Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 6²

Matahari kian raib dari ujung cakrawala kala Ren sibuk menghabiskan sorenya bersama si kembar. Semburat jingga kian mengabur, turut serta menghilang bersama matahari yang kembali ke peraduan. Siluet sekumpulan burung yang hendak kembali ke sarang nampak jelas di depan latar langit jingga. Memamerkan keelokan alam yang tak pernah absen tiap harinya.

"Jadi, apa ini saatnya mengucapkan selamat tinggal?" Zuan bertanya sembari menurunkan alisnya. Membuat raut sedu.

"Yah, kupikir begitu."

Ren menggaruk tengkuk. Matanya menerawang ke arah baris banjar awan yang semakin kemerahan di ujung barat. Ribuan kenangan yang berasil terajut selama dirinya di Royal High School bergulir. Berputar dalam salinan memori di kepala. Menumbuhkan tunas-tunas kerinduan yang menantikan dirinya mekar. Berbunga dan membawa Ren untuk kembali.

Ren beranjak dari duduknya. Ia bertumpu pada pohon yang menjadi tempat favoritnya dengan si kembar menghabiskan waktu sore. Gadis itu menengadah, menatap dedaunan yang bergelayutan pada dahan-dahan kokoh. Satu dua dari mereka gugur, terbawa angin, lantas jatuh ke tanah dan raib tertelan pembusukan.

"Aku akan sering menghubungi kalian," ujar Ren, "kita bisa bertatap muka lewat video call, 'kan?"

Zeon mengangguk. "Tentu saja."

Desir angin kembali berhembus tenang. Membawa kabar dari tempat yang jauh. Mengangkut kabar kepergian Ren dan kembali pergi tuk disebar ke seluruh penjuru Benua Shappire.

"Baiklah." Ren menepuk telapak tangan. Membersihkan debu yang sempat berkerumpul di sana. "Selamat tinggal. Aku akan sangat merindukan kalian." gadis itu mengembangkan senyum yang namapak mendung. Bukan senyum yang memekarkan tawa, tapi senyum yang akan menyemai kerinduan mendalam.

Ren berbalik. Waktu senja hampir habis. Ia harus lekas kembali sebelum Vier mengomel karena barang-barangnya tak dapat masuk koper dengam sendirinya. Mereka pasti masih berpencar di sisi-sisi tersembunyi kamar Vier. Namun, Ren terhenti. Tubuhnya terentak kala sepasang lengan memeluknya dari belakang. Aroma maskulin yang ia kenali sebagai Zeon masuk dalam penciumannya, otomatis memberi berita tentang siapa yang ada di belakan sana.

"Kau sebut ini salam perpisahan?" Zeon berbisik tepat di telinga Ren. Menambah laju degub jantungnya yang kian tak karuan.

"A-apa yang ..." Ren tak melanjutkan perkataannya. Ia tersenyum sebelum melepas lembut lengan Zeon yan tanpa izin memeluknya. Gadis itu berbalik, menengadah menatap wajah Zeon. "Ingin pelukan sebagai salam perpisahan?" Ren merentangkan lengan yang langsung disambut pelukan oleh Zeon. Menenggelamkan Ren dalam sebuah keamanan dalam lingkup lindungan seorang kakak.

Ren bergeming. Membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan hangat Zeon. Pelukan laki-laki itu terasa makin erat. Seakan enggan melepaskan kepergian Ren. Zeon yang bilang, Ren tak hanya mirip Zean yang telah tiada, tapi juga Stellab sang adik tiri yang telah lama menghilang. Tak salah jika Zeon melakukan hal demikian.

"Hei, jangan buat aku iri!" Zuan mendecak. "Aku juga ingin dipeluk!"

Zeon melepaskan pelukannya, lantas tersenyum sinis ke arah saudara kembarnya.

"Ah, ayolah! Aku tak keberatan." Ren nyengir, disambut pelukan antusias Zuan.

"Tubuhmu sangat kecil," ujar Zuan, "seperti memeluk tulang belulang. Sangat tidak hangat."

"Hei!"

"Bercanda."

Zuan membuaka pelukannya. Membiarkan Ren berbicara satu dua kata. Mengomeli Zuan yang telah mengatakan dirinya seperti tulang belulang. Zeon ikut mencibir, hingga mebentuk perdebatan kecil di antara mereka bertiga. Perdebatan yang terasa hangat.

"Kita tetap saudara, 'kan?"

Pertanyaan Ren disambut anggukan setuju dari si kembar. "Tentu saja!"

Pin tidak ditemukan

Ren mendecak kala mendapati tulisan yang sama sejak beberapa waktu yang lalu saat memasukkan nomor pin pada kunci pintar kamar Vier. Ia merasa variasi angka yang ia masukan sudah betul, tapi sedari tadi layar alat itu terus menunjukkan kalimat yang menyatakan pin tidak ditemukan.

"Vier ... Apa kau mengganti pinnya?" Ren menyandarkan dahinya pada pintu kamar Vier. Ia sudah lelah untuk tetap berdiri di depan sana.

Ren menunduk. Memperhatikan jam yang melingkari pergelangannya. Pukul lima lebih tiga puluh. Setengah enam! Gadis itu mendengkus, ia berbalik dan menyandarkan punggungnya pada pintu. Maniknya memperhatikan lalu-lalang angin tak kasat mata di sepanjang lorong. Mungkin, jika Ren memiliki indera keenam, ia bisa melihat sosok-sosok yang sedari tadi memperhatikannya. Hiyy ... Ren bergidik.

Tak lama, sosok Rezel muncul dari belokan lorong. Rambut pirangnya nampak lebih berantakan dari biasanya.

"Rezel!" Ren berseru. Maniknya berbinar, seakan Rezel adalah kunci yang bisa menyelamatkannya.

"Apa?" Rezel bertanya malas. Ia keliatan lelah.

"Kenapa pintu Vier tak bisa dibuka?" Tanya Ren sembari menunjuk pintu yang masih enggan terbuka.

"Pin yang kau masukkan sudah benar?"

Rezel memberi isyarat pada Ren untuk menyingkir dari depan pintu. Jari telunjuknya menekan tombol-tombol angka, memasukkan variasi pin yang sama dengan apa yang Ren masukkan tadi. Namun, nihil. Alih-alih terbuka, tulisan 'pin tidak ditemukan' kembali muncul.

"Lihat, 'kan?"

"Entahlah ... Tanyakan saja pada Vier. Dia masih di ruangannya." Rezel menggaruk rambut. Seakan ingin membasuh helaian pirang itu sesegera mungkin.

"Ruangannya? Maksudmu ... ruang ketua Elite?" Ren memutar jarinya. Bertanya untuk memastikan penafsirannya sudah betul.

"Tidak. Kamar mandi kantor Elite." Rezel memutar bola mata dan berhasil membuat Ren mengernyit kebingungan. "Tentu saja ruang ketua utama Elite!"

Rezel pergi selepas berseru.

Ren tersenyum kecut. Memperhatikan Rezel yang pergi tanpa berucap apa pun lagi.

"Kau butuh tidur, Rezel," gumam Ren.

Bayang-bayang aneh yang terlintas pada imajinasinya membuat Ren merinding. Bayang-bayang tak kasat mata yang mungkin saja bersliweran di antara lorong-lorong sepi. Membentuk desakan sempit di sini. Kau berpikir apa, sih, Ren? Gadis itu menggeleng, lantas melenggang pergi ke kantor Elite.

Jalanan dari mozaik batu mengkilap membawa Ren ke depan sebuah bangunan besar dengan logo Elite. Bangunan yang belum pernah Ren masuki itu tampak memukaunya. Gadis itu sempat terkagum sejenak sebelum melangkah masuk ke lobi dengan lantai berhias mozaik mandala besar.

"Umm ... Selamat sore. Ada yang bisa kubantu?" seorang perempuan yang duduk di balik meja lobi menyapa ramah Ren.

"Anu, a-aku mencari Vier."

"Mencari ketua?" perempuan itu menelengkan kepalanya. "Oh, ya! Ketua masih ada di ruangannya. Kau bisa berjalan lurus ke lorong itu, pintu nomor enam sebelah kanan. Ada tulisannya, kau tak akan tersesat."

Ren mengangguk paham. Ia berjalan ke arah lorong yang ditunjuk perempuan tadi. Gadis itu mendecak. Menyadari terlalu banyak lorong sepi di Royal High School. Walau tak terlihat menakutkan karena lampu-lampu kristal selalu tertempel di sana, tapi tetap saja Ren tak menyukainya. Terlalu sepi.

"Nomor enam."

Ren berhenti, memperhatikan pintu dengan palang bertuliskan 'Ruang Ketua Utama Elite'. Ia menghela napas bersiap untuk mengetuk. Namun, pintu terlebih dulu terbuka dan mempelihatkan seorang laki-laki pembuka pintu. Mereka berdua sama-sama terkejut.

"Ada apa, Glenn?" suara Vier terdengar dari dalam. Ia bertanya lantaran anggotanya itu malah terhenti di depan pintu, tak lekas pergi dari sana.

"Umm ... Ketua!" laki-laki berambut kadru itu memiringkan posisinya berdirinya di depan pintu. Mempersilakan Ren untuk terlihat di mata sang ketua.

"Oh, Ren." Vier tersenyum di balik meja kerjanya. "Silakan masuk!"

Glenn membiarkan Ren masuk duluan dan keluar selepasnya. Sedangkan gadis itu masuk dengan ekspresi linglung. Ia sedikit canggung karena di dalam sana juga ada si laki-laki pirang! Mantan ketua Elite sebelumnya, Ken Ryluxius Leanque. Laki-laki yang nampak dekat dengan Vier. Juga ada seorang laki-laki yang tak ada dalam buku Daftar Orang-Orang yang Dikenal Ren.

"Ada masalah apa, Ren?"

Ren terentak karena sempat melamun. "Ah, p-pintumu. Apa kau mengganti pinnya?"

"Aku belum memberitahumu, ya." Vier tersenyum kecut. Tangannya menggapai sesuatu di dalam laci mejanya. "Kunci pintarnya rusak. Jadi, sementara masuk pakai kunci manual."

Vier melempar kunci--yang lagi-lagi berbandul phoenix--pada Ren. Kunci itu hampir jatu jika meleset sedikit lagi dari telapak tangan Ren.

"Seorang ketua utama Elite mempersilakan perempuan masuk ke kamarnya. Aku tak salah dengar?" laki-laki bermanik hijau di samping Vier unjuk bicara. Name tag-nya terbaca Maroon Caius.

"Hoo ... Kau bukan laki-laki jika belum pernah melakukannya." Ken yang berdiri di seberang Maroon tertawa. Ia mengadu tinjunya dengan Vier dan memberi senyuman--sebagai bentuk ejekan--pada Maroon.

"Yah, sekretaris kita terlalu polos." Vier menyahut. Ia memutar bolpoin di jemarinya. Memperhatikan Maroon yang menatap kedua orang di depannya dengan tautan alis.

"Astaga! Apa semua ketua Elite melakukan hal ini?!" Maroon berteriak histeris. "Apalagi ini Ketua Vier!"

"Jangan berpikiran aneh-aneh!" Vier menyela.

"Engg ..." Maroon terdiam. Berpikir ulang. Apa semua ketua Elite suka memakai kata-kata bermakna ambigu?

"A-anu ..." Ren mengambil alih perhatian. "Aku pergi duluan." ia hendak berbalik sebelum Vier berseru ke arahnya.

"Tunggu!" seru Vier, "kau tak mau membantuku membawa beberapa barang? Aku juga akan kembali."

"O ... ke."

"Jangan kaku begitu, Nona. Aku tak akan menggigitmu." Ken terkekeh.

"Jangan memanggilku begitu!"

"Haha ... Baikalah-baiklah. Aku hanya suka melihat wajahmu bersemu merah."

Maroon yang memperhatikan hanya mengernyit. Tak mengerti apa yang dibicarakan mantan ketua penuh ambiguitas seperti Ken. Ia terlalu banyak bermain puzzle pada orang lain.

"Aku semakin pusing." Maroon memijit dahinya. "Sampai jumpa, Ketua! Jangan lupakan tugasmu walaupun kau sibuk di AirStreet, ya. Elite akan kacau tanpamu." laki-laki itu melambai-lambaikan tangannya sebelum membenamkan diri di balik pintu.

"Baikalah." Ken ikut beranjak. "Berkemaslah, Vier. Aku pergi duluan."

"Hei, kau tak ingin membantuku?"

"Kau bukan bocah lagi. Lakukan sendiri!" Ken mengacak rambut Vier seakan laki-laki nilam itu masih seorang bocah sepuluh tahun. Ia mendekatkan bibirnya pada telinga Vier dan berbisik, "Dan jaga tuan putrimu baik-baik."

"Hei ..."

Ken tertawa-tawa, lantas beranjak pergi dari tempatnya. Ia menepuk bahu Ren saat melewatinya. "Hati-hatilah pada Vier yang tengah emosional, Nona." ia tersenyum jahil sambil melirik Vier dengan ekor matanya.

Ren hanya terdiam. Menautakn alisnya sembari berpikir. Mengabaikan Ken yang berlalu dan menghilang di balik pintu kayu.

"Ren, kau mau membantuku, 'kan?"

"I-iya akan kulakukan!"

"Kenapa banyak kardus bersisi kertas?" Ren memegangi pinggangnya setelah meletakkan kardus yang baru saja ia angkat dari kantor Elite hingga kamar Vier.

Gadis itu merentangkan tangan lantas menjatuhkan diri ke dalam seprai lembut ranjang Vier. Lengannya cenat-cenut, begitu juga punggungnya yang pegal minta ampun. Lebih menyisa dari punggungnya yang sakit selepas menghabiskan malam di sofa.

"Ya, tentu saja," jawab Vier, "banyak berkas Elite yang turut serta kubawa." ia mengemasi kardus-kardusnya yang masih tercecer tak beraturan di lantai kamarnya.

Ren berguling. Terlentang menghadap ke arah plafon kamar Vier. Manik kuning keemasannya melirik Vier yang tengah sibuk dengan barang-barangnya. Ia tersenyum. Merasa bangga mengenal orang multitalenta seperti Vier. Siapa sangka temannya itu masih dipercaya mengurus Elite dengan dirinya yang sudah berpindah ke AirStreet untuk menjalani pelatihan elemen dewa yang dimilikinya. Vier pasti benar-benar orang yang hebat!

Terduduk. Ren meninggalkan kegiatan tidurannya. Ia memijit kepala yang mulai berdenyut.

"Wajahmu pucat." Vier berjalan ke arahnya. Berlutut untuk mengimbangi tinggi Ren yang tengah terduduk. "Kau baik-baik saja?"

"Tidak." Ren menggigit bibir. Menahan kepalanya yang kian gencar diserbu putaran ingatan yang tercecer seperti sobekan kertas film. "Sakit ..."

Vier mencengkeram bahu Ren. Membuat gadis itu sedikit terentak. "Bertahan," ujarnya menyemangati. "Ayo ke unit kesehatan dan temui Faust!"

Vier mengulurkan tangannya. Membantu gadis bersurai cokelat itu berdiri. Membawnya cepat ke unit kesehatan sebelum ia kehilangan seluruh kesadarannya seperti yang sudah-sudah.

Ren mengangguk menurut saat Vier memintanya berbaring di salah satu pembaringan unit kesehatan. Laki-laki itu menghilang di balik tirai dengan alasan mencari sosok Faust.

Pusing yang belum mereda tak lekas membuat Ren kehilangan kesadarannya. Ia sempat kagum dengannya hari ini. Biasanya ia sudah jatuh pingsan sejak denyutan pertama menyerang kepalanya. Namun, kali ini berbeda. Ia bahkan masih sanggup berjalan dari area asrama hingga unit kesehatan.

Tirai putih disingkap, membuat Ren yang tenang dalam baringanya terkejut. Maniknya menyisir. Menengok siapa gerangan yang tanpa permisi membuka tirai dan mengejutkannya. Seorang laki-laki yang usianya nampak terpaut tiga sampai empat tahun darinya memakai jas putih dengan emblem resmi dokter Royal High School. Tanda pengenalnya memberitahu orang lain bahwa namanya Closde el' Faust. Vier turut mengekor dibelakangnya.

"Jadi, apa keluhanmu, Manis?" tanyanya lembut. Laki-laki berambut kadru itu, Faust, mendekat ke arah Ren.

"Aku sering merasakan pusing."

Faus memberikan isyarat pada Ren yang tengah berbaring untuk duduk. Manik rubinya terasa lebih tajam dan menyisir dari yang sebelummya.

"Apa kau pernah amnesia?"

Ren mengangguk. Entah siapa yang memberi tahu dokter muda itu, tapi tebakannya cukup membuat Ren kagum. Tak ada yang tahu Ren kehilangan seluruh memori masa kecilnya.

"Begitu ya. Aku melihatnya," kata Faust. Ia nampak hanya mengamati Ren tanpa melakukan pemeriksaan apa pun. "Satu-satunya masalah yang kutemukan hanya di ruang kepalamu. Selebihnya, tubuhmu baik-baik saja."

"Bagaimana bisa--"

"Dia punya penglihatan iblis, Ren." Vier menyela.

"Sudah kubilang aku tak suka dikatakan iblis," sanggah Faust sembari memutar tubuh ke arah Vier.

"Bukan kau, tapi matamu." alih-alih meminta maaf, laki-laki nilam itu malah mengukir senyum lebar seakan jawabannya tak punya celah dicap sebagai salah.

"Lalu, matanya apa? Malaikat?" Faust menunjuk ke arah Ren lewat gerakkan matanya. Vier hanya tertawa. Lagi-lagi Ren tak mengerti perbincangan mereka, barang secuil.

Faust menggeleng. Mengabaikan perkataan Vier seterusnya. Ia sibuk dengan pena dan kertas yang ada di tangannya. Menuliskan beberapa rangkaian kata yang Ren tebak sebagai resep obat untuknya.

Faus merobek kertasnya, lantas menyodorkannya pada Ren. "Ini resep obatmu. Jarang sekali ditemukan kasus sepertimu. Kau memiliki memori lama yang tidak stabil. Jadi, akan sulit untuk melihatnya satu per satu. Ini agak rumit." laki-laki itu menggaruk rambut dengan pena di tangannya. "Obatnya cukup langka karena kasus seperti ini jarang terjadi, tapi tenang saja! Kau bisa menemukannya dengan mudah di pusat herbalis Royal High School. Jika obatnya habis dan belum juga membantu menjinakkan ingatanmu secara permanen, kau bisa titipkan pada Vier. Dia akan sering kemari."

Ren mengangguk mengerti. "A-anu, apa hal ini berbahaya?"

Faust terdiam sejenak. "Tidak, tapi kurasa cukup."

Dahi Ren berkerut dalam, tak lagi mengerti tafsiran dari kalimat yang berhambur dari mulut si dokter muda.

"Maksudnya?"

"Yah, jika ditanya berbahaya atau tidak, kurasa ini cukup berbahaya. Kasusmu ini jika tidak ditangani dengan baik, bisa saja kau kehilangan ingatan berulang dan kesulitan menghafal banyak hal--"

"Itu mengerikan!" Ren memutus perkataan Faust. Tak ingin mendengar lebih banyak.

"Santai saja. Obat yang kuberikan cukup membamtu untuk mencegah kemungkinan itu terjadi. Minum obatnya tiga kali sehari. Kecuali jika gejala pusingmu itu datang lagi, segera minum. Bawa obat itu kemana pun kau pergi."

"O-oke ..."

"Oke, Vier, bawa dia ke apotek di depan."

Vier mengangguk. Faust beranjak pergi selepas mengingatkan Ren beberapa hal.

"Ayo!" Vier mengulurkan tangannya. Mengetak Ren yang tengah merunduk di atas pembaringan. Vier yang menyadari tatapan sayu mata Ren jatuh ke arah kedua telapak tangan di pangkuan lekas mendekatinya. "Tak akan ada hal buruk terjadi." laki-laki nilam itu meyakinkan.

Ren menegakkan kepalanya lalu mengangguk. Untuk sementara ini, perkataan Vier boleh dipercaya.

"Sudah lebih baik?" Vier bertanya kala dirinya keluar dari kamar mandi dan mendapati Ren sibuk berkutat dengan koper kecilnya.

"Uhum ..." Ren menggumam. Ia menutup resleting koper kecilnya.

"Sungguh?" Vier mengonfirmasi ulang. Manik nilamnya menyelidik.

Ren mengangguk. Ia beranjak menarik kopernya untuk di sisihkan di sudut ruangan bersama beberapa barang-barang Vier yang banyaknya seperti orang pindah rumah. Sejujurnya barang-barang Vier tak lebih dari satu koper besar, tapi berkas-berkas Elite yang perlu ia bawa seperti gunungan nasi syukuran.

"Sungguh, aku tak punya banyak barang untuk dikemas. Kurasa aku harus mengais abu di kamar lama."

Vier terkekeh. Dia lebih banyak tertawa akhir-akhir ini. Tapi, baguslah. Ren tak perlu susah-susah jaga jarak dengan Vier dengan emosional tak bagus.

Ren merenggangkan otot-otot lengannya yang menegang karena terlalu lama diajak bekerja. Lantas, celingukan mencari ponselnya. Mengingat-ingat kembali di mana gerangan ia meletakannya terakhir kali.

Ting!

Dering tanda notifikasi Let's Chat memberi kabar posisi ponselnya berada. Ren berlonjak, hendak menerkam ponsel yang tergeletak di atas nakas. Namun, yang Ren gapai hanya udara kosong. Ponselnya sudah terambil alih oleh jemari panjang Vier.

"Hei, berikan!" Ren termanyun, tapi Vier tak menanggapi.

"Apa ini?" Vier mendesisi jijik ke arah deretan pesan yang berkerumun bagai hujan di siang bolong.

"Siapa?" Ren ikut melongok. Melihat deretan pesan yang sebagian besar dari akun laki-laki dan sisanya perempuan bergaya nyentrik yang sibuk mencercanya. "Kurasa aku jadi populer."

"Sejak kapan kau masuk grup sialan ini? Kau tahu ini bahaya buatmu? Bersyukurlah kau pindah besok."

"Grup itu masuk sejak Felix mengutik ponselku, tapi kemarin dia menelponku dan menyangkal keras. Katay, orang yang kutemui adalah Orion bukan dirinya." Ren membuang tatapannya pada Vier. "Orion siapa?"

"Si soul bedebah. Jangan dekat-dekat dengannya, dia lebih berbahaya daripada pemiliknya."

Vier masih menggenggam ponsel Ren saat beranjak menjauh dari Ren. Ia memilih duduk di sofa, meringankan beban kakinya. Bahkan,laki-laki itu nampak tak peduli saat Ren meraung-raung minta ponselnya dikembalikan.

"Akan kugeledah apa-apa saja yang kau simpan."

"Jangan!" Ren berseru dan hendak menerkam balik ponsel yang telah diterkam Vier duluan. "Itu tidak sopan!"

"Apa ini?"

Vier mengabaikan perkataan Ren. Ia malah menunjukkan sebuah foto ke arah Ren. Tergambar jelas potret candid Vier di Royal Fair, Royal High School. Foto yang tanpa sengaja Ren dapatkan kala dirinya tengah mengambil gambar kembang api di bentang langit gelap.

"Delete."

"Vier!!!"

Ren hendak merebut ponselnya dari belakang sandaran sofa, tapi Vier mengelak. Pada akhirnya gadis itu tersungkur melompati sandara sofa dan jatuh ke pangkuan Vier.

"Siapa yang tidak sopan? Aku yang menggeladah ponsel yang notabenenya hakku, atau kau yang memotretku tanpa izin?" Vier tersenyum miring. Mengabaikan Ren yang tiarap di pangkuannya.

"Huu ... Aku tak memotretmu!" Ren memanyunkan bibir; bangun dari posisi tiarapnya. "Aku memotret kembang api, kau tahu!?"

Vier menelengkan kepala. "Sungguh?" tanyanya tak percaya. "Jelas-jelas kau menfokuskan jepretanmu padaku."

Mendengkus. Ren melipat lengannya sembari termanyun. "Aku tak sengaja!"

"Ya, ya ..."

Berang. Ren rasanya ingin menerkam laki-laki nilam--yang entah jatuh dari planet mana ke bumi--dengan ujung kukunya yang paling runcing. Mencabiknya hingga menjadi bubur. Satu-satunya kata yang ingin ia teriakan pada Vier adalah, "Enyahlah!". Dengan melupakan sebagian kebaikan yang telah Vier lakukan padanya, Ren ingin laki-laki itu raib dari hadapannya.

"Ter-se-rah!"

Ren beranjak gusar. Namun, tangan Vier menarik pergelangan tangannya.
Pada akhirnya Ren kembali terbanting ke belakang. Rasanya seperti Vier baru saja membantingnya di arena karate. Tapi bedanya punggungnya tak terantuk materas setengah keras, tapi sofa lebar yang empuk.

"Apa yang--"

Cekret!

Flash kamera yang silau membuar Ren menutup mata. Gadis itu termanyun, menyadari Vier mengambil foto saat dirinya sandaran dengan penampilan kurang mengenakkan mata.

"Hei, curang!" ia menarik lengan sweeter Vier. "Ulangi!" serunya.

Ren yang tadinya murka malah tenggelam dalam keantusiasan ber-selfie ria dengan Vier. Yang gadis itu herankan samapai saat ini adalah sejak kapan Vier suka difoto?

📎Note:

Ah, yo, para readersku yang kian hari kian terkikis! 😆🔪

Lin balik dengan PoP setelah target 5 chapter UDAC tercapai. Sudah berapa tahun aku pergi?_-" rasanya amat lama sampai kurang interaksi sama readers :v

Yah begitulah ...

Mumpung sekarang masih bulan syawal mari maaf-maafan 😅 Lin dah terlalu banyak salah ma kalian. Dua tahun sejak pertama kali PoP dipublish, tapi ga kelar-kelar ampe sekarang. (Lin juga bingung). Untuk semua alasan itu, Lin mohon maaf sebesar-besarnya. Untuk kalian yang masih setia nunggu Lin TERIMA KASIH BANYAQ!!! Cerita ini tak akan bertahan tanpa apresiasi kaian!

Reders: mau dimaafin, Lin? THR sini!

THR? Nyoh duit nyoh!

Readers: 😑 minta ditabok Linnya.

Hoho ... Say good bye and meet me after around the phantasm eh! Salah! Maksudnya bertemu lagi minggu depan (bisa maju bisa mundur terganung otaq:v)

Nb: kutunggu tanggapan kalian di kolom komentar!

Regard

AleenaLin

22 Juni 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro