar, dengan tujuan menghindari perang yang ratusan tahun lalu kerap terjadi.

Pada umunya, barrier di sini dibagi menjadi tiga, yakni:

1. Barrier Utama
     Barrier yang melingkupi Benua Shappire seutuhnya. Energi untuk memperkuat barrier ini berasa dari elemen para pemilik elemen dewa, karena itulah mereka disebut "Penjaga".
     Barrier ini berperan menutup akses Benua Shappire dari dunia luar yang mengancam dengan peperangan. Barrier Utama merupakan barrier netral yang dapat dhidupkan dengan elemen tipe gelap sekali pun.

2. Barrier Gelap
     Wilayah Benua Shappire yang dibagi menjadi dua bukan tanpa alasan. Sejak awal Shappire sendiri memiliki dua jenis elemen "gelap" dan "terang". Barrier gelap biasa dihidupkan di zona gelap, dengan tujuan melemahkan pemilik elemen tipe terang. Peperangan yang kerap terjadi antarkubu juga menjadi alasan keberadaan barrier gelap.

3. Barrier Terang
     Sama halnya barrier gelap, barrier terang digunakan di area terang. Untuk tujuan yang sama juga, melemahkan elemen gelap. Dan meredam perseteruan yang kerap terjadi.

Banyak pihak yang membentuk kubu-kubu berdasarkan pendapat mereka tentang barrier. Tak sedikit pula kelompok yang berusaha menghancurkan selubung Benua Shappire. Mengembalikan peristiwa berdarah yang terjadi sekian abad lalu. Hal itu juga pemicu utama seorang pemilik element of god sun (dari kubu terang) dan moon (dari kubu gelap) tak pernah memiliki umur panjang. Akan banyak kelompok yang memburu mereka. Mereka adalah sumbu barrier utama.


📎Note:

Lin balik lagi 😪 ini pun diselesaikan dengan begadang. Maklum ya typonya beleberan. Nanti direvisi kalo dah rampung semua :v

Gimana menurut kalian?

Readers: apanya?

Rasa baksonya_-"

Ceritanyalah! 😫 Lin percepat updatenya. Biar gak pada ngacir lagi 😂

Umm ... Btw, di AirStreet panggilan Vier jadi Luca ya ... Ini konsep lama kok 😗 udah sejak dulu nama ini Lin peruntukkan buat Vier. Alasannya? Ren yang bakal mengupasnya sampai tuntas 😋

Dan Musa. Namanya terinspirasi dari bahasa latin pisang :v Musa suka pisang (mungkin)

Tentang barrier, ada yang masih bingung? Susah jelasin 😲 sama susahnya dengan jelasin soul karena mereka sama-sama konsep tengah 😫 Lin harap gaada plot hole 😢 karena belom rampung revisi di PoP 1.

Pokoknya gituah ....

Sampai jumpa SECEPATNYA! 😪

Regard

AleenaLin

Selasa, 26 Juni 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro