Chapter 13²
Ren bungkam. Ia bersandar di balik batang pohon musim dingin. Rasa yang dingin menusuk merembes menembus punggungnya yang dibalut sweeter rajut. Ia masih mendengarkan. Keluh kesah Vier kecil yang hanya bisa ia utarakan pada pohon musim dingin. Vier kecil biacara dengan suara pelan, membuat Ren harus menajamkan pendengarannya lebih dari biasanya.
Menunduk. Tanpa sadar kerumunan air mata mulai mengisi pelupuknya. Luruh hingga membasahi pipi sesaat. Ren menghapus air matanya. Ia tak tahu jika curahan Vier kecil--yang seharusnya tak pernah ia dengar--begitu menusuk hatinya. Hidup di dalam istana tidak menjamin kebahagiaannya sama sekali. Ia hidup dalam tekanan. Setiap hari?
"Vier, maafkan aku telah mengetahuinya." Ren menggeleng. Ia berusaha mengeluarkan dirinya dari ingatan Vier. Namun, yang ia dapat saat berusaha lebih keras hanyalah rasa sakit yang menghantam kepalanya.
"Aku akan pergi ke Periwinkle Hill. Sendirian."
Perkatan Vier menghentak Ren. Gadis itu bergerak cepat, menatap Vier kecil yang sudah berdiri sembari meletakkan telapak tangan kanannya di atas permukaan batang pohon. Kepalanya tertunduk, lengkap dengan senyuman. Bagaimana bisa bocah yang baru berusia tujuh tahun berniat pergi ke tempat berbahaya? Ren pernah dengar rumornya. Tentang pucuk terdingin Benua Shappire yang berbahaya itu. Tempat yang katanya sarang bandit, tempat para buronan tersembunyi, juga para pembuas tak teridentifikasi.
"Bagaimana mungkin kau mau ke sana sendirian!?" sentak Ren. Napasnya memburu. Matanya menatap nyalang ke arah Vier kecil. Ia hampir lupa dirinya tengah menjelajah ingatan Vier bukan menjelajah waktu.
"Buku di perpustakaan kerajaan membertahuku tentang cara menjadi kuat." Vier tersenyum. Sebuah senyuman yang menyakitkan di mata Ren. "Katanya, jika kita bisa mengikat janji dengan soul, mereka akan memberi kita kekuatan."
Ren menggeleng. Bagaimana mungkin Vier kecil senekat itu?
"Aku ingin jadi kuat. Seperti standar raja yang mereka inginkan."
Perlahan, semuanya memburam. Gambaran dalam ingatan Vier memudar. Menghilang menjadi ketiadaan. Ren menutup matanya. Membiarkan dirinya terbawa kemana matanya mengarah.
"Ren!"
Ren terhentak merasakan tepukan di bahunya. "Ah, i-iya."
Dirinya kembali ke realita. Duduk di antara siswa AirStreet yang menikmati santap malam mereka. Riuh suara orang-orang serta kelotak alat makan merasuki pendengarannya.
"Kamu menangis, Ren. Ada apa?" Cecil menatap lamat wajah Ren yang dibasahi air mata.
"A-apa?" Ren merapa pipinya. Basah. "Sejak ... kapan?"
"Kamu baik-baik saja, 'kan?" Musa bertanya cemas.
Ren membuang tatapannya ke arah Vier yang duduk jauh di sana. Ia masih duduk berbincang dengan beberapa kenalannya. Sejenak tatapan mereka bertemu. Ren menelusuk mata Vier. Kini, bukan tatapan tajam yang tegas lagi yang Ren dapat, tapi sebuah tatapan luka yang disembunyikannya dengan baik.
Ren membuang wajah. "Aku merasa aneh hari ini. Kurasa aku harus istirahat." ia beranajak dari duduknya sembari memijit kepala.
"Akan kuantar." Musa ikut berdiri, menawarkan diri.
"T-terimakasih."
Suara gemericik air mancur mengisi pendengaran Ren. Sore mulai beranjak senja saat ia menuntaskan pengakuannya. Pengakuan tentang ketidaksopanan dirinya yang membaca ingatan orang lain tanpa izin. Ren duduk tertunduk di tepian kolam air mancur. Menjatuhkan pandangannya ke arah kedua telapak tangan yang berkeringat. Mungkinkah laki-laki nilam itu mengampuninya?
"M-maafkan aku," lirih Ren, "a-aku tidak bermaksud begitu."
Sunyi kembali membuat kepala Ren enggan menegak. Sekadar menatap sosok yang tak memberi tanggapan di depannya. Vier masih terdiam sejak Ren bercerita. Kemungkinan besar ia marah. Pemikiran sederhana yang logis itu berhasil membuat Ren ingin mengubur dirinya dalam-dalam. Membentengi diri dari rasa bersalah yang membuatnya tak dapat tidur semalaman.
"M-maaf." tubuh Ren bergetar. Ia takut. Kalau-kalau Vier berubah seperti yang lalu. Ren takut Vier akan kembali menjauh dan melontarkan beberapa kata pengusiran sebagai salam perpisahan.
"Ren--"
"Kumohon jangan membenciku! K-kalau ada cara, aku akan menghapus ingatanku tentang ingatanmu yang sudah kubaca. Aku berjanji." Ren berseru panik. Air mata tertahan di sudut matanya.
"Kau ini bicara apa, sih?"
Ren menegakkan kepalanya. Jauh dari yang ia bayangkan. Bukan ekspresi kemarahan atau wajah kaku yang dingin, tapi senyuman lebar yang tergambar di wajah Vier.
"A-apa?"
"Well," katanya, "matamu sudah aktif rupanya."
Ren mengernyit. "Apa maksudmu?"
Bibir Vier kembali terangkat. Bagaimana ia bisa begitu tenang saat orang lain menelusuk dalam ingatannya tanpa izin? Apalagi, itu tentang masa lalu yang mungkin saja tak ingin ia ungkit.
Vier mendekatkan wajahnya. "Aku terlalu pintar untuk tidak tahu bahwa kau memiliki darah hoffan," bisiknya
Ren beringsut mundur. Perlahan, ia menggeser posisi duduknya menjauh dari Vier. Menghindari Vier yang menatapnya terlalu dekat. Dirinya bahkan hampir terpeleset jatuh ke dalam kolam air mancur jika saja refleksnya sedikit lebih lambat.
"L-lalu, apa kau tak marah?" Ren menatap Vier kembali saat paniknya sedikit reda. "Itu seharusnya privasimu, bukan?"
Vier menghela napas, melemaskan bahunya. "Semua orang juga tahu seperti apa aku di masa lalu, Ren," ujarnya tenang. Tanpa beban. Ekspresinya terlalu meyakinkan untuk Ren simpulkan sebagai kebohongan.
"S-sungguh?"
"Ya." Vier mengangguk samar. "Aku malah senang, pada akhirnya kau mengaktifkan kemampuanmu tanpa butuh kupancing. Walaupun tetap saja aku yang jadi umpanmu."
"Ngg .." Ren menggaruk tengkuk. Mungkin ia terlalu berlebihan menanggapi ini.
Gemericik air mancur kembali terdengar. Percikan airnya menciprat ke arah lengan Ren yang sudah terbalut sweeter. Suhunya lebih dingin dari air yang baru keluar dari lemari pendingin. Musim dingin benar-benar akan datang. Ren tak tahu seberapa dinging suhunya nanti. Ini musim dingin pertamanya.
"Lalu, Vier." Ren terdiam sejenak. Berpikir untuk menyusun kata. "Apa kau benar-benar pergi ke Periwinkle Hill?"
Ren mendongak. Menatap wajah Vier di depan sana. Ia bahkan masih manis kala dewasa. Sosok mungil yang Ren lihat semalam benar-benar Vier. Apa yang kupikirkan?
"Ya, tentu saja." Vier menjawab singkat. Ia menegakkan posisi duduknya. "Itu alasan mengapa kini Blue bersamaku."
Blue? Ren teringat lagi tentang burung phoenix cantik itu. Yang terakhir ia lihat berwujud manusia dengan manik sebiru milik Vier. Dan terakhir kali juga Ren melihatnya dalam wujud bandul kalung yang dihancurkan berkeping-keping.
"Aku bersyukur kau selamat setelah perjalanan ke sana. Kudengar tempat itu berbahaya."
"Ya, aku hampir terkoyak oleh sekumpukan makhluk buas. Dan dengan bodohnya aku masih bertekad sampai di sana." Vier tersenyum kecut. Seperti ada yang berubah dengan dirinya setelah kejadian di Bukit Periwinkle. "Kupikir, setelah susah payah mengikat kontrak dengan soul hidupku akan lebih baik. Nyatanya kedudukanku sebagai putra mahkota malah semakin lemah."
Ren sedikit terentak. Ia mengernyitkan kening. Pikirannya enggan menafsirkan kalimat Vier dengan benar. "Apa ... maksudmu?"
Vier menghela napas. "Saat itu aku pulang dari perjalanan dengan penuh luka. Aku sangat senang karena sosok phoenix biru ikut bersamaku. Kupikir aku akan disambut dan dihadiahi pelukan oleh kedua orangtuaku, tapi kau tahu? Ayah marah besar. Merasa takhta yang diperebutkan dengan usaha sendiri telah ternoda oleh kecurangan. Apalagi yang melakukannya adalah putra mahkota yang sah."
Ekspresi Vier yang dimekari senyum sudah pudar. Kini yang Ren lihat adalah mata biru Vier yang sendu. Senyum sinis samar-samar tergambar di bibirnya. Dia bukan Vier yang biasanya. Ren tahu itu.
Vier menjeda beberapa saat. "Saat itu aku benar-benar kembali terpuruk. Seisi istana membenciku. Bahkan, kupikir, jika ayah tak memiliki sisi lembut, ia akan membuangku. Mengasingkanku ke luar istana."
Satu per satu gambaran dari cerita Vier muncul begitu saja di kepala Ren. Ia tidak tengah membaca ingatan, tapi imajinasinya bergerak begitu saja. Bermodalkan pengalamannya menjelajah ingatan Vier, imajinasinya tergambar begitu jelas. Bagaimana rupa Vier kecil saat itu, bagaimana kemarahan raja, atau pun bagaimana detil suasana istana. Ren bergidik. Itu bukan sesuatu yang nyaman diingat.
Dada Ren sesak. Walaupun hidupnya hanyalah sebatas anak yang ditemukan ditengah hutan lantas dibesarkan di panti asuhan. Namun, hidupnya terbalut oleh kehangatan. Ia merasakan hangatnya kasih sayang tanpa mau tahu seperti apa kejamnya dunia ini. Ia pun tak pernah tahu, bagaimana pahitnya kehidupan Vier sebagai putra mahkota.
"Di saat seperti itu, rasanya aku ingin menghancurkan istana dengan kekuatan Blue." Vier menatap telapak tangannya dengan senyum sinis. "Sayangnya Blue tak mau memberiku kekuatannya. Dia terus berkata 'aku hanya akan memberimu kekuatan saat kau perlu. Kau yang saat ini sangat kuat. Bahkan sekadar untuk menghancurkan negeri ini'. Dia terus mengulang perkataannya saat aku meminta."
Angin berdesir pelan. Mengibarkan helai-helai rambut Ren yang mencuat keluar dari pola kepangnya. Membuat beberapa helai menutup pipi hingga menggelitiki Ren.
Ren masih mendengarkan. Ia bahkan tak menyangka Vier malah menceritakan masa lalunya tanpa repot-repot Ren membacanya. Ia kelihatan tak keberatan Ren mengetahuinya. Seakan ia berkata, "Toh, akhirnya kau mencaritahunya sendiri".
"Hidupku seakan sudah berakhir saat itu. Saat kupikir aku akan dipercaya, aku malah dicerca." Vier menjeda lagi. "Untunglah, Blue membantuku. Ia membangkitkan elemen dewa yang melekat padaku. Membuat mata orang-orang terbuka."
Senyum samar merekah. Ada ekspresi kepuasan yang muncul di wajah Vier. Ekspresi yang membuat Ren tenang kembali. Ia pikir kilas balik kisah ini akan membuat Vier sedikit emosional. Seperti yang Rezel ataupun Ken pernah katakan. Semakin Vier dekat dengan masa lalunya, semakin emosional dia.
"Aku tahu kau kuat." Ren tersenyum. "Bahkan sekadar untuk melawan masa lalumu yang berat."
Vier mengernyit. "Ada apa dengan senyummu? Itu bukan senyum yang biasanya."
"A-apa?" Ren mengernyit. "Sejak kapan kau memperhatikan bagaimana caraku tersenyum!?"
Vier meringis jahil. "Sejak pertama kali kau tersenyum."
"Bohong!"
Vier tertawa. Saat itu ada rasa teduh yang menaungi Ren. Alam ikut tertawa bersama Vier. Angin bertiup gemulai, membawa dedaunan yang sudah meninggalkan dahannya. Nyanyian siang yang berhasil menghanyutkan Ren bersamanya.
Ren memejamkan mata. Mendengar nyanyian alam yang membentuk serangkaian nada. Suara air mancur di dekatnya pun terdengar mengalunkan serangkaian lagu, suara angin, juga hiruk pikuk di kejauhan. Hingga sesuatu hinggap di kepalanya. Ren membuka mata lebar-lebar. Bulu-bulu panjang berwarna biru yang berpadu dengan warna hijau dan keemasan menjuntai menutupi pandang.
"Blue, turun dari sana!" seru Vier memperjelas sosok phoenix yang kini--dengan kurang ajarnya--hinggap di kepala Ren.
"Blue?"
Blue terbang rendah. Mengepakkan sayapnya beberapa kali sebelum hinggap di bahu Ren. Bulu halusnya menggelitik leher Ren yang lupa dililiti syal. Padahal suhu sedang dingin-dinginnya. Lantaran buru-buru, Ren sampai melupakan item musim dingin wajibnya.
Ren mengelus bulu Blue. "Jadi, Blue hanya bertugas sebagai penjagamu?"
Vier mengangguk. Helaian biru rambutnya berkibar oleh angin dingin yang bertiup. "Bisa dibilang begitu."
Ren menurunkan Blue dari bahunya. Memegangnya dengan kedua tangan, lantas meletakannya dalam pangkuan. Ia mengelus bulunya, seakan melupakan fakta bahwa sosok phoenix itu dapat berubah menjadi sosok laki-laki. Bulu Blue begitu lembut saat jemari Ren menyinggungnya. Andaikan tubuhnya lebih besar, Ren yakin, memeluknya akan kemberikan rasa hangat. Atau bahkan bulunya dapat menjadi bahan jaket yang mahal. Ren menerawang, pasti bulu seekor phoenix biru akan sangat mahal.
"Termasuk menghalaumu dari kematian?" Ren melirik Vier dengan ekor matanya. Jemarinya masih sibuk mengelus bulu Blue.
Dahi Vier berkerut. Mempertanyakan tentang pertanyaan Ren. "Tentu," jawabnya kemudian.
"Lantas." Ren menjeda. Maniknya menerawang ke arah bumantara mendung awal musim dingin. "Kenapa saat itu kau sempat mati? Seharusnya jiwa Blue seutuhnya bersamamu. Kenapa kau malah membiarkannya bersamaku?" Ren masih ingat betul kala itu. Saat tiba-tiba sebuah paket dengan sebuah surat yang berisi pesan terakhir tergeletak di depan pintu kamarnya.
"Kenapa?" Vier mengendikkan bahu sebelum tersenyum. Senyuman kecut yang disertai dengan tautan alis. "Karena aku melihat kilas kematian lewat naluri Blue."
Ada rasa sebal yang menumpuk dalam diri Ren. Tentang alasan sembrono Vier. "Jika kau melihat kematian, kenapa kau tak berusaha mencegahnya?!" Ren rasa pikiran Vier sudah terbalik. Atau saja kepalanya sudah terbentur sesuatu. "Bagaimana kau--"
"Kematianmu." belum sempat Ren menuntaskan kata-katanya, Vier memotong.
"A-apa?"
"Aku melihat kematianmu." Vier menelengkan kepala, lantas tersenyum. "Karena itu aku membiarkan setengah jiwa Blue bersamamu."
Ren terdiam. Ia tak bisa berkata-kata lagi. Perkataan Vier berhasil membuatnya bungkam. Ia tertegun. Pikirannya terus mencari penyangkalan. Vier bisa saja berbohong hingga mengatakan sebuah guyonan. Namun, hatinya berontak mengiyakan.
"K-kenapa?" suara Ren terdengar bergetar. Melihat kilas balik saat dirinya pertama kali tahu makna precious. Saat di mana sahabatnya, Gray, tanpa keberatan menikamnya dengan belati yang mampu menggandakan rasa sakit. Seharusnya ia sudah mati saat itu. Ya, mati. "Seberapa pentingnya tugas itu untukmu? Kenapa kau membahayakan nyawamu sendiri untukku yang sama sekali tak berguna untuk dunia ini?"
Tanpa sadar air mata yang tak ingin Ren lihat lagi turun perlahan. Menjelajah pipi halus Ren yang tirus. Ada rasa jenuh yang bergejolak dalam hatinya. Bercampur rasa marah karena ketidaktahuan.
"Apa aku butuh alasan untuk melakukan itu."
"Ya, katakan."
"Itu hanya sebuah tugas." Vier menggumam. Ia melengos sebelum berkata, "maka dari itu kau harus tetap hidup."
Ren tersenyum kecut. Ia menundukkan kepalanya. Menatap jari-jari tangan yang kedinginan. Vier terlalu baik. Atau lebih tepatnya terlalu berlebihan. Daripada berterimakasih penuh rasa syukur karena Vier membelokkan takdir kematiannya, Ren lebih suka mengatainya bodoh. Orang macam apa yang mau menjadikan nyawanya sebagai sasaran tombak kematian demi orang yang sama sekali tak memiliki arti dalam hidupnya?
"Saat itu kau menjanjikan sebuah permintaan. Kita sama-sama memenuhi syarat untuk menagih permintaan." Ren menatap Vier dengan senyuman samar dan bekas air mata yang belum kering. "Aku tahu kau membatalkannnya begitu saja tanpa alasan. Tapi, bolehkan aku meminta satu permintaan?"
Vier menatap Ren sejenak. Gadis itu tak pernah berubah. Perasaannya terlalu mudah dilukai dan air matanya mudah untuk diluapkan.
"Apa itu?"
"Berhentilah melaksanaan tugas Mrs. Mire yang berhubungan dengan menjagaku."
Note:
Ohisashiburidesune 😗
Lama gak jumpa :v
Sebelum itu Lin minta maaf. Rencana up teratur malah kembali digulingkan. Lin kalah sama tugas sekolah yang kek badai. Jadi maaf kalo jarang dan melenceng dari prediksi. Lin masih usaha :'
Gaenak sih gantungin terus. Pengennya segera tuntasin PoP biar bisa tidur nyenyak. :' mau gimana lagi, beginilah jadinya.
Btw, ini Bulan September. PoP udah masuk tahun ketiga sejak mangkal di wattpad lho 😐
Readers: lama bener dah ... Kapan tamatnya?
Entah. 😫
Maafkan Lin yang tanpa kepastian ini.
Sampai jumpa secepatnya :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro